Translate

Monday, April 30, 2018

Speak with data

*Speak with Data*
@pmsusbandono
30 April 2018

Saya mendengar istilah itu pertama kali kira-kira 25 tahun yang lampau, dalam kesempatan mengikuti suatu pelatihan managemen. Minggu lalu, saya mendengarnya kembali. Kali ini dari seorang tokoh bisnis yang namanya sulit dipisahkan dari perusahaan yang pernah membesarkannya, Astra Group.  Dia adalah Theodore Permadi (TP) Rachmat, pendiri dan CEO dari Triputra Grup.  

TP Rachmat sedang memberikan pesan-pesan kepada kami, para praktisi managemen dan pengurus beberapa Rumah Sakit yang berlokasi di Yogya, Bandung dan Jakarta, tentang bagaimana bisnis dapat bertahan dan memenangkan pertandingan dalam iklim persaingan  yang bukan main ketatnya.  _Track record_  yang ditoreh selama hampir 50 tahun bergelut dalam bisnis lokal mau pun global, membuat pengalamannya sangat layak untuk disimak.

_"Speak with data"_ hanya satu dari tiga syarat penting bagaimana seorang  _leader_ mengelola organisasinya dengan baik dan benar dan menjadi  _the winner_.  Dua yang lain adalah  _"The Next Process is your Customer"_, dan _"Never Blame"_.

Saya tertarik dengan syarat pertama.  Untuk menanamkan pemahaman diri  yang lebih dalam, seusai acara  saya mengeksplorasinya kembali  melalui sumber-sumber lain yang tersedia.  Demikian rangkumannya :

_"Speak with Data"_  banyak dilanggar, tidak hanya oleh para pemimpin, tapi juga anggota-anggota tim; tidak hanya dalam skop organisasi, tetapi juga di kalangan masyarakat luas.

Siapa saja yang berucap, bertindak atau membuat kesimpulan, tanpa dukungan data yang valid, jelas kontra produktif.  Sering malah menggelikan meski tidak lucu.

Ada kisah tentang seorang CEO yang baru saja dilantik, yang ingin memberi pelajaran kepada pekerja yang tidak produktif, malas, atau tidak mendukung obyektif perusahaan yang baru dicanangkannya.

Saat dia melakukan  _Management by Walking Around_, dilihatnya seorang pemuda yang sedang  _leyeh-leyeh_ di sudut pabrik.  Dia tak mengerjakan suatu apa pun.  Peluru yang siap ditembakkan, langsung meluncur lewat larasnya. Sang CEO baru ingin menunjukkan kepada seluruh anggota tim tentang bagaimana dia memimpin.

_"Sudah berapa banyak uang yang kamu kontribusikan untuk perusahaan dalam bulan ini?"_.

_"Satu juta rupiah pak"_.

_"Kamu pemalas!. Teman-teman kamu bisa menghasilkan sepuluh juta dalam seminggu. Ini uang lima juta rupiah. Sejak hari ini jangan lagi berada di kawasan pabrik ini"_.

Merasa puas, sang CEO berteriak kepada mereka yang ada di sekitar kejadian.  _"Ada yang tahu apa yang dikerjakan si pemalas itu sehari-hari?"_.

_"Dia sering mengirim Pizza kemari. Dia kurir restauran sebelah"_.  Salah seorang pekerja menjawab dengan suara lirih sambil ketakutan.

Pesan moral dari kisah fiktif (atau fiksi?) itu adalah : _"Kumpulkan data, sebelum anda mengambil keputusan dan bertindaklah hanya berdasarkan data"_.

Bertindak tanpa data tidak hanya merugikan organisasi atau komunitas atau masyarakat saja, tapi bagaikan bumerang yang menghantam diri sendiri. Sang CEO, selain kehilangan lima juta rupiah juga melunturkan  _trust_  para pekerjanya. Lebih dari itu, semangat kerja tim yang semula baik-baik saja,  anjlog ke titik nadir.

Dengan bantuan teknologi, mengumpulkan data bukan langkah yang sulit. Kini, data dapat diunduh semudah memetik buah mangga dari pohonnya di kala panen. Berucap tanpa data, hanya menggambarkan kemalasan berpikir dan keengganan untuk mengumpulkannya saja. 

Sedikit lebih jauh dari itu, bisa jadi dia sedang berniat tak baik untuk menghantam pesaing atau orang yang tak disukainya. Hanya orang pandir yang berteriak tanpa data atau sengaja menggunakan data yang keliru.  Celakanya, banyak pula yang menjadikannya sebagai rujukan.  Apa pun, itu tindakan kontra produktif yang tak ada untungnya.

Data adalah bahasa universal. Dengan sedikit akal sehat dapat mudah memahami bagaimana suatu data "berbunyi".  Data  tak pernah menipu.  Menggunakan data yang baik dan benar, dapat mencegah kekeliruan dalam memutuskan sesuatu.

Jangan percaya begitu saja terhadap ungkapan hampa tanpa data di belakangnya. Tanpa data, suatu berita mudah tergelincir menjadi fitnah atau hoaks. 

_"In God we trust; all others must bring data"_. (W. Edwards Deming, 1900-1993, Ahli Statistik, Konsultan Managemen

#blockchain will change these

6 keys success of #IoT

Industry 4.0

The drivers of rapid #technology #adoption

Interoperability of #IoT

8 predictions of #AI in 2018

Smart Solutions for #smartcity

Living longer better lives with wearables #smarthome #smartcity

#cloud computing and the environment

8 Habits of #entrepreneur

Azure Stack architecture summary #cloud #ACCI

The Future of #cloud is dynamic

Different Types of #Fintech

Sunday, April 29, 2018

Visit Smart-Home City 3-5 Mei 2018


Begitulah Shifting Terjadi


*Hidup Lebih Baik yang Belum Tentu Disambut Baik*

*(Begitulah Shifting Terjadi)*

_oleh Prof. Rhenald Kasali_

Mungkin inilah zaman pertemuan dua generasi yang paling membingungkan sepanjang sejarah. Ini bukan soal generasi kertas vs generasi  digital semata. Melainkan soal di mana dunia kita berada, sehingga ekonomi menjadi berubah arah dan banyak yang bangkrut. Ini juga bukan soal kebijakan ekonomi, ini soal teknologi yang mengubah platform hidup, ekonomi dan kehidupan.

Saya menyebutnya shifting, tetapi sebagian besar ekonom "tua" menyebutnya resesi, pelemahan daya beli dan seterusnya. Saya menyebut apa yang dilakukan generasi Nadiem Makarim sebagai inovasi, bahkan disruption. Tetapi manajer-manajer "tua", bilang mereka "bakar uang."  Mereka bilang retail online kecil, tapi anak-anak kita bilang "besar"..

Saya bilang mereka punya "business model," tetapi regulatornya bilang itu sebagai industri predator. Maka regulasinya pun berpihak ke masa lalu.

Hari semakin petang saat satu persatu usaha konvensional berguguran, tetapi saya belum melihat yang tua ikhlas menerima proses shifting ini. Mengakui belum, blame jalan terus, tetapi usaha-usaha lama bakal berguguran terus.

 *Dari Armada laut ke retail dan bank* 

Tiga tahun lalu kita membaca tentang keributan dalam industri jasa angkutan penumpang taksi. Di sini mulai ramai pertempuran antara ojek pangkalan vs. Gojek. Lalu antara pengemudi angkot dengan Gojek. Disusul demo sopir taksi melawan taksi online.

Tahun lalu, korbannya adalah angkutan laut dan hotel. Produsen kapal asal Korea (Hanjin) meminta perlindungan bangkrut. Lalu disusul oleh Maersk dan Hyundai. Setelah itu Rickmers Group (Jerman), Sinopacific Dayang, Wenzhou Shipping dan Zhejiang (China). Jumlah kapal yang dibutuhkan oleh perdagangan dunia sudah berubah menyusul penggunaan telekomunikasi dan aplikasi baru yang serba tracking dan perubahan pola peletakan industri global.

Setelah itu tahun ini kita melihat empat industri: Mainan anak-anak, retail, perbankan dan industri-industri tertentu. Level of competition meningkat, dan pendatang-pendatang tertentu masuk dengan platform baru. Industri mainan anak-anak Indonesia mengeluh penjualannya drop 30%, karena masih mengandalkan mainan berbahan plastik. Jangankan mainan anak-anak seperti itu, boneka Barbie saja pun kena imbas. Bahkan Toy 'R' Us di Amerika mengajukan pailit.

Sementara industri mainan anak-anak konvensional kesulitan, industri pembuatan game online di Indonesia berkembang pesat. Diduga omsetnya mencapai USD 10 juta.

Kita juga membaca satu per satu retail di Indonesia menutup outletnya. Terakhir Debenhams dan Lotus. Tapi nanti dulu, itu bukan cuma terjadi di sini. Di USA, tahun ini saja sudah 1430 toko milik Radio Shack yang ditutup, lalu 808 outlet milik toko sepatu Payless, 238 outlet Kmart, 160 toko Crocs (sepatu), 138 outlet JC Penny, 98 Sears, 68 Macy's, 70 outlet CVS, 154 toko untuk Walmart, 128 outlet Michael Kors dan seterusnya.

Dari Jepang pagi ini saya mendengar Mizuho bank akan mengurangi 19.000 dari 50.000 karyawannya setelah keuntungannya banyak dimakan fintech.  Ini sejalan dengan bank-bank nasional yang mulai melakukan hal serupa, minimal tak lagi membuka cabang baru.

Jadi kalau kita melihat baru beberapa toko besar yang ditutup di sini, dan mulai sepinya belanja di Glodok dan toko grosir Tanah Abang, maka sesungguhnya itu belum seberapa. Ini baru tahap awal. Nanti, saya bisa ceritakan bahwa, brand pun berubah bagi millennials: Branded (luxuries) akan menjadi public brand.

 *Bencana atau peluang* 

Shifting tentu berbeda dengan krisis atau resesi yang lebih banyak dipandang sebagai bencana yang amat memilukan. Shifting dapat diibaratkan Anda tengah bermain balon eo'. Masih ingatkah balon yang terdiri dari dua buah dan berhubungan. Kalau yang satu ditekan, maka anginnya akan pindah ke balon yang besar dan berbunyi eo', eo' …

Ya seperti itulah. Angin berpindah, lalu ada yang terkejut karena terjepit dan ruangnya hampa. Manusia-manusianya akan bertingkah polah mirip cerita Who Moved My Cheese. Manusianya bolak-balik kembali ke tempat yang sama dan berteriak-teriak marah: Kembalikan keju saya! Kembalikan! Duh, siapa yang mencurinya? Siapa yang memindahkannya?

Padahal, menurut Ken Blanchard & Johnson yang menulis perumpamaan itu, keju adalah symbol dari apa saja yang membawa kebahagiaan. Ia bisa berupa kue, pekerjaan, kekasih, kekayaan, perusahaan, atau bahkan keterampilan. Dan semuanya tak abadi, bisa pindah atau dipindahkan "ke tempat" lain.

Dan di dalam cerita itu disebutkan ada dua ekor tikus yang selalu bekerja dan mencari "keju" itu ke tempat lain. Anda yang mempunyai "Shio" tikus barangkali punya perilaku yang sama: Tak bisa diam di tempat. Nah, keduanyalah yang menemukannya. Ternyata di tempat lain itu ada keju-keju lain yang sama nikmatnya dan jauh lebih besar.

Mereka menuding resesi atau daya beli itu ibarat "manusia" tadi. Tidak bisa melihat keju yang telah berpindah ke tempat lain. Ia hanya mengais rejeki di tempat yang sama. Resesi atau lemahnya daya beli, kalau balon, maka itu diibaratkan satu balon yang mengempis atau kalau krisis, balonnya pecah.

Dan harap diketahui kita baru saja berada di depan pintu gerbang Disruptions. Saya harap Anda sudah membaca bukunya. Dalam proses disruption itu, teknologi tengah mematikan jarak dan membuat semua perantara (middlemen) kehilangan peran. Akibatnya margin 20-40% yang selama ini dinikmati para penyalur (grosir – retailer) diserahkan kepada digital marketplace (± 5%), seperti Tokopedia, Bukalapak, OLX, dan konsumen. Konsumen pun menikmati harga-harga yang jauh lebih terjangkau.

Ditambah lagi, kini generasi millennials telah menjadi pemain penting dalam konsumsi. Dan tahukah Anda, setidaknya satu dari beberapa anak Anda telah menjadi wirausaha baru. Mereka beriklan di dunia maya seperti di FB dan IG, dan mendapatkan pelanggan di sana, berjualan di sana, dan perbuatannya tidak terpantau regulator bahkan orang tua mereka sekalipun.

Di era ini, para pengusaha lama perlu mendisrupsi diri, membongkar struktur biaya, bukan bersekutu dengan regulator, mengundang kaum muda untuk membantu meremajakan diri, agar siap bertarung dengan cara-cara baru. Biarkan saja kaum tua meratapi hari ini dengan mengatakan daya beli, krisis, atau resesi.

Dunia ini sedang shifting. Orang tua-orang tua muda sedang memangku cyber babies, kaum remaja terlibat cyber romance. Mereka belajar di dunia cyber, dan menjadi pekerja mandiri. Dan masih banyak hal yang akan berpindah, bukan musnah. Ia menciptakan jutaan kesempatan baru yang begitu sulit ditangkap orang-orang lama, atau orang-orang malas yang sudah tinggal di bawah selimut rasa nyaman masa lalu.

 *Ayo ikuti shifting ini, terlibat dan ambil bagian di dalamnya*

Baca tulisan yang ada kebenaran fakta adalah pencerahan bagi mindset.

Terimakasih Prof @Rhenald Kasali sudah sharingkan bagi kami, Yakin Bermanfaat👍🏻🙏🏻

PELAJARAN PENTING DARI SEMUT

*PELAJARAN PENTING DARI SEMUT*

Ada 6 hal yg patut kita pelajari dari semut :

1. Semut TAK PERNAH PUTUS ASA
Coba bentangkan tangan untuk menutup jalan yg di lalui semut.
Semut tak akan putus asa, apalagi berhenti, tapi terus mencari rute lain.
Sudahkah kita Memaksimalkan Kerja & Tak Pernah Putus Asa dalam menjalani hidup ini?

2. Semut RAJIN LUAR BIASA
Pernahkah melihat semut tiduran & santai-santai?
Semut selalu aktif bekerja mengangkut makanan.
Bekerja merupakan bagian penting dari hidup semut.
Semut tidak pernah merasa bosan dg apa yg dia lakukan setiap hari, sebab semut Mempunyai TUJUAN & ARAH HIDUP.
Apakah kita sudah mempunyai arah & tujuan di dalam hidup kita sekarang?

3. Semut itu KUAT
Semut sanggup mengangkat beban yg jauh lebih besar dari tubuhnya.
Semut Tak Pernah Mengeluh, apalagi menyerah.
Mampukah kita menghadapi masalah hidup & Tetap Optimis seperti semut?

4. Semut BERJIWA SOSIAL
Apa yg di lakukan semut ketika makanan yg hendak di angkut terlalu berat?
Semut tidak mempunyai sifat egois, mereka akan tolong menolong & mengangkatnya ber-sama².
Apakah kita egois atau Berjiwa Sosial seperti semut?

5. Semut CEPAT MELIHAT PELUANG
Semut cepat hadir ketika dia mengetahui ada peluang untuk mendapatkan makanan.
Semut tak akan me-nyia2kannya, sebab semut tahu peluang hanya datang sekali saja.
Apakah anda termasuk orang yg bisa menggunakan peluang dg baik?

6. Semut SELALU MENYALAMI semut lain saat berpapasan
Begitu juga dgn kita, belajarlah untuk selalu saling menyapa.

Semoga kita bisa mencontoh sifat semut & mengembangkannya menjadi kebiasaan yg positif untuk hidup yg lebih baik. 

SEMOGA SEMUA MAKHLUK BERBAHAGIA! 🙏

SEEING IS BELIEVING

SEEING IS BELIEVING

Maya Angelou, seorang penulis dari Amerika, pernah berkata,"A solitary fantasy can transform million realities".
(Sebuah fantasi bisa mengubah jutaan realita).
Masalahnya, apakah fantasi anda? Apakah mimpi anda? Apakah cita-cita anda?

Seorang murid SMA, sebut saja namanya Dila, bertekad keras untuk mendapatkan beasiswa ke Amerika. 
Dia mencetak foto Universitas yang dia inginkan, ukurannya A3. Dia belajar keras sejak kelas 1 SMP selama 6 tahun.
Setiap kali foto itu memotivasi dan memompa semangat belajarnya.
Enam tahun kemudian, Dila mendapatkan beasiswa ke lima negara. Dan akhirnya Dila memilih ke Ohio.
Seeing is believing!

Pada tahun 1990-an, seorang mahasiswa di Medan, sebut saja namanya Tomi, hidup dalam kekurangan. Saat bangun tidur dia melihat buku tabungannya, dan isinya hanya 10 ribu rupiah. Dia bertekad akan bekerja keras agar tidak kekurangan lagi. Dia ambil pensil dan dia tambahin angka nol sebanyak enam buah. Dia ingin mempunyai tabungan senilai 10 Milyard. Akhirnya dia bekerja keras seumur hidupnya. Setiap kali dia melihat ke buku tabungannya dan begitu memotivasinya. Dan akhirnya dua puluh tahun kemudian Tomi berhasil mempunyai tabungan senilai 30 Milyard. Tiga kali lipat
lebih banyak dari mimpinya.
 Seeing is believing, again!

Tomi dan Dila mengerti bahwa satu-satunya orang yang mampu memotivasi mereka adalah diri mereka sendiri.
There is no such things as "motivator", it is a stupid word. Please never call anyone a motivator. You can call them coach, trainer, mentor ... whetever. But not motivator. Because nobody can motivate anyone else. Satu-satunya orang yang bisa memotivasi anda adalah diri mereka sendiri.

Seperti Tomi dan Dila, anda harus mempunyai cita-cita, mimpi yang akan ingin anda wujudkan, kemudian anda visualisasikan, kemudian anda memotivasi anda sendiri dan tentu saja anda bekerja keras untuk mencapainya.

How to do it?

a) DREAM IT

Tanyakan pada diri anda, apa yang ingin anda capai? Jangan takut bermimpi, gratis! 

b) DRAW IT

Gambarkanlah masa depan yang anda inginkan, visualisasikan.

c) SEE IT

Lihatlah gambar itu setiap hari. Imagine how great your life will be. Setiap kali semangat anda turun, lihat lagi gambar itu , sayang banget kalau cita-cita anda tidak tercapai!

d) BE OBSESSed with IT

Terobsesilah dengan mimpi anda.
Jangan mau menerima keadaan saat ini, jangan pasrah, jangan menyerah!

e) WORK hard on IT

Finally, bekerja keraslah untuk mencapainya.
Satu satunya hal yang membatasi diri anda dengan apa yang ingin anda capai adalah diri anda sendiri.
Orang yang sukses itu seringkali tidak lebih cerdas dari yang lain.
Mereka hanya bekerja keras lebih keras daripada yang lain!

Ok, it is to dream, create your fantasy and draw it.
Because... a solitary fantasy can transform into million realities.

Salam Hangat

Pambudi Sunarsihanto

Saturday, April 28, 2018

Cloud Hosting vs Shared Hosting: 7 (Important) Differences

Cloud Hosting vs Shared Hosting: 7 (Important) Differences

Perhaps we should begin with the three things that the two have in common: the web hosting provider, servers, and websites. Unfortunately, this is as far as the similarity goes.
Whereas shared hosting can boast being the most popular of all the hosting plans, all its accolades fade when put against the new features that cloud hosting brings.
Key features we'll be looking out for include uptime, support, security, pricing, performance, speed, and bonuses. Each certainly fairs differently under each of these spaces and that's actually where the majority of the differences lie.
Although shared hosting has been part of web hosting history for the longest time,cloud hosting (or Cloud VPS) first came onto the web hosting scene in 1996. And since it came along, it has been gaining momentum. So let’s dissect the two, cloud hosting vs shared hosting, to see what sets them apart.

What Is Shared Hosting?

cloud hosting vs shared hosting
Shared hosting refers to the hosting plan that has multiple websites hosted together and sharing resources on one server (disk space, storage, bandwidth and databases etc).
Most, if not all the web hosting providers offer this hosting plan. Shared hosting requires a dedicated web server provided by the web hosting provider.
Advocates for shared hosting appreciate its cheap cost and ease of use when it comes to features. It is however not the best option for websites with a lot of traffic.

What Is Cloud Hosting?

cloud hosting vs shared hosting
Cloud hosting is where your website is hosted on a cluster of servers instead of having your site hosted on one server. In case of an issue, your site can be migrated to another server. 
Based on the cloud computing technology, it allows numerous machines to work in synchrony as one entity. The success of cloud hosting is guaranteed by the presence of many servers.
Proponents for cloud hosting love it for its speed and flexibility. In addition, engineers can quickly pull resources since high traffic is a norm for this hosting service. If you need more explanation about cloud hosting, please check out the following video: 

Features of Cloud Vs Shared Web Hosting

Uptime
Shared hosting may guarantee 99.99% uptimes, however, it is challenging to live up to that. One major reason for this is the shared nature of the services. If one website experiences unprecedented high traffic could cause downtime issues with all the websites on that server.
Cloud hosting, on the other hand, has impeccable uptimes since the users are on a dedicated server. Even though there is an aspect of shared resources, problems on one server only mean websites are moved to another functioning server.
Support
Cloud hosting has an upper hand in this regard. Even the advanced users as well (those on cloud) tend to have more features. They have unlimited everything, from storage to bandwidth and databases.
Shared hosting is prone to more limits than the web host cares to divulge. Although the plan promises unlimited resources, if the monitoring team notices a user overusing the limited resources repercussions like suspensions can occur.
Bonuses
In this instance, shared hosting are clear winners. Since every web hosting company is trying to attract the huge client base of shared hosting, free bonuses abound for all. This can range from domain names to free web transfers and website builders. This is a plus for users on shared hosting.
Cloud users are not prone to such offers or have very limited options.

Benefits of Shared Web Hosting Vs Cloud Hosting

Security

Shared Hosting
In shared hosting, the security is based on databases and applications which make them vulnerable to hackers. This is because once one has access to one shared hosting server, it is easier to access the other websites on it. And once a website has been hacked into, most intruders leave a back door to gain entry again later.
Since the security threats on shared host are prevalent, most web hosts advise users to keep their computers safe using reliable update antiviruses like Norton Internet Security or Kaspersky Internet Security. They also advise on using strong passwords and keeping your cPanel password away from any files on your account. Also, disable unnecessary options on your PHP settings to enhance security.
Cloud Hosting
Cloud hosting security management deals with arising issues using security control. There are four major controls behind the architecture of cloud hosting security:
  • ​Deterrent controls
  • Preventative controls
  • Detective controls
  • Corrective controls.

While cloud hosting services encounter traditional security issues like network eavesdropping, illegal invasion, and cloud-specific ones like abuse of cloud services and side channel attacks, the service has clamped down on data confidentiality, data access control, and data integrity. On top of that, the hosting service has also incorporated encrypted algorithms to further protect privacy and data.
Winner
Cloud hosting – for the simple reason that the service provides the users absolute control when it comes to security by virtue of having dedicated servers. In case of problems with hardware, your website is migrated to a stable server.

Performance

Shared Hosting
Even with custom built servers and SSD servers, the resources on shared hosting are a limiting factor that impedes speed. Although there are companies that have done very well in this aspect, most web hosts struggle with being able to offer adequate resources for this popular segment of their clientele. In addition, you may have to contend with issues of constant downtimes and outages.
Cloud Hosting
With cloud hosting, you can expect an ultra-fast, auto scalable and customizable platform. In instances of high traffic, the site doesn’t bulge. In fact, cloud hosting is recommended for sites that experience a lot of traffic
Winner
Cloud hosting – having a lot more resources at the user’s disposal provides them with the ability to perform at optimum.

Speed

Shared Hosting
The servers powering shared hosting are almost always full to capacity. This means that if one website gets a sudden influx of traffic, all the other websites are afflicted with slow speeds which translates to terrible load times. In case of slow speeds, user have to wait until the issue is resolved to resume their normal online presence.
Cloud Hosting
Once again, it all comes down to the distribution of resources. Servers running cloud hosting , on the other hand, allocate all their resources to one website: yours! Whenever a hardware issue is detected, your website doesn’t stay stuck in the nonfunctional server.
Winner
Cloud hosting – the availability of resources means you have enough at your disposal to keep your website running at excellent speeds.

Pricing

Shared Hosting
Sharing server space always translates to cheap prices for all the website hosted. This is because while the resources are shared, the cost of the service is also spread out across all on board. With shared hosts, the payment is done on a monthly basis or locked down for a year to three years. In fact, to enjoy the lowest prices, you may need to lock down a longer period.
Cloud Hosting
Most users of cloud hosting will tell you that they don’t pay for services on cloud hosting when they are not using them. Having said that, the cost will come down to how you build your infrastructure.
If you have numerous apps in your cloud and don’t keep track of them, you will end up with an expensive bill. However, if you have clearly mapped out objectives for your cloud that you are following, you will have a leaner cheaper bill.
Winner
Shared hosting – Since the payment is done on a monthly or yearly basis, you do not run the risk of overusing resources and paying more.

Conclusion

So our cloud hosting vs shared hosting contest ends there and in summary, shared hosting gets an edge over cloud hosting when it comes to pricing and bonuses. It’s a perfect plan for those on a budget or small business owners because they can have access to all the basic features they need to get started and do so affordably.
Cloud hosting, on the other hand, takes the crown when it comes to security, uptime, speed, performance, and uptime. All the features packed into this plan making it ideal for medium to large sized business or generally those websites that tend to receive huge traffic.
source: https://startbloggingonline.com/cloud-hosting-vs-shared-hosting/

#IoT in manufacturing

Waste managements in #smartcity

#IoT Threat Map

Google Drive for Your life

Are You ready to EduTech explosions

Anatomy of a #crypto-ransonware attack

An #innovation matrix for #startup #digitaltransformation

30 neeeds with #customers

Improve #Customer #Engagement with #Analytics

Thursday, April 26, 2018

BE CAREFUL WITH A JOB OFFER, TAKE IT AT YOUR OWN RISK!


Aris tiba-tiba menelpon saya, saat saya masih di Malang.
Dia bilang,"Kayaknya saya akan mendapatkan job offer. Tapi saya galau juga nih, mau diambil atau tidak ya?"

Aris saat ini bekerja sebagai seorang IT consultant di sebuah perusahaan consulting internasional. Dan karena expertise dan networkingnya, dia mendapatkan job offer menjadi IT advisor di sebuah State Owned  Company. Dia sangat excited, meskipun dia galau.

Saya bisa membaca pikiran Aris (really, I am a mind reader 😁). Dia sangat excited dengan gaji yang akan diterimanya (naik 30 percent, tambah joining bonus). Tapi dia galau karena dia bertanya-tanya, apakah dia akan "senang" bekerja di sana?

Pertanyaan klasik, dan sering dialami banyak di antara kita.
First thing first, let me tell you this.
Tidak ada satu orang pun yang sedemikian bodohnya, untuk memberikan gaji yang 30 percent lebih mahal, dan anda akan mengerjakan pekerjaan yang lebih mudah! Berhentilah bermimpi di siang bolong! Gak ada itu!

Kedua, berarti pekerjaan yang baru nanti akan lebih sulit, bebannya lebih berat, dan akan membuat anda lebih stress, minimal 30 percent lebih banyak, mungkin malah limapuluh percent! Ya iyalah, that s the rule of the business.
Saya pernah menghadapi anak-anak muda unyu-unyu bau kencur, yang belum bisa buang ingusnya sendiri, yang resign dengan gaji 40
percent lebih tinggi, dan 2 bulan kemudian nelpon saya,"Pak Pam, can I come back?"
Ternyata pekerjaan di sana jauh lebih berat, dia jauh lebih stress, dan ternyata 40 percent kenaikan gajinya tidak seimbang dengan berat dan stress pekerjaannya sekarang.
Hati-hati memilih pekerjaan, jangan terkesima dengan gajinya saja!

Apalagi dalam kasusnya Aris di atas, dia mau pindah industry, pindah company, dan pindah dari multinasional ke State Owned Company!
Baru pindah perusahaan dalam industry dan sektor yang sama saja bisa pening kepala menyesuaikan diri. Dalam kasusnya Aris, kepalanya bisa pecah karena pening tiga kali.

Terus bagaimana? Harus hati-hati mengevaluasi sebuah job offer.

a) THE INDUSTRY

Is the industry still growing? Masih tumbuh gak? Cek laporan keuangan dari 2-3 perusahaan di industry itu.

b) THE COMPANY

Cek budaya kerja (culture and way of working) di sana. Lihat bagaimana mereka me-reward karyawan dan leader mereka. Apakah mereka mendapatkan  bonus maksimal karena hasil sales saja, atau mereka mengukur dan memperhatikan juga masalah leadership dan employee engagement. Remember, what get measured get done!

c) THE LEADER

Anda kan punya teman-teman kuliah dulu yang juga bekerja di sana. Tanyakan ke mereka, bagaimana bos-bos di sana? Baik-baik? Memperhatikan dan mengembangkan anak buahnya? Atau jangan-jangan banyak yang menjilat atasan dan menindas bawahan? (Kiss up and exploit down?)

d) THE TEAM

Tanyakan apakah sesama team mereka having fun? Bekerja bersama? Kolaborasi? Atau banyak yang saling menusuk dari belakang!"?
Pekerjaan anda pasti targetnya , pasti stress  bertambah.
Kalau ditambah lagi dengan stress mengelola boss anda dan mengelola team anda, tanyakan pada diri anda sendiri, kuatkah anda?

e) YOUR CAREER DEVELOPMENT

Anda adalah pilot dari karier anda sendiri . Jadi terus-terang jangan banyak berhara bahwa perusahaan akan mengembangkan karier anda. Forget about that. Tetapi setidaknya anda bisa mempelajari apakah perusahaan itu akan menjadi tempat yang baik untuk mengembangkan diri anda ...
Apakah pekerjaannya rutin, atau anda akan berkesempatan mengembangkan skills tertentu?
Apakah anda akan bisa melatih leadership and influencing anda?
Apakah banyak competence baru yang akan anda serap (misalnya karena anda akan bekerja di bidang yang baru, perusahaan baru atau industry baru)?

Ok, Aris, hati-hati ya ...
Rumput di halaman tetangga memang selalu lebih hijau. Tapi cek dulu lima perspective di atas sebelum memutuskan untuk pindah pekerjaan.

Jangan sampai anda seperti Dilan yang akan bilang,"Milea,
pindah kerja itu berat, kamu jangan. Biar aku saja!"

Salam Hangat

Pambudi Sunarsihanto

#Teamwork

Top 5 Barriers to #cloud in 2018 #ACCI

Top 10 #digital #transformation 2018

Personal Data Ecosystem

Great minds

More more more #leadership

3 skills needed for Data Science

Sunday, April 22, 2018

KAMPUS DISRUPTIF

Kompas, 19 April 2018

KAMPUS DISRUPTIF

Oleh :

ARIF SATRIA

Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB)

 
Pada awal April 2018 ini Kementerian Perindustrian RI meluncurkan Making Indonesia 4.0 yang berisi peta jalan revolusi industri 4.0 di Indonesia. Peristiwa ini bagian dari upaya merespons apa yang ditulis Klaus Schwab (2017) dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution. Kalau peta jalan industrialisasi telah tersusun, bagaimana dengan peta jalan pendidikan tinggi (PT) untuk merespon Revolusi Industri 4.0?  Bagaimana posisi PT dalam peta perubahan ini dan bagaimana strategi adaptasi terhadap perubahan ini?

Kini kita telah berada dalam era Revolusi Industri 4.0 yang menurut Klaus Schwab (2017) sungguh berbeda dari era sebelumnya. Revolusi Industri 1.0 dicirikan dengan tumbuhnya mekanisasi dan energi berbasis uap dan air. Revolusi Industri 2.0 dicirikan dengan berkembangnya energi listrik dan produksi massal. Revolusi Industri 3.0 dicirikan dengan tumbuhnya industri berbasis elektronika, teknologi informasi, serta otomatisasi. Revolusi Industri 4.0 dicirikan dengan berkembangnya Internet of/for Things yang diikuti dengan teknologi  baru dalam ilmu data, kecerdasan buatan, robotik, cloud, cetak 3 dimensi dan teknologi nano, yang telah mendisrupsi inovasi-inovasi sebelumnya.

Dengan perkembangan teknologi tersebut, kini Orang bisa berjualan tanpa harus punya toko. Orang bisa berbisnis taksi tanpa harus punya mobil. Kondisi inilah yang telah membuat hilangnya sejumlah pekerjaan. Namun, sebenarnya era baru ini telah menciptakan berbagai jenis pekerjaan baru yang menggantikan pekerjaan lama. Di Amerika Serikat, ada 3.508 yang hilang tapi ada 19.263 jenis pekerjaan baru yang dibuat. Sementara itu pada tingkat global, ada sekitar 75 hingga 375 juta pekerja perlu beralih ke pekerjaan baru dengan keahlian baru (Global Institute Analysis Mc Kinsey, 2017).

Dinamika perubahan di atas semakin tak terelakkan. Namun persoalannya percepatan perubahan teknologi lebih tinggi dari apa pun, khususnya kultur, kebijakan publik, riset, maupun pendidikan. Inilah yang dalam sosiologi dikenal dengan istilah kesenjangan budaya (cultural lag)yang menunjukkan bahwa perubahan kebudayaan material belum diikuti oleh kebudayaan non-material. Pertanyaannya apakah PT akan mampu  beradaptasi?

 
Dampak dan Strategi

            Dimana posisi PT dalam empat tahapan revolusi industri di atas? Secara kasat mata nampaknya kebanyakan PT di Indonesia belum masuk dalammindset revolusi industri 4.0. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah ciri konvensionalnya dalam keilmuan dan riset, kurikulum, metode dan teknologi pembelajaran, manajemen organisasi dan proses bisnisnya. Dengan melihat ciri-ciri tersebut bisa jadi PT kita masih berada pada zona revolusi industri 3.0. Namun demikian, kehidupan sehari-hari dosen dan mahasiswanya mungkin sudah memasuki era 4.0 dimana konektivitas sudah makin tak berjarak, melek media sosial, bisa memanfatkan teknologi kecerdasan buatan, menyenangivirtual reality, cenderung aktif membaca media daring, dan mulai aktif dalam bisnis secara daring. Persoalannya, kehidupan keseharian tersebut belum sepenuhnya mampu ditransformasikan ke dalam praktek secara institusional PT. Dengan demikian sebenarnya ada kesenjangan antara pola kehidupan personal dengan institusi PT. Secara personal sebagian sudah mencirikan generasi Revolusi Industri 4.0, namun secara institusi masih berciri tahap Revolusi Industri 3.0. Pertanyaannya, langkah apa yang mesti dilakukan PT untuk bisa segera memasuki era 4.0 ini?

Beberapa Langkah Penting 

            Faktor disrupsi tidak hanya bertumpu pada perubahan teknologi akibat Revolusi Industri 4.0, tetapi jufga perubahan struktur demografi, perubahan iklim, globalisasi, serta perubahan peta geopolitik. Oleh karena itu strategi PT menghadapi disrupsi mestinya juga memperhatikan sejumlah faktor tersebut. Ada beberapa langkah penting sebagai berikut.

Pertama, perubahan mindsetatau orientasi PT dari "konsumen" ke "produsen" dalam bentuk karya ide, pemikiran, pengetahuan, teori atau barang.  Perubahan ini akan tercermin dari  neraca aktivitaskeseharian kita: apakah akan lebih diwarnai dengan aktivitas unggah(upload) atau unduh (download). Seringnya kita  mengunggah akan menjadi bukti bahwa kita adalah pemain di era disrupsi ini. Selama ini kita hanya penonton perubahan  dengan lebih banyak aktivitas unduh. Disinilah mestinya PT memiliki orientasi unggah dengan memperbanyak karya riset dan inovasi untuk menginspirasi dan memberi manfaat untuk publik baik pada level lokal maupun global. PT dari hasil risetnya mampu memproduksi pengetahuan dan teori baru sehingga memberi warna bagi ilmu pengetahuan dunia.  Perubahan orientasi ini penting seiring harapan publik sejak dulu yang menganggap bahwa PT adalah sumber perubahan, penentu kecenderungan, dan bukan penonton perubahan. Mestinya PT bisa berciri 5.0 di saat industri baru memasuki 4.0.

Kedua, pengembangan keilmuan baru yang lebih transdisiplin dan peta jalan riset yang responsif terhadap Revolusi 4.0 dan faktor disrupsi lainnya. Ilmu data, kecerdasan buatan,drones, robotik, teknologi  nano,complexity dan sustainability sciences perlu didorong. Dalam pertanian, pertanian presisi melaluismart agriculture and fisheriesharus dikembangkan. Disinilah diperlukan program studi atau peminatan baru yang mengenalkan keilmuan baru. Namun  demikian dimensi kemanusiaan tetap harus mewarnai sejumlah inovasi.

Ketiga, transformasi kurikulum yang adaptif terhadap tumbuhnya generasi milenial dan tantangan disrupsi. Disinilah perlu integrasi dan harmonisasi kurikulum dengan ekstra kurikuler yang mampu memperkuat karakter, kompetensi, dan soft skill mahasiswa yang kompatibel dengan tuntutan perubahan. Di era disrupsi ini, soft skill milenium dan jiwa kewirausahaan harus diperkuat karena jiwa inilah yang akan dapat mendukung orientasi sebagai "produsen". Mahasiswa perlu dirangsang untuk mengembangkan bisnis rintisan (start up).

Keempat, teknologi pembelajaran yang adaptif terhadap kultur milenial. Beberapa kampus besar dunia telah mengembangkan massive open online courses (MOOCs). Dengan demikian  mata kuliah yang disampaikan secara daring sudah menjadi tuntutan. Akan tetapi perlu juga dipikirkan bagaimana model daring tetap mampu menyentuh penguatan karakter dan soft skillmahasiswa.

Kelima, perlu kelincahan organisasi PT dalam mengelola sumberdaya, menangkap peluang-peluang baru, serta membangun kolaborasi.

Kelima hal tersebut perlu regulasi yang progresif untuk memayungi perubahan-perubahan yang ada di PT, sehingga PT kita tidak saja bisa berciri 4.0 tetapi bisa melampaui menjadi 5.0 dan sekaligus sebagai penentu perubahan.
###

Saturday, April 21, 2018

WOMEN ON TOP ( Developing Women as Business Leaders)

WOMEN ON TOP
( Developing Women as Business Leaders)

Beberapa hari yang lalu saya  dinner dengan seorang (woman) business leader. It is a very interesting conversation and sharing from many different perspectives.
She is intelligent, competent and confident.Plus she is very beautifull. Aperfect combination to break any man's heart.
Dan ini mengingatkan saya tentang begitu banyaknya wanita yang sekarang menjadi senior business leader.  Di beberapa perusahaan di Indonesia sekarang sudah sangat jamak melihat beberapa wanita duduk di Board of Directors di perusahaan itu.  Dan memang kelihatan sekali manfaatnya.

A diverse team make much better decision and in the end will perform much better. Jaman dulu kita melihat banyak team yang background nya sama (jenis kelamin yang sama, suku yang sama, atau agama yang sama ....dll). Tim yang seperti itu biasanya akan mengambil keputusan secara cepat, karena mereka berfikir dengan cara yang sama (dengan background yang hampir sama). Tetapi tim seperti ini kadang kadang mengambil keputusan yang salah (because they did not look at things from many perspective before they make the decision). While a diverse team from different background took longer to make decision, melihat sebuah permasalahan dari berbagai perspective, dan biasanya mengambil keputudan yang lebih tepat.

Waktu saya menjadi Head of Talent Development Asia Pacific, Saya pernah menjadi leader dari sebuah team yang terdiri dari 16 orang dengan background yang berbeda beda ( pria & wanita, 5 agama yang berbeda, dan  8 nationality yang berbeda beda).
It was fun. We had a lot of debates. We made better decision and we perform much better.

Di perusahaan di mana saya bekerja sekarang juga ada program development for women.
Banyak effort dilakukan perusahaan perusahaan dalam hal ini. Dan hasilnya pun sangat terasa dengan banyaknya women leaders yang naik ke posisi puncak.

Meskipun saya juga mengamati beberapa hal yang menurut saya adalah kesalahan fundamental di beberapa perusahaan lain.
Beberapa teman saya bercerita bahwa ada program seperti itu di perusahaannya.
Terus saya bertanya apa saja content dari program tersebut?
Dan mereka menjawab bahwa isinya adalah business strategy, people leadership, financial understanding ..etc.
Nooooo .... it should not be the case.

Do you think women executives don't know those content already? They already knew them, and in many cases, better than men. Often the challenge for women to develop their careers is not in the competence itself.
Seringkali seorang wanita harus juggling dengan many priorities.
Mengurusi rumah tangga, mengurusi anak-anak, ditambah dengan pekerjaan yang dengan beban yang makin menumpuk dan menambah stress .
How do you expect them to perform at maximum level?
Sementara  bebeapa pria  hanya mengurus masalah pekerjaaan dan menyerahkan semua urusan rumah tangga dan anak-anak ke istrinya?  Is it a fair competition?

Jadi, untuk develop women as a leader, harus dipikirkan dari 3 perspective:
- supporting infrastructure
- training
- mentoring

Untuk supporting infrastructure, sebaiknya kita memikirkan hal-hal ini:
- flexible working schedule and place
- access to networking groups
- competitive maternity benefits
- lateral and vertical areer move, pengembangan karier secara promosi maupin rotasi pada level yang sama tetapi mengerjakan role yang berbeda

Untuk training, selain content tentang leadership development, harus ada penambahan khusus tentang:
- assertiveness
- personal branding
- empowerment
- time, priority and stress managenent

Untuk mentoring, harus ada senior leaders yang meluangkan waktu untuk melakukan mentoring discussion dalam hal-hal ini
- Initiative and risk-taking
(Learn to raise hand, take initiative, speak up, challenge how things are done, propose new solution and take risks)
- develop career
(View career as lateral movement rather than a ladder. This allow greater exploration and can obtain the skills in different function that are helpful for leadership.
- Stretch job experience
Seeking stretch job assignment, taking on high visibility projects, and volunteering for new opportunities.

Again those are some best practices that you can do in your company.
Tetapi sebagai individu, anda juga bisa mencobanya sendiri untuk meningkatkan leadership capability anda.

Karena pada akhirnya, your career development, is your own responsibility.
While the company, your HR, your manager can help you, but in the end f the day, you have to be the pilot of your own development.

Salam Hangat,

Pambudi Sunarsihanto