Translate

Sunday, June 21, 2020

BALANCING RATIONAL AND EMOTIONAL IN MAKING DECISIONS

BALANCING RATIONAL AND EMOTIONAL IN MAKING DECISIONS

Hari Selasa malam yang lalu, saya berjalan-jalan dengan Adrian, anak saya yang ketiga. Dia sedang rajin-rajinnya belajar menyetir, maka kami pun berputar-putar di jalan toll di Jakarta. 
Saat kami sampai di daerah Pantai Indah Kapuk, tiba-tiba dia bertanya,"Papa, minggu ini kan ada pertandingan Arsenal melawan Manchester City. Dan kemudian Totenham melawan Manchester United. Kalau menurut papa skor nya nanti berapa?"
Saya bilang Arsenal akan kalah 3-0, dan Totenham akan seri 1-1.
Beberapa hari kemudian, Adrian bangun tidur sambal berkata,"You were right. How did you do that?"
Ternyata memang Arsenal akan kalah 3-0 dari City, dan Totenham seri 1-1 dengan Manchester United.

Adrian begitu penasaran, terus waktu dia menngemudikan mobil ke Sentul hari Sabtu pagi dia nanya lagi,"Bagaimana Papa bisa memprediksi skor pertandingan itu?"
Pepatah Perancis mengatakan "L'histoire se repete", sejarah itu berulang. Maka apa yang akan terjadi di masa depan itu bisa diramalkan dari trend yang terjadi di masa lalu. Dan saya pun menceritakan bagaimana saya melakukan predictive analytics, untuk membuat sebuah linear trend estimation yang kemudian saya optimisasikan dengan menggunakan diagram Karnaugh (sebuah metode penyederhanaan aljabar Boolean untuk mengeliminasi potensi race condition dengan memanfaatkan pattern recognition ability). Tentu saja saya memerlukan beberapa jam analisa untuk melakukan prediksi itu. Tentu saja, prediksi saya tidak selalu tepat, sering juga salah, tapi saat prediksi itu tepat (seperti dua prediksi minggu ini), tentu saja you feel great about it. (Please don't aks me to publish my analysis in public, dulu banyak yang "menyalahgunakan"😊).

Adrian berfikir kemudian dia bertanya lagi,"Tapi kan Papa supporter Arsenal, bagaimana Papa sendiri meramalkan bahwa Arsenal akan kalah"
Saya menjawab,"Support with your heart, decide with your brain". Kamu boleh mendukung dengan hatimu, tetapi kamu tetap harus mengambil keputusan menggunakan otakmu. Banyak orang yang karena memuja klub kesayangannya, selalu meramalkan bahwa mereka akan menang. Kehilangan obyetivitas mereka. I learned it the hard way. 
Tahun 1998 Perancis menjadi Juara Dunia, tahun 2000 Perancis menjadi Juara Eropa. Tahun 2002, ada Piala Dunia di Jepang dan Korea. Saya pun memesan tiket untuk melihat pertandingan semi-final mereka di Jepang. Ternyata Perancis kalah di babak penyisihan di Korea 😊.
Adrian mengangguk, dan menginjakkan gasnya di jalan toll menuju ke Sentul.

Support with your heart, decide with your brain. Be objective! Bukankah itu yang kita lakukan sehari-hari di pekerjaan kita. Mengkombinasikan agar keputusan kita menyeimbangkan factor emosional dan rasional.
- Pada saat seorang vendor menawarkan product yang bagus dan harganya sangat rasional, tetapi orang yang menjualnya menyebalkan? 
- Atau sebaliknya, saat seorang vendor menawarkan product yang kurang bagus, tetapi orang yang menjualnya sangat menyenangkan?
- Saat seorang sahabat anda di SMA, menawarkan product yang biasa-biasa saja bahkan harganya sedikit lebih mahal, dibandingkan dengan product lain yang lebih bagus, mana yang anda pilih?
- Saat anda harus memutuskan untuk merekrut dua candidate A atau B. Dari semua factor, nilai-nilai A sedikit di atas B, tetapi B adalah anak yatim piatu yang menjadi tulang punggung adik-adiknya. Siapa yang anda recruit?
- Ketika anda harus memacu team anda untuk terus menerus bekerja keras mencapai target yang belum tercapai, tetapi team anda sedang kelelahan dan mengalami mental fatigue?
- Pada saat seorang teman saya harus dengan berat hari memutuskan untuk mengurangi sejumlah karyawan (dan mengakibatkan karyawan-karyawan itu kehilangan pekerjaan), tetapi yang dia lakukan itu mungkin akan menyelamatkan perusahaan di masa depan?
- Pada saat seorang anak buah anda melakukan fraud, dan anda harus memberikan sangsi yang berat. Dan ternyata anak buah anda harus menghidupi keluarganya, termasuk seorang anak kandung yang sakit keras. Apa yang anda lakukan?

Every single day, we have to make our decision. Every single day, our brain and our heart will need to work together.
Seorang teman saya begitu loyal kepada perusahaannya, secara emosional sangat setia kepada perusahaannya.
Dulu dia bilang,"Perusahaan ini merekrut saya waktu saya masih nobody, baru keluar dari Universitas. Saya mampu menafkahi keluarga saya dan menafkahi kelurga saya karena mereka. Saya tidak akan pernah tertarik untuk interview di perusahaan lain. CV saya aja gak saya update"
Tahun lalu, dia bilang,"Ternyata perusahaan saya dalam masa kesulitan, dan saya terkena impactnya. Sekarang saya bingung mau mencari pekerjaan ke mana. Saya tidak terbiasa mencari pekerjaan. "
Mungkin karena teman saya terjebak dalam dikotomi,"Saya akan selalu loyal pada perusahaan ini, maka saya tidak mengembangkan kompetensi lain dan tidak menambah networking saya"
(Dan inilah bagaimana factor emosional bekerja).

Padahal mungkin cara befikirnya adalah,"Saya akan selalu loyal pada perusahaan ini, DAN untuk berjaga-jaga, saya akan tetap mengembangkan kompetensi saya dan menambah networking saya"
(Metode kedua ini adalah melakukan balancing antara factor emositional dan factor rasional).
Dan seandainya dia melakukan hal kedua, mungkin teman saya ini tidak akan kesulitan mencari pekerjaan lain.
Pada saat yang sama, kadang-kadang leader juga terlalu rasional. Yang dilakukan sangat focus pada pencapaian KPI, peningkatan productivity, Return On Investment …. Yang semuanya sangat rasional, kalau diteruskan bisa sampai pada level mengeksploitasi karyawan (dan kemudian mereka bingung pada saat talent terbaiknya kabur ke perusahaan lain …. ?)


Padahal bisnis berjalan dengan kombinasi dan balancing antara factor emosional dan factor logical. Pada saat kita membeli product dengan memilih brand tertentu, seringkali kita hanya menggunakan factor emosi saja. Hanya karena lebih suka brand itu, tanpa bisa menjelaskan mengapa secara logis.
Maka seandainya bisnis anda ingin melakukan cost efficiency, dan Operational Department ingin mengubah spesifikasi product anda (agar cost lebih murah, dan profit lebih tinggi, ini factor rasional), pastikan bahwa Marketing Department juga diajak dalam proses pengambilan keputusan (mereka akan memberikan pendapat, apakah consumer masih akan menyukai product itu dan memilih product anda, ini factor emosional).
Meskipun Marketing Department tetap harus juga memperhatikan banyak KPI yang number-oriented, misalnya Customer Lifetime Value, Traffic-to-Lead Ratio, Lead-to-Customer Ratio, Social Media Traffic (and Conversion Rates) …etc.

Intinya whatever you do, you need to find a balance between emotional and rational factors.
How to do it? Coba perhatikan tiga rekomendasi di bawah ini:

a) Balancing between short term objective and long term success

Selalu ingat bahwa perjalanan bisnis anda adalah sebuah perjalanan Panjang. Jangan mengorbankan kesuskesan jangka Panjang , hanya untuk menyelamatkan Quarterly KPI anda. Ingat bagaimana perusahaan anda harus survive dan sukses di masa depan, factor apa yang harus dicapai, buatlah millestone yang selaras dengan itu.

b) Balancing between company objectives and employee aspirations

Seimbangkan antara apa yang perusahaan harus capai dan apa yang karyawan inginkan. Achieve your business objectives by developing your people, not by exploiting them. Design your action plan, so that your employees will learn and improve their competences by implementing your action plan.

c) Start with the objective, consider the team's emotion, and then make the decision accordingly

Focus pada objective yang ingin dicapai. Jangan terburu-buru menjadi bulldozer yang terus membabi-buta untuk mengimplementasikannya. Engage your team, listen to them, ask their input. Kemudian adjust your action plan, supaya objective tetap tercapai dengan memperhatikan concern dan input team anda.

d) Remember, in your leadership: Touch their heart, convince their head, before you ask them to move their hands. 

Ingat, pada akhirnya memang sebagai leader tugas kita adalah mempengaruhi team kita agar semuanya "mendayung sampan" ke arah yang sama. Tetapi untuk mempengaruhi mereka (agar mereka mau melakukan apa yang kita minta) sering kali kita harus mempengaruhi otak mereka (dengan argument rasional) dan juga menyentuh hati mereka (dengan pendekatan emosional).

Salam Hangat

Pambudi Sunarsihanto