Translate

Wednesday, June 08, 2005

Entrepreneur Indonesia

Dalam sebuah kesempatan, saya bertemu dengan tidak sengaja dengan salah satu rekan perjuangan. Saya pikir istilah rekan perjuangan ini lebih tepat, karena sebenarnya kami sama-sama memiliki keinginan besar untuk membuat lingkungan yang lebih membuat entrepreneur-entrepreneur muda Indonesia dapat bermunculan, tumbuh dan berkembang.

Adapun beliau adalah pemimpin redaksi majalah Entrepreneur Indonesia, sebuah majalah yang secara khusus bagi segmentasi entrepreneur. Kami berbicara dan berdiskusi tentang beberapa hal, adapun pertanyaan saya yang pertama adalah berapa banyak oplah majalah tersebut.

Kami menyadari beberapa hal yang sebenarnya melandasi perjuangan kami, betapa kami rindu untuk melihat entrepreneur tumbuh subur di Indonesia, sementara kami berbincang, di luar sana, para pelaku entrepreneur, baik dari skala kecil, mulai dari si Amir - penjual koran, si Anto - penjual Aqua di lampu merah, si abang kita yang mulai mengangkut barang kakilimanya dengan bis untuk berjualan di jatinegara, si Akong yang keluar masuk toko berjualan obat, si Umar sang makelar mobil di tebet, si tono yang kerjanya membantu mengurus aneka surat-surat, semuanya punya tujuan satu - menghidupi diri dan keluarganya dengan kemampuan yang mereka miliki - meskipun sangat kecil.

Jadi tidak ada bedanya, yang berkemeja rapi di belakang meja, mencari peluang bisnis, memikirkan ide, menjual, menghitung profit, ataupun yang berkeringat deras menunggu jualannya laku, menukarkan uang kembalian, menghitung profit dan memikirkan ide2 pengembangan usahanya sambil menghisap rokok. Kami semua bertujuan sama.

Inilah Indonesia, dengan keragamannya, dengan berbagai suku bangsanya, semuanya berusaha, berjuang menghidupi diri dan keluarganya. Sekarang yang jadi pertanyaan, apakah kita semua memang dipersiapkan untuk menjadi entrepreneur ?

Apakah kita cukup bangga bertitelkan "wiraswastawan" ? Apakah orangtua, keluarga kita cukup bangga memiliki keluarga seorang "wiraswasta" ? Apakah sekolah dan lingkungan kita mendukung dan mempersiapkan kita untuk menjadi seorang wiraswasta / entrepreneur ? Apakah kita memang sekolah dan kuliah untuk menjadi seorang wiraswasta / entrepreneur, sementara dalam visi dan misi mereka seolah telah menjadi kewajiban utk mencetak entrepreneur..

Hampir semua jawaban di atas, saat ini, masih TIDAK. Kita kadang lebih bangga memiliki titel karyawan, berlindung di balik nama besar perusahaan kita, semakin kita bekerja di perusahaan yang besar, maka semakin bangga lah kita. Demikian juga dengan orangtua dan keluarga kita, seolah menjadi kebanggaan apabila keluarganya bekerja di bank ternama, perusahaan terkenal dunia, dan ini memang wajar. Kita memang tidak dipersiapkan khusus dalam sekolah dan kuliah kita, banyak di antara kita, keluar dan bingung untuk menjadi apa, kita bingung harus bekerja di mana, tidak pernah terpikir (mungkin jarang) apa yang bisa kita kerjakan.

Inilah yang harus kita rubah, pola pandang kita kepada sang Wiraswasta, sang Entrepreneur. Kebanyakan para wiraswasta & entrepreneur ini "jadi" karena kepepet, karena lingkungan. Sudah saat nya kita rubah. Kita rubah pola pendidikan kita, bagaimana sedini mungkin, anak-anak SD memikirkan cara menjual apa yang bisa mereka hasilkan, apa yang bisa mereka kelola, demikian seterusnya. Kita harus membuat inkubator, dan saat ini inkubator yang paling mudah kita mulai adalah lingkungan. Bagaimana lingkungan berperan dalam membentuk jiwa enterepreneur inilah yang harus kita rumuskan. Istilah kami dalam perbincangan sore itu adalah kita tidak hanya menjadi BROKER, kita harus jadi PLAYER, seorang player tahu bagaimana harus bertindak, bagaimana strateginya, bagaimana next-stepnya, ide seorang player harus cemerlang.

Nach, celakanya, selama ini kita dididik menjadi broker, menjual sebagai perantara, negeri ini dikuras dijual ke orang, padahal banyak sekali yang bisa kita kelola sendiri, kita "play" sendiri. Ini - mata harus terbuka untuk melihat ini, karena selama ini kita menutup mata kita dan menggampangkan diri kita hanya untuk menjadi BROKER bukan PLAYER. Mulailah dengan lingkungan kita sendiri, apa yang bisa kita buat untuk membentuk PLAYER ini muncul. Lihatlah anak Anda, keluarga Anda, apakah mereka memiliki potensi ?
Dorong dan dorong terus mereka untuk mengembangkan apa yang mereka kuasai dengan baik - tujuannya agar mereka menjadi PLAYER di bidang mereka - memiliki kompetensi.

So, didiklah PLAYER, kembangkan dan dorong pertumbuhan PLAYER, bukan BROKER.
Negara kita ini sangat membutuhkannya. Sudah saatnya kita bertindak lebih nyata.

Maju Entrepreneur Indonesia !!