Saya hanya seorang yang berpikiran sederhana, mencoba memahami dunia penuh kerumitan, mensyukuri setiap langkah yang diberkati, mendoakan harapan dan berharap hidup saya membuat banyak orang merasa sungguh hidup..
Translate
Tuesday, August 10, 2004
Profil Bisnis Waralaba
Kamis, 5 Agustus 2004 09:54 WIB - warta ekonomi.com
Menjual Citra dan Pengalaman
Nama besar plus pengalaman puluhan tahun menangani bisnis TI menjadi modal Metrodata Electronics dalam mengembangkan sistem waralaba. Lewat sistem ini diharapkan SDM dan laju bisnis bisa lebih terkontrol.
Puluhan tahun berkiprah di bisnis teknologi informasi (TI) tak langsung membuat PT Metrodata Electronics Tbk. percaya diri untuk menawarkan waralabanya ke pasar. Maka, tak heran bahwa meski embrio waralaba sudah ada sejak 1997--ditandai dengan pembukaan 11 gerai Metrodata di berbagai daerah dan kini mencapai 11 gerai yang berlokasi di beberapa kota besar di Indonesia--toh hingga tahun lalu mereka masih saja berpikir untuk terus membangun gerai dengan modal sendiri.
Baru pada Mei 2004, ketika perkembangan bisnis TI dirasa makin cepat, Metrodata resmi menawarkan waralabanya ke pasar. Hasilnya, gerai waralaba pertama untuk jasa penjualan dan layanan komputer di Makassar pun resmi dibuka. Gerai ini mengusung "merek" Metrodata Sales & Service (MSS). Rencananya, pembukaan gerai pertama ini akan disusul dengan pembukaan gerai MSS berikutnya di kota-kota besar lainnya. Target yang dipasang lumayan juga, yaitu tujuh gerai MSS hingga akhir tahun ini.
Menurut Agus Honggo Widodo, direktur PT Metrodata Electronics Tbk., selain alasan ekspansi, ada dua hal lain yang mendorong pihaknya mewaralabakan bisnisnya. Pertama, kebutuhan akan SDM yang tinggi dalam bisnis perdagangan komputer. "Dalam bidang ini ada knowledge khusus yang harus dimiliki. Jadi, SDM menjadi faktor penting yang memotori berkembangnya bisnis TI. Apalagi untuk daerah yang jauh dari kantor pusat," ungkap Agus. Kedua, soal pengawasan. Lewat sistem waralaba, menurut Agus, diharapkan laju bisnis Metrodata akan lebih mudah dikontrol. Apalagi kalau bisnis yang dijalankannya makin berkembang.
Untuk membangun sebuah gerai MSS, seorang investor mesti menyiapkan modal Rp500 juta. Jumlah ini sudah mencakup franchise fee Rp150 juta, dan sisanya yang Rp350 juta untuk menyewa tempat, renovasi, dan modal kerja. Angka ini, kata Agus, cukup untuk mengembangkan bisnis di kota-kota yang memang belum dimasuki Metrodata sebelumnya. "Kami harapkan dalam dua tahun modal sudah kembali," katanya.
Selain bidang penjualan dan layanan komputer, Metrodata juga menawarkan waralaba bidang pendidikan TI. Hanya kali ini Metrodata merangkul perusahaan asal Filipina, System Technology Institute (STI). Keduanya sepakat membentuk perusahaan bernama PT Metrodata STI Indonesia (MSTI), yang sekaligus dijadikan merek. Di sini modal yang mesti disiapkan oleh seorang investor lumayan banyak. Franchise fee-nya sendiri mencapai US$10.000.
Agus mengakui bahwa bidang pendidikan merupakan areal baru bagi Metrodata. Itu sebabnya mereka memilih berpartner dengan STI, yang berpengalaman dalam waralaba pendidikan TI selama lebih dari 20 tahun. "Kami optimistis bisnis ini akan berhasil," tandas Agus. Tak heran jika hingga akhir 2004 ini pihak Metrodata menargetkan empat sekolah MSTI bakal berdiri.
Target ini, menurut penilaian Agus, tak terlalu muluk. Itu sebabnya meski memiliki pengalaman puluhan tahun, dengan reputasi yang besar, mereka tetap memilih bersikap hati-hati. "Bisnis waralaba ini ibarat orang menikah, harus melalui proses penjajakan, penyatuan misi dan visi," tambah Agus. Harapannya, tentu agar usaha ini terus langgeng.
PT Metrodata Electronics Tbk.
Nama waralaba:
Metrodata Sales & Service (MSS)
Metrodata STI Indonesia (MSTI)
Pemilik waralaba:
PT Metrodata Electronics Tbk. (berdiri 1975)
PT Metrodata STI Indonesia (berdiri 2003)
Mulai diwaralabakan:
Mei 2004
Jumlah gerai (Juni 2003):
3 MSTI
1 MSS
Target (2004):
4 gerai MSTI
7 gerai MSS
ADE RACHMAWATI DEVI
Menakar Untung Setiap Celupan
Hanya tujuh bulan saja sejak gerai pertama Mr. Celup's dibuka September 2003, kini jajanan serba rebus ini memiliki 38 gerai. Kreativitas dalam menciptakan selera lokal jadi andalan untuk meraih laba hingga 30%.
Kalau pemilik waralaba lain butuh waktu tiga tahun untuk menyiapkan sistem waralaba bagi usahanya, maka Sugiarto dan dua rekan bisnisnya, Thomas Linardi dan Mulyadi Wijaya, tak perlu sampai selama itu. Hanya dalam tempo tiga bulan saja, sebuah gerai pertama waralaba dibuka oleh tiga pria asal Bogor ini, sesudah gerai pertama Mr. Celup's, yang menawarkan jajanan serba rebus, dibuka di Jl. Pajajaran, Bogor. "Awalnya karena ada seorang pembeli dari Denpasar yang mengutarakan minatnya untuk membuka gerai Mr. Celup's di Bali," ungkap Sugiarto kepada Warta Ekonomi . Minat pengusaha asal Bali itulah yang membuat Mr. Celup's mempercepat ekspansinya lewat jalur waralaba. Padahal semula mereka berniat akan mewaralabakan usahanya ini sesudah berjalan satu tahun.
Belakangan, bukan cuma jumlah pengunjung gerai Mr. Celup's di Jl. Pajajaran yang membeludak, tetapi jumlah permintaan para investor terhadap waralaba Mr. Celup's juga ikut membengkak. Hanya dalam tempo tujuh bulan saja, menurut Sugiarto, tak kurang dari 38 gerai Mr. Celup's telah tersebar di berbagai tempat di Indonesia. Mulai dari Bogor, Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bali, hingga Lampung. Bahkan, tahun ini, lanjut pria berumur 35 tahun itu, mereka bakal meresmikan gerai berikutnya di luar Jawa, seperti di Makassar.
Sugiarto memaparkan, sebenarnya ide untuk mendirikan usaha jajanan ini berasal dari kedai jajanan sejenis yang mereka temui di negara tetangga, Singapura. Hanya, karena tak ingin dianggap meniru mentah-mentah, maka ketiganya melakukan modifikasi dalam hal penampilan gerai. Pilihan mereka jatuh pada warung berjalan Mr. Celup's, alias mobil yang dimodifikasi sebagai tempat berjualan.
Kini untuk bisa membuka usaha sejenis dengan cara waralaba, seorang investor cukup menyiapkan modal Rp165 juta. Ini sudah termasuk untuk gerai mobil yang dimodifikasi, peralatan memasak, franchise fee yang besarnya Rp50 juta untuk jangka waktu lima tahun, dan tentu saja perlengkapan untuk memasak. Di luar itu, pembeli hak waralaba pun mesti menyiapkan uang untuk sewa tempat. Syukur-syukur mereka mempunyai tempat gratis untuk "memarkir" warungnya tadi.
Salah satu kelebihan waralaba Mr. Celup's dibandingkan waralaba makanan lainnya, boleh jadi, adalah kelonggaran untuk berkreativitas. Menurut Sugiarto, pihaknya memberi kebebasan kepada pembeli waralaba Mr. Celup's untuk melakukan modifikasi sesuai kebutuhan di daerahnya masing-masing. Alasannya sederhana saja, masing-masing daerah mempunyai selera yang berbeda. Cuma, untuk bisa meluncur ke pasar, produk tadi mesti melewati proses uji coba "lidah" Sugiarto. "Kebetulan sayalah yang bertugas di bagian ini," katanya.
Saat ini tak kurang dari 50 jenis jajanan dipajang di gerai Mr. Celup's. Ke depan, ungkap Sugiarto, pihaknya bakal meningkatkan standarisasi pelayanan di Mr. Celup's. Selain itu, tentu saja menambah jenis jajanannya. Jadi, mengapa Anda tidak ikut membeli waralaba Mr. Celup's dan memarkir dagangan Anda di depan rumah?
CV Celup Mitra Saudara
Nama waralaba:
Mr. Celup's
Pemilik:
Sugiarto, Thomas Linardi, dan Mulyadi Wijaya
Mulai diwaralabakan:
Desember 2003
Jumlah gerai (Juni 2003):
38 gerai
Target 2004:
40 gerai
GENUK CHRISTIASTUTI
Menjepit Laba di My Salon
Tak sampai setahun, Mega Mulia Mandiri berhasil meluncurkan waralaba My Salon ke pasar. Bergandengan tangan dengan Rudy Hadisuwarno, salon kecantikan yang menyasar segmen menengah ke bawah ini menawarkan laba hingga 30% dari omzet bulanan.
Tak perlu ragu untuk pindah kuadran, seperti yang kerap dianjurkan Robert T. Kiyosaki. Siapa tahu peruntungan Anda datang dari kuadran baru ini. Hal ini persis seperti yang dilakoni Thomas Lie, direktur PT Mega Mulia Mandiri (MMM). Pada usianya yang ke-33, persisnya Maret 2003, pria berwajah imut ini memutuskan untuk menjadi pengusaha dengan merintis usaha salon kecantikan--pilihan yang jauh menyimpang dari profesi yang selama ini ditekuninya, yaitu profesional jasa keuangan. "Saya pilih bisnis salon karena tak banyak yang mau menekuninya," ungkapnya, terbahak.
Terbukti, meski bisnis salonnya baru berjalan satu tahun, kini Thomas sudah memiliki delapan gerai salon. Dengan modalnya itu, ia pun memberanikan diri menawarkan sebuah proposal "pernikahan" dengan Rudy Hadisuwarno, pemilik PT Rudy Hadisuwarno Organization, yang dikenal sebagai kelompok usaha terkemuka di bisnis kecantikan. Hasilnya sungguh di luar dugaan. Bukan cuma berniat memberikan bantuan teknis, seperti diharapkan Thomas, bahkan pihak Rudy pun menyatakan minatnya untuk menjadi salah satu pemegang saham di perusahaan tersebut. Hasilnya, sebuah merek My Salon by Rudy Hadisuwarno. "Tepat Januari 2004 kami resmi bekerja sama dengan Rudy," kata Thomas.
Menjadi bagian dari Grup Rudy menempatkan My Salon pada level ketiga, yaitu yang membidik segmen menengah ke bawah. Sebelumnya, Rudy telah memiliki waralaba untuk level menengah ke atas, yaitu Rudy Hadisuwarno (Executive) dan Rudy Brown. Selain itu, kelompok yang sama juga memiliki Kiddy Cuts dan Fun Cut, yang ditujukan untuk anak-anak. "Dari sisi harga, posisi kami adalah head on dengan Yoppie Salon dan Johnny Andrean," ungkap Thomas.
Untuk Anda yang berminat menjadi pemilik gerai waralaba My Salon, Thomas memaparkan, modal yang perlu disetor tak banyak. "Investasi untuk membuka gerai My Salon mencapai Rp180 juta," ungkapnya. Adapun tawaran keuntungan yang bakal diperoleh terbilang menggiurkan. "Bisa mencapai 30% dari pendapatan per bulan," ungkap Thomas.
Meski bisnis salon kecantikan ini sudah disesaki nama-nama beken seperti Johnny Andrean, Yoppie Salon, dan Salon Lutuye, hal itu tak menyurutkan rencana Mega Mulia untuk mengembang-biakkan My Salon. Berani? Jelas. Sebab, papar Thomas Lie, salonnya memiliki konsep yang jelas. Selain menembak pasar kelas menengah ke bawah yang masih sangat potensial, dukungan manajemen pun akan sangat menentukan. Misalnya, seluruh pengelolaan salon akan dilakukan oleh pihak Mega Mulia. "Kalau mereka setiap hari mesti ngurusin usahanya, lebih baik mereka membuka usaha sendiri saja," ujar Thomas, terkekeh.
Meski begitu, bukan berarti pemilik waralaba My Salon mesti ongkang-ongkang kaki. Mereka masih bisa menempatkan orangnya, atau dia sendiri, sebagai kasir, yang sekaligus bisa bertindak sebagai "mata-mata" di dalam salon. "Seluruh penghasilan salon akan masuk ke rekening para pembeli waralaba," katanya tegas. Dan nikmati keuntungan yang mudah-mudahan bisa sampai 30%. Jadi, tunggu apa lagi?
PT Mega Mulia Mandiri
Nama waralaba:
My Salon
Pemilik waralaba:
Thomas Lie dan Rudy Hadisuwarno
Mulai diwaralabakan:
Februari 2004
Jumlah gerai (Juni 2003):
14 gerai
Target (2004):
30 gerai
GENUK CHRISTIASTUTI
Tak Ingin Sekadar Jago Kandang
Dengan mengusung nama berbau asing, Daily Bread Bakery berencana merambah pasar ASEAN. Langkah awalnya, menguasai pasar domestik lewat penawaran sistem bagi hasil yang dirintis tahun ini.
Di tengah maraknya bisnis bakery yang berkembang di Tanah Air belakangan ini, Daily Bread Bakery optimistis bisa terus mengembangkan bisnis yang telah digelutinya sejak 1996. Modalnya bertumpu pada tiga hal, yaitu kualitas produk, servis yang memuaskan, serta tim yang solid. Bukan hanya itu. Meski nama Daily Bread Bakery berbau asing, merek ini benar-benar asli lokal. Ini pula yang membuat PT Adirasa Selaras Abadi (ASA), perusahaan pengelola Daily Bread Bakery, merasa yakin bahwa usahanya bakal sukses dan mendapat respons yang baik dari pasar. "Sebagai tuan rumah di negeri sendiri, kami merasa lebih mengenal kondisi pasar di sini, termasuk juga selera konsumen dan apa yang mereka harapkan," ungkap Dedi Tanukusumah, vice-president PT Adirasa Selaras Abadi.
Meski saat ini ASA telah menggelar sekitar 24 gerai di seputar Jakarta, Bandung, dan Surabaya yang semuanya milik sendiri, tak urung mereka juga ingin berbagi sukses dengan masyarakat. Itulah sebabnya, sejak 2004 mereka mulai mengembangkan sistem revenue sharing, yang diistilahkan dengan "sistem operator". Agak berbeda dengan sistem waralaba yang telah mereka tawarkan sebelumnya, di sistem ini mitra bisnis hanya diminta menyediakan lokasi. "Praktis tak ada dana yang harus mereka keluarkan," kata Viki Mari, senior finance and accounting manager ASA.
Sebenarnya pertimbangan untuk menjalankan sistem ini sendiri sudah mulai dilakukan sejak lima tahun silam dengan bantuan konsultan dari Singapura. Namun, dengan alasan ingin mengenalkan lebih jauh lagi "brand" Daily Bread Bakery ke pasar, sistem ini baru akan dioperasikan pada 2004. "Kami melakukan pendekatan dari mulut ke mulut, dan cara ini ternyata cukup efektif," aku Dedi. Dengan perhitungan satu gerai membutuhkan modal Rp500 juta, maka pihak manajemen ASA memasang target 40 gerai bisa berdiri dengan sistem ini pada tahun 2004.
Mungkinkah target itu tercapai? Dengan penuh percaya diri Dedi menyatakan bahwa saat ini pihaknya telah melakukan penjajakan dengan beberapa calon mitra bisnis. "Kalaupun tak tercapai di tahun ini, kami pastikan tahun depan target ini benar-benar tercapai," tandasnya. Lalu, berapa besar pembagian revenue-nya? Menurut Viki, saat ini mereka menetapkan sistem 90 : 10. Maksudnya, 90% bagi ASA, dan sisanya untuk mitra bisnis. "Sebenarnya masih ada dua konsep yang kami tetapkan, yaitu 70 : 30 dan 60 : 40. Namun, saat ini kami baru menjalankan konsep yang 90 : 10," jelas Viki.
Dengan konsep ini diharapkan ekspansi bisnis Daily Bread Bakery, yang rata-rata omzet per bulannya Rp200 juta untuk setiap gerai, makin melaju. Bahkan mereka tak ingin hanya menjadi jago kandang, tetapi juga berancang-ancang untuk go international. Alasan itu pula yang melatarbelakangi perusahaan mengusung merek berbau asing. Targetnya, setelah sukses di Tanah Air, mereka pun bakal membidik pasar ASEAN.
PT Adirasa Selaras Abadi
Nama waralaba:
Daily Bread Bakery
Pemilik waralaba:
PT Adirasa Selaras Abadi (ASA)
Mulai diwaralabakan:
2004
Jumlah gerai (Juni 2004):
24 gerai
Target 2004:
40 (sistem operator)
ADE RACHMAWATI DEVI