Banyak perusahaan yang mengubah Customer Service Departmentnya menjadi Customer Care. Kalau saya tanya kenapa, jawabannya karena sekarang lagi trennya begitu? Tapi, setelah saya telusuri, tidak ada perubahan yang sangat signifikan di perusahaan itu.
Saya sendiri selalu mengaitkan Brand, Service, dan Process sebagai tiga elemen marketing value. Maksudnya, Brand itu baru bisa melakukan value creation ketika ada customer service yang dirasakan oleh customer.
Kenapa? Karena dipercaya bahwa Service yang baik akan menimbulkan customer loyalty. Pelanggan akan balik terus untuk melakukan repeat buying dan bahkan up-buying kalau mereka puas. Jadi, konsep customer service akan menghasilkan customer loyalty melalui customer satisfaction.
Padahal kepuasan itu baru akan terjadi kalau ada QCD Process yang makin bagus. Quality meningkat, Cost bisa diminimalkan dan Delivery-nya bisa makin real time. Proses bisa di-reengineer supaya ketiga hal itu bisa terjadi. Dengan demikian, ada rangkaian yang jelas antara Brand dengan Service dan Process.
Ketika Brand harus didukung oleh Character supaya sustainable, Service pun harus jadi Care. Seperti Brand dan Character yang saling mendukung, begitulah Service dan Care.
Care itu sebenarnya adalah character-nya Service. Makanya saya sering menyebut Care adalah Service with Character . Service tanpa Character adalah LIP SERVICE. Artinya , service yang ada di mulut bukan berasal dari hati, apalagi punya spirit internal.
Kalau Service adalah pelayanan, Care adalah kepedulian. Pelayanan dilakukan oleh seorang pelayan pada tuannya. Tapi, kepedulian adalah dari seorang teman pada teman yang lain. Pada pelayanan, hubungan antara pelayan dan yang dilayani seringkali disebut sebagai hubungan seorang abdi dalem dan rajanya.
Bahkan, ada yang bilang bahwa pelanggan harus diperlakukan seperti tuhan. Hal itu sering jadi slogan berbagai perusahaan atau di dalam berbagai pelatihan service. Tapi, itu sulit terlaksana. Seorang raja itu absolut kekuasaannya. Ucapannya adalah undang-undang yang harus dipatuhi. Raja juga bisa berbuat seenaknya walaupun dia bisa jatuh lantaran kudeta.
Tapi, Customer tidak boleh absolut kekuasaannya. Juga tidak harus selalu dituruti. Dan, tidak boleh berbuat seenaknya. Apalagi kalau jadi tuhan, lebih susah lagi Tuhan itu kebenaran, tidak terbatas, dan di atas rasionalitas.
Padahal customer is not always right bahkan customer is often wrong. Pelanggan juga terbatas kemampuan nya untuk membeli sebuah Service. Dan susah juga, kalau kita harus melayani Customer yang tidak mau diberi logika dalam menyelesaikan masalahnya.
Pendapat customer is king apalagi customer is god hanya berlaku pada era legacy yang vertikal, eksklusif, dan individual. CARE is not the old SERVICE wine in the new bottle! Karena begitu kita mulai peduli pada customer, kita harus benar-benar mengembangkan hubungan sebagai teman.
Konsekueansinya? Kadang-kadang, kita tidak bisa atau tidak mampu memberikan kepedulian itu sendiri. Karena itulah, perlu Collaboration dengan pihak lain supaya proses penyempurnaan QCD bisa menghasilkan suatu TRUE CARE.
Oursourcing sering dilakukan untuk menyempurnakan QCD. Lihat saja bagaimana Bank meng-outsource pekerjaan khusus mencari calon pemegang kartu kredit. Lebih banyak dan bagus prospeknya, lebih efisien dan lebih cepat, karena perusahaan outsourcer itu memang fokus pada tugasnya.
Kerjasama dengan pesaing bahkan tidak tabu untuk dilakukan di industri hotel. Kalau ada pelanggan loyal yang datang mendadak, bisa saja dioper ke hotel pesaing. Bahkan, inovasi untuk membuat produk baru demi kepedulian pada pelanggan, sudah sering dilakukan oleh external researcher.
Tanpa Collaboration, Care yang sesungguhnya sulit terjadi. Yang penting semuanya itu harus dilakukan secara skin level. Tapi, memang sesuai dengan Character sebuah Brand. Jadi, Brand-Service-Process telah berubah jadi Character-Care-Collaboration.
Bagaimana pendapat Anda?
build-access-manage at dayaciptamandiri.com