Saya hanya seorang yang berpikiran sederhana, mencoba memahami dunia penuh kerumitan, mensyukuri setiap langkah yang diberkati, mendoakan harapan dan berharap hidup saya membuat banyak orang merasa sungguh hidup..
Translate
Monday, August 09, 2004
Pengusaha Muda 2004: Mampu Bertahan karena Kreatif dan Inovatif
Pengusaha Muda 2004: Mampu Bertahan karena Kreatif dan Inovatif
0 Tanggapan
Senin, 26 Juli 2004 10:21 WIB - warta ekonomi.com
Situasi ekonomi makin sulit, lahan bisnis makin sempit, dan modal makin susah. Namun, sejumlah pengusaha muda bisa berhasil menyiasati dan keluar sebagai "pemenang". Kunci suksesnya adalah karena mereka kreatif dan inovatif dalam menciptakan nilai tambah. Mereka juga termasuk mampu mengelola usaha dengan benar sehingga dapat terus mencetak laba.
Bisnis tak selalu manis. Sesekali bahkan ia bisa sangat pahit. Jadi, wajar kalau suatu masa Anda untung, tetapi pada kala yang lain bisa buntung. Itu pulalah yang dialami Setyo Yanus Sasongko, seorang pengusaha muda yang kini berusia 35 tahun. Bisnis pemilik dan sekaligus presdir PT Aimtopindo Nuansa Kimia ini adalah memproduksi bahan karbon aktif (activated carbon) dari arang tempurung kelapa. Berangkat dari hanya sebuah ide, bisnisnya pelan-pelan berkembang terus selama delapan tahun, dan hingga sekarang omzetnya mencapai Rp6 miliar. Masih tergolong kecil, memang. Namun, itu bukannya tanpa sebab.
Setyo mengungkapkan bahwa kendala utama yang dihadapinya sekarang adalah makin mahalnya harga bahan baku produksi dari pemasok, perubahan tata niaga, dan kondisi ekonomi. Untuk tahun ini, Setyo mengakui, isu survival menjadi begitu penting bagi perusahaannya. Namun, Setyo tak mau kekurangan akal. Ia mencoba kreatif dalam hal inovasi teknologi supaya harga biaya produksi bisa murah. Hasilnya, ia sekarang sudah punya cara mendiversifikasi bahan baku dan teknologi pengolahannya.
"Kami berhasil mengganti bahan baku dengan memodifikasi teknologinya," tutur Setyo. Sebelumnya bahan baku produksi berupa arang dari tempurung kelapa yang harus diperoleh dengan harga mahal dari pemasok. Akan tetapi sekarang, setelah teknologinya berhasil dia modifikasi, bahan baku bisa langsung berupa tempurung kelapa. Dengan modifikasi ini, biaya bahan baku akhirnya bisa dipotong sekitar 40%. Meski begitu, Setyo mengaku, "Saat ini tingkat keuntungan kami belum stabil karena kami masih dalam masa transisi menuju teknologi baru."
Setyo yakin, apabila proses transisi yang sekarang sudah setengah jalan tersebut berhasil diselesaikan, maka tingkat keuntungan usahanya akan pulih kembali. Ujung-ujungnya, harga akhir produk karbon aktif buatannya bisa bersaing dengan produk Cina, yang saat ini menguasai pasar lokal dan pasaran internasional. Setyo juga mempunyai rencana membuat pabrik di Sulawesi karena di sana ada deposit bahan baku tempurung kelapa yang sangat murah. Di sana tempurung kelapa dibuang begitu saja, tidak dimanfaatkan. "Saya mau menggandeng mitra lokal yang mempunyai deposit tempurung kelapa berskala besar di Sulawesi, untuk bersama-sama menciptakan nilai tambah dari bahan baku yang terbuang menjadi bahan baku yang memiliki nilai," paparnya.
Bagi Setyo, problem bahan baku yang dihadapinya sekarang justru dianggapnya merupakan momentum yang baik karena memaksa dirinya untuk kreatif dan berinovasi, sehingga akhirnya malah bisa mengurangi biaya produksi secara signifikan. "Justru peluang usaha saya makin terbuka daripada yang tadinya aman-aman saja," ungkapnya. Persoalan yang dia hadapi tidak menjadikannya patah semangat untuk terus meniti karier sebagai pengusaha, walaupun kesempatan menjadi eksekutif di perusahaan multinasional juga kerap mendatanginya.
"Lebih enak menjadi pengusaha, karena ide-ide saya bisa langsung saya implementasikan," tuturnya. Ia juga merasa bangga karena usahanya ternyata bisa berdampak positif bagi masyarakat, ia bisa melakukan ekspor atau membantu negara memperoleh devisa, dan bisa memberikan nilai tambah yang tinggi pada sumber-sumber ekonomi yang ada.
Setyo merasa sayang jika usahanya yang sudah berjalan selama sekian tahun itu sampai harus terputus di tengah jalan. "Saya sebenarnya memiliki cita-cita sebagai pengusaha di bidang pengembangan teknologi, bukan sekadar dagang," tuturnya. Ia mengaku telah membuat beberapa paket teknologi baru yang tinggal membutuhkan mitra usaha yang tertarik mengembangkannya menjadi sebuah produk. "Saya tidak tertarik untuk menjadi besar sendirian, seperti Grup Salim. Saya merasa lebih baik besar bersama orang lain yang lebih menguasai di bidangnya, sehingga ide-ide saya bisa profitable," ungkapnya.
Tak Mau Menyerah
Beberapa pengusaha muda yang lain yang seusia Setyo umumnya juga mengaku mengalami masalah yang kurang lebih sama. Artinya, mereka juga merasakan dampak dari situasi ekonomi yang masih tidak kondusif bagi perputaran roda bisnis mereka. Erwien Nurwihatman, direktur pelaksana PT Capella Sumber Intranet, merasakan betapa turunnya bisnis teknologi informasi (TI) di Indonesia untuk tahun ini berdampak nyata pada tingkat penjualan perusahaannya yang menyediakan perangkat lunak dan perangkat keras, serta services dan konsultasi TI. "Itu bisa dilihat langsung dari turunnya bisnis di perdagangan ritel TI di Mangga Dua dan Glodok," ungkap Erwien.
Demikian juga yang dirasakan Ian Rangkuti, presdir PT Natnit.net. Ia melihat bahwa kondisi perekonomian nasional masih dalam tahap pemulihan. Walau beberapa sektor usaha berkembang, stabilitas usahanya di bidang perdagangan lewat internet masih terganggu oleh lemahnya daya beli masyarakat umum dan "panas"-nya situasi politik. "Akibatnya perencanaan jangka panjang bisnis saya sulit untuk dilaksanakan dan sukar diprediksi tingkat keberhasilannya," tutur Ian.
Sementara itu, Christovita Wiloto, presdir PT Wiloto Corporation, yang antara lain bergerak di jasa public relations, juga sempat merasakan betapa perusahaan calon kliennya seperti sedang diet, alias menahan atau mengurangi biaya.
Namun, seperti halnya Setyo, para pengusaha muda tersebut umumnya juga tak mau patah semangat, atau mudah menyerah begitu saja menghadapi tekanan situasi. Mereka berusaha terus mencari peluang di tengah tantangan situasi perekonomian yang ada. "Saya sudah lama menjalankan bisnis parsel, dan ketika krisis moneter menimpa Indonesia, siapa sih yang tidak kena imbasnya? Akan tetapi, ternyata para pelanggan saya sudah menganggap parsel sebagai barang primer pada event-event tertentu," ungkap Fahira Fahmi Idris, dirut PT Nabila Parcel Bunga. Maka, jadilah bisnis Fahira mampu bertahan di tengah himpitan krisis.
Hal senada juga diungkapkan oleh Saleh Abdul Malik, presdir PT Altelindo Karya Mandiri. Saleh menegaskan bahwa ia tidak mau lagi bergantung pada risiko-risiko yang ada. Ia berupaya tidak mengaitkan dan menggantungkan kegiatan bisnisnya pada situasi yang ada, walau itu memang ada pengaruhnya. "Saya harus bisa dewasa, belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya bahwa bisnis harus tetap jalan terus," papar Saleh.
Lahan Bisnis Makin Sempit, Modal Makin Sulit
Menurut pengamat bisnis Wilson Nababan, dalam situasi bisnis yang makin global dan makin sengit persaingannya sekarang, peluang usaha bagi pengusaha muda pendatang baru sebenarnya makin tipis. "Sebab, peluang bisnis sekarang makin sempit karena lahannya makin dikuasai oleh para pemodal raksasa, terutama dengan masuknya perusahaan multinasional ke Indonesia," ujar presdir perusahaan riset bisnis PT CISI Raya Utama itu. Ia mencontohkan, apabila seorang pengusaha muda hendak membuka toko dagang eceran sederhana dengan merek dan gerai sendiri, mereka pasti akan sulit bersaing dengan jaringan ritel yang sudah mapan, seperti Alfa atau Indomaret. "Masuk ke sektor keuangan, seperti mendirikan bank pasar atau menjadi kontraktor, juga makin sulit sekarang ini," tuturnya.
Akan tetapi, lanjut Wilson, itu bukan berarti peluang usaha sudah tertutup sama sekali. Bisa saja seorang pengusaha muda masuk ke pasar dengan beroperasi di bawah lisensi atau waralaba--meskipun ada persentase tertentu dari keuntungan yang harus diserahkan ke pemilik lisensi atau pewaralaba. Bisa juga mereka membuka usaha dealer kendaraan bermotor, atau bengkel, atau restoran. Namun, lagi-lagi, bagaimanapun, semua itu membutuhkan modal yang cukup, networking yang kuat, dan, terutama, pengalaman untuk menekuni bisnis tersebut.
Bagi Wilson, kian sempitnya lahan bisnis itu tak hanya dialami oleh pengusaha-pengusaha muda yang baru muncul karena bertumbangannya para pengusaha besar nasional. Dalam era globalisasi sekarang, makin banyak unit-unit produksi berskala besar yang jatuh ke tangan perusahaan multinasional. Sepertinya, saat ini hanya tinggal menunggu waktu saja, bidang usaha apa lagi yang akan diambil alih perusahaan-perusahaan multinasional tersebut. Umpamanya di industri elektronik, kendaraan bermotor, dan perhotelan. "Industri elektronik memang berkembang, tetapi produksi dan jaringan distribusinya makin dikuasai oleh pemain asing," tuturnya.
Wilson mencermati, praktis tidak banyak pengusaha muda yang memiliki pencapaian tinggi dalam situasi ekonomi sekarang. "Dalam masa sulit seperti ini, yang bisa tumbuh adalah pengusaha yang superior atau menjadi 'super entrepreneur'," tuturnya. Anak-anak pengusaha besar yang sekarang mewarisi bisnis orang tuanya, seperti di Grup Bakrie, Grup Barito, Grup Sinar Mas, dan Grup Argo Manunggal, juga harus bekerja keras untuk melanjutkan warisan usaha ayahnya. Bank juga tak lagi mudah membantu mereka. "Boro-boro membantu pendatang baru, untuk langganan lama mereka saja juga ragu-ragu. Sebab, mereka sendiri diawasi dengan ketat oleh Bank Indonesia," ungkapnya.
Wilson menekankan, supaya seorang pengusaha muda bisa unggul dalam masa sekarang, ia harus memiliki kemampuan yang menonjol dalam hal networking, inovasi, serta improvisasi. "Dan sampai seberapa lama kesulitan ekonomi nasional bisa mereka atasi," tegasnya. Tiga motor penggerak ekonomi Indonesia selama ini, yakni sektor pangan, minyak, dan komoditas ekspor, praktis mengalami kemunduran. Kesulitan pangan, seperti beras dan gula, menyebabkan Indonesia harus makin bergantung pada impor. Indonesia juga telah berubah dari negara pengekspor minyak menjadi negara pengimpor minyak, sehingga patokan harga bahan bakar domestik terancam harus terus disesuaikan dengan harga pasaran internasional. Harga komoditas ekspor tradisional, seperti kopi, karet, lada, cokelat, dan kayu juga rendah. Sementara itu, komoditas ekspor yang lain, seperti kelapa sawit dan hasil tambang, hanya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan tertentu saja.
Mundurnya motor penggerak ekonomi itu sudah pasti berdampak buruk terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan. "Jangankan sampai akhir tahun, sampai lima tahun ke depan saja rasanya belum banyak perubahan yang akan terjadi," ujar Wilson. Di tengah situasi yang seperti itu, mereka masih harus menghadapi "serangan" dari imperium bisnis perusahaan multinasional. Ia tak merasa heran kalau beberapa pengusaha muda asal Indonesia justru bisa sukses berbisnis di luar negeri, seperti di Australia, Malaysia, dan Cina, karena kondisi di luar negeri yang lebih baik. "Jadi, jangan terlalu banyak berfantasi deh," tegas Wilson.
B.S. Kusmuljono, direktur utama PT Permodalan Nasional Madani (PNM), membenarkan bahwa banyak lembaga keuangan pemilik dana, seperti PNM, yang makin selektif dalam menyalurkan pendanaan kepada pengusaha-pengusaha muda. "Justru yang terpenting adalah kesiapan para pengusahanya, bukan besarnya modal," ujarnya. Berdasarkan pengalamannya selama ini dalam menjadi mitra usaha banyak pengusaha muda, terbukti pemberian dana modal atau kredit lebih banyak gagalnya karena pelakunya ternyata tidak memiliki kesiapan untuk menjadi pengusaha. "Sekarang modal tidak akan diberikan kalau para pelakunya tidak siap menjadi pengusaha," tegas Kusmuljono.
Menurut Kusmuljono, sejak awal menjadi pengusaha, seseorang harus siap memiliki budaya kerja, seperti memiliki cara berpikir wirausaha, mandiri, dan profesional. Ia juga harus memiliki budaya berani dalam mengambil risiko, dan memiliki etika moral yang baik. Misalnya, kalau punya utang ya harus dilunasi. "Jangan dininabobokan oleh anggapan bahwa modal adalah syarat utama menjadi pengusaha. Sebab, yang tidak mempunyai modal pun sebenarnya bisa menjadi pengusaha," ujarnya.
Saat ini, lanjut Kusmuljono, yang penting untuk dilihat oleh institusi penyedia modal adalah apakah pengusaha muda itu bisa menunjukkan kemampuannya dalam menciptakan laba. Oleh karena itu, dia menyarankan agar pengusaha muda bisa menciptakan kegiatan yang memberikan nilai tambah. Dari penciptaan nilai tambah itu, pengusaha muda tersebut harus bisa meraih penjualan, menciptakan arus kas usaha yang positif, dan dapat terus menciptakan nilai tambah yang makin tinggi, sehingga usahanya bisa langgeng.
Namun, itu saja tidak cukup. Pengusaha muda juga harus bisa menunjukkan kelayakan usahanya. Syaratnya, mereka harus mempunyai rencana usaha yang jelas, struktur organisasi, cara menjalankan usaha, kemampuan membuat laporan keuangan, dan cara pengawasan usaha. "Itu supaya mereka bisa bankable atau memenuhi syarat untuk memperoleh kredit," tutur Kusmuljono. Adapun sektor usahanya, mereka bisa bergerak di sektor riil, seperti perkebunan, perikanan, dan pertanian, yang sedang tumbuh baik sekarang, atau di sektor jasa, seperti perdagangan ritel dan distribusi makanan-minuman yang juga masih terus bertumbuh karena pasar domestiknya besar. "Atau di sektor keuangan, seperti mendirikan bank perkreditan rakyat dan koperasi simpan pinjam," tuturnya.
Bergerak berdasarkan lisensi atau waralaba, bagi Kusmuljono, juga boleh-boleh saja. Akan tetapi, selayaknya ilmu dari pemberi lisensi dan pewaralabanya bisa diserap sebagai bentuk cara alih teknologi. "Jadi, selanjutnya ia bisa menciptakan nilai tambah yang lebih besar, bukan sekadar tukang jahit saja atau terlalu bergantung pada impor," tegas Kusmuljono.
Mencintai Pekerjaan
Sementara itu, pakar manajemen bisnis Rhenald Kasali mencermati, memang tidak mudah apabila seseorang yang berusia muda kemudian terjun menjadi pengusaha. Alasannya, menjadi pengusaha itu menyangkut soal pilihan hidup. Akibatnya, pertama, kebanyakan orang belum merasa mantap menjadi pengusaha, sehingga masih perlu perjuangan. Kedua, tantangan menjadi pengusaha tidak sama antara satu orang dengan orang yang lain.
Dari asumsi tersebut, ketua Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Indonesia itu melihat, ada tiga kelompok besar pengusaha muda. Pertama, orang yang sebetulnya tidak punya pilihan, sehingga akhirnya pilihan itulah yang dia tempuh. "Mereka ini yang kemudian malah biasanya bisa berhasil," ungkap Rhenald. Kedua, "anak mami" atau mama's boy. Berhubung ayah-ibunya termasuk orang berada, maka sang anak diberi modal usaha. "Akan tetapi karena berasal dari keluarga yang mampu, dia mempunyai banyak pilihan, sehingga akhirnya tidak fokus pada usahanya dan malah bisa mengalami kegagalan," jelas Rhenald. Ketiga, orang-orang akademik atau anak sekolahan yang memang mempunyai pengetahuan. Tantangan bagi mereka adalah mereka berpikir dunia bisnis sama persis seperti dunia sekolahnya. "Padahal dunia bisnis belum tentu seperti kasus-kasus yang mereka pelajari selama di sekolah," tuturnya.
Terlepas dari semua itu, Rhenald optimistis, dalam keadaan sesulit apa pun, ada orang yang jatuh dan ada yang berhasil. "Tak semua orang jatuh," tegas Rhenald. Baginya, yang membedakan mereka yang berhasil dengan yang jatuh bukanlah pilihan bisnisnya, atau "what business are you in", melainkan cara mengelola perusahaan atau "how to manage your company". Ia melihat, kini banyak pengusaha muda mencoba terjun ke bisnis komoditas, seperti teh dan kopi, karena para ekonom setiap hari terus mengunggul-unggulkan tentang pentingnya agrobisnis, selain juga bisnis-bisnis yang berbasis sumber daya alam. "Memang bisnis yang berbasis sumber daya alam menarik dan cenderung berskala besar. Akan tetapi, mereka sering lupa bahwa harganya juga volatile, mudah naik-turun dan nilai tambahnya rendah karena tidak ada inovasi," paparnya. Akibatnya, mereka bisa saja cepat menjadi pengusaha besar karena memperoleh keuntungan besar, tetapi bisa cepat hilang karena harga jatuh.
Oleh karena itu, tambah Rhenald, supaya tidak jatuh, mereka harus bisa menciptakan sesuatu yang baru, yang tidak meniru sesuatu yang sudah ada. "Nah, saya melihat pengusaha muda yang berhasil sekarang ini adalah yang spesialis dalam bidangnya, mereka yang tidak bermimpi menjadi konglomerat, mereka yang ingin bisa bekerja sekaligus menikmatinya," tuturnya. Rhenald mencontohkan pengusaha muda yang seperti itu, antara lain, adalah Helmy Yahya (pengusaha di bidang entertainment), Abdi Pirsawan Azis (pembuat video proses kelahiran bayi), Nia Dinata (sutradara dan produser film), dan Ahmad Dhani (pemusik grup band Dewa yang tak segan mengklaim diri sebagai pengusaha musik).
Soal bekerja sekaligus menikmatinya (works, leisure, and learning), ini juga menjadi begitu penting di mata Rhenald karena dilihatnya pengusaha yang berhasil tergolong yang mencintai pekerjaannya. Jadi, mereka melakukannya bukan karena keterpaksaan, tetapi karena memang menyukai atau merupakan hobinya juga. Mereka juga tergolong orang-orang yang selalu membangun network dan selalu menjaga kepercayaan. "Dan yang jelas, mereka harus tahan banting, harus rela merangkak dari bawah karena memang tidak ada jalan pintas mencapai puncak, dan harus berani bersaing dengan pengetahuan dan konsep," jelas Rhenald.
Tantangan Pengusaha Muda 2004
1. Situasi ekonomi domestik yang makin sulit, terutama akibat mundurnya tiga motor penggerak ekonomi, yaitu sektor pangan, minyak, dan komoditas ekspor.
2. Lahan bisnis makin sempit karena dikuasai oleh para pemodal besar dan perusahaan multinasional.
3. Permodalan makin sulit didapat.
4. Kurangnya kesiapan menjadi pengusaha.
Sumber: Diolah dari wawancara
Kunci Sukses Menjadi Super Entrepreneur Muda 2004
1. Kreatif dan inovatif, terus menciptakan nilai tambah.
2. Mampu mengelola usaha hingga terus menciptakan laba.
3. Mencintai pekerjaannya.
4. Bisa membangun networking.
5. Bisa menjaga kepercayaan.
Sumber: Diolah dari wawancara
FADJAR ADRIANTO, ARI WINDYANINGRUM, ACHMAD ADHITO HATANTO, DAN HENDARU