(Catatan dan Beberapa Poin Diskusi LKKJ – 25 Maret 2013)
Laporan Kehidupan dan Kinerja Jemaat (LKKJ), berdasarkan catatan yang dimiliki oleh Pdt. Handi Hadiwitanto, sudah mulai bergulir sejak akhir tahun 1990-an dan diarahkan untuk memperoleh data-data kuantitaif untuk melihat perkembangan kinerja jemaat berbasis core business gereja atau yang sering disingkat CBG, yakni menghadirkan perjumpaan manusia dengan Tuhan. Sekalipun sudah bergulir cukup lama, upaya pengukuran kinerja melalui LKKJ tetap saja membingungkan di tengah jemaat, dalam hal ini terkait analisis terhadap data-data kuantitatif yang ada; kebingungan mau diapakan data-data kuantitaif tersebut.
Terlepas dari kebingungan yang ada, Pdt. Hadiwitanto berusaha mengingatkan satu hal yang penting dalam pengambilan kebutusan, yakni selalu bergerak berdasarkan data mengingat data membantu kita lebih terkontrol; tidak bergerak berdasarkan dugaan semata. Dari posisi ini, Pdt. Hadiwitanto kemudian masuk pada persoalan kebingungan dalam membaca data-data kuantitatif LKKJ. Hal ini dilakukannya dengan menarik LKKJ pada konsep awal yang melatarbelakangi lahirnya LKKJ. Bagi Pdt. Hadiwitanto, ketidakpahaman akan konsep yang ada di belakang pengumpulan data kuantitatif akan mengakibatkan kebingungan dalam melakukan analisis. Ada dua istilah yang dimunculkan Pdt. Hadiwitanto terkait upaya memahami konsep yang ada di belakang LKKJ, yakni: (1) perjumpaan Tuhan dengan manusia sebagai CBG dan (2) kinerja gereja. Pada kedua istilah inilah LKKJ harus dibaca dalam rangka melihat seberapa jauh sebuah jemaat hidup dan berperan (kinerja) untuk memperjumpakan manusia dengan Tuhan. Inilah konsep awal yang melatarbelakangi pengumpulan data-data kuantitatif, yakni data-data untuk mengukur kinerja gereja berdasarkan visi 2003.
Secara sederhana, kinerja gereja terkait dengan kompetensi yang dimiliki gereja – seringkai disebut kompetensi inti gerejawi (KIG) – dalam menghadirkan perjumpaan manusia dengan Tuhan (CBG). kinerja memperlihatkan bagaimana gereja – terkait dengan warga gereja – menggunakan kompetensi yang dimilikinya untuk membantu sesamanya berjumpa dengan Tuhan. Dari sini kemudian diturunkan empat indikator sebagai berikut:
- Indikator Persembahan Diri : jumlah anggota jemaat; pertambahan dan pengurangan anggota, komposisi usia, gender, pendidikan, pekerjaan, etnis.
- Indikator Persembahan Waktu: rata-rata kehadiran kebaktian & kegiatan lain, data kegiatan jemaat.
- Indikator Persembahan Tenaga : perbandingan aktifis dg anggota jemaat, rasio guru sekolah minggu dan anak sekolah minggu.
- Indikator Persembahan Dana : realisasi penerimaan, dan pengeluaran, biaya per bidang, rapp.
Keempat indikator di atas digunakan untuk membaca profil dan kinerja jemaat yang adalah wujud atau cermin pemenuhan CBG. Bagannya dapat dilihat di bawah ini:
Desain LKKJ seperti ini diharapkan membantu setiap jemaat membaca tren dan persoalan-persoalan dalam rangka merumuskan kebijakan yang relevan dengan kondisi riil.
Pada titik ini, Pdt. Hadiwitanto memberikan catatan kritis terhadap desain LKKJ yang cenderung membawa orang pada pemikiran bahwa semakin banyak program dan kehadiran anggota jemaat berarti semakin kuat kinerja jemaat dalam rangka menghadirkan perjumpaan manusia dengan Tuhan. Bagi Pdt. Hadiwitanto, banyaknya kegiatan di jemaat tidak berarti kinerja dalam rangka perjumpaan manusia dengan Tuhan (CBG) semakin tinggi; kinerja seharusnya berhubungan dengan kualitas, bukan dengan banyaknya program. Dimensi kualitatif bisa dikatakan tidak dijangkau dalam desain LKKJ saat ini. Oleh karena itu, Pdt. Hadiwitanto mempertanyakan gagasan mengenai (1) ekklesia, (2) kinerja dan (3) perjumpaan manusia dengan Tuhan di balik desain LKKJ yang sangat program centered. Dalam konteks ini, dibutuhkan pengayaan terhadap ketiga gagasan tersebut, kemudian menurunkannya ke dalam berbagai indikator dalam rangka pengumpulan data di tingkat jemaat. Proses seperti ini diyakini akan memperkaya LKKJ di mana berbagai data kuantitatif yang ada saat ini akan dibaca bersamaan dengan data-data kualitatif, sebagaimana tergambar pada bagan di bawah ini:
Bagi Pdt. Hadiwitanto, pengayaan seperti ini akan membantu jemaat untuk memeriksa secara terus-menerus bagaimana pemaknaan (ekklesia dan perjumpaan manusia dengan Tuhan) dihidupi (kinerja) di tengah jemaat maupun terkait peran gereja atau warga gereja di tengah masyarakat.
Kendala-kendala yang sempat di singgung Pdt. Hadiwitanto pada bagian awal, semakin diperkuat dengan beberapa catatan penting yang dikemukakan oleh Bp. Sukismo – pembicara kedua – dari PPDI BPMSW GKI Jabar. Berdasarkan pengalaman pengumpulan data di lapangan, PPDI masih bergumul dengan beberapa tantangan yang dijumpai di lapangan, seperti:
- Adanya sikap skeptis dan anggapan bahwa LKKJ tidak bermanfaat, sulit dikerjakan dan merupakan beban.
- Adanya pandangan bahwa kualitas lebih penting dari pada sekedar berputar dengan data-data kualitatif.
- Kebingungan dalam mengerjakan LKKJ secara benar.
- Tidak adanya sistem pencatatan dan kompilasi data.
- Tidak disiplin dalam mencatat dan meng-update data.
- Pemeliharaan data tidak berjalan secara secara sinambung mengingat pengumpulan dan pemeliharaan data sangat tergantung pada orang-orang tertentu; pergantian orang biasanya akan diikuti dengan terhentinya LKKJ
Beberapa kendala di atas, sebagaimana disinggung oleh Bp. Sukismo, memiliki implikasi seperti:
- kesulitan membaca tren yang ada dalam kehidupan jemaat (profile dan kinerja jemaat).
- Ketidakmampuan mengembangkan strategi pengembalaan yang sesuai dengan tantangan di tengah jemaat.
- Kesulitan mengelola keuangan jemaat,
- Pengambilan keputusan dan penyusunan Renstra (Rencana Strategis) tidak memiliki basis data yang baik.
- pertanggungjawaban program tidak didukung data.
Selain beberapa catatan di atas, Pdt. Stephen Suleeman – sebagai pembicara ketiga – memberikan sebuah catatan menarik, yakni membaca gereja dalam konteks modal sosial. Pembacaan seperti ini diyakini akan membantu kita melihat tingkat akseptabilitas jemaat di tengah dunia sosialnya dan dampaknya terhadap peran misional jemaat tersebut. Data-data yang digali dari posisi seperti ini dapat memperkaya LKKJ yang saat ini cenderung memberikan overview secara kuantitaif mengenai kehidupan jemaat.
Usulan Pdt. Suleeman berawal dari pembacaannya terhadap sejumlah pertanyaan LKKJ yang diajukan ke jemaat. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengindikasikan bahwa LKKJ hendak menempatkan jemaat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari sejumlah komponen. Oleh karena itu, muncullah pertanyaan-pertanyaan untuk melihat tren yang berkembang dalam kehidupan jemaat (tingkat kehadiran dan berbagai program). Pertanyaan-pertanyaan seperti ini dipandang bisa memberikan gambaran umum (permukaan) mengenai jemaat, namun tidak memadai untuk menggali dimensi kualitatif di balik angka-angka tersebut. Dengan kata lain, perjumpaan manusia dengan Tuhan (CBG) tidak terlihat/terukur hanya dengan mengandalkan angka-angka kuantitaif di dalam LKKJ saat ini. Alur seperti ini, sebagaimana disinggung Pdt. Suleeman, ikut memberikan kontribusi terhadap kejenuhan jemaat dalam mengerjakan LKKJ. Pengumpulan data berbasis format LKKJ tidak lagi menjadi sesuatu yang menantang, bahkan menimbulkan kebingungan dalam membacanya. Oleh karena itu, beliau mengusulkan data-data kuantitatif yang ada bisa diperkaya dengan deskripsi tebal berbasis data kualitatif. Dengan demikian, LKKJ tidak hanya berputar pada angka-angka atau persentase semata. Namun, di dalamnya terdapat penjelasan mendalam mengenai dinamika kehidupan jemaat; baik secara internal maupun dalam konteks kehadirannya di tengah masyarakat. Apabila ini tidak dilakukan, dikuatirkan LKKJ hanya akan menempatkan gereja bagaikan sebuah perusahaan di mana harus dicatat naik-turunnya persembahan (laba) dan kehadiran anggota.
Dari penyajian yang ada, termasuk beberapa sharing dalam sesi tanya-jawab, kita bisa menarik beberapa poin yang bisa dilihat sebagai rekomendasi dalam rangka pelaksanaan dan pengembangan LKKJ, yakni:
- Di tiap jemaat dan klasis perlu dibentuk pokja Litbang yang akan mengumpulkan, mengelola dan memelihara data-data LKKJ, termasuk di dalamnya memastikan bahwa pengumpulan data akan berlangsung secara sinambung
- Pokja Litbang perlu didukung tenaga khusus (full timer) dalam rangka pengerjaan LKKJ. Hal ini sekaligus merespon kesulitan jemaat dalam mengerjakan, mengompilasi dan membaca data untuk penyusunan program dan Renstra jemaat. Keberadaan tenaga full timer juga dapat mengurangi gejolak yang biasanya ditimbulkan oleh pergantian orang dalam kepengurusan.
- Saat ini pokja Litbang yang berada di bawah PPDI telah memiliki program sederhana untuk meng-input data. Program seperti ini perlu untuk dipelajari bersama-sama di tingkat jemaat, termasuk mendialogkannya dengan berbagai usulan pengembangan LKKJ
- Dibutuhkan pendalaman – melalui serangkaian diskusi – beberapa konsep penting, yakni: (a) Ekklesia, (b) perjumpaan manusia dengan Tuhan dan (c) kinerja. Pendalaman terhadap ketiga konsep ini akan memperkaya pengumpulan data dalam rangka membaca iklim bergereja (visi-misi, kepemimpinan, tempat warga jemaat sebagai subjek dan sebagainya).
- LKKJ perlu diperkaya dengan pendekatan modal sosial agar tingkat akseptabilitas gereja di tengah masyarakat bisa dibaca, termasuk dampaknya terhadap misi gereja.
- Dibutuhkan upaya bersama untuk menemukan langkah-langkah yang tepat dalam rangka menyusun deskripsi tebal mengenai kondisi jemaat (teologi, budaya dan dinamika yang hidup di tengah jemaat). Deskripsi ini akan membantu jemaat untuk membaca secara mendalam apa yang tampak dipermukaan (data-data kuantitatif).
****************
SUMBER: http://kptgkiswjabar.blogspot.com/2013/05/lkkj-dan-tempat-dalam-kehidupan-jemaat.html