AFTER researching enterprises here and overseas, IBISWorld has come up with its Top 10 successful practices of the world's best firms.
Sticking to the Top 10 could be what takes a business to its next step.
Focus on a single industry
"Specialisation is critical," says IBISWorld Australia general manager Jason Baker.
"Position yourself as a major, niche or ultra-niche player."
Pursue intellectual property
The mix of unique systems, special competencies, cultures, patents, copyright, technology, processes, formulas, skills and brands is vital.
Value it and R & D "above all other assets," Mr Baker says. "It is the holy grail of an enterprise."
Outsource non-core activities
Outsourcing in the interest of flexibility, enterprise growth and focus will help you get ahead.
Don't buy hard assets
Mr Baker says businesses should reject owning hard assets (land, buildings, equipment, stock and debtors), via securitisation, operating lease and factoring.
Create a virtual business
It is important to create a virtual corporation structure, drawing upon strategic alliances, networks, and/or franchising, based on the concept that the most powerful assets an enterprise has are its intellectual property, followed by cash strength.
Have an external focus
Plan outside-in, not inside-out, by understanding the external business environment before fashioning your own enterprise, its strategy, structure and management, Mr Baker advises.
Go global
IBISWorld advises expanding overseas because the aggregation of nations into regional economies paves the way for the "global village".
At the very least, companies should strive to understand and emulate world best practice for their own industry, in their own country.
Develop a unique culture
Create it with equal opportunity, contractualism (rather than owner-employee status) and vision.
Be a leader
"Leadership is, by nature, demanding of special attributes such as loneliness in ultimate decision-making," Mr Baker says. "Leadership is the opposite of management: it involves more external focus than internal."
Follow best-management practices
Value leadership over management, keep operations simple, develop achievable visions, have sound business financing, encourage employee self-development and embrace the borderless world.
The Courier-Mail
Saya hanya seorang yang berpikiran sederhana, mencoba memahami dunia penuh kerumitan, mensyukuri setiap langkah yang diberkati, mendoakan harapan dan berharap hidup saya membuat banyak orang merasa sungguh hidup..
Translate
Friday, December 03, 2004
A New Spin on Outsourcing
How much work do you farm out? Probably not as much as you should.
FORTUNE SMALL BUSINESS
Saturday, November 27, 2004
By Pat Croce
When I left the Philadelphia 76ers' president's suite three years ago, I lost the invaluable support of my partner, Comcast-Spectacor, and its crack staff of lawyers, accountants, webmasters, graphic designers, and payroll personnel. Clearly it was vital that I secure such expertise for my new small business, a multimedia firm I called Pat Croce & Co. How else could I compete with the same intensity as the big dogs? Also clear was that I couldn't afford to hire a crack staff of my own.
That's when I discovered the joy of outsourcing. Yes, when it came to building the core of my business—giving speeches, writing books, developing TV shows—I'd hire staffers. But if it was a job someone else could do better, I'd outsource it. As a result, Pat Croce & Co. today is a place where the "& Co." consists of more key consultants than core employees.
Most entrepreneurs keep too many functions in-house. In a study of small businesses that outsource, Gartner, a research firm based in Stamford, Conn., found that on average entrepreneurs farm out only 27% of back-office functions such as accounting, legal services, and human resources. The good news, according to Robert Brown, a principal analyst at Gartner, is that "small-business outsourcing is poised to grow appreciably over the next three to five years as chief executives strive to cut costs and raise quality."
In the early days of Pat Croce & Co., I turned to my connections. I was able to tap a team of proven professionals I had worked with over the years to help evaluate my every move. With a great lawyer in Tim Broadt, a fastidious accountant in Andy Zelenkofske, a wise financial manager in Issy Friedman, and a sharp insurance administrator in Jim Gannon, I was ready to leap back into the world of entrepreneurs. They were ready to jump with me because they knew they would reap healthy fees from my new venture. I outsourced a few other services. My payroll and benefits went to Paychex. I hired IDC Partners to administer all my infotech. And finally, Design One Associates got the call to create my marketing material and brand identity.
Small-business owners know that the value of an outstanding outsourced team is greater than the sum of its parts. And whereas saving money may have been my initial motivation, outsourcing services provided (and continues to provide) my business with innovation, expertise, idea sharing, and a world of valuable information I didn't even know I didn't know!
For example, corporate motivational speeches have been the bread and butter of my company's income statement. And my decision three years ago to forgo the hiring of a marketing director in favor of going directly to respected speakers' bureaus has paid off handsomely. Following their advice, I created a videotape of my speaking excerpts to provide their customers with a taste of my style. That made it easier for the bureau's sales reps to sell me to their corporate clients, which made us all financially happier in the end. As the old pirate motto goes, "No prey, no pay!" In other words, by outsourcing my marketing arm, I ensured that all marketing expenses were clearly connected to profits. If no talks were booked, no fees would be due to the bureaus. I've forwarded significant fees to several speakers' bureaus. And I couldn't be happier!
Capability Maturity Model for Software (CMM)
Model adalah simplifikasi, penyederhanaan yang
repfresentatif tentang keadaan dunia nyata.
Maturity dapat diterjemahkan sebagai matang atau
kedewasaan. Matang adalah hasil proses, Dewasa adalah
hasil pertumbuhan.
Capability berarti kemampuan tetapi lebih mengarah
pada integritas. Deinisinya Integritas susah. Jadi
saya kasih contoh aja. Kalo kamu janji a maka a akan
terjadi dalam kondisi apapun.
Jadi CMM adalah suatu representasi untuk mengukur
tingkat kedewasaan sebuah organisasi dalam
mengembangkan perangkat lunak.
Kata kunci dari CMM adalah mengukur. Jika anda
mengikuti diskusi stop pirate ... di milis ini, anda
akan langsung kebayang bahwa mengukur itu selalu
berhubungan dengan 4 hal yaitu :
1. parameter apa yang diukur
2. bagaimana parameter itu diukur
3. bagaimana standard nilai
4. bagaimana hasil pengukuran diinterpretasikan
Dilihat dari standard levelnya ada 5 level :
1. chaos
2. repeatable
3. define
4. measurable
5. optimize
Level chaos berciri-ciri :
a. tidak ada rencana pengembangan software (tidak ada
sdlc)
b. tidak ada dokumen
c. ada seorang guru/master yang tahu segala hal
tentang sw yang dibuat. Akibatnya kalo guru ini out
matilah perusahaan
d. tingkat keberhasilan bergantung pada usaha
individual
Level repeatable berciri :
1. sudah ada project planning
2. sdlc sudah diterapkan walaupun tidak baku
3. dokumentasi mulai ada
4. tingkat kesuksesan mulai bergantung pada sistem
bukan pada project
Kelemahan dari organisasi yang berada di level ini
adalah :
1. mereka merasa sudah menguasai proses sw
engineering.
2. sdlc sudah ada tapi tidak ada enforcment dari top
manajgemen atau komitment dari semua orang untuk
melaksanakannya.
3. sangat mudah kembali ke level chaos
Level define berciri
1. commitment terhadap sdlc sudah ada dari seluruh
anggota organisasi.
2. dokumentasi lengkap
3. Tingkat kesuksesan jauh lebih tinggi dibanding
level 2.
Kelemahan organisasi di level ini :
1. kualitas sw dan proses tidak dapat
dipertanggungjawab karena ukurannya kualitas bukan
kuantitas( baca : tidak diukur/ tidak ada statistik )
2. Sangat bergantung pada orang yang paham tentang
kualitas sw untuk menilai kualitas pekerjaan
Level measurable berciri
1. Metode pengukuran sudah ada
2. Statistik kualitas sw, team(orang) dan proses
diukur
terus menerus
Kelemahannya :
1. Seluruh pengukuran dilakukan manual berarti
memungkinkan banyak kesalahan pada proses pengukuran.
2.sangat boros terhadap human resources karena
pengukuran dilakukan oleh manusia
3. Pengukuran cenderung bias. Ingat efek thorne.
Ketika orang diperhatikan maka ada kecenderungan
prilakunya berbeda.
Level Optimasi berciri
1. Pengukuran dilakukan secara automatis
2. Peningkatan kualitas team(orang), team work dan
proses dilakukan secara kontinue
Manfaat secara teknis :
1. mengukur tingkat kematangan perusahaan dalam
pengembangan sw
Manfaat non teknis :
1. Filter peserta tender
Misalkan saya punya project yang akan saya outsource
kan maka saya dapat meminta perushaan yang memiliki
sertifikat cmm level 3 sebagai syarat ikut tender.
2. Menjatuhkan pesaing dalam tender
Jika pesaing nggak punya sertifikat cmm level x dan
kita punya, kita memiliki bargaining power lebih.
>Terus proses yang terkait apa aja?
Untuk pertanyaan ini saya tidak mengerti arahnya jadi
tolong diperjelas.
Semua bahan disarikan dari Managing Software Process
karya Watts Humprey
repfresentatif tentang keadaan dunia nyata.
Maturity dapat diterjemahkan sebagai matang atau
kedewasaan. Matang adalah hasil proses, Dewasa adalah
hasil pertumbuhan.
Capability berarti kemampuan tetapi lebih mengarah
pada integritas. Deinisinya Integritas susah. Jadi
saya kasih contoh aja. Kalo kamu janji a maka a akan
terjadi dalam kondisi apapun.
Jadi CMM adalah suatu representasi untuk mengukur
tingkat kedewasaan sebuah organisasi dalam
mengembangkan perangkat lunak.
Kata kunci dari CMM adalah mengukur. Jika anda
mengikuti diskusi stop pirate ... di milis ini, anda
akan langsung kebayang bahwa mengukur itu selalu
berhubungan dengan 4 hal yaitu :
1. parameter apa yang diukur
2. bagaimana parameter itu diukur
3. bagaimana standard nilai
4. bagaimana hasil pengukuran diinterpretasikan
Dilihat dari standard levelnya ada 5 level :
1. chaos
2. repeatable
3. define
4. measurable
5. optimize
Level chaos berciri-ciri :
a. tidak ada rencana pengembangan software (tidak ada
sdlc)
b. tidak ada dokumen
c. ada seorang guru/master yang tahu segala hal
tentang sw yang dibuat. Akibatnya kalo guru ini out
matilah perusahaan
d. tingkat keberhasilan bergantung pada usaha
individual
Level repeatable berciri :
1. sudah ada project planning
2. sdlc sudah diterapkan walaupun tidak baku
3. dokumentasi mulai ada
4. tingkat kesuksesan mulai bergantung pada sistem
bukan pada project
Kelemahan dari organisasi yang berada di level ini
adalah :
1. mereka merasa sudah menguasai proses sw
engineering.
2. sdlc sudah ada tapi tidak ada enforcment dari top
manajgemen atau komitment dari semua orang untuk
melaksanakannya.
3. sangat mudah kembali ke level chaos
Level define berciri
1. commitment terhadap sdlc sudah ada dari seluruh
anggota organisasi.
2. dokumentasi lengkap
3. Tingkat kesuksesan jauh lebih tinggi dibanding
level 2.
Kelemahan organisasi di level ini :
1. kualitas sw dan proses tidak dapat
dipertanggungjawab karena ukurannya kualitas bukan
kuantitas( baca : tidak diukur/ tidak ada statistik )
2. Sangat bergantung pada orang yang paham tentang
kualitas sw untuk menilai kualitas pekerjaan
Level measurable berciri
1. Metode pengukuran sudah ada
2. Statistik kualitas sw, team(orang) dan proses
diukur
terus menerus
Kelemahannya :
1. Seluruh pengukuran dilakukan manual berarti
memungkinkan banyak kesalahan pada proses pengukuran.
2.sangat boros terhadap human resources karena
pengukuran dilakukan oleh manusia
3. Pengukuran cenderung bias. Ingat efek thorne.
Ketika orang diperhatikan maka ada kecenderungan
prilakunya berbeda.
Level Optimasi berciri
1. Pengukuran dilakukan secara automatis
2. Peningkatan kualitas team(orang), team work dan
proses dilakukan secara kontinue
Manfaat secara teknis :
1. mengukur tingkat kematangan perusahaan dalam
pengembangan sw
Manfaat non teknis :
1. Filter peserta tender
Misalkan saya punya project yang akan saya outsource
kan maka saya dapat meminta perushaan yang memiliki
sertifikat cmm level 3 sebagai syarat ikut tender.
2. Menjatuhkan pesaing dalam tender
Jika pesaing nggak punya sertifikat cmm level x dan
kita punya, kita memiliki bargaining power lebih.
>Terus proses yang terkait apa aja?
Untuk pertanyaan ini saya tidak mengerti arahnya jadi
tolong diperjelas.
Semua bahan disarikan dari Managing Software Process
karya Watts Humprey
Thursday, December 02, 2004
IBM Enables e-learning at NITK
Publishing date: 2004-11-30 18:00:53
After the Indian Institute of Information Technology, Bangalore, signed an agreement with IBM in May for setting up e-learning infrastructure, it's now the turn of the National Institute of Technology Karnataka (NITK) to sign a similar deal with IBM.
After the Indian Institute of Information Technology, Bangalore, signed an agreement with IBM in May for setting up e-learning infrastructure, it's now the turn of the National Institute of Technology Karnataka (NITK) to sign a similar deal with IBM.
The infrastructure investment is expected to improve the reach of its academic programs and faculty resources. The memorandum of understanding will help NITK adopt "effective e-learning strategy", create e-learning content and develop systems to monitor students' academic performance. It could also minimize administrative overheads through the implementation of appropriate systems.
E-learning content will be developed based on processes and methods used at IBM Knowledge Factory using IBM Content Producer and Simulation Producer tools. The performance management systems are based on the IBM Teacher's Workbench Tool. Other solutions include Campus Automation Solutions for academic programs and evaluation policies.
NITK will use these tools to prepare e-learning material for the formal engineering degree programs, for teaching pre-university students of science subjects (to help prepare them for the various national engineering entrance examinations) and prepare e-learning material in science and technology subjects for the general public, focused on popularizing science.
A steering committee will be set up comprising of teams from IBM and NITK to oversee the project implementation and ensure fulfillment of objectives.
Prof S.S. Murthy, Director, NITK, "Our faculty will be equipped to create live and interactive content for students to aid the learning process."
M Ganesh, Director, Global Midmarket Business, IBM South Asia, said, "IBM understands that education offerings are much more than a set of well-designed courses, equally important is the support structure that facilitates training, troubleshooting, and course updates for rapidly changing technologies."
Appraising the Performance Appraisal
If you've got something to say to employees, spit it out--don't wait for their annual reviews.
July 02, 2001
By Aubrey Daniels
Q: I've been in business for a couple years and have never done performance appraisals for the few employees I have. I'm beginning to think I should, as I have one or two employees who are not performing to my expectations. How should I handle this situation?
A: I read recently that Jack Welch, former CEO of General Electric, said that if you want a high-performing company, you should fire the bottom 10 percent of your employees each year come performance appraisal time. We have 55 employees. That would mean that I should fire five or six people every year. Is this effective in a small business?
No, this practice doesn't work for either a small or a large business. Given its tremendous success over the years, GE obviously does a lot of things right—but that is not one of them. If employees are not doing their jobs, that should be dealt with in a timely way. You should certainly not wait until performance appraisal time to terminate someone who isn't performing satisfactorily.
And do not copy the performance appraisal methods of large companies. I know of none that do it well. Some large companies have done such a poor job of dealing with poor performers, they've resorted to paying them to quit. A large bank did this recently and was sued by an employee who claimed that he was a poorer performer than someone who had been terminated. His suit claimed that he deserved the "firing bonus." Any organization that has to resort to these methods of dealing with poor performers has serious management issues.
Some experts, in fact, recommend eliminating the performance appraisal altogether. I agree. The people who get them don't like them. The people who give them don't like them. Why would we do something that no one likes or thinks is effective?
More important, the research on performance appraisals has never shown that they improve performance. Why, then, are they so prevalent in the workplace? The answer I get in my seminars is that they are a way to document poor performance—in other words, a step in the firing process. This practice is coming under increasing scrutiny. Class action lawsuits being brought against several large companies claim that appraisal systems are discriminatory. I believe the companies will have a difficult time proving they aren't when they have mandated that a fixed percentage of employees be given the lowest score—and fired. In most organizations, it would be almost impossible to show that there was a significant difference between the first person to be fired and the lowest-scoring person who was kept on the payroll.
Let me suggest that the best performance appraisal is one that is done every day. While this may seem onerous for a small business, it's becoming increasingly necessary, not just as a way to justify a raise or a termination, but because it will allow you to do things that will increase performance and morale. Measurement allows you to see small changes in performance so that you can do things in a timely way to either correct performance or to provide positive reinforcement for improvement or for a job well-done. The best outcome for your company is to have all employees doing their best every day. Your success should be measured by the percentage of employees that you make successful, not by the number that you fire.
Aubrey C. Daniels, Ph.D., founder and CEO of management consulting firm Aubrey Daniels & Associates (ADA), is an internationally recognized author, speaker and expert on management and human performance issues. For more about ADA's seminars and consulting services or to order Aubrey's book Bringing Out the Best in People: How to Apply the Astonishing Power of Positive Reinforcement, visit www.aubreydaniels.com, or contact Laura Lee Glass at (800) 223-6191.
Wednesday, December 01, 2004
Administrasi Kependudukan Belum Dianggap Penting
Minggu, 21 November 2004 09:02 WIB - warta ekonomi.com
Penyanderaan dua TKI di Irak awal September lalu menunjukkan betapa amburadulnya administrasi kependudukan di Tanah Air. Sebagai lembaga yang diserahi tanggung jawab menata administrasi kependudukan, tak pelak, Ditjen Kependudukan Departemen Dalam Negeri ikut disorot. Sebenarnya seperti apa penataan administrasi kependudukan di Indonesia? Untuk mengetahui jawabannya, Andy Zoeltom dari Warta Ekonomi mewawancarai Rohadi Haryanto, dirjen Administrasi kependudukan Depdagri. Nukilannya:
Kasus sandera TKI membuktikan banyak terjadi pemalsuan identitas. Mengapa berulang kali terjadi?
Kasus pemalsuan identitas terjadi karena tertib administrasi kependudukan belum dianggap penting.
Mengapa begitu?
Begini, KTP itu 'kan menjadi dasar bagi penertiban dokumen atau kepentingan pelayanan publik lainnya. Saat ini pelaksanaan Administrasi Kependudukan, termasuk penerbitan identitas penduduk di Indonesia, berlandaskan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Nah, mengacu peraturan itu, daerah tingkat II (dati II) bertugas melaksanakan administrasi kependudukan, termasuk penerbitan identitas. Sedang pemerintah (pusat) menyusun pedoman, kebijakan dan standarisasi teknis. Oleh karenanya sebelum diberlakukan sistem nasional, pelaksanaannya masih ditentukan oleh kemauan dan kemampuan masing-masing kabupaten/kota, termasuk tata cara operasional, sistem pengamanan, dan teknologi yang digunakan.
Hasilnya?
Sistem yang dilaksanakan daerah, terutama dalam penerbitan identitas, umumnya masih belum mampu menjamin penerbitan dokumen yang handal.
Apa kendalanya?
Sistem penerbitan dokumen belum didasarkan pada basis data penduduk yang disimpan oleh dati II atau yang dihimpun dalam Pusat Data Kependudukan di provinsi atau nasional. Selain itu penerbitan dokumen oleh kabupaten/kota belum mungkin untuk diperiksa kembali atau diakses oleh pihak lain. Ini karena teknologinya belum siap. Untuk mengetahui kebenaran data identitas seseorang dari daerah lain, atau bahkan di daerah yang bersangkutan, kami belum bisa menyediakannya secara cepat dan tepat karena belum menggunakan teknologi informasi.
Sejauh mana peran Ditjen Kependudukan menata soal ini?
Kami sedang membangun sistem penyelenggaraan administrasi kependudukan, meliputi pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, dan pengelolaan informasi, termasuk aplikasinya guna penerbitan dokumen dan penyediaan statistik kependudukan. Sistem ini kami sebut Sistem Administrasi Kependudukan (SAK), yang dilengkapi dengan sarana pengiriman data melalui jaringan ekstranet (secara online) dengan memakai Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).
Sejauh mana penerapannya?
SIAK telah diuji coba dan bahkan dipakai dalam pelayanan administrasi kependudukan di beberapa daerah rintisan. Dengan penerapan SAK dan SIAK, penerbitan KTP lebih terjamin kebenarannya dan pengecekan kebenaran identitas bisa diakses oleh instansi lain. Demikian juga penerbitan akte sebagai pengesahan peristiwa penting (kelahiran, kematian, perkawinan dan perceraian) setelah yang bersangkutan melaporkan dan memberikan bukti otentik dari peristiwa yang dicatatkan.
Penyanderaan dua TKI di Irak awal September lalu menunjukkan betapa amburadulnya administrasi kependudukan di Tanah Air. Sebagai lembaga yang diserahi tanggung jawab menata administrasi kependudukan, tak pelak, Ditjen Kependudukan Departemen Dalam Negeri ikut disorot. Sebenarnya seperti apa penataan administrasi kependudukan di Indonesia? Untuk mengetahui jawabannya, Andy Zoeltom dari Warta Ekonomi mewawancarai Rohadi Haryanto, dirjen Administrasi kependudukan Depdagri. Nukilannya:
Kasus sandera TKI membuktikan banyak terjadi pemalsuan identitas. Mengapa berulang kali terjadi?
Kasus pemalsuan identitas terjadi karena tertib administrasi kependudukan belum dianggap penting.
Mengapa begitu?
Begini, KTP itu 'kan menjadi dasar bagi penertiban dokumen atau kepentingan pelayanan publik lainnya. Saat ini pelaksanaan Administrasi Kependudukan, termasuk penerbitan identitas penduduk di Indonesia, berlandaskan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Nah, mengacu peraturan itu, daerah tingkat II (dati II) bertugas melaksanakan administrasi kependudukan, termasuk penerbitan identitas. Sedang pemerintah (pusat) menyusun pedoman, kebijakan dan standarisasi teknis. Oleh karenanya sebelum diberlakukan sistem nasional, pelaksanaannya masih ditentukan oleh kemauan dan kemampuan masing-masing kabupaten/kota, termasuk tata cara operasional, sistem pengamanan, dan teknologi yang digunakan.
Hasilnya?
Sistem yang dilaksanakan daerah, terutama dalam penerbitan identitas, umumnya masih belum mampu menjamin penerbitan dokumen yang handal.
Apa kendalanya?
Sistem penerbitan dokumen belum didasarkan pada basis data penduduk yang disimpan oleh dati II atau yang dihimpun dalam Pusat Data Kependudukan di provinsi atau nasional. Selain itu penerbitan dokumen oleh kabupaten/kota belum mungkin untuk diperiksa kembali atau diakses oleh pihak lain. Ini karena teknologinya belum siap. Untuk mengetahui kebenaran data identitas seseorang dari daerah lain, atau bahkan di daerah yang bersangkutan, kami belum bisa menyediakannya secara cepat dan tepat karena belum menggunakan teknologi informasi.
Sejauh mana peran Ditjen Kependudukan menata soal ini?
Kami sedang membangun sistem penyelenggaraan administrasi kependudukan, meliputi pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, dan pengelolaan informasi, termasuk aplikasinya guna penerbitan dokumen dan penyediaan statistik kependudukan. Sistem ini kami sebut Sistem Administrasi Kependudukan (SAK), yang dilengkapi dengan sarana pengiriman data melalui jaringan ekstranet (secara online) dengan memakai Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).
Sejauh mana penerapannya?
SIAK telah diuji coba dan bahkan dipakai dalam pelayanan administrasi kependudukan di beberapa daerah rintisan. Dengan penerapan SAK dan SIAK, penerbitan KTP lebih terjamin kebenarannya dan pengecekan kebenaran identitas bisa diakses oleh instansi lain. Demikian juga penerbitan akte sebagai pengesahan peristiwa penting (kelahiran, kematian, perkawinan dan perceraian) setelah yang bersangkutan melaporkan dan memberikan bukti otentik dari peristiwa yang dicatatkan.
Friday, November 26, 2004
HOW TO RAISE COMPETITIVENESS OF SMALL BUSINESS
MOSCOW, November 24 (RIA Novosti) - Igor Artemyev, head of the federal anti-trust service, believes that government participation in the commercial sector adversely affects competition and development of the small and medium business. He said this on Wednesday at a session of the council for competitiveness and entrepreneurship of the Russian government.
According to Artemyev, governors and local self-government bodies often open numerous companies and provide them with many privileges. Such measures lead to "unfair competition," said Artemyev.
According to him, the state should now withdraw from the commercial sector. He thinks that this can be done if the laws on executive, representative and legislative branches in constituent federation members and on local self-government are reviewed and amended.
Artemyev believes that this would be a key decision and another step of the administrative reform.
Moreover, Artemyev formulated a few proposals of his department for improving competitiveness of the Russian small business.
In particular, he suggested that a base of family enterprises employing only family members be formed. They would be banned from trade, including excisable goods and foreign economic activity. These companies will be able to provide everyday services, including tailoring and shoe repair. They will purchase a patent and transfer part of the sum to the Russian Pension Fund to provide them with pensions.
Moreover, Artemyev believes, ways should be worked out for employing idling production units and lands of large companies. As for natural monopolies, the government should work out directives for them to develop a system of contracting and subcontracting commissions in the interests of small business.
According to Artemyev, governors and local self-government bodies often open numerous companies and provide them with many privileges. Such measures lead to "unfair competition," said Artemyev.
According to him, the state should now withdraw from the commercial sector. He thinks that this can be done if the laws on executive, representative and legislative branches in constituent federation members and on local self-government are reviewed and amended.
Artemyev believes that this would be a key decision and another step of the administrative reform.
Moreover, Artemyev formulated a few proposals of his department for improving competitiveness of the Russian small business.
In particular, he suggested that a base of family enterprises employing only family members be formed. They would be banned from trade, including excisable goods and foreign economic activity. These companies will be able to provide everyday services, including tailoring and shoe repair. They will purchase a patent and transfer part of the sum to the Russian Pension Fund to provide them with pensions.
Moreover, Artemyev believes, ways should be worked out for employing idling production units and lands of large companies. As for natural monopolies, the government should work out directives for them to develop a system of contracting and subcontracting commissions in the interests of small business.
Tuesday, November 23, 2004
Faktor Faktor di dalam Entrepreneurship
Ada beberapa faktor yang harus diketahui dan dimiliki oleh seseorang
entrepreneur, beberapa faktor merupakan faktor individual dan
selebihnya merupakan faktor diluar faktor individual
Faktor individual
Faktor individual adalah faktor yang dimiliki oleh seseorang dan
sifatnya melekat. Faktor ini dapat dibentuk dalam diri seseorang
tetapi harus berasal dari motivasi dari dirinya sendiri. Faktor-
faktor tersebut antara lain:
Gairah terhadap Bisnis
Seseorang entrepreneur harus memiliki lebih dari sebuah ketertarikan
yang biasa didalam sebuah bisnis, karena akan banyak problem dan
tantangan yang akan datang.
Gigih walaupun gagal
Karena problem atau tantangan berdatangan, seorang entrepreneur
harus mampu bertahan. Banyak entrepreneur sukses yang berhasil
setelah mengalami beberapa kegagalan dan mereka tidak menyerah
begitu saja. Mereka berusaha terus menerus dan pantang menyerah
Kepercayaan diri
Seorang entrepreneur harus memiliki kepercayaan diri terhadap
kemampuan dan pengetahuan akan konsep bisnisnya. Seorang
entrepreneur percaya mereka dapat menyelesaikan segala sesuatu yang
telah mereka mulai lakukan.
Memotivasi diri sendiri
Tidak dapat dipungkiri masalah dan tantangan dalam dunia bisnis
lambat laun akan melunturkan semangat untuk berusaha. Seorang
entrepreneur harus mempunyai kemampuan untuk memberikan motivasi
kepada diri sendiri, sehingga tetap memiliki semangat untuk berusaha.
Manajemen Resiko
Banyak orang berkata bahwa sesorang entrepreneur menghadapi resiko
yang besar. Tetapi sebetulnya hal ini tidaklah sepenuhnya benar.
Pertama seseorang dapat menjalankan bisnisnya dulu sebagai
perkerjaan partimenya, dan tidak mengerahkan semua sumber daya yang
dimilikinya sampai bisnis yang dibangunnya kelihatan memiliki hasil.
Seseorang entrepreneur yang sejati mampu mengetahui resiko yang akan
terjadi pada awal-awal proses dan mampu memperkecilnya.
Mampu melihat perubahan sebagai tantangan
Perubahan yang terjadi sering kali membuat seseorang entrepreneur
menjadi takut dan berusaha untuk menghilangkan perubahan ini,
menghilangkan perubahan itu hal yang mustahil itu berada diluar
kendali. Tetapi sebuah perubahan dapat dijadikan tantangan yang
dapat menjadikan perusahaan menjadi lebih baik. Kemampuan melihat
perubahan menjadi lebih baik dapat di ibaratkan kita melihat sebuah
gelas yang terisi setengahnya. Seseorang dapat melihatnya sebagai
terisi "setengah penuh" atau "setengah kosong". Dari manakah anda
memandangnya itu pilihan anda.
Toleransi terhadap hal yang tidak terstuktur
Dalam tahap awal membangun sebuah usahannya seorang entrepreneur
banyak menghadapi hal-hal yang tidak tersturktur seperti jadwal,
proses dan lain sebagainya dan hal itu juga tidak menjamin bahwa
usaha tersebut mencapai sukses. Seorang entrepreneur harus mampu
toleransi terhadap hal-hal yang tidak terstruktur dan dapat berubah
dengan cepat.
Inisiasi dan Pengakuan
Hampir semua orang setuju bahwa seorang entrepreneur yang sukses
adalah seseorang yang mengambil inisiatif didalam sesuatu situasi.
Mereka mempunyai keinginan untuk menjalankan idenya. Perbedaan
mencolok antara sebuah entrepreneur dan bukan entrepreneur adalah
dari hal menjalankan idenya. Banyak orang yang bukan seorang
entrepreneur memiliki banyak ide tetapi tidak menjalankannya.
Seorang entrepreneur menjalankan idenya tersebut karena mereka ingin
mendapatkan prestasi atau pengakuann yang atas sesuatu yang
dilakukannya. Motivasi untuk mendapatkan prestasi inilah yang
mendorong seseorang untuk bekerja keras mencapai hasil.
Orientasi yang detil dan perfeksionis
Kebanyakan dari para entrepreneurship mereka merupakan seorang
perfeksionis, keras untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini yang
menyebabkan bisnis mereka berhasil segala sesuatu yang dihasilkan
memiliki kualitas yang sempurna, baik mutu produk maupun
pelayanannya. Bukankah ini sesuatu yang dinginkan oleh komsumen??
Persepsi terhadap waktu yang lewat.
Seorang entrepreneur sangatlah memperhatikan bahwa waktu sangat
berlalu dengan cepat, hal ini menyebabkan seorang entrepreneur
seperti orang yang tidak sabaran. Bagi mereka berlalunya waktu tanpa
melakukan sesuatu apapun adalah sebuah krisis.
Kreatif
Kreatif adalah hal sangat diperlukan seorang entrepreneur, mempunyai
ide-ide yang cemerlang dan baru, ide ide yang tidak pernah
dipikirkan oleh orang lain merupakan kunci sukses seorang
entrepreneur. Seorang entrepreneur juga harus kreatif untuk mencari
alternatif lain saat sesuatu mengalami hambatan
Kemampuan melihat sebuah gambar besar
Kemampuan untuk melihat sebuah gambar besar melalu sebuah bagian
dari sesuatu hal merupakan keunggulan seorang entrepreneur.
Kemampuan melihat lingkungan dari hal kecil, kemampuan mengetahui
apa yang terjadi dalam lingkungan dari sebuah kejadian kecil,
kemampuan melihat pasar dari hal-hal kecil, hal ini lah yang jarang
dimiliki seseorang.
Faktor motivasi
Seorang entrepreneur akan sukses bila memiliki motivasi, banyak
orang motivasi seorang entrepreneur adalah uang, tetapi ada
berberapa faktor lainya yang menurut saya penting yaitu:
• Keinginan untuk mempraktekan kemampuan dan keahlian
• Keinginan untuk mengatur sendiri hidupnya
• Membangun sesuatu untuk keluarga
• Membangun sesuatu untuk kekasih
• Karena mereka menyukai tantangan
• Untuk hidup sesuai dengan apa yang dipilihnya.
Faktor Budaya
Faktor budaya pemilik usaha juga mempengaruhi keberhasilan sebuah
usaha, sebuah usaha yang dimilik oleh beberapa orang yang memiliki
perbedaan budaya kan mempengaruhi jalannya sebuah usaha, hal ini
perlu diperhatikan karena perbedaan budaya juga mempengaruhi
perbedaan pola pikir terhadap sesuatu hal, yang akhirnya juga akan
berpengaruh terhadap kebijakan yang ada diperusahaan tersebut.
Jika usaha terdiri dari berbagai etnik perlu dibuat kesepakatan
bersama tentang hal-hal atau kebijakan yang ada didalam perusahaan
Faktor budaya juga mempengaruhi keputusan seseorang untuk menjadi
entrepreneur atau tidak.
Berada didalam komunitas
Kesuksesan seorang entrepreneur salah satunya adalah berada didalam
komunitas yang menjadi bidang usahanya dengan berada didalam
komunitas tersebut dapat diketahui perkembangan-perkembangan apa
saja yang terjadi didalam bidang usaha tersebut, dengan berada
didalam komunitas perusahaan akan lebih dikenal, dan ada kemungkinan
dapat
Gabungan dari ketiga faktor
Keputusan seseorang untuk menjadi seorang entrepreneur atau menjadi
seorang pekerja dipengaruhi ketiga hal tersebut.
10 Ways Career Get Stalled
Few things in business life are as puzzling as executives whose careers suddenly stall - even though they are very good at what they do. When these executives don't go as far or as fast as expected, it's better to look for clues around rather than within, them.
Like the investment adviser who makes millions for his clients but cant balance his checkbook, many capable executives turn out to be "street stupid" about their most important client-themselves. While they have been diligently doing their job and meeting their company's goals, they have failed to look above or around them. They neglect the superiors and colleagues who very often have the most influence over their corporate fortunes.
Just because you do your job well, or even brilliantly, doesn't guarantee a steady, rapid ascent up the corporate pyramid. Fairly or not, other factors are involved. To succeed in today's overcrowded executive marketplace, you need to be as insightful about yourself as you are about your job. In particular, you need to sharpen your instinct about bosses and peers.
Here are ten personal pitfalls I've seen stall the careers of even the ablest executives.
1. Now knowing why you were hired
Executives at every level exist for one reason, and one reason only: to make their bosses look good. If you don't believe this, ask your boss. If you're the boss, ask your company's shareholders
2. Following up too slowly
Hesitation is commendable if it curbs some expensive impulses, but it rarely works to your credit when the boss is concerned. Failure to act immediately on a boss's commands lingers in the boss's mind and usually taints your reputation. For example, if the boss says, "Smith is not working out. Get rid of him, " you might, in a noble moment, rush to Smith's defense. But authoritarian bosses tend to regard such behavior as insubordination, not nobility. Stall too long on Smith's departure and you may soon join him out the door.
3. Ignoring the Peter Principle
The Peter Principle says that everyone eventually rises to their level of incompetence. Nearly everyone knows this principle, but few think it applies to themselves. Street-stupid executives, in particular, reach their level of incompetence faster than they should. For example, employees customarily regard a promotion as cause for celebration. But not all promotions are in your best interest. A bad promotion, one that isn't suited to your talents, only speeds up the Peter Principle in your life. This happen frequently with super sales people. They are so productive that management feels compelled to promote them - to sales manager. What amazes me is that so many of these salespeople accept the promotion even though they have no interest in managing other people. Everyone ends up getting hurt in this arrangement.
4. Ignoring the corporate culture.
Abused as the idea of "corporate culture" has become, it is a fact of life at many companies. You don't wear turtlenecks when everyone wears white shirts. You don't seek the spotlight when teamwork is the rule. And you don't punch in at none and out at five if everyone else is putting in twelve-hour days. If you must be a nonconformist, why not start by outperforming everyone else?
5. Wanting to be liked by everyone
The best execs are respected (certainly) and liked (maybe). That's the way it should be if you want to continue making tough - and correct - decisions. Decisions should be dictated by the situation, not by your sympathies and personal feelings.
6. Failing to protect yourself when a new boss appears
Organisation make changes at the top to make the organization better, not to make life difficult for you. Many execs find this hard to believe; they take the arrival of a new chief personally. They resist the new boss, who in turn resist them. Guess who usually loses in this scenario? Simply put, the arrival of a new boss signals big changes. Don't ignore or underestimate them.
7. Going public with your private thoughts
Many career has been short-changed when execs take wrong colleague into their confidence. If you must gossip about your peers and superiors, save it for your family at home. Cutting remarks have a scary way of filtering up to the boss to undercut you.
8. Behaving inconsistently
Responding predictably to certain situations doesn't necessarily mean you're boring and unimaginative. On the contrary, the majority of day-to-day crises call for solid judgment rather than creativity and finesse. Few things are as disturbing to those above and below you as volatility. Blowing up one day over a seatback and taking it in stride the next can brand you as unreliable.
9. Blaming bad news on someone else
There's no harm in admitting you made a mistake - but don't make a habit of it
10. Asking yourself employees to something you wont do yourself
You can't ask people to put in long hours if you're not there beside them. Also, you can't expect them to do things your way unless you show them by example day in and day out.
**** Taken from "What they dont teach you at Harvard Business School" by Mark McCormack (founder of IMG, the world's largest sport representation firm)
Monday, November 22, 2004
Google engineers new scholarly search
MOUNTAIN VIEW, California (AP) -- Google Inc., the leader in online search engines, is setting out to make better sense of all the scholarly work stored on the Web.
The company's new service, unveiled late Wednesday, draws upon newly developed algorithms to list the academic research that appears to be most relevant to a search request. Mountain View-based Google doesn't plan to charge for the service nor use the feature to deliver text-based ads, the primary source of its profits.
"Google has benefited a lot from scholarly research, so this is one way we are giving back to the scholarly community," said Anurag Acharya, an engineer who helped develop the new search tools.
Although Google already had been indexing the reams of academic research online, the company hadn't been able to separate the scholarly content from commercial Web sites.
By focusing on the citations contained in academic papers, Google also engineered its new system to provide a list of potentially helpful material available at libraries and other offline sources.
The scholarly search effort continues Google's aims to probe even deeper into content available online and offline. Last month, Google expanded a program that invites publishers to scan their books into the search engine's index, enabling people to peek at the contents online before deciding whether to buy a copy.
The company's new service, unveiled late Wednesday, draws upon newly developed algorithms to list the academic research that appears to be most relevant to a search request. Mountain View-based Google doesn't plan to charge for the service nor use the feature to deliver text-based ads, the primary source of its profits.
"Google has benefited a lot from scholarly research, so this is one way we are giving back to the scholarly community," said Anurag Acharya, an engineer who helped develop the new search tools.
Although Google already had been indexing the reams of academic research online, the company hadn't been able to separate the scholarly content from commercial Web sites.
By focusing on the citations contained in academic papers, Google also engineered its new system to provide a list of potentially helpful material available at libraries and other offline sources.
The scholarly search effort continues Google's aims to probe even deeper into content available online and offline. Last month, Google expanded a program that invites publishers to scan their books into the search engine's index, enabling people to peek at the contents online before deciding whether to buy a copy.
Microsoft warns Asian governments of Linux suits
SINGAPORE (Reuters) -- Microsoft Corp. warned Asian governments on Thursday they could face patent lawsuits for using the Linux operating system instead of its Windows software.
The growing popularity of Linux -- an open-code software that is freely available on the Internet and easily modified by users -- is a threat to the global dominance of Microsoft's Windows.
Linux violates more than 228 patents, according to a recent report from a research group, Microsoft Chief Executive Steve Ballmer said at the company's Asian Government Leaders Forum in Singapore.
"Someday, for all countries that are entering the WTO (World Trade Organization), somebody will come and look for money owing to the rights for that intellectual property," he added.
The Open Source Risk Management Group said earlier this year that potential intellectual property claims against Linux could expose users to unexpected claims that might result in lawsuits.
Software developer SCO Group Inc., which claims that Linux is based on its Unix software, is suing companies including International Business Machines Corp..
Singapore's Ministry of Defense last month switched 20,000 personal computers to run on open-source software instead of the Microsoft operating platform.
Other governments in the region are also looking to use more open-source software. China, Japan and South Korea this year agreed to jointly develop applications running on Linux.
At a conference in Milan later on Thursday, Microsoft Chairman Bill Gates avoided a direct answer when asked whether he was worried about competition from Linux.
"In the market where Microsoft is, there's a lot of competition," he said. "We compete with Unix and we're doing very well because the Windows (market) share has increased every year. It's out there; it's something we compete against."
The Chinese government, in particular, sees its reliance on Microsoft as a potential threat. Conspiracy buffs believe certain patches in the Windows code might give U.S. authorities the power to access Chinese networks and disable them, possibly during a war over Taiwan.
Ballmer said the security fears some governments had about using Microsoft software were overblown.
"We think our software is far more secure than open-source software. It is more secure because we stand behind it, we fixed it, because we built it. Nobody ever knows who built open-source software," he added.
The growing popularity of Linux -- an open-code software that is freely available on the Internet and easily modified by users -- is a threat to the global dominance of Microsoft's Windows.
Linux violates more than 228 patents, according to a recent report from a research group, Microsoft Chief Executive Steve Ballmer said at the company's Asian Government Leaders Forum in Singapore.
"Someday, for all countries that are entering the WTO (World Trade Organization), somebody will come and look for money owing to the rights for that intellectual property," he added.
The Open Source Risk Management Group said earlier this year that potential intellectual property claims against Linux could expose users to unexpected claims that might result in lawsuits.
Software developer SCO Group Inc., which claims that Linux is based on its Unix software, is suing companies including International Business Machines Corp..
Singapore's Ministry of Defense last month switched 20,000 personal computers to run on open-source software instead of the Microsoft operating platform.
Other governments in the region are also looking to use more open-source software. China, Japan and South Korea this year agreed to jointly develop applications running on Linux.
At a conference in Milan later on Thursday, Microsoft Chairman Bill Gates avoided a direct answer when asked whether he was worried about competition from Linux.
"In the market where Microsoft is, there's a lot of competition," he said. "We compete with Unix and we're doing very well because the Windows (market) share has increased every year. It's out there; it's something we compete against."
The Chinese government, in particular, sees its reliance on Microsoft as a potential threat. Conspiracy buffs believe certain patches in the Windows code might give U.S. authorities the power to access Chinese networks and disable them, possibly during a war over Taiwan.
Ballmer said the security fears some governments had about using Microsoft software were overblown.
"We think our software is far more secure than open-source software. It is more secure because we stand behind it, we fixed it, because we built it. Nobody ever knows who built open-source software," he added.
A lesson of love
Toshinobu Kubota, yang biasa dipanggil Shinji mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya di negerinya yang lama untuk mencari hidup yang lebih baik di Amerika. Ayahnya memberinya uang simpanan keluarga yang disembunyikan di dalam kantong kulit.
"Di sini keadaan sulit," katanya sambil memeluk putranya dan mengucapkan selamat tinggal. "Kau adalah harapan kami."
Shinji naik ke kapal lintas Atlantik yang menawarkan transport gratis bagi pemuda-pemuda yang mau bekerja sebagai penyekop batubara sebagai imbalan ongkos pelayaran selama sebulan. Kalau Shinji menemukan emas di Pegunungan Colorado, keluarganya akan menyusul.
Berbulan-bulan Shinji mengolah tanahnya tanpa kenal lelah. Urat emas yang tidak besar memberinya penghasilan yang pas-pasan namun teratur. Setiap hari ketika pulang ke pondoknya yang terdiri atas dua kamar, Shinji merindukan dan sangat ingin disambut oleh wanita yang dicintainya. Satu-satunya yang disesalinya ketika menerima tawaran untuk mengadu nasib ke Amerika adalah terpaksa meninggalkan Asaka Matsutoya sebelum secara resmi punya kesempatan mendekati gadis itu. Sepanjang ingatannya, keluarga mereka sudah lama berteman dan selama itu pula diam-diam dia berharap bisa memperistri Asaka.
Rambut Asaka yang ikal panjang dan senyumnya yang menawan membuatnya menjadi putri Keluarga Yoshinori Matsutoya yang paling cantik. Shinji baru sempat duduk di sampingnya dalam acara perayaan pesta bunga dan mengarang alasan-alasan konyol untuk singgah di rumah gadis itu agar bisa betemu dengannya. Setiap malam sebelum tidur di kabinnya, Shinji ingin sekali membelai rambut Asaka yang pirang kemerahan dan memeluk gadis itu. Akhirnya, dia menyurati ayahnya, meminta bantuannya untuk mewujudkan impiannya.
Kira-kira setahun kemudian, sebuah telegram datang mengabarkan rencana untuk membuat hidup Shinji menjadi lengkap. Pak Yoshinori Matsutoya akan mengirimkan putrinya kepada Shinji di Amerika. Putrinya itu suka bekerja keras dan punya intuisi bisnis. Dia akan bekerja sama dengan Shinji selama setahun dan membantunya mengembangkan bisnis penambangan emas. Diharapkan, setelah setahun itu keluarganya akan mampu datang ke Amerika untuk menghadiri pernikahan mereka.
Hati Shinji sangat bahagia. Dia menghabiskan satu bulan berikutnya untuk mengubah pondoknya menjadi tempat tinggal yang nyaman. Dia membeli ranjang sederhana untuk tempat tidurnya di ruang duduk dan menata bekas tempat tidurnya agar pantas untuk seorang wanita. Gorden dari bekas karung goni yang menutupi kotornya jendela diganti dengan kain bermotif bunga dari bekas karung terigu. Di meja samping tempat tidur dia meletakkan wadah kaleng berisi bunga-bunga kering yang dipetiknya di padang rumput.
Akhirnya, tibalah hari yang sudah dinanti-nantikannya sepanjang hidup. Dengan tangan membawa seikat bunga daisy segar yang baru dipetik, dia pergi ke stasiun kereta api. Asap mengepul dan roda-roda berderit ketika kereta api mendekat lalu berhenti. Shinji melihat setiap jendela, mencari senyum dan rambut ikal Asaka.Jantungnya berdebar kencang penuh harap, kemudian tersentak karena kecewa.
Bukan Asaka, tetapi Yumi Matsutoya kakaknya, yang turun dari kereta api. Gadis itu berdiri malu-malu di depannya, matanya menunduk. Shinji hanya bisa memandang terpana. Kemudian, dengan tangan gemetar diulurkannya buket bunga itu kepada Yumi. "Selamat datang," katanya lirih, matanya menatap nanar. Senyum tipis menghias wajah Yumi yang tidak cantik.
"Aku senang ketika Ayah mengatakan kau ingin aku datang ke sini," kata Yumi, sambil sekilas memandang mata Shinji sebelum cepat-cepat menunduk lagi.
"Aku akan mengurus bawaanmu," kata Shinji dengan senyum terpaksa.
Bersama-sama mereka berjalan ke kereta kuda. Pak Matsutoya dan ayahnya benar. Yumi memang punya intuisi bisnis yang hebat. Sementara Shinji bekerja di tambang, dia bekerja di kantor. Di meja sederhana di sudut ruang duduk, dengan cermat Yumi mencatat semua kegiatan di tambang. Dalam waktu 6 bulan, asset mereka telah berlipat dua. Masakannya yang lezat dan senyumnya yang tenang menghiasi pondok itu dengan sentuhan ajaib seorang wanita.
Tetapi bukan wanita ini yang kuinginkan, keluh Shinji dalam hati, setiap malam sebelum tidur kecapekan di ruang duduk. Mengapa mereka mengirim Yumi? Akankah dia bisa bertemu lagi dengan Asaka? Apakah impian lamanya untuk memperistri Asaka harus dilupakannya? Setahun lamanya Yumi dan Shinji bekerja, bermain, dan tertawa bersama, tetapi tak pernah ada ungkapan cinta. Pernah sekali, Yumi mencium pipi Shinji sebelum masuk ke kamarnya. Pria itu hanya tersenyum canggung. Sejak itu, kelihatannya Yumi cukup puas dengan jalan-jalan berdua menjelajahi pegunungan atau dengan mengobrol di beranda setelah makan malam.
Pada suatu sore di musim semi, hujan deras mengguyur punggung bukit, membuat jalan masuk ke tambang mereka longsor. Dengan kesal Shinji mengisi karung-karung pasir dan meletakkannya sedemikan rupa untuk membelokkan arus air. Badannya lelah dan basah kuyup, tetapi tampaknya usahanya sia-sia. Tiba-tiba Yumi muncul di sampingnya, memegangi karung goni yang terbuka. Shinji menyekop dan memasukkan pasir kedalamnya, kemudian dengan tenaga sekuat lelaki, Yumi melemparkan karung itu ke tumpukan lalu membuka karung lainnya. Berjam-jam mereka bekerja dengan kaki terbenam lumpur setinggi lutut, sampai hujan reda. Dengan berpegangan tangan mereka berjalan pulang ke pondok.
Sambil menikmati sup panas, Shinji mendesah, "Aku takkan dapat menyelamatkan tambang itu tanpa dirimu. Terima kasih, Yumi."
"Sama-sama," gadis itu menjawab sambil tersenyum tenang seperti biasa, lalu tanpa berkata-kata dia masuk ke kamarnya.
Beberapa hari kemudian, sebuah telegram datang mengabarkan bahwa Keluarga Matsutoya dan Keluarga Kubota akan tiba minggu berikutnya. Meskipun berusaha keras menutup-nutupinya, jantung Shinji kembali berdebar-debar seperti dulu karena harapan akan bertemu lagi dengan Asaka. Dia dan Yumi pergi ke stasiun kereta api. Mereka melihat keluarga mereka turun dari kereta api di ujung peron.
Ketika Asaka muncul, Yumi menoleh kepada Shinji. "Sambutlah dia," katanya.
Dengan kaget, Shinji berkata tergagap, "Apa maksudmu?"
"Shinji, sudah lama aku tahu bahwa aku bukan putri Matsutoya yang kau inginkan. Aku memperhatikan bagaimana kau bercanda dengan Asaka dalam acara Perayaan pesta bunga lalu." Dia mengangguk ke arah adiknya yang sedang menuruni tangga kereta. "Aku tahu bahwa dia, bukan aku, yang kauinginkan menjadi istrimu."
"Tapi..."
Yumi meletakkan jarinya pada bibir Shinji. "Ssstt," bisiknya. "Aku mencintaimu, Shinji. Aku selalu mencintaimu. Karena itu, yang kuinginkan hanya melihatmu bahagia. Sambutlah adikku."
Shinji mengambil tangan yumi dari wajahnya dan menggenggamnya. Ketika Yumi menengadah, untuk pertama kalinya Shinji melihat betapa cantiknya gadis itu. Dia ingat ketika mereka berjalan-jalan di padang rumput, ingat malam-malam tenang yang mereka nikmati di depan perapian, ingat ketika Yumi membantunya mengisi karung-karung pasir. Ketika itulah dia menyadari apa yang sebenarnya selama berbulan-bulan telah tidak diketahuinya.
"Tidak, Yumi. Engkaulah yang kuinginkan." Shinji merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya dan mengecupnya dengan cinta yg tiba-tiba membuncah didalam dadanya.
Keluarga mereka berkerumun mengelilingi mereka dan berseru-seru, "Kami datang untuk menghadiri pernikahan kalian!"
Tuesday, August 10, 2004
Profil Bisnis Waralaba
Kamis, 5 Agustus 2004 09:54 WIB - warta ekonomi.com
Menjual Citra dan Pengalaman
Nama besar plus pengalaman puluhan tahun menangani bisnis TI menjadi modal Metrodata Electronics dalam mengembangkan sistem waralaba. Lewat sistem ini diharapkan SDM dan laju bisnis bisa lebih terkontrol.
Puluhan tahun berkiprah di bisnis teknologi informasi (TI) tak langsung membuat PT Metrodata Electronics Tbk. percaya diri untuk menawarkan waralabanya ke pasar. Maka, tak heran bahwa meski embrio waralaba sudah ada sejak 1997--ditandai dengan pembukaan 11 gerai Metrodata di berbagai daerah dan kini mencapai 11 gerai yang berlokasi di beberapa kota besar di Indonesia--toh hingga tahun lalu mereka masih saja berpikir untuk terus membangun gerai dengan modal sendiri.
Baru pada Mei 2004, ketika perkembangan bisnis TI dirasa makin cepat, Metrodata resmi menawarkan waralabanya ke pasar. Hasilnya, gerai waralaba pertama untuk jasa penjualan dan layanan komputer di Makassar pun resmi dibuka. Gerai ini mengusung "merek" Metrodata Sales & Service (MSS). Rencananya, pembukaan gerai pertama ini akan disusul dengan pembukaan gerai MSS berikutnya di kota-kota besar lainnya. Target yang dipasang lumayan juga, yaitu tujuh gerai MSS hingga akhir tahun ini.
Menurut Agus Honggo Widodo, direktur PT Metrodata Electronics Tbk., selain alasan ekspansi, ada dua hal lain yang mendorong pihaknya mewaralabakan bisnisnya. Pertama, kebutuhan akan SDM yang tinggi dalam bisnis perdagangan komputer. "Dalam bidang ini ada knowledge khusus yang harus dimiliki. Jadi, SDM menjadi faktor penting yang memotori berkembangnya bisnis TI. Apalagi untuk daerah yang jauh dari kantor pusat," ungkap Agus. Kedua, soal pengawasan. Lewat sistem waralaba, menurut Agus, diharapkan laju bisnis Metrodata akan lebih mudah dikontrol. Apalagi kalau bisnis yang dijalankannya makin berkembang.
Untuk membangun sebuah gerai MSS, seorang investor mesti menyiapkan modal Rp500 juta. Jumlah ini sudah mencakup franchise fee Rp150 juta, dan sisanya yang Rp350 juta untuk menyewa tempat, renovasi, dan modal kerja. Angka ini, kata Agus, cukup untuk mengembangkan bisnis di kota-kota yang memang belum dimasuki Metrodata sebelumnya. "Kami harapkan dalam dua tahun modal sudah kembali," katanya.
Selain bidang penjualan dan layanan komputer, Metrodata juga menawarkan waralaba bidang pendidikan TI. Hanya kali ini Metrodata merangkul perusahaan asal Filipina, System Technology Institute (STI). Keduanya sepakat membentuk perusahaan bernama PT Metrodata STI Indonesia (MSTI), yang sekaligus dijadikan merek. Di sini modal yang mesti disiapkan oleh seorang investor lumayan banyak. Franchise fee-nya sendiri mencapai US$10.000.
Agus mengakui bahwa bidang pendidikan merupakan areal baru bagi Metrodata. Itu sebabnya mereka memilih berpartner dengan STI, yang berpengalaman dalam waralaba pendidikan TI selama lebih dari 20 tahun. "Kami optimistis bisnis ini akan berhasil," tandas Agus. Tak heran jika hingga akhir 2004 ini pihak Metrodata menargetkan empat sekolah MSTI bakal berdiri.
Target ini, menurut penilaian Agus, tak terlalu muluk. Itu sebabnya meski memiliki pengalaman puluhan tahun, dengan reputasi yang besar, mereka tetap memilih bersikap hati-hati. "Bisnis waralaba ini ibarat orang menikah, harus melalui proses penjajakan, penyatuan misi dan visi," tambah Agus. Harapannya, tentu agar usaha ini terus langgeng.
PT Metrodata Electronics Tbk.
Nama waralaba:
Metrodata Sales & Service (MSS)
Metrodata STI Indonesia (MSTI)
Pemilik waralaba:
PT Metrodata Electronics Tbk. (berdiri 1975)
PT Metrodata STI Indonesia (berdiri 2003)
Mulai diwaralabakan:
Mei 2004
Jumlah gerai (Juni 2003):
3 MSTI
1 MSS
Target (2004):
4 gerai MSTI
7 gerai MSS
ADE RACHMAWATI DEVI
Menakar Untung Setiap Celupan
Hanya tujuh bulan saja sejak gerai pertama Mr. Celup's dibuka September 2003, kini jajanan serba rebus ini memiliki 38 gerai. Kreativitas dalam menciptakan selera lokal jadi andalan untuk meraih laba hingga 30%.
Kalau pemilik waralaba lain butuh waktu tiga tahun untuk menyiapkan sistem waralaba bagi usahanya, maka Sugiarto dan dua rekan bisnisnya, Thomas Linardi dan Mulyadi Wijaya, tak perlu sampai selama itu. Hanya dalam tempo tiga bulan saja, sebuah gerai pertama waralaba dibuka oleh tiga pria asal Bogor ini, sesudah gerai pertama Mr. Celup's, yang menawarkan jajanan serba rebus, dibuka di Jl. Pajajaran, Bogor. "Awalnya karena ada seorang pembeli dari Denpasar yang mengutarakan minatnya untuk membuka gerai Mr. Celup's di Bali," ungkap Sugiarto kepada Warta Ekonomi . Minat pengusaha asal Bali itulah yang membuat Mr. Celup's mempercepat ekspansinya lewat jalur waralaba. Padahal semula mereka berniat akan mewaralabakan usahanya ini sesudah berjalan satu tahun.
Belakangan, bukan cuma jumlah pengunjung gerai Mr. Celup's di Jl. Pajajaran yang membeludak, tetapi jumlah permintaan para investor terhadap waralaba Mr. Celup's juga ikut membengkak. Hanya dalam tempo tujuh bulan saja, menurut Sugiarto, tak kurang dari 38 gerai Mr. Celup's telah tersebar di berbagai tempat di Indonesia. Mulai dari Bogor, Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bali, hingga Lampung. Bahkan, tahun ini, lanjut pria berumur 35 tahun itu, mereka bakal meresmikan gerai berikutnya di luar Jawa, seperti di Makassar.
Sugiarto memaparkan, sebenarnya ide untuk mendirikan usaha jajanan ini berasal dari kedai jajanan sejenis yang mereka temui di negara tetangga, Singapura. Hanya, karena tak ingin dianggap meniru mentah-mentah, maka ketiganya melakukan modifikasi dalam hal penampilan gerai. Pilihan mereka jatuh pada warung berjalan Mr. Celup's, alias mobil yang dimodifikasi sebagai tempat berjualan.
Kini untuk bisa membuka usaha sejenis dengan cara waralaba, seorang investor cukup menyiapkan modal Rp165 juta. Ini sudah termasuk untuk gerai mobil yang dimodifikasi, peralatan memasak, franchise fee yang besarnya Rp50 juta untuk jangka waktu lima tahun, dan tentu saja perlengkapan untuk memasak. Di luar itu, pembeli hak waralaba pun mesti menyiapkan uang untuk sewa tempat. Syukur-syukur mereka mempunyai tempat gratis untuk "memarkir" warungnya tadi.
Salah satu kelebihan waralaba Mr. Celup's dibandingkan waralaba makanan lainnya, boleh jadi, adalah kelonggaran untuk berkreativitas. Menurut Sugiarto, pihaknya memberi kebebasan kepada pembeli waralaba Mr. Celup's untuk melakukan modifikasi sesuai kebutuhan di daerahnya masing-masing. Alasannya sederhana saja, masing-masing daerah mempunyai selera yang berbeda. Cuma, untuk bisa meluncur ke pasar, produk tadi mesti melewati proses uji coba "lidah" Sugiarto. "Kebetulan sayalah yang bertugas di bagian ini," katanya.
Saat ini tak kurang dari 50 jenis jajanan dipajang di gerai Mr. Celup's. Ke depan, ungkap Sugiarto, pihaknya bakal meningkatkan standarisasi pelayanan di Mr. Celup's. Selain itu, tentu saja menambah jenis jajanannya. Jadi, mengapa Anda tidak ikut membeli waralaba Mr. Celup's dan memarkir dagangan Anda di depan rumah?
CV Celup Mitra Saudara
Nama waralaba:
Mr. Celup's
Pemilik:
Sugiarto, Thomas Linardi, dan Mulyadi Wijaya
Mulai diwaralabakan:
Desember 2003
Jumlah gerai (Juni 2003):
38 gerai
Target 2004:
40 gerai
GENUK CHRISTIASTUTI
Menjepit Laba di My Salon
Tak sampai setahun, Mega Mulia Mandiri berhasil meluncurkan waralaba My Salon ke pasar. Bergandengan tangan dengan Rudy Hadisuwarno, salon kecantikan yang menyasar segmen menengah ke bawah ini menawarkan laba hingga 30% dari omzet bulanan.
Tak perlu ragu untuk pindah kuadran, seperti yang kerap dianjurkan Robert T. Kiyosaki. Siapa tahu peruntungan Anda datang dari kuadran baru ini. Hal ini persis seperti yang dilakoni Thomas Lie, direktur PT Mega Mulia Mandiri (MMM). Pada usianya yang ke-33, persisnya Maret 2003, pria berwajah imut ini memutuskan untuk menjadi pengusaha dengan merintis usaha salon kecantikan--pilihan yang jauh menyimpang dari profesi yang selama ini ditekuninya, yaitu profesional jasa keuangan. "Saya pilih bisnis salon karena tak banyak yang mau menekuninya," ungkapnya, terbahak.
Terbukti, meski bisnis salonnya baru berjalan satu tahun, kini Thomas sudah memiliki delapan gerai salon. Dengan modalnya itu, ia pun memberanikan diri menawarkan sebuah proposal "pernikahan" dengan Rudy Hadisuwarno, pemilik PT Rudy Hadisuwarno Organization, yang dikenal sebagai kelompok usaha terkemuka di bisnis kecantikan. Hasilnya sungguh di luar dugaan. Bukan cuma berniat memberikan bantuan teknis, seperti diharapkan Thomas, bahkan pihak Rudy pun menyatakan minatnya untuk menjadi salah satu pemegang saham di perusahaan tersebut. Hasilnya, sebuah merek My Salon by Rudy Hadisuwarno. "Tepat Januari 2004 kami resmi bekerja sama dengan Rudy," kata Thomas.
Menjadi bagian dari Grup Rudy menempatkan My Salon pada level ketiga, yaitu yang membidik segmen menengah ke bawah. Sebelumnya, Rudy telah memiliki waralaba untuk level menengah ke atas, yaitu Rudy Hadisuwarno (Executive) dan Rudy Brown. Selain itu, kelompok yang sama juga memiliki Kiddy Cuts dan Fun Cut, yang ditujukan untuk anak-anak. "Dari sisi harga, posisi kami adalah head on dengan Yoppie Salon dan Johnny Andrean," ungkap Thomas.
Untuk Anda yang berminat menjadi pemilik gerai waralaba My Salon, Thomas memaparkan, modal yang perlu disetor tak banyak. "Investasi untuk membuka gerai My Salon mencapai Rp180 juta," ungkapnya. Adapun tawaran keuntungan yang bakal diperoleh terbilang menggiurkan. "Bisa mencapai 30% dari pendapatan per bulan," ungkap Thomas.
Meski bisnis salon kecantikan ini sudah disesaki nama-nama beken seperti Johnny Andrean, Yoppie Salon, dan Salon Lutuye, hal itu tak menyurutkan rencana Mega Mulia untuk mengembang-biakkan My Salon. Berani? Jelas. Sebab, papar Thomas Lie, salonnya memiliki konsep yang jelas. Selain menembak pasar kelas menengah ke bawah yang masih sangat potensial, dukungan manajemen pun akan sangat menentukan. Misalnya, seluruh pengelolaan salon akan dilakukan oleh pihak Mega Mulia. "Kalau mereka setiap hari mesti ngurusin usahanya, lebih baik mereka membuka usaha sendiri saja," ujar Thomas, terkekeh.
Meski begitu, bukan berarti pemilik waralaba My Salon mesti ongkang-ongkang kaki. Mereka masih bisa menempatkan orangnya, atau dia sendiri, sebagai kasir, yang sekaligus bisa bertindak sebagai "mata-mata" di dalam salon. "Seluruh penghasilan salon akan masuk ke rekening para pembeli waralaba," katanya tegas. Dan nikmati keuntungan yang mudah-mudahan bisa sampai 30%. Jadi, tunggu apa lagi?
PT Mega Mulia Mandiri
Nama waralaba:
My Salon
Pemilik waralaba:
Thomas Lie dan Rudy Hadisuwarno
Mulai diwaralabakan:
Februari 2004
Jumlah gerai (Juni 2003):
14 gerai
Target (2004):
30 gerai
GENUK CHRISTIASTUTI
Tak Ingin Sekadar Jago Kandang
Dengan mengusung nama berbau asing, Daily Bread Bakery berencana merambah pasar ASEAN. Langkah awalnya, menguasai pasar domestik lewat penawaran sistem bagi hasil yang dirintis tahun ini.
Di tengah maraknya bisnis bakery yang berkembang di Tanah Air belakangan ini, Daily Bread Bakery optimistis bisa terus mengembangkan bisnis yang telah digelutinya sejak 1996. Modalnya bertumpu pada tiga hal, yaitu kualitas produk, servis yang memuaskan, serta tim yang solid. Bukan hanya itu. Meski nama Daily Bread Bakery berbau asing, merek ini benar-benar asli lokal. Ini pula yang membuat PT Adirasa Selaras Abadi (ASA), perusahaan pengelola Daily Bread Bakery, merasa yakin bahwa usahanya bakal sukses dan mendapat respons yang baik dari pasar. "Sebagai tuan rumah di negeri sendiri, kami merasa lebih mengenal kondisi pasar di sini, termasuk juga selera konsumen dan apa yang mereka harapkan," ungkap Dedi Tanukusumah, vice-president PT Adirasa Selaras Abadi.
Meski saat ini ASA telah menggelar sekitar 24 gerai di seputar Jakarta, Bandung, dan Surabaya yang semuanya milik sendiri, tak urung mereka juga ingin berbagi sukses dengan masyarakat. Itulah sebabnya, sejak 2004 mereka mulai mengembangkan sistem revenue sharing, yang diistilahkan dengan "sistem operator". Agak berbeda dengan sistem waralaba yang telah mereka tawarkan sebelumnya, di sistem ini mitra bisnis hanya diminta menyediakan lokasi. "Praktis tak ada dana yang harus mereka keluarkan," kata Viki Mari, senior finance and accounting manager ASA.
Sebenarnya pertimbangan untuk menjalankan sistem ini sendiri sudah mulai dilakukan sejak lima tahun silam dengan bantuan konsultan dari Singapura. Namun, dengan alasan ingin mengenalkan lebih jauh lagi "brand" Daily Bread Bakery ke pasar, sistem ini baru akan dioperasikan pada 2004. "Kami melakukan pendekatan dari mulut ke mulut, dan cara ini ternyata cukup efektif," aku Dedi. Dengan perhitungan satu gerai membutuhkan modal Rp500 juta, maka pihak manajemen ASA memasang target 40 gerai bisa berdiri dengan sistem ini pada tahun 2004.
Mungkinkah target itu tercapai? Dengan penuh percaya diri Dedi menyatakan bahwa saat ini pihaknya telah melakukan penjajakan dengan beberapa calon mitra bisnis. "Kalaupun tak tercapai di tahun ini, kami pastikan tahun depan target ini benar-benar tercapai," tandasnya. Lalu, berapa besar pembagian revenue-nya? Menurut Viki, saat ini mereka menetapkan sistem 90 : 10. Maksudnya, 90% bagi ASA, dan sisanya untuk mitra bisnis. "Sebenarnya masih ada dua konsep yang kami tetapkan, yaitu 70 : 30 dan 60 : 40. Namun, saat ini kami baru menjalankan konsep yang 90 : 10," jelas Viki.
Dengan konsep ini diharapkan ekspansi bisnis Daily Bread Bakery, yang rata-rata omzet per bulannya Rp200 juta untuk setiap gerai, makin melaju. Bahkan mereka tak ingin hanya menjadi jago kandang, tetapi juga berancang-ancang untuk go international. Alasan itu pula yang melatarbelakangi perusahaan mengusung merek berbau asing. Targetnya, setelah sukses di Tanah Air, mereka pun bakal membidik pasar ASEAN.
PT Adirasa Selaras Abadi
Nama waralaba:
Daily Bread Bakery
Pemilik waralaba:
PT Adirasa Selaras Abadi (ASA)
Mulai diwaralabakan:
2004
Jumlah gerai (Juni 2004):
24 gerai
Target 2004:
40 (sistem operator)
ADE RACHMAWATI DEVI
Monday, August 09, 2004
Pengusaha Muda 2004: Mampu Bertahan karena Kreatif dan Inovatif
Pengusaha Muda 2004: Mampu Bertahan karena Kreatif dan Inovatif
0 Tanggapan
Senin, 26 Juli 2004 10:21 WIB - warta ekonomi.com
Situasi ekonomi makin sulit, lahan bisnis makin sempit, dan modal makin susah. Namun, sejumlah pengusaha muda bisa berhasil menyiasati dan keluar sebagai "pemenang". Kunci suksesnya adalah karena mereka kreatif dan inovatif dalam menciptakan nilai tambah. Mereka juga termasuk mampu mengelola usaha dengan benar sehingga dapat terus mencetak laba.
Bisnis tak selalu manis. Sesekali bahkan ia bisa sangat pahit. Jadi, wajar kalau suatu masa Anda untung, tetapi pada kala yang lain bisa buntung. Itu pulalah yang dialami Setyo Yanus Sasongko, seorang pengusaha muda yang kini berusia 35 tahun. Bisnis pemilik dan sekaligus presdir PT Aimtopindo Nuansa Kimia ini adalah memproduksi bahan karbon aktif (activated carbon) dari arang tempurung kelapa. Berangkat dari hanya sebuah ide, bisnisnya pelan-pelan berkembang terus selama delapan tahun, dan hingga sekarang omzetnya mencapai Rp6 miliar. Masih tergolong kecil, memang. Namun, itu bukannya tanpa sebab.
Setyo mengungkapkan bahwa kendala utama yang dihadapinya sekarang adalah makin mahalnya harga bahan baku produksi dari pemasok, perubahan tata niaga, dan kondisi ekonomi. Untuk tahun ini, Setyo mengakui, isu survival menjadi begitu penting bagi perusahaannya. Namun, Setyo tak mau kekurangan akal. Ia mencoba kreatif dalam hal inovasi teknologi supaya harga biaya produksi bisa murah. Hasilnya, ia sekarang sudah punya cara mendiversifikasi bahan baku dan teknologi pengolahannya.
"Kami berhasil mengganti bahan baku dengan memodifikasi teknologinya," tutur Setyo. Sebelumnya bahan baku produksi berupa arang dari tempurung kelapa yang harus diperoleh dengan harga mahal dari pemasok. Akan tetapi sekarang, setelah teknologinya berhasil dia modifikasi, bahan baku bisa langsung berupa tempurung kelapa. Dengan modifikasi ini, biaya bahan baku akhirnya bisa dipotong sekitar 40%. Meski begitu, Setyo mengaku, "Saat ini tingkat keuntungan kami belum stabil karena kami masih dalam masa transisi menuju teknologi baru."
Setyo yakin, apabila proses transisi yang sekarang sudah setengah jalan tersebut berhasil diselesaikan, maka tingkat keuntungan usahanya akan pulih kembali. Ujung-ujungnya, harga akhir produk karbon aktif buatannya bisa bersaing dengan produk Cina, yang saat ini menguasai pasar lokal dan pasaran internasional. Setyo juga mempunyai rencana membuat pabrik di Sulawesi karena di sana ada deposit bahan baku tempurung kelapa yang sangat murah. Di sana tempurung kelapa dibuang begitu saja, tidak dimanfaatkan. "Saya mau menggandeng mitra lokal yang mempunyai deposit tempurung kelapa berskala besar di Sulawesi, untuk bersama-sama menciptakan nilai tambah dari bahan baku yang terbuang menjadi bahan baku yang memiliki nilai," paparnya.
Bagi Setyo, problem bahan baku yang dihadapinya sekarang justru dianggapnya merupakan momentum yang baik karena memaksa dirinya untuk kreatif dan berinovasi, sehingga akhirnya malah bisa mengurangi biaya produksi secara signifikan. "Justru peluang usaha saya makin terbuka daripada yang tadinya aman-aman saja," ungkapnya. Persoalan yang dia hadapi tidak menjadikannya patah semangat untuk terus meniti karier sebagai pengusaha, walaupun kesempatan menjadi eksekutif di perusahaan multinasional juga kerap mendatanginya.
"Lebih enak menjadi pengusaha, karena ide-ide saya bisa langsung saya implementasikan," tuturnya. Ia juga merasa bangga karena usahanya ternyata bisa berdampak positif bagi masyarakat, ia bisa melakukan ekspor atau membantu negara memperoleh devisa, dan bisa memberikan nilai tambah yang tinggi pada sumber-sumber ekonomi yang ada.
Setyo merasa sayang jika usahanya yang sudah berjalan selama sekian tahun itu sampai harus terputus di tengah jalan. "Saya sebenarnya memiliki cita-cita sebagai pengusaha di bidang pengembangan teknologi, bukan sekadar dagang," tuturnya. Ia mengaku telah membuat beberapa paket teknologi baru yang tinggal membutuhkan mitra usaha yang tertarik mengembangkannya menjadi sebuah produk. "Saya tidak tertarik untuk menjadi besar sendirian, seperti Grup Salim. Saya merasa lebih baik besar bersama orang lain yang lebih menguasai di bidangnya, sehingga ide-ide saya bisa profitable," ungkapnya.
Tak Mau Menyerah
Beberapa pengusaha muda yang lain yang seusia Setyo umumnya juga mengaku mengalami masalah yang kurang lebih sama. Artinya, mereka juga merasakan dampak dari situasi ekonomi yang masih tidak kondusif bagi perputaran roda bisnis mereka. Erwien Nurwihatman, direktur pelaksana PT Capella Sumber Intranet, merasakan betapa turunnya bisnis teknologi informasi (TI) di Indonesia untuk tahun ini berdampak nyata pada tingkat penjualan perusahaannya yang menyediakan perangkat lunak dan perangkat keras, serta services dan konsultasi TI. "Itu bisa dilihat langsung dari turunnya bisnis di perdagangan ritel TI di Mangga Dua dan Glodok," ungkap Erwien.
Demikian juga yang dirasakan Ian Rangkuti, presdir PT Natnit.net. Ia melihat bahwa kondisi perekonomian nasional masih dalam tahap pemulihan. Walau beberapa sektor usaha berkembang, stabilitas usahanya di bidang perdagangan lewat internet masih terganggu oleh lemahnya daya beli masyarakat umum dan "panas"-nya situasi politik. "Akibatnya perencanaan jangka panjang bisnis saya sulit untuk dilaksanakan dan sukar diprediksi tingkat keberhasilannya," tutur Ian.
Sementara itu, Christovita Wiloto, presdir PT Wiloto Corporation, yang antara lain bergerak di jasa public relations, juga sempat merasakan betapa perusahaan calon kliennya seperti sedang diet, alias menahan atau mengurangi biaya.
Namun, seperti halnya Setyo, para pengusaha muda tersebut umumnya juga tak mau patah semangat, atau mudah menyerah begitu saja menghadapi tekanan situasi. Mereka berusaha terus mencari peluang di tengah tantangan situasi perekonomian yang ada. "Saya sudah lama menjalankan bisnis parsel, dan ketika krisis moneter menimpa Indonesia, siapa sih yang tidak kena imbasnya? Akan tetapi, ternyata para pelanggan saya sudah menganggap parsel sebagai barang primer pada event-event tertentu," ungkap Fahira Fahmi Idris, dirut PT Nabila Parcel Bunga. Maka, jadilah bisnis Fahira mampu bertahan di tengah himpitan krisis.
Hal senada juga diungkapkan oleh Saleh Abdul Malik, presdir PT Altelindo Karya Mandiri. Saleh menegaskan bahwa ia tidak mau lagi bergantung pada risiko-risiko yang ada. Ia berupaya tidak mengaitkan dan menggantungkan kegiatan bisnisnya pada situasi yang ada, walau itu memang ada pengaruhnya. "Saya harus bisa dewasa, belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya bahwa bisnis harus tetap jalan terus," papar Saleh.
Lahan Bisnis Makin Sempit, Modal Makin Sulit
Menurut pengamat bisnis Wilson Nababan, dalam situasi bisnis yang makin global dan makin sengit persaingannya sekarang, peluang usaha bagi pengusaha muda pendatang baru sebenarnya makin tipis. "Sebab, peluang bisnis sekarang makin sempit karena lahannya makin dikuasai oleh para pemodal raksasa, terutama dengan masuknya perusahaan multinasional ke Indonesia," ujar presdir perusahaan riset bisnis PT CISI Raya Utama itu. Ia mencontohkan, apabila seorang pengusaha muda hendak membuka toko dagang eceran sederhana dengan merek dan gerai sendiri, mereka pasti akan sulit bersaing dengan jaringan ritel yang sudah mapan, seperti Alfa atau Indomaret. "Masuk ke sektor keuangan, seperti mendirikan bank pasar atau menjadi kontraktor, juga makin sulit sekarang ini," tuturnya.
Akan tetapi, lanjut Wilson, itu bukan berarti peluang usaha sudah tertutup sama sekali. Bisa saja seorang pengusaha muda masuk ke pasar dengan beroperasi di bawah lisensi atau waralaba--meskipun ada persentase tertentu dari keuntungan yang harus diserahkan ke pemilik lisensi atau pewaralaba. Bisa juga mereka membuka usaha dealer kendaraan bermotor, atau bengkel, atau restoran. Namun, lagi-lagi, bagaimanapun, semua itu membutuhkan modal yang cukup, networking yang kuat, dan, terutama, pengalaman untuk menekuni bisnis tersebut.
Bagi Wilson, kian sempitnya lahan bisnis itu tak hanya dialami oleh pengusaha-pengusaha muda yang baru muncul karena bertumbangannya para pengusaha besar nasional. Dalam era globalisasi sekarang, makin banyak unit-unit produksi berskala besar yang jatuh ke tangan perusahaan multinasional. Sepertinya, saat ini hanya tinggal menunggu waktu saja, bidang usaha apa lagi yang akan diambil alih perusahaan-perusahaan multinasional tersebut. Umpamanya di industri elektronik, kendaraan bermotor, dan perhotelan. "Industri elektronik memang berkembang, tetapi produksi dan jaringan distribusinya makin dikuasai oleh pemain asing," tuturnya.
Wilson mencermati, praktis tidak banyak pengusaha muda yang memiliki pencapaian tinggi dalam situasi ekonomi sekarang. "Dalam masa sulit seperti ini, yang bisa tumbuh adalah pengusaha yang superior atau menjadi 'super entrepreneur'," tuturnya. Anak-anak pengusaha besar yang sekarang mewarisi bisnis orang tuanya, seperti di Grup Bakrie, Grup Barito, Grup Sinar Mas, dan Grup Argo Manunggal, juga harus bekerja keras untuk melanjutkan warisan usaha ayahnya. Bank juga tak lagi mudah membantu mereka. "Boro-boro membantu pendatang baru, untuk langganan lama mereka saja juga ragu-ragu. Sebab, mereka sendiri diawasi dengan ketat oleh Bank Indonesia," ungkapnya.
Wilson menekankan, supaya seorang pengusaha muda bisa unggul dalam masa sekarang, ia harus memiliki kemampuan yang menonjol dalam hal networking, inovasi, serta improvisasi. "Dan sampai seberapa lama kesulitan ekonomi nasional bisa mereka atasi," tegasnya. Tiga motor penggerak ekonomi Indonesia selama ini, yakni sektor pangan, minyak, dan komoditas ekspor, praktis mengalami kemunduran. Kesulitan pangan, seperti beras dan gula, menyebabkan Indonesia harus makin bergantung pada impor. Indonesia juga telah berubah dari negara pengekspor minyak menjadi negara pengimpor minyak, sehingga patokan harga bahan bakar domestik terancam harus terus disesuaikan dengan harga pasaran internasional. Harga komoditas ekspor tradisional, seperti kopi, karet, lada, cokelat, dan kayu juga rendah. Sementara itu, komoditas ekspor yang lain, seperti kelapa sawit dan hasil tambang, hanya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan tertentu saja.
Mundurnya motor penggerak ekonomi itu sudah pasti berdampak buruk terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan. "Jangankan sampai akhir tahun, sampai lima tahun ke depan saja rasanya belum banyak perubahan yang akan terjadi," ujar Wilson. Di tengah situasi yang seperti itu, mereka masih harus menghadapi "serangan" dari imperium bisnis perusahaan multinasional. Ia tak merasa heran kalau beberapa pengusaha muda asal Indonesia justru bisa sukses berbisnis di luar negeri, seperti di Australia, Malaysia, dan Cina, karena kondisi di luar negeri yang lebih baik. "Jadi, jangan terlalu banyak berfantasi deh," tegas Wilson.
B.S. Kusmuljono, direktur utama PT Permodalan Nasional Madani (PNM), membenarkan bahwa banyak lembaga keuangan pemilik dana, seperti PNM, yang makin selektif dalam menyalurkan pendanaan kepada pengusaha-pengusaha muda. "Justru yang terpenting adalah kesiapan para pengusahanya, bukan besarnya modal," ujarnya. Berdasarkan pengalamannya selama ini dalam menjadi mitra usaha banyak pengusaha muda, terbukti pemberian dana modal atau kredit lebih banyak gagalnya karena pelakunya ternyata tidak memiliki kesiapan untuk menjadi pengusaha. "Sekarang modal tidak akan diberikan kalau para pelakunya tidak siap menjadi pengusaha," tegas Kusmuljono.
Menurut Kusmuljono, sejak awal menjadi pengusaha, seseorang harus siap memiliki budaya kerja, seperti memiliki cara berpikir wirausaha, mandiri, dan profesional. Ia juga harus memiliki budaya berani dalam mengambil risiko, dan memiliki etika moral yang baik. Misalnya, kalau punya utang ya harus dilunasi. "Jangan dininabobokan oleh anggapan bahwa modal adalah syarat utama menjadi pengusaha. Sebab, yang tidak mempunyai modal pun sebenarnya bisa menjadi pengusaha," ujarnya.
Saat ini, lanjut Kusmuljono, yang penting untuk dilihat oleh institusi penyedia modal adalah apakah pengusaha muda itu bisa menunjukkan kemampuannya dalam menciptakan laba. Oleh karena itu, dia menyarankan agar pengusaha muda bisa menciptakan kegiatan yang memberikan nilai tambah. Dari penciptaan nilai tambah itu, pengusaha muda tersebut harus bisa meraih penjualan, menciptakan arus kas usaha yang positif, dan dapat terus menciptakan nilai tambah yang makin tinggi, sehingga usahanya bisa langgeng.
Namun, itu saja tidak cukup. Pengusaha muda juga harus bisa menunjukkan kelayakan usahanya. Syaratnya, mereka harus mempunyai rencana usaha yang jelas, struktur organisasi, cara menjalankan usaha, kemampuan membuat laporan keuangan, dan cara pengawasan usaha. "Itu supaya mereka bisa bankable atau memenuhi syarat untuk memperoleh kredit," tutur Kusmuljono. Adapun sektor usahanya, mereka bisa bergerak di sektor riil, seperti perkebunan, perikanan, dan pertanian, yang sedang tumbuh baik sekarang, atau di sektor jasa, seperti perdagangan ritel dan distribusi makanan-minuman yang juga masih terus bertumbuh karena pasar domestiknya besar. "Atau di sektor keuangan, seperti mendirikan bank perkreditan rakyat dan koperasi simpan pinjam," tuturnya.
Bergerak berdasarkan lisensi atau waralaba, bagi Kusmuljono, juga boleh-boleh saja. Akan tetapi, selayaknya ilmu dari pemberi lisensi dan pewaralabanya bisa diserap sebagai bentuk cara alih teknologi. "Jadi, selanjutnya ia bisa menciptakan nilai tambah yang lebih besar, bukan sekadar tukang jahit saja atau terlalu bergantung pada impor," tegas Kusmuljono.
Mencintai Pekerjaan
Sementara itu, pakar manajemen bisnis Rhenald Kasali mencermati, memang tidak mudah apabila seseorang yang berusia muda kemudian terjun menjadi pengusaha. Alasannya, menjadi pengusaha itu menyangkut soal pilihan hidup. Akibatnya, pertama, kebanyakan orang belum merasa mantap menjadi pengusaha, sehingga masih perlu perjuangan. Kedua, tantangan menjadi pengusaha tidak sama antara satu orang dengan orang yang lain.
Dari asumsi tersebut, ketua Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Indonesia itu melihat, ada tiga kelompok besar pengusaha muda. Pertama, orang yang sebetulnya tidak punya pilihan, sehingga akhirnya pilihan itulah yang dia tempuh. "Mereka ini yang kemudian malah biasanya bisa berhasil," ungkap Rhenald. Kedua, "anak mami" atau mama's boy. Berhubung ayah-ibunya termasuk orang berada, maka sang anak diberi modal usaha. "Akan tetapi karena berasal dari keluarga yang mampu, dia mempunyai banyak pilihan, sehingga akhirnya tidak fokus pada usahanya dan malah bisa mengalami kegagalan," jelas Rhenald. Ketiga, orang-orang akademik atau anak sekolahan yang memang mempunyai pengetahuan. Tantangan bagi mereka adalah mereka berpikir dunia bisnis sama persis seperti dunia sekolahnya. "Padahal dunia bisnis belum tentu seperti kasus-kasus yang mereka pelajari selama di sekolah," tuturnya.
Terlepas dari semua itu, Rhenald optimistis, dalam keadaan sesulit apa pun, ada orang yang jatuh dan ada yang berhasil. "Tak semua orang jatuh," tegas Rhenald. Baginya, yang membedakan mereka yang berhasil dengan yang jatuh bukanlah pilihan bisnisnya, atau "what business are you in", melainkan cara mengelola perusahaan atau "how to manage your company". Ia melihat, kini banyak pengusaha muda mencoba terjun ke bisnis komoditas, seperti teh dan kopi, karena para ekonom setiap hari terus mengunggul-unggulkan tentang pentingnya agrobisnis, selain juga bisnis-bisnis yang berbasis sumber daya alam. "Memang bisnis yang berbasis sumber daya alam menarik dan cenderung berskala besar. Akan tetapi, mereka sering lupa bahwa harganya juga volatile, mudah naik-turun dan nilai tambahnya rendah karena tidak ada inovasi," paparnya. Akibatnya, mereka bisa saja cepat menjadi pengusaha besar karena memperoleh keuntungan besar, tetapi bisa cepat hilang karena harga jatuh.
Oleh karena itu, tambah Rhenald, supaya tidak jatuh, mereka harus bisa menciptakan sesuatu yang baru, yang tidak meniru sesuatu yang sudah ada. "Nah, saya melihat pengusaha muda yang berhasil sekarang ini adalah yang spesialis dalam bidangnya, mereka yang tidak bermimpi menjadi konglomerat, mereka yang ingin bisa bekerja sekaligus menikmatinya," tuturnya. Rhenald mencontohkan pengusaha muda yang seperti itu, antara lain, adalah Helmy Yahya (pengusaha di bidang entertainment), Abdi Pirsawan Azis (pembuat video proses kelahiran bayi), Nia Dinata (sutradara dan produser film), dan Ahmad Dhani (pemusik grup band Dewa yang tak segan mengklaim diri sebagai pengusaha musik).
Soal bekerja sekaligus menikmatinya (works, leisure, and learning), ini juga menjadi begitu penting di mata Rhenald karena dilihatnya pengusaha yang berhasil tergolong yang mencintai pekerjaannya. Jadi, mereka melakukannya bukan karena keterpaksaan, tetapi karena memang menyukai atau merupakan hobinya juga. Mereka juga tergolong orang-orang yang selalu membangun network dan selalu menjaga kepercayaan. "Dan yang jelas, mereka harus tahan banting, harus rela merangkak dari bawah karena memang tidak ada jalan pintas mencapai puncak, dan harus berani bersaing dengan pengetahuan dan konsep," jelas Rhenald.
Tantangan Pengusaha Muda 2004
1. Situasi ekonomi domestik yang makin sulit, terutama akibat mundurnya tiga motor penggerak ekonomi, yaitu sektor pangan, minyak, dan komoditas ekspor.
2. Lahan bisnis makin sempit karena dikuasai oleh para pemodal besar dan perusahaan multinasional.
3. Permodalan makin sulit didapat.
4. Kurangnya kesiapan menjadi pengusaha.
Sumber: Diolah dari wawancara
Kunci Sukses Menjadi Super Entrepreneur Muda 2004
1. Kreatif dan inovatif, terus menciptakan nilai tambah.
2. Mampu mengelola usaha hingga terus menciptakan laba.
3. Mencintai pekerjaannya.
4. Bisa membangun networking.
5. Bisa menjaga kepercayaan.
Sumber: Diolah dari wawancara
FADJAR ADRIANTO, ARI WINDYANINGRUM, ACHMAD ADHITO HATANTO, DAN HENDARU
Friday, August 06, 2004
8 Kiat Jitu Bekerjasama Dengan Distributor
Yadi Budhisetiawan
Managing Director FORCE ONE - Selling & Distribution Consultants
Kendala klasik yang menghambat hubungan produktif prinsipal dengan distributor umumnya menyangkut perbedaan kepentingan, kesenjangan antara tuntutan dan kemampuan masing-masing pihak, serta meningkatnya rasa kurang percaya lantaran miskomunikasi dan mispersepsi. Ini berakibat perundingan mengalami jalan buntu, saling melakukan klaim, dan persoalan terus mengambang.
Distributor adalah “mitra strategis”. Prinsipal adalah “pelanggan utama”. Keduanya punya kepentingan untuk memupuk kerja sama yang efektif dan produktif. Ini menyangkut hubungan jangka panjang (biasanya >5 tahun), bukan sekadar “kawin-cerai” 1-3 tahun sekali. Prinsipal yang berhasil umumnya ditopang oleh jaringan kemitraan distributor yang berjangka panjang. Distributor yang sukses biasanya memiliki jejak rekam daftar prinsipal lama. Sehubungan dengan itu, terdapat 8 jurus sakti untuk menggalang hubungan kerja sama yang win-win.
1. Keserasian dalam berusaha
Hubungan prinsipal dan distributor layaknya api dan asap, bukan seperti air dan minyak. Hubungan ini bersifat saling mengisi, menguntungkan, memberi-menerima, dan melengkapi. Hasil akhirnya bersinergis. Keserasian berarti memiliki kesamaaan visi, misi, falsafah, platform, prioritas, strategi, nilai-nilai, pola kerja, serta saling memanfaatkan informasi dan jaringan pasar.
2. Kecocokan jenis distributor dan prinsipal
Secara mikro spesifik, ada 16 kategori distributor: dari yang terbesar seperti Distributor Nasional Perusahaan Terbuka Full Service hingga yang paling sederhana, yaitu Distributor Lokal Perusahaan “One Man Show” dengan pola berdagang ala komoditas. Di lain pihak, terdapat 20 jenis prinsipal: dari yang paling canggih seperti Perusahaan Global Berusaha Lokal secara maya sampai Perusahaan Home Industry Lokal “One Man Show”. Setiap perusahaan harus ekstra hati-hati mencari padanan yang cocok karena langsung menyentuh sendi-sendi pengelolaan lapangan.
3. Kesepakatan dalam platform utama
Banyak prinsipal dan distributor terjebak dalam penetapan & pencapaian sales. Selain itu, mereka terlalu menguras energi dalam hal teknis dan taktis yang normatif seperti administrasi pelaporan, barang kosong atau kredit (term of payment). Seharusnya mereka merumuskan kesepakatan dalam 3 platform kerja utama, yaitu: jumlah & jaringan pelanggan, kiat selling through, serta sinergisasi keterpaduan segmentasi pelanggan– segmentasi jajaran penjual–segmentasi product items. Ketiga platform ini berdampak langsung pada peningkatan penjualan, arus kas, dan proses parameter perbaikan yang berkelanjutan.
4. Kiat mengatur & mengatasi bidang rawan
Dalam sebuah hubungan pasti terjadi salah paham, konflik kepentingan, dan perbedaan persepsi. Harus disepakati bahwa apapun perbedaannya, suatu saat itu harus diakhiri. Makanya, tatanan kerja yang efektif akan lebih banyak merumuskan bidang-bidang yang cenderung rawan bagi masing-masing pihak. Contoh, bagi prinsipal, bidang yang peka biasanya pencapaian sales target, product availability dan product items penetration. Namun, bagi distributor, yang rawan adalah modal kerja, margin dan selling out. Tindakan kedua, merumuskan siapa yang bakal berunding dalam penyelesaiannya.
5. Surat perjanjian yang praktis & terurai
Kebanyakan surat perjanjian diberlakukan dari perspektif hukum. Harusnya lebih dilihat dari sudut kerangka kerja sama. Hak dan kewajiban masing-masing pihak mesti jelas terurai, adil, dan seimbang. Paling penting adalah jangka waktu kesepakatan harus lebih lama dari sasaran waktu return on investment. Kalau tidak, distributor akan enggan berinvestasi. Long term security harus benar-benar diperhatikan oleh prinsipal. Kesepakatan kerja perlu dibuat spesifik, terinci maksimal 16 bidang pokok kerja sama, tapi tidak terlalu melebar agar tidak birokratis. Surat perjanjian dibuat lebih aplikatif seperti surat bisnis, bukan seperti kontrak hukum. Lebih baik membuat 2-3 surat bisnis 5-8 halaman per tahun yang menegaskan “kesepakatan acuan kerja lapangan” daripada kontrak distribusi 60 halaman yang sempurna, indah, dan menyeluruh setiap tiga tahun.
6. Organisasi & SDM yang terfokus
Hubungan prinsipal & distributor harus intensif, interaktif, dan dua arah. Tidak sehat bila hanya menggantungkan diri pada satu saluran –antara pemilik vs pemilik atau marketing department prinsipal vs pemilik distributor saja. Hubungan ini harus dalam kerangka multi-fungsional dan multi-tasking. Artinya, ada departemen penjualan, market research, atau logistik yang juga ikut berperan dan terlibat rutin. Akan lebih baik lagi bila kedua organisasi membuat “hot line” khusus di masing-masing bidang untuk koordinasi dan pemantauan tindak lanjut antar lintas fungsional. Dengan demikian sumber daya organisasi, manusia dan keuangan lebih terarah dan terpadu.
7. Teknologi informasi & komunikasi
Hubungan intensif tidak saja datang dari manusia, namun dari data atau informasi yang dibagikan. Jumlah, bentuk, dan frekuensi laporan bersama komunikasi mesti dibakukan. Semakin terinci, update, dan akurat, maka hubungan manusia cenderung jadi lebih lancar, mudah, dan jelas mencari solusi. Tidak ada jalan lain, keduanya harus investasi dalam perangkat keras maupun lunak, pelatihan sistem prosedur, serta pola pengambilan keputusan dan analisis elektronis. Pertemuan fisik bisa berkurang sehingga setiap pihak punya lebih banyak waktu untuk memikirkan keputusan jitu. Kultur budaya kerja harus berubah ke arah digitalisasi atau berbasis kompetensi informasi & komunikasi.
8. Utamakan penanganan dan perbaikan proses
Sering memuji kesuksesan kecil atau sebuah kemajuan tiap minggu jauh lebih berarti ketimbang penyematan tanda jasa setahun sekali yang bersifat seremonial. “Grasa-grusu” akhir bulan, yang biasa terjadi setelah tanggal 25 untuk menutup bulan dengan pencapaian sales target, merupakan tindakan kontra-produktif. Lebih baik melakukannya harian, mingguan, atau dwimingguan dengan melihat parameter 4-5 teknis terinci daripada 1 parameter hasil akhir. Berarti kita harus belajar memantau perkembangan proses dalam bentuk “vital signs” yang merupakan penjabaran lebih jauh dari key results areas dan key performance indicators yang bersifat hasil akhir.
Bila ke-8 kiat di atas diterapkan dengan konsekuen, hubungan prinsipal dan distributor akan menjadi lebih efektif dan ampuh dalam mematahkan keunggulan pesaing karena kedua pihak mengubah orientasi dari introvert looking menjadi hubungan yang berbasis ke pasar & pesaing (extrovert looking).
Wednesday, August 04, 2004
Entrepreneurship on employees' minds
Entrepreneurship on employees' minds
03/08/2004
Nearly a quarter of UK employees think about ditching their jobs and starting up their own business at least once a week, a new survey has found.
Research by Jacks of London Franchise Programme found that 24 per cent of staff consider going it alone at least once a week, with the main motivations not based on money.
Six in ten said they would like to work their own hours, while over half were attracted by becoming their own boss.
The research follows similar studies released over the past week that revealed that both young entrepreneurs and employees of small businesses were not mainly motivated by money.
The challenge of the job and the chance to make important decisions have been the biggest incentives in all three surveys, with few budding entrepreneurs planning to become multi-millionaires.
With record numbers of people willing to start up in business, it appears there are several deep-rooted reasons why employees are rejecting the nine to five life, other than money.
The Jacks of London study found that women, young people and those in London were most keen to go it alone, while those aged over 55 were least likely to leave their jobs.
Sir Richard Branson and Dame Anita Roddick were the most inspiring entrepreneurial figures to employees,.
However, financial concerns were an issue for over half of those polled, while 38 per cent were worried about their lack of business experience.
Sue Whitehead, managing director of Jacks of London, said that franchising was a great way for employees to get into business ownership.
“Franchising is a less risky way of starting a business, giving the franchisee structure, support and guidelines for creating, maintaining and growing the business.
“And you don’t even need experience in the sector to make a success of the business,” she said.
03/08/2004
Nearly a quarter of UK employees think about ditching their jobs and starting up their own business at least once a week, a new survey has found.
Research by Jacks of London Franchise Programme found that 24 per cent of staff consider going it alone at least once a week, with the main motivations not based on money.
Six in ten said they would like to work their own hours, while over half were attracted by becoming their own boss.
The research follows similar studies released over the past week that revealed that both young entrepreneurs and employees of small businesses were not mainly motivated by money.
The challenge of the job and the chance to make important decisions have been the biggest incentives in all three surveys, with few budding entrepreneurs planning to become multi-millionaires.
With record numbers of people willing to start up in business, it appears there are several deep-rooted reasons why employees are rejecting the nine to five life, other than money.
The Jacks of London study found that women, young people and those in London were most keen to go it alone, while those aged over 55 were least likely to leave their jobs.
Sir Richard Branson and Dame Anita Roddick were the most inspiring entrepreneurial figures to employees,.
However, financial concerns were an issue for over half of those polled, while 38 per cent were worried about their lack of business experience.
Sue Whitehead, managing director of Jacks of London, said that franchising was a great way for employees to get into business ownership.
“Franchising is a less risky way of starting a business, giving the franchisee structure, support and guidelines for creating, maintaining and growing the business.
“And you don’t even need experience in the sector to make a success of the business,” she said.
Entrepreneurship: Carrying on with ‘fancy’ trade
Fact Box:
Name: Ramzan Ali Bhanjee
Age: 65
Type of business: Electric fancy fitting importer
Location: Swami Narayan Temple, M A Jinnah Road
Daily Times: What is your background?
Ramzan Ali Bhanjee: I was born in Karachi before independence. I got an MBBS degree from London Royal Guys Medical Institute and College in Britain. My father was a carriage contractor during the British Empire in Karachi. During that period bogies on tramway had been pulled with horses. This business was my family trade. My father also opened electric and gas appliances business. I have a son and a daughter. My married son has done MBA from London and he holds an executive post in an advertising firm in Karachi. My daughter is studying computer sciences. I have four brothers and five sisters and all of them are married.
DT: How did you come into this field?
RAB: After my father’s death in 1962, I had to look after his business. My two elder brothers were involved in other business and sisters were young. I accepted this challenge. I was also interested in doing some business, so it was easy for me to run the business.
DT: How has your business grown over the years?
RAB: My commitment, honest dealing and competitive prices are the key to success and progression of my business. Secondly, I have been introducing latest electric fancy appliances from time to time. I import fancy electric fittings, lamps and shades from China and Taiwan. I also import unique crystal chandelier and crystal lamps, which are very popular. I offer quality products with affordable prices.
DT: What problems have you faced as an entrepreneur?
RAB: I have a technical problem as other business members of this trade also face the same in general. The custom duty on such imports is 25 percent, and I concurrently want to promote sale of local products of the same kind. But when clients know that price difference between the imported and locally made product is not much, more than 70 percent of them prefer to buy imported material.
DT: How many customers do you cater to per day?
RAB: I have a number of clients who are loyal. They are retailers as well as institutions. Customers on daily basis also visit my showroom. Some 25 to 30 percent of the daily turn out of customers becomes potential clients. I run this business with the help of salesmen and other staff. After meeting monthly expenditures and paying 15 percent sales tax, I earn a respectable living.
DT: Have demand patterns changed over the years.
RAB: Throughout my business carrier spanning over 40 years, only visible change I noticed is that customers no longer have confidence on the trader. All customers need latest variety with quality. But they always bargain over the price.
DT: What are your future plans?
RAB: I want to expand my imports and to introduce other quality of fancy electric fittings. I am planning to computerized my dealing system with clients in order to offer them benefit on second purchase and further onwards dealings. —Razi Syed
Name: Ramzan Ali Bhanjee
Age: 65
Type of business: Electric fancy fitting importer
Location: Swami Narayan Temple, M A Jinnah Road
Daily Times: What is your background?
Ramzan Ali Bhanjee: I was born in Karachi before independence. I got an MBBS degree from London Royal Guys Medical Institute and College in Britain. My father was a carriage contractor during the British Empire in Karachi. During that period bogies on tramway had been pulled with horses. This business was my family trade. My father also opened electric and gas appliances business. I have a son and a daughter. My married son has done MBA from London and he holds an executive post in an advertising firm in Karachi. My daughter is studying computer sciences. I have four brothers and five sisters and all of them are married.
DT: How did you come into this field?
RAB: After my father’s death in 1962, I had to look after his business. My two elder brothers were involved in other business and sisters were young. I accepted this challenge. I was also interested in doing some business, so it was easy for me to run the business.
DT: How has your business grown over the years?
RAB: My commitment, honest dealing and competitive prices are the key to success and progression of my business. Secondly, I have been introducing latest electric fancy appliances from time to time. I import fancy electric fittings, lamps and shades from China and Taiwan. I also import unique crystal chandelier and crystal lamps, which are very popular. I offer quality products with affordable prices.
DT: What problems have you faced as an entrepreneur?
RAB: I have a technical problem as other business members of this trade also face the same in general. The custom duty on such imports is 25 percent, and I concurrently want to promote sale of local products of the same kind. But when clients know that price difference between the imported and locally made product is not much, more than 70 percent of them prefer to buy imported material.
DT: How many customers do you cater to per day?
RAB: I have a number of clients who are loyal. They are retailers as well as institutions. Customers on daily basis also visit my showroom. Some 25 to 30 percent of the daily turn out of customers becomes potential clients. I run this business with the help of salesmen and other staff. After meeting monthly expenditures and paying 15 percent sales tax, I earn a respectable living.
DT: Have demand patterns changed over the years.
RAB: Throughout my business carrier spanning over 40 years, only visible change I noticed is that customers no longer have confidence on the trader. All customers need latest variety with quality. But they always bargain over the price.
DT: What are your future plans?
RAB: I want to expand my imports and to introduce other quality of fancy electric fittings. I am planning to computerized my dealing system with clients in order to offer them benefit on second purchase and further onwards dealings. —Razi Syed
Thursday, July 29, 2004
Pesan Yang Tak Terucapkan
Saya mendapat email dari temen saya, Lesminingtyas dia bercerita tentang anaknya yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu (2 thn yg lalu) Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah. Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika "Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggeleng. Namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya kami pun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog lagi.
Ternyata dita tidak mengalami masalah dengan IQ-nya, namun setelah psikolog memberikan hasil tes tertulis kepribadian menangislah ia.
Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."
Dikapun menjawab : "Membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja" karena kenyataannya memang waktu Dita habis di sekolah dan kursus di luar sekolah, padahal sang ibu sudah pusing mengaturkan jadwal untuknya namun ternyata permintaannya sangat sederhana “diberi kesempatan untuk bermain sebentar saja”.
Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ..."
Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya"
banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan
beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.
Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ....."
Dikapun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja".
Menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya merupakan hal penting untuk orang tua ketahui, namun hal tersebut bukanlah sesuatu yang penting untuk anak.
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari........"
Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar " Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku".
Adakalanya orang tua berpikir sang anak yang hampir setinggi anak remaja tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah.
Ternyata dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan.
Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati orang tuanya, tetapi para orang tua juga tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya.
Untuk menyambut Peringatan Hari Anak Nasional Tanggal 23 Juli 2004, yuk kita mengingat-ingat lagi apa yang sudah kita lakukan pada anak-anak kita dan berpikir kembali apa yang harus kita lakukan untuk memperbaikinya. Tidak ada manusia yang sempurna, demikian juga kita orang tua tidak selalu “BENAR”. Setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya, namun tidak semua yang kita lakukan membuat anak bahagia.
Menyambut Peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2004
Ternyata dita tidak mengalami masalah dengan IQ-nya, namun setelah psikolog memberikan hasil tes tertulis kepribadian menangislah ia.
Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."
Dikapun menjawab : "Membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja" karena kenyataannya memang waktu Dita habis di sekolah dan kursus di luar sekolah, padahal sang ibu sudah pusing mengaturkan jadwal untuknya namun ternyata permintaannya sangat sederhana “diberi kesempatan untuk bermain sebentar saja”.
Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ..."
Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya"
banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan
beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.
Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ....."
Dikapun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja".
Menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya merupakan hal penting untuk orang tua ketahui, namun hal tersebut bukanlah sesuatu yang penting untuk anak.
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari........"
Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar " Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku".
Adakalanya orang tua berpikir sang anak yang hampir setinggi anak remaja tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah.
Ternyata dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan.
Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati orang tuanya, tetapi para orang tua juga tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya.
Untuk menyambut Peringatan Hari Anak Nasional Tanggal 23 Juli 2004, yuk kita mengingat-ingat lagi apa yang sudah kita lakukan pada anak-anak kita dan berpikir kembali apa yang harus kita lakukan untuk memperbaikinya. Tidak ada manusia yang sempurna, demikian juga kita orang tua tidak selalu “BENAR”. Setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya, namun tidak semua yang kita lakukan membuat anak bahagia.
Menyambut Peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2004
Monday, July 26, 2004
Gartner Says Outsourcing Will Continue to Be the Main Driver for Growth in IT Services
Analysts Discuss The Future of Outsourcing During Gartner Outsourcing Summit 2004
LAS VEGAS, NV. May 17, 2004 — Outsourcing continues to be the main source of growth in IT services, and has become a mainstream business practice for companies of all sizes. According to Gartner, Inc., in 2004, outsourcing will account for 53 percent of the total worldwide IT services market, and will make up 56 percent of the market by 2007.
Gartner presented these findings today during Gartner Outsourcing Summit 2004, which is taking place here, through May 19.
"Outsourcing is becoming the dominant way that enterprises buy IT services," said Allie Young, research vice president for Gartner's sourcing group. "The outsourcing industry continues to evolve, but the imperatives for enterprises that are considering outsourcing are constant - focus on core business, access to critical technical expertise and optimized IT operations."
There is heightened attention on business processes, as business process outsourcing (BPO) becomes the new growth area for adding greater value to outsourcing. Highly complex, multiyear IT projects are still found in megadeals, but for the average enterprise, the rise of shorter-term "selective" outsourcing will give way to a "best of breed" approach as business units influence outsourcing choices to a greater degree. The need for best in class IT outsourcing (ITO) and BPO for business impact is driving this shift.
The IT services market is also in the middle of unprecedented change as companies rush to employ a global delivery model (GDM), primarily in an attempt to reduce costs. Many enterprises consider "offshore" as synonymous with cost savings. The industry is transitioning to "global sourcing", which involves a broader, more varied value proposition, a more fundamental change in how enterprises buy and source IT services, and how outsourcers create and deliver IT-enabled business services.
"A global delivery model means that enterprises can use IT resources from anywhere in the world to ensure that they have the right skills at the right price at the right time, with managed risk," Young said. "Only the largest global corporations will rely on captive centers to bring a global labor pool to their IS organizations; most enterprises will do so via outsourcing, tapping into the GDM of an outsourcer."
Gartner Outsourcing Summit 2004 is the most comprehensive conference ever organized for buyers and users of outsourcing services. The emphasis is on sharing strategies that ensure tangible, sustainable results in a business environment where half of all outsourcing arrangements do not deliver on their expected benefit. Additional information about the conference is available at www.gartner.com/us/itsourcing.
About Gartner:
Gartner, Inc. is the leading provider of research and analysis on the global information technology industry. Gartner serves more than 10,000 clients, including chief information officers and other senior IT executives in corporations and government agencies, as well as technology companies and the investment community. The Company focuses on delivering objective, in-depth analysis and actionable advice to enable clients to make more informed business and technology decisions. The Company's businesses consist of Gartner Intelligence, research and events for IT professionals; Gartner Executive Programs, membership programs and peer networking services; and Gartner Consulting, customized engagements with a specific emphasis on outsourcing and IT management. Founded in 1979, Gartner is headquartered in Stamford, Connecticut, and has 3,700 associates, including more than 1,000 research analysts and consultants, in more than 75 locations worldwide. For more information, visit www.gartner.com.
Contact:
Christy Pettey
Gartner
+1 408 468 8312
christy.pettey@gartner.com
__________________________________________________________________
Sedikit banyak melegakan, cuma apakah demand nya sudah cukup tinggi di Indonesia,
ini yang masih jadi pertanyaan. Dari beberapa query, memang sudah nampak, cuma
mereka semua masih hati2. Outsourcing tidak selamanya menguntungkan.
LAS VEGAS, NV. May 17, 2004 — Outsourcing continues to be the main source of growth in IT services, and has become a mainstream business practice for companies of all sizes. According to Gartner, Inc., in 2004, outsourcing will account for 53 percent of the total worldwide IT services market, and will make up 56 percent of the market by 2007.
Gartner presented these findings today during Gartner Outsourcing Summit 2004, which is taking place here, through May 19.
"Outsourcing is becoming the dominant way that enterprises buy IT services," said Allie Young, research vice president for Gartner's sourcing group. "The outsourcing industry continues to evolve, but the imperatives for enterprises that are considering outsourcing are constant - focus on core business, access to critical technical expertise and optimized IT operations."
There is heightened attention on business processes, as business process outsourcing (BPO) becomes the new growth area for adding greater value to outsourcing. Highly complex, multiyear IT projects are still found in megadeals, but for the average enterprise, the rise of shorter-term "selective" outsourcing will give way to a "best of breed" approach as business units influence outsourcing choices to a greater degree. The need for best in class IT outsourcing (ITO) and BPO for business impact is driving this shift.
The IT services market is also in the middle of unprecedented change as companies rush to employ a global delivery model (GDM), primarily in an attempt to reduce costs. Many enterprises consider "offshore" as synonymous with cost savings. The industry is transitioning to "global sourcing", which involves a broader, more varied value proposition, a more fundamental change in how enterprises buy and source IT services, and how outsourcers create and deliver IT-enabled business services.
"A global delivery model means that enterprises can use IT resources from anywhere in the world to ensure that they have the right skills at the right price at the right time, with managed risk," Young said. "Only the largest global corporations will rely on captive centers to bring a global labor pool to their IS organizations; most enterprises will do so via outsourcing, tapping into the GDM of an outsourcer."
Gartner Outsourcing Summit 2004 is the most comprehensive conference ever organized for buyers and users of outsourcing services. The emphasis is on sharing strategies that ensure tangible, sustainable results in a business environment where half of all outsourcing arrangements do not deliver on their expected benefit. Additional information about the conference is available at www.gartner.com/us/itsourcing.
About Gartner:
Gartner, Inc. is the leading provider of research and analysis on the global information technology industry. Gartner serves more than 10,000 clients, including chief information officers and other senior IT executives in corporations and government agencies, as well as technology companies and the investment community. The Company focuses on delivering objective, in-depth analysis and actionable advice to enable clients to make more informed business and technology decisions. The Company's businesses consist of Gartner Intelligence, research and events for IT professionals; Gartner Executive Programs, membership programs and peer networking services; and Gartner Consulting, customized engagements with a specific emphasis on outsourcing and IT management. Founded in 1979, Gartner is headquartered in Stamford, Connecticut, and has 3,700 associates, including more than 1,000 research analysts and consultants, in more than 75 locations worldwide. For more information, visit www.gartner.com.
Contact:
Christy Pettey
Gartner
+1 408 468 8312
christy.pettey@gartner.com
__________________________________________________________________
Sedikit banyak melegakan, cuma apakah demand nya sudah cukup tinggi di Indonesia,
ini yang masih jadi pertanyaan. Dari beberapa query, memang sudah nampak, cuma
mereka semua masih hati2. Outsourcing tidak selamanya menguntungkan.
Gartner Says Outsourcing Will Continue to Be the Main Driver for Growth in IT Services
Analysts Discuss The Future of Outsourcing During Gartner Outsourcing Summit 2004
LAS VEGAS, NV. May 17, 2004 — Outsourcing continues to be the main source of growth in IT services, and has become a mainstream business practice for companies of all sizes. According to Gartner, Inc., in 2004, outsourcing will account for 53 percent of the total worldwide IT services market, and will make up 56 percent of the market by 2007.
Gartner presented these findings today during Gartner Outsourcing Summit 2004, which is taking place here, through May 19.
"Outsourcing is becoming the dominant way that enterprises buy IT services," said Allie Young, research vice president for Gartner's sourcing group. "The outsourcing industry continues to evolve, but the imperatives for enterprises that are considering outsourcing are constant - focus on core business, access to critical technical expertise and optimized IT operations."
There is heightened attention on business processes, as business process outsourcing (BPO) becomes the new growth area for adding greater value to outsourcing. Highly complex, multiyear IT projects are still found in megadeals, but for the average enterprise, the rise of shorter-term "selective" outsourcing will give way to a "best of breed" approach as business units influence outsourcing choices to a greater degree. The need for best in class IT outsourcing (ITO) and BPO for business impact is driving this shift.
The IT services market is also in the middle of unprecedented change as companies rush to employ a global delivery model (GDM), primarily in an attempt to reduce costs. Many enterprises consider "offshore" as synonymous with cost savings. The industry is transitioning to "global sourcing", which involves a broader, more varied value proposition, a more fundamental change in how enterprises buy and source IT services, and how outsourcers create and deliver IT-enabled business services.
"A global delivery model means that enterprises can use IT resources from anywhere in the world to ensure that they have the right skills at the right price at the right time, with managed risk," Young said. "Only the largest global corporations will rely on captive centers to bring a global labor pool to their IS organizations; most enterprises will do so via outsourcing, tapping into the GDM of an outsourcer."
Gartner Outsourcing Summit 2004 is the most comprehensive conference ever organized for buyers and users of outsourcing services. The emphasis is on sharing strategies that ensure tangible, sustainable results in a business environment where half of all outsourcing arrangements do not deliver on their expected benefit. Additional information about the conference is available at www.gartner.com/us/itsourcing.
About Gartner:
Gartner, Inc. is the leading provider of research and analysis on the global information technology industry. Gartner serves more than 10,000 clients, including chief information officers and other senior IT executives in corporations and government agencies, as well as technology companies and the investment community. The Company focuses on delivering objective, in-depth analysis and actionable advice to enable clients to make more informed business and technology decisions. The Company's businesses consist of Gartner Intelligence, research and events for IT professionals; Gartner Executive Programs, membership programs and peer networking services; and Gartner Consulting, customized engagements with a specific emphasis on outsourcing and IT management. Founded in 1979, Gartner is headquartered in Stamford, Connecticut, and has 3,700 associates, including more than 1,000 research analysts and consultants, in more than 75 locations worldwide. For more information, visit www.gartner.com.
Contact:
Christy Pettey
Gartner
+1 408 468 8312
christy.pettey@gartner.com
__________________________________________________________________
Sedikit banyak melegakan, cuma apakah demand nya sudah cukup tinggi di Indonesia,
ini yang masih jadi pertanyaan. Dari beberapa query, memang sudah nampak, cuma
mereka semua masih hati2. Outsourcing tidak selamanya menguntungkan.
LAS VEGAS, NV. May 17, 2004 — Outsourcing continues to be the main source of growth in IT services, and has become a mainstream business practice for companies of all sizes. According to Gartner, Inc., in 2004, outsourcing will account for 53 percent of the total worldwide IT services market, and will make up 56 percent of the market by 2007.
Gartner presented these findings today during Gartner Outsourcing Summit 2004, which is taking place here, through May 19.
"Outsourcing is becoming the dominant way that enterprises buy IT services," said Allie Young, research vice president for Gartner's sourcing group. "The outsourcing industry continues to evolve, but the imperatives for enterprises that are considering outsourcing are constant - focus on core business, access to critical technical expertise and optimized IT operations."
There is heightened attention on business processes, as business process outsourcing (BPO) becomes the new growth area for adding greater value to outsourcing. Highly complex, multiyear IT projects are still found in megadeals, but for the average enterprise, the rise of shorter-term "selective" outsourcing will give way to a "best of breed" approach as business units influence outsourcing choices to a greater degree. The need for best in class IT outsourcing (ITO) and BPO for business impact is driving this shift.
The IT services market is also in the middle of unprecedented change as companies rush to employ a global delivery model (GDM), primarily in an attempt to reduce costs. Many enterprises consider "offshore" as synonymous with cost savings. The industry is transitioning to "global sourcing", which involves a broader, more varied value proposition, a more fundamental change in how enterprises buy and source IT services, and how outsourcers create and deliver IT-enabled business services.
"A global delivery model means that enterprises can use IT resources from anywhere in the world to ensure that they have the right skills at the right price at the right time, with managed risk," Young said. "Only the largest global corporations will rely on captive centers to bring a global labor pool to their IS organizations; most enterprises will do so via outsourcing, tapping into the GDM of an outsourcer."
Gartner Outsourcing Summit 2004 is the most comprehensive conference ever organized for buyers and users of outsourcing services. The emphasis is on sharing strategies that ensure tangible, sustainable results in a business environment where half of all outsourcing arrangements do not deliver on their expected benefit. Additional information about the conference is available at www.gartner.com/us/itsourcing.
About Gartner:
Gartner, Inc. is the leading provider of research and analysis on the global information technology industry. Gartner serves more than 10,000 clients, including chief information officers and other senior IT executives in corporations and government agencies, as well as technology companies and the investment community. The Company focuses on delivering objective, in-depth analysis and actionable advice to enable clients to make more informed business and technology decisions. The Company's businesses consist of Gartner Intelligence, research and events for IT professionals; Gartner Executive Programs, membership programs and peer networking services; and Gartner Consulting, customized engagements with a specific emphasis on outsourcing and IT management. Founded in 1979, Gartner is headquartered in Stamford, Connecticut, and has 3,700 associates, including more than 1,000 research analysts and consultants, in more than 75 locations worldwide. For more information, visit www.gartner.com.
Contact:
Christy Pettey
Gartner
+1 408 468 8312
christy.pettey@gartner.com
__________________________________________________________________
Sedikit banyak melegakan, cuma apakah demand nya sudah cukup tinggi di Indonesia,
ini yang masih jadi pertanyaan. Dari beberapa query, memang sudah nampak, cuma
mereka semua masih hati2. Outsourcing tidak selamanya menguntungkan.
Subscribe to:
Posts (Atom)