Translate

Monday, January 04, 2010

FACEBOOK: Antara Dunia Nyata dan Semu

(Tinjauan Kritis Iman Kristen terhadap Gejala dan Penggunaan Facebook)

oleh:
Denny Teguh Sutandio

I.PENDAHULUAN

Di abad postmodern, manusia makin
lama bukan makin tambah beres, namun semakin kacau dan hidup tidak karuan,
mulai dari prinsip hidup sampai aplikasinya. Ya, meskipun hal ini tidak
terjadi pada semua manusia, namun gejala postmodernisme (dan postmodernitas)
yang salah satunya ditandai oleh pragmatisme sedang merajalela di zaman
postmodern. Dengan semangat pragmatisme (atau menggunakan bahasa gaul sekarang:
EGP—emang gue pikirin), mereka
menganggap ringan banyak hal, bahkan hal-hal penting. Banyak hal dianggap
main-main, sehingga banyak generasi muda zaman sekarang sangat susah ditanya
mengenai prinsip hidupnya apalagi imannya. Salah satu hal yang dibuat mainan
oleh generasi muda zaman sekarang adalah Facebook. Apakah Facebook itu? Dari
mana asalnya? Bagaimana penggunaan Facebook di zaman sekarang? Apakah Facebook itu
salah? Atau penggunaan yang tidak bertanggungjawab terhadap Facebook yang
salah? Artikel yang saya susun ini tidak bermaksud melarang penggunaan
Facebook sama sekali, namun menyoroti khusus terhadap penggunaan Facebook.

II.PRESUPOSISI KRISTEN: IMAN KRISTEN DAN MEDIA

A. Beragam Reaksi Kekristenan Terhadap Media

Sebelum kita masuk ke dalam
pembahasan mengenai Facebook, mari kita merenungkan dahulu apa yang menjadi
dasar presuposisi iman Kristen kita terhadap media. Zaman yang kita hidupi
berbeda dari zaman dahulu. Perbedaan tersebut bisa ke arah positif atau
negatif. Perbedaan itu ditandai dengan salah satunya oleh kemajuan teknologi.
Kalau zaman dahulu, mungkin tidak ada media elektronik yang canggih, seperti
HP, laptop, dll, namun di zaman sekarang, semuanya ada, bahkan lebih canggih.
Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita sedang hidup di zaman serba
berteknologi. Dalam hal ini, orang Kristen pun berpartisipasi dan ikut
menikmati kemajuan teknologi. Ada beragam reaksi yang dinyatakan oleh orang
Kristen berkenaan dengan media.



1.
Cuek
dan Terlalu Kompromi

Biasanya beberapa atau bahkan
mungkin banyak orang Kristen yang prinsip hidupnya tidak beres selalu mengambil
jalan pragmatis di dalam hidupnya, yaitu “prinsip” EGP (emang gue pikirin). “Prinsip” ini ditandai dengan dua hal. Pertama,
yaitu cuek. Mereka benar-benar cuek dengan kemajuan teknologi dan akibatnya,
karena baginya, mereka sangat menikmati teknologi-teknologi tersebut. Kedua,
yaitu terlalu kompromi. Selain cuek, orang pragmatis biasanya terlalu
menganggap ringan banyak hal. Ia terlalu banyak berkompromi dalam banyak hal.
Mereka berpikir bahwa semua media itu baik dan berguna. Bukan hanya media,
dalam hal seni pun, mereka berpikir hal yang sama. Saya mendengar perkataan
seorang penyiar radio Kristen di sebuah siaran radio Kristen di Surabaya
mengatakan bahwa semua musik itu dari Tuhan. Pernyataan ini sebenarnya perlu
diklarifikasi dengan penjelasan yang bertanggungjawab. Benarkah semua musik itu
dari Tuhan? Apakah si penyiar ini tidak sadar bahwa musik juga termasuk salah
satu hasil dari kebudayaan manusia yang berdosa. Hal yang sama dengan media.
Media adalah hasil kreativitas dari manusia berdosa. Meskipun TIDAK semua media
itu salah dan menyesatkan, namun tetap ada unsur berdosa di dalam setiap hasil
penemuan manusia berdosa.



2.
Paranoid

Selain cuek dan terlalu kompromi,
reaksi ekstrem kedua adalah ketakutan/paranoid terhadap media. Biasanya reaksi
ini ditandai dengan tindakan membatasi penggunaan media oleh beberapa orangtua
Kristen maupun hamba-hamba Tuhan agar para generasi muda Kristen tidak
terpengaruh hal-hal buruk dari media. Saya mendengar sebuah cerita dari seorang
teman kuliah saya dahulu yang berjemaat di sebuah gereja yang cukup terkenal di
kalangan anak muda di Surabaya. Teman saya bercerita bahwa pendetanya (yang
tergolong masih muda dan bukunya cukup terkenal) melarang anggota jemaatnya
untuk membaca buku atau/dan menonton film The
Da Vinci Code. Di satu sisi, tindakan memproteksi ini baik dan berguna,
namun sayang, di sisi lain, hal ini berbahaya, kurang bertanggungjawab, dan kurang
bijaksana. Mengapa? Karena: Pertama, motivasinya kurang bisa
dipertanggungjawabkan. Apa motivasi dari tindakan pembatasan penggunaan media?
Biasanya orang yang paranoid dengan media lalu membatasi penggunaan media
berkata bahwa itu kurang baik isinya. Jika ada orang yang berkata demikian,
tolong tanya, apakah yang mengatakan hal tersebut sudah mengerti seluk-beluk
media yang dibicarakannya atau tidak/belum? Jika sudah mengerti, maka ia berhak
mengatakan hal tersebut. Namun, jika belum, hak apa ia bisa mengatakan hal yang
belum diketahuinya secara tuntas? Jika orang itu belum mengerti seluk-beluk
media secara tuntas, lalu menyuruh jemaat/orang lain untuk membatasi penggunaan
media, bukankah sikap ini adalah sikap fanatik berlebihan? Jangan heran, beberapa
anak muda Kristen kurang kritis dalam memilih sendiri mana media yang beres
atau tidak, karena di gerejanya, mereka diajar oleh pengajar/hamba Tuhan yang
paranoid dengan media.



Kedua, tujuannya bisa merusak. Apa
tujuan dari pembatasan penggunaan media? Biasanya mereka yang paranoid terhadap
media yang mengambil sikap membatasi penggunaan media mengatakan bahwa tujuan
mereka agar para generasi muda Kristen tidak rusak imannya. Kembali ke contoh
tentang pelarangan menonton/membaca The
Da Vinci Code oleh seorang pendeta di atas, apa tujuan pendeta tersebut
melarang menonton/membaca The Da Vinci
Code? Mungkin sekali tujuannya baik, yaitu agar para generasi muda Kristen
tidak rusak imannya, namun apakah tujuan itu benar-benar bijaksana? Saya pikir
tidak. Mengapa? Pertama, apakah pelarangan tersebut konsisten dengan tindakan
pendeta itu sendiri? Jika pendeta itu melarang menonton/membaca The Da Vinci Code, tolong tanya, apakah
pendeta itu sudah membaca/menontonnya? Jika sudah, mengapa ia melarang? Jika
belum, hak apa ia melarang orang lain menonton/membacanya? Ataukah ia hanya
mendengar dari kata pendeta lain yang sudah mengkritisi The Da Vinci Code, lalu mengambil sikap demikian? Kedua, pelarangan
tersebut tidak diimbangi dengan pengajaran iman Kristen secara ketat. Jika
pendeta itu melarang menonton/membaca The
Da Vinci Code, apakah pendeta itu mengimbanginya dengan mengajar iman
Kristen yang ketat dan teliti khususnya dalam aspek sejarah untuk melawan isi
dari The Da Vinci Code? Jika tidak,
maka pelarangan itu tidak bertanggungjawab dan kurang bijaksana. Jika ya, maka
sebenarnya pelarangan itu tidak diperlukan, karena kalau jemaat sudah dibekali
dengan apa yang benar, maka ia bisa mengembangkan pikiran kritis di dalam
melihat segala sesuatu. Saya berani berkata satu hal bahwa jika ada pendeta
yang melarang menonton/membaca The Da
Vinci Code, namun tidak mengimbanginya dengan mengajar iman Kristen dengan
beres, biasanya pendeta itu kurang beres dalam belajar theologi/Alkitab. Untuk
menutupi kelemahannya dalam hal-hal theologi, makanya ia melarang jemaatnya
tanpa mau memberi tahu dengan jelas alasan dan hal-hal yang sebenarnya. Di
sini, yang paling mengasihankan itu jemaatnya yang diimun oleh pendetanya yang
mungkin sekali adalah orang yang kurang belajar theologi baik-baik. Ketiga,
pelarangan tersebut mengakibatkan pemberhalaan terhadap si pelarang. Biasanya
gejala fanatisme adalah gejala yang percaya apa saja apa yang dikatakan oleh
otoritas tertinggi, misalnya: pendeta, pemimpin gereja, orangtua, senior,
atasan (bos), dll. Nah, di dalam Kekristenan, gejala fanatisme ini ditandai
dengan percaya apa saja yang dikatakan pendeta. Jika pendeta melarang
menonton/membaca sesuatu, maka semua jemaatnya serentak menurutinya. Jadi, dari
muda, jemaat tidak diajar untuk kritis, namun diajar untuk percaya apa saja
yang dikatakan dan dilarang oleh pendeta. Lama-kelamaan, jemaat dan para
generasi muda Kristen mengandalkan (bisa dibilang: memberhalakan) pendetanya.
Mereka akan bertanya dahulu kepada pendetanya sebelum menonton film atau
membaca buku-buku sekular/rohani. Jika pendetanya menyetujuinya, maka mereka
dengan berani menonton film atau membaca buku tersebut. Jika pendetanya
melarangnya, maka mereka tidak mau melakukannya. Dengan kata lain, benar atau
salah ditinjau dari perspektif pendetanya yang mungkin sekali tidak pernah
sekolah theologi baik-baik atau tidak pernah mengerti dunia luar dengan teliti
dan beres (asal mendengar kata orang).





B. Reaksi Kekristenan yang Benar Terhadap Media

Jika kedua reaksi Kekristenan di
atas terhadap media terlalu ekstrem, maka bagaimana sebenarnya reaksi
Kekristenan yang normal dan bertanggungjawab? Saya menawarkan alternatif ketiga
sebagai alternatif reaksi Kekristenan terhadap media yang saya sebut sebagai
reaksi paradoks. Kita sebagai orang Kristen jangan seperti orang dunia yang
suka berpikir either or (kalau tidak
X, ya Y), tetapi kita harus berpikir paradoks.. Artinya, di dalam cara kita
berpikir, hendaklah pikiran kita tidak diikat oleh sistem duniawi, namun
terikat dengan apa yang Tuhan mau. Untuk hal-hal yang jelas berdosa (seperti:
membunuh, mencuri, dll), jelas kita tidak boleh melakukannya, karena Alkitab
melarangnya. Namun untuk hal-hal yang sekunder, maka kita tidak perlu mengambil
sikap ekstrem. Kita tetap memegang prinsip tegas, namun ketegasan tidak harus
selalu identik dengan kekakuan dan kekolotan.



Lalu, dalam hal apa saja kita
memiliki ketegasan dalam prinsip? Ada tiga hal di mana kita sebagai orang
Kristen harus tegas di dalam prinsip kita menyoroti media. Dua prinsip pertama,
saya ambil dari konsep Rev. Craig Cabaniss, M.Div. dan prinsip terakhir saya
kembangkan sendiri. Berkaitan dengan perspektif Kristen mengenai media, Rev.
Craig Cabaniss, M.Div. di dalam buku yang diedit oleh Rev. C.. J. Mahaney yang
berjudul Worldliness: Resisting the
Seduction of a Fallen World mengungkapkan dua prinsip Kristen menyoroti
media, yaitu:[1]

1.
Living
Coram Deo
(Hidup Di Hadapan Allah)

Rev. Craig Cabaniss, M.Div.
menjelaskan bahwa hidup Kristen adalah hidup di hadapan wajah Allah. Artinya
setiap inci kehidupan kita baik publik maupun privat adalah hidup di
hadapan-Nya. Ketika kita menyadari bahwa Allah itu mengetahui dan mengawasi
setiap inci kehidupan kita, hal ini mengakibatkan kita takut akan Allah ketika
menjalani hidup kita. Takut di sini tidak seperti takut ketika melihat setan,
namun takut di dalam pengertian gentar sekaligus hormat kepada-Nya. Lalu,
bagaimana kita bisa takut akan Allah? Rev. Craig Cabaniss menjelaskan, “Fearing God is where we begin our search for
knowledge and wisdom.” (=Takut akan Allah adalah di mana kita mulai
penyelidikan kita bagi pengetahuan dan bijaksana)[2]
Dengan kata lain, takut akan Allah mengakibatkan kita bukan duduk diam tak
berbuat apa-apa, namun mendorong kita menyelidiki apa yang dikehendaki-Nya bagi
umat-Nya melalui firman-Nya. Sehingga ketika kita menggunakan semua media, kita
menggunakannya di dalam hadirat Allah (in
God’s presence). Kita memilih segala sesuatu di hadapan Allah yang
Mahakudus. Yang menarik, selanjutnya, Rev. Cabaniss menjelaskan bahwa ketika
kita memilih segala sesuatu, kita melakukannya di hadapan Allah, bukan karena
dilihat oleh pendeta, orangtua, anggota kelompok kecil, atau tetangga kita yang
belum Kristen. Di sini, pernyataan Rev. Cabaniss menarik. Berarti, seluruh inci
kehidupan kita bukan diatur oleh orang-orang di sekitar kita, namun diatur oleh
takut akan Allah yang kita miliki.



2.
Grace-motivated
Obedience
(Ketaatan yang Dimotivasi oleh Anugerah)

Hidup di hadapan Allah
mengakibatkan kita sadar bahwa Allah itu Mahakudus dan kita berdosa. Dari
perspektif ini, kita menyadari ketidaklayakan kita hidup di hadapan-Nya. Namun,
puji Tuhan, Bapa mengutus Anak, yaitu Tuhan Yesus Kristus untuk menebus
dosa-dosa umat-Nya dan menyelamatkan kita dari ikatan dosa, iblis, dan maut.
Sehingga kita yang dahulu hidup di dalam kegelapan, melalui anugerah-Nya, kita
masuk ke dalam terang yang sesungguhnya. Rev. Cabaniss menjelaskan lebih
lanjut, “Coram Deo, we find grace.. Grace
that forgives. Grace that empowers us to change. Grace that leads us to desire
and pursue obedience.” (=Coram Deo/hidup
di hadapan Allah, kita menemukan anugerah. Anugerah yang mengampuni. Anugerah
yang memberikan kuasa kepada kita untuk berubah. Anugerah yang memimpin kita
untuk menginginkan dan mengejar ketaatan)[3] Dengan
kata lain, takut akan Allah mengakibatkan kita menemukan anugerah Allah di sana
dan anugerah ini memampukan kita taat akan apa yang diperintahkan-Nya. Ketaatan
kita bukan agar diperkenan oleh Allah, namun sebagai respons atas anugerah yang
Allah telah berikan kepada kita. Ketaatan kita akan perintah-Nya mengakibatkan
kita melakukan segala sesuatu untuk memuliakan dan menyenangkan-Nya. Hidup
memuliakan dan menyenangkan-Nya tentu ditandai dengan tidak sembarangan
mempergunakan hidup demi diri sendiri. Jika kita tidak sembarangan
mempergunakan hidup, maka kita dengan bijaksana memilih segala sesuatu mana
yang memuliakan dan menyenangkan Allah dan mana yang tidak. Kalau kita membaca
Roma 12:2, maka Paulus mengajar kita untuk memilih segala sesuatu berdasarkan
kehendak Allah: baik, berkenan kepada Allah (bisa diterjemahkan: menyenangkan
Allah), dan sempurna. Rev. Cabaniss mengemukakan tiga karakteristik kesenangan
yang sesuai kehendak Allah: good and
right and true (baik, adil, dan benar). Kemudian, Rev. Cabaniss melanjutkan
perkataannya, “Discerning what pleases
the Lord requires critically evaluating media content at all times.”
(=Membedakan apa yang menyenangkan Tuhan selalu mewajibkan evaluasi kritis terhadap
isi media.)[4]



3.
Alkitab:
Satu-satunya Fondasi Kebenaran

Sebagai orang Kristen yang normal
yang telah mengalami anugerah Allah dan terus hidup takut akan Allah, maka kita
percaya penuh bahwa Alkitab adalah satu-satunya firman Allah yang diwahyukan
tanpa salah dalam naskah asli (autographa)nya.
Artinya, Alkitab adalah satu-satunya fondasi kebenaran dalam iman dan kehidupan
kita sehari-hari. Segala macam iman, agama, kepercayaan, filsafat, sains,
tradisi, kebudayaan, gaya hidup, perkataan, pikiran, dan tindakan harus
ditundukkan di bawah Alkitab. Segala sesuatu harus diuji berdasarkan Alkitab.
Namun, apakah itu berarti kita menjadi orang udik dan aneh? Lalu, kita hanya
mau menonton film-film rohani, membaca buku-buku rohani, dan melakukan hal-hal
rohani saja? TIDAK. Kita percaya akan ketidakbersalahan Alkitab, namun di dalam
aplikasinya, kita jangan menjadi orang aneh. Ingatlah satu hal: kita ada di
dalam dunia, namun kita bukan berasal dari dunia. Artinya, status kita
memengaruhi dan mendasari hati, pikiran, perkataan, dan tindakan kita di dalam
dunia. Meskipun kita adalah anak-anak Allah, kita tetap harus bergaul dan hidup
di dunia ini, tentu tidak boleh menyetujui semua pemikiran dan tindakan
duniawi/sekular. Ada batas-batas yang harus kita ambil untuk membedakan kita
dari orang-orang dunia.



Kembali, ketidakbersalahan Alkitab
yang kita imani memengaruhi sikap kita di dalam melihat segala sesuatu.
Ketidakbersalahan Alkitab memengaruhi sikap kita untuk kritis dalam segala hal.
Namun, ketidakbersalahan Alkitab yang mengakibatkan kita kritis tidak
seharusnya membuat kita antipati atau paranoid terhadap hal-hal duniawi. Saya
pernah mendengar seorang pendeta berkata bahwa kalau beliau mau menonton film
di DVD, beliau akan memutarnya secara cepat di laptop untuk mengetahui alur
ceritanya, supaya kita yang menonton tidak terikat pada alur cerita yang diatur
oleh sutradara. Di satu sisi, hal ini ada baiknya, namun di sisi lain, kita
kurang menikmati sebuah cerita. Kembali, apakah dengan mengimani
ketidakbersalahan Alkitab, lalu kita menjadi orang-orang Kristen yang kurang
menikmati cerita/film/dll? Lebih tajam lagi, apakah ketidakbersalahan Alkitab
mengakibatkan kita menjadi orang yang kurang bersukacita? Tidak heran, beberapa
orang Kristen khususnya Reformed di sebuah gereja tertentu, mukanya
lonjong-lonjong dan tidak ada gairah sukacita di dalamnya. Pendetanya
mengkritik buku Rev. John S. Piper, D.Theol. yang membahas hedonisme Kristen.
Pendeta ini menyangka bahwa hedonisme itu ngawur, maka hedonisme Kristen itu
juga ngawur. Padahal ketika si pendeta berkata demikian, ia kurang bertanggungjawab,
karena ia tidak mau membaca terlebih dahulu buku-buku dan penjelasan Dr. John
S. Piper tentang makna hedonisme Kristen di dalam bukunya Desiring God (Mendambakan Allah). Pendeta ini baik, yaitu beliau
kritis, namun kekritisannya tidak didasarkan pada bukti yang kuat yang
mengakibatkan sikap generalisasi berlebihan.



Dengan mengimani ketidakbersalahan
Alkitab, kita dituntut untuk kritis, namun kekritisan kita hendaklah merupakan
kekritisan yang wajar dan tidak terlalu ekstrem/berlebih-lebihan. Kalau kita
tidak mengerti tentang sesuatu hal, hendaklah kita tidak sembarangan
berkomentar! Belajarlah untuk menyelidiki sesuatu hal tersebut secara tuntas,
baru berkomentar. Jangan seperti banyak orang postmodern yang pragmatis yang
asal-asal ngomong. Kembali, bagaimana kita bisa kritis secara wajar? Ya,
sebenarnya ini tidak mudah. Fondasi agar kita bisa kritis adalah kita belajar
iman Kristen dan Alkitab terlebih dahulu. Setelah kita belajar banyak hal
tentang iman Kristen dan Alkitab dengan beres, maka kita bisa kritis secara
wajar. Ini bukan hanya teori, namun sudah saya aplikasikan. Ketika menonton
film baik di DVD maupun bioskop, tingkat kekritisan kita harus tajam, namun
tidak berarti kita tidak menikmati alur cerita filmnya. Artinya, sambil
menikmati alur cerita filmnya, kita sambil kritis menyoroti nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Misalnya, ketika kita menonton film Star Trek, ya, kita menikmati saja alur
ceritanya yang seru dan menegangkan, namun kita tetap harus kritis nilai-nilai
yang sedang diajarkan melalui film itu apakah sesuai dengan Alkitab. Jangan
menerima mentah-mentah semua nilai di dalam media, namun juga jangan menolak
semua nilai di dalam media. Kita harus bijaksana memilih dan memilah sendiri
mana yang sesuai dengan Alkitab dan tidak untuk kita aplikasikan. Contoh lain,
ketika kita menonton film Yes Man yang
dibintangi oleh aktor, Jim Carrey, kita boleh menikmati alur ceritanya yang
lucu dan konyol, namun kita tetap harus waspada bahwa film itu sedang mencoba
mengajarkan Berpikir Positif kepada para penontonnya. Sebagai penonton Kristen,
kita tidak boleh langsung meng“amin”kannya, kita harus mengujinya dan memang
bahwa Berpikir Positif itu lebih banyak berdampak buruk dan tidak sesuai dengan
Alkitab.









III. SEPUTAR FACEBOOK

Setelah kita mengerti presuposisi
Kristen terhadap media, maka kita akan menyoroti seputar Facebook: definisi, asal mula, pelarangan terhadap penggunaannya,
dan hal-hal lainnya. Untuk selanjutnya, Facebook
akan disingkat FB.

A. FB: Definisi, Asal Mula, dan Perkembangannya

Apa itu Facebook (FB)? Situs Wikipedia[5]
menjelaskan bahwa FB adalah situs jejaring sosial yang dioperasikan dan secara
privat dimiliki oleh Facebook, Inc. di Cambridge, Massachusetts, USA. FB pertama
kali bernama Facemash ditemukan oleh Mark
Zuckerberg pada tanggal 28 Oktober 2003 bersama dengan teman kosnya, Eduardo
Saverin, Dustin
Moskovitz, dan
Chris Hughes ketika mereka menjadi
mahasiswa di Harvard University. Facemash
sebenarnya merupakan situs jejaring sosial yang hanya diperuntukkan untuk
mahasiswa Harvard, namun telah meluas sampai ke kampus-kampus lain di daerah Boston
area, Ivy
League, dan Stanford University. Kemudian, situs ini meluas
keanggotaannya mulai dari siswa/i SMU sampai mahasiswa/i, dan semua orang yang
berusia di atas 13 tahun. Wikipedia mencatat, anggota FB yang aktif sekarang adalah
350 juta. Facebook Inc. memiliki karyawan berjumlah lebih dari 900 orang dan
meraup pendapatan di atas US$ 300 juta. FB diluncurkan pada tanggal 4 Februari
2004. FB tersedia dalam berbagai bahasa: Afrika, Albania, Arab, Azeri, Basque, Bengali, Bosnia, Bulgaria, Catalan, Mandarin (disederhanakan), Mandarin (Hong Kong), Mandarin (Taiwan), Kroasia, Cekoslowakia, Denmark, Belanda, Inggris (UK),
Inggris (US), Inggris (Pirate), Inggris (kacau balau), Esperanto, Estonia, Faroese, Filipino, Finlandia, Prancis (Kanada),
Prancis (France), Galician, Georgian, Jerman, Yunani, Ibrani, Hindi, Hungarian, Islandia, Indonesia, Irlandia, Italia,
Jepang, Korea, Latin, Latvia, Lithuania, Makedonia, Melayu, Malayalam, Maltese, Nepal, Norwegia (Bokmål),
Norwegia (Nynorsk), Polandia, Portugis (Brazil), Portugis (Europe), Persia, Punjabi, Romania, Rusia, Serbia, Slovakia, Slovene, Spanyol,
Spanyol (Castile), Swahili, Swedia, Tamil, Telugu, Thai, Turkish,
Ukrainian, Vietnam, Wales.



FB ternyata bukan hanya bisa diakses di laptop atau komputer, namun juga
bisa diakses di HP, BlackBerry (BB), dan i-Phone. HP merk tertentu bahkan sudah
dilengkapi dengan fasilitas FB (selain Yahoo Messenger, e-Buddy, dll) di
dalamnya. Di BB, ketika kita mengaktifkan internet, pada saat yang sama,
satu-satunya situs jejaring sosial yang ada adalah FB ini dan FB ini kemudian
kita bisa install, meskipun membuka
FB di BB berbeda dengan membuka FB di laptop/komputer. Bagi saya pribadi, lebih
enak membuka FB di laptop daripada membuka FB di BB, hehehe…





B. Hal-hal Seputar FB: Isi, Anggota, dan Motivasi Anggotanya

Setelah mengerti definisi, asal
mula, dan perkembangan FB, maka kita akan menyoroti hal-hal yang ada di dalam FB.

1.
Isi
FB

Sesudah kita melihat definisi, asal
mula, dan perkembangan FB, maka kita mungkin penasaran, apa isi FB sehingga FB
begitu meluas dan terkenal? Di FB, kita bisa mendaftar menjadi anggota gratis.
Ketika kita sudah menjadi anggota, kita bisa memanfaatkan semua fasilitas di
FB. Tentunya kita mengisi profil dan gambar kita supaya orang lain mengetahui
siapa kita. Di bagian profil, kita bisa mengisi jenis kelamin, informasi
kelahiran (tanggal, bulan, dan tahun), status hubungan (jomblo, rumit,
berpacaran, menikah, dll), mencari (teman, jaringan, teman kencan, pacar), no
HP, telepon, e-mail, Yahoo Messenger, MSN, informasi kuliah, informasi tempat
kerja, tentang saya (About Me), dll. Kemudian
kita bisa mengupdate status kapan pun
dan di mana pun kita berada. Status itu berisi apa yang ada di dalam pikiran
kita atau apa yang kita lakukan atau kita bisa mengisi apa pun di dalam status.
Selain status, kita bisa mengisi catatan di bagian Notes (Catatan). Selain Catatan, kita juga mengisi Acara (Event) yang terletak di sebelah kira Notes. Notes, Event, dll ada di
bagian bawah FB. Kemudian, kita juga bisa menjelajahi aplikasi yang ada (baik
legal maupun illegal) di FB, misalnya: kuis, dll. Aplikasi-aplikasi tersebut
kebanyakan berisi hal-hal yang tidak serius atau hanya untuk bersenang-senang
saja (guyonan). Jangan percaya akan
setiap isi di dalam aplikasi tersebut, karena itu hanya untuk fun. Inilah sisi fun di FB dan hal itu ok-ok saja. Selain itu, kita juga bisa
membuat sendiri aplikasi dan fan page
tentang tokoh, organisasi, atau siapa pun yang kita inginkan (bisa guru, dosen,
kampus, dll).



2.
Anggota/Pengguna
FB

Karena isinya menarik, FB adalah
situs jejaring sosial yang dulunya digandrungi oleh banyak anak muda. Namun
karena zaman terus berubah, maka, bukan hanya anak muda, anak-anak (bahkan SD)
sampai orangtua pun menggandrunginya. Tidak jarang kita menjumpai banyak hamba
Tuhan yang menjadi anggota di FB. Begitu juga anak SD yang berusia di bawah 12
tahun pun sudah mendaftar menjadi anggota di FB. Variasi para anggota/pengguna
FB sangat beraneka ragam membuat FB makin terkenal.



3.
Alasan
dan Motivasi Anggota/Pengguna FB

Jika kita melihat begitu beragamnya
para anggota FB, maka kita perlu mengklarifikasi apa alasan para anggota
mendaftarkan diri mereka menjadi anggota di FB. Ada yang mendaftar karena
didaftarkan temannya atau ikut-ikutan teman yang mendaftar di FB.. Secara
motivasi, ada yang mendaftar FB untuk menonjolkan diri (narsis). Sangat sedikit
orang yang mendaftar FB untuk melayani Tuhan, misalnya: menginjili,
memberitakan Firman, dll.





C. Kritik dan Pelarangan Terhadap Penggunaan FB dan Tinjauan Kritisnya

Suatu media tidak lepas dari pro
dan kontra. Begitu juga halnya dengan FB. FB tidak lepas dari sejumlah kontra,
yaitu kritik dan pelarangan terhadap penggunaan FB. Situs Wikipedia memberi
tahu kita tentang berbagai kritik dan pelarangan terhadap penggunaan FB.[6]

1.
Anak
Di Bawah Umur 13 Tahun

Karena tidak ada larangan keras
bagi anggota yang berusia di bawah 13 tahun, maka masyarakat kuatir bahwa FB
berbahaya bagi anak-anak yang berusia di bawah 13 tahun. Sebenarnya alasan ini
masuk akal, karena anak-anak yang berusia di bawah 13 tahun biasanya kurang
mengerti kegunaan FB dan hal-hal di dalamnya. Bukan tidak mungkin anak-anak
tersebut mengakses halaman FB yang berisi hal-hal tidak senonoh dan chatting dengan teman-teman yang tidak
jelas asal usulnya. Namun kekuatiran tersebut sebenarnya bisa diatasi dan tidak
perlu dibombastiskan. Bagaimana mengatasinya? Kalau Anda orang Kristen yang
beres dan memiliki anak, tentu dari kecil, anak Anda sudah dididik dan diajar
dengan iman Kristen yang beres, sehingga dari kecil, mereka sudah takut akan
Allah. Ketika mereka dari kecil sudah takut akan Allah, mereka akan dengan
sendirinya memilih dan memilah mana yang beres dan mana yang tidak. Namun
tindakan pemilihin dan pemilahan ini harus dibarengi dengan peran serta
orangtua terus-menerus agar mereka semakin tumbuh dewasa.



2.
Tidak
Berhubungan Dengan Kampus (dan Pekerjaan)

Pada Oktober 2005, University of New Mexico memblokir akses
ke FB bagi semua komputer dan jaringan di kampus tersebut. Mengapa? Karena
pihak kampus menyatakan bahwa FB tidak berkaitan dengan urusan kampus dan
pekerjaan di staf kampus.. Hmmm, mungkin hal ini ada benarnya, karena FB bisa
mengganggu kinerja para staf kampus. Akhirnya pekerjaan bisa terbengkalai
karena terlalu sering mengakses FB. Namun, di sisi lain, biasanya peraturan
tersebut, khususnya pembuat peraturan itu, biasanya tidak konsisten dengan
dirinya sendiri. Ini bukan sekadar teori, saya sudah menemukan realitasnya. Ada
“asisten” manajer sebuah perusahaan penerbitan melarang (secara
implisit) anak buahnya menggunakan Yahoo Messenger (YM) jika tidak berkaitan
dengan pekerjaan. Dia akan mengomel dan menyindir anak buahnya yang chatting dengan menggunakan YM untuk hal-hal
yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Tetapi tahukah Anda bahwa yang membuat
peraturan implisit tersebut adalah orang yang sama yang TIDAK mengenakan
peraturan tersebut berlaku bagi si pembuat peraturan! Artinya, orang itu
melanggar peraturan yang dia buat sendiri. Saya tahu dari mana? Orang ini chatting dengan menggunakan YM dengan
rekan anak buahnya dan membicarakan tentang panda. Tolong tanya, apakah panda
ada kaitannya dengan pekerjaan di perusahaan penerbitan? Oleh karena itu,
bersikaplah dewasa dalam membuat keputusan, jangan asal-asalan!



3.
Larangan
dari Pemerintah Negara

Alasan ketiga adalah karena FB
dipakai oleh pihak-pihak yang bertanggungjawab untuk mengkritik pemerintah dan
mendukung partai-partai illegal di suatu negara. Oleh karena itu, pemerintah
negara-negara tertentu, misalnya: Iran, Tiongkok, Syria, dan Vietnam melarang
penggunaan FB. Hal ini ada benarnya untuk mengurangi ketidakbertanggungjawaban
pihak-pihak tertentu dalam menggunakan FB untuk hal-hal yang tidak beres.
Namun, di sisi lain, patut diragukan motivasi pelarangan FB oleh pemerintah
negara. Apakah suatu pemerintah negara tertentu merasa terganggu dengan
kekuasaannya, maka ia melarang penggunaan FB, bahkan memenjarakan mereka yang
mengakses FB? Misalnya, suatu pemerintahan negara tertentu tidak beres, korupsi
di mana-mana, diktator, dll, kemudian melalui FB, ada warga yang menyindir kebusukan
pemerintahan. Dengan diblokirnya penggunaan FB oleh pemerintah tersebut
gara-gara ulah warga tadi, bukankah itu makin menandakan kejelekan pemerintah
tersebut? Bukankah ini tindakan konyol yang dilakukan tanpa pertimbangan yang
matang dan bijaksana? Jika pemerintah tidak melakukan kesalahan, mengapa harus
takut dikritik oleh warganya?



4.
Penyalahgunaan
Privasi

Alasan keempat adalah profil FB
sering disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab untuk hal-hal yang
tidak beres. Wikipedia menceritakan bahwa dua mahasiswa Massachusetts Institute
of Technology (MIT) dapat mendownload
70.000 profil FB dari empat kampus (MIT, New York University, the University of Oklahoma, dan Harvard University) dengan
menggunakan sebuah program. Hal ini patut diperhatikan bagi para anggota FB
agar kita tidak terlalu membuka semua profil kita, khususnya berkaitan dengan
alamat.



5.
Merusak
Remaja

Uskup agung Katolik Roma
Westminster yang bernama Vincent Nichols mengatakan bahwa FB dan situs
jejaring sosial lainnya dapat mengarahkan para remaja melakukan tindakan bunuh
diri. Selain itu, dia juga mengatakan bahwa situs jejaring sosial dapat merusak
hubungan intim dan membiarkan para remaja tanpa ikatan sosial. Apa yang
dikatakan uskup ini ada benarnya, karena para remaja biasanya masih labil dan
mudah meniru. Namun, sayangnya perkataan uskup ini kurang didukung bukti konkrit
akan apa yang dikuatirkannya. Kalau pun ada kasus seperti yang dikatakannya,
itu pun kasus khusus dan solusi agar tidak terjadi kasus tersebut bukan
melarang penggunaan FB, tetapi mengarahkan para remaja dengan iman dan etika
yang beres, sehingga mereka tidak terpengaruh hal-hal negatif dari penggunaan FB.



Saya terus terang takut dan kuatir, Kekristenan bukan tumbuh dewasa,
namun menjadi kekanak-kanakan. Satu (atau beberapa) kasus mengakibatkan orang
Kristen menjadi paranoid, lalu bertindak ekstrem. Misalnya, karena ada berita
kejahatan, orangtua Kristen yang anaknya tidak mau ikut-ikutan, maka
anak-anaknya dilarang membaca surat kabar, menggunakan FB, dll. Namun secara
tidak sadar, beberapa dari orangtua tersebut ternyata membaca surat kabar,
menggunakan FB, dll. Jika ditanya, mengapa orangtua bertindak demikian,
sedangkan anak-anaknya tidak boleh? Jawaban yang sering didengar adalah karena
orangtua sudah banyak makan asam garam, jadi tahu mana yang beres dan tidak.
Jawaban klise tersebut sebenarnya bukan jawaban, namun hanya rasionalisasi atas
tindakannya sendiri yang tidak bijaksana. Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam salah
satu khotbahnya pernah menceritakan kasus di mana orangtua yang terlalu
mengimun anaknya. Pada suatu kali, dulu waktu Pdt. Stephen Tong masih muda,
beliau bertemu dengan pendeta yang sudah berumur/tua, kemudian si pendeta tua
ini mengajar Pdt. Stephen Tong bahwa karena surat kabar di Hong Kong isinya
selalu hal-hal buruk, seperti: pembunuhan, pemerkosaan, dll, maka setelah
membaca surat kabar tersebut, si pendeta tua menggunting-gunting berita yang
berisi hal-hal negatif di surat kabar tersebut, kemudian menyerahkan surat
kabar tersebut kepada anak-anaknya untuk dibaca. Kemudian, Pdt. Stephen Tong
berpikir dan berkata kepada si pendeta tua, jika si pendeta tua melakukan hal
tersebut, maka anak-anaknya malah semakin penasaran dengan isi dari surat kabar
yang sudah digunting-gunting tersebut dan bukan sesuatu yang mustahil jika anak
ini bisa meminjam surat kabar tetangganya khusus untuk melihat berita apa yang
digunting-gunting oleh ayahnya itu. Bukankah ini lebih gawat? Kemudian, Pdt.
Stephen Tong bersenda gurau di dalam khotbahnya menyebut koran yang
bolong-bolong (setelah digunting oleh pendeta tua) itu sebagai holy newspaper, bukan surat kabar/koran
yang kudus, tetapi koran yang banyak lubangnya, maka disebut holy (àhole: lubang), hehehe…









IV. PENGGUNAAN FACEBOOK:
BERTANGGUNGJAWAB VS TIDAK BERTANGGUNGJAWAB DAN TINJAUAN KRITISNYA

Terakhir, setelah mengerti
seluk-beluk FB, maka sekarang kita akan menyoroti penggunaan FB. FB sendiri
boleh dibilang netral, karena FB hanya sarana menjalin hubungan baik
pertemanan, jaringan, dll. Namun yang menjadi permasalahannya adalah masalah
penggunaannya. Banyak yang menggunakan FB secara tidak bertanggungjawab dan ada
juga yang menggunakannya secara bertanggungjawab. Dengan membedakan dua hal
ini, sekali lagi, saya TIDAK bermaksud terlalu serius menyoroti FB, lalu kita
tidak boleh fun di dalam FB. Kita
boleh fun di FB, namun tetap harus
ada batas fun tersebut.

A. Penggunaan FB yang Tidak Bertanggungjawab

Apa saja yang termasuk penggunaan
FB yang tidak bertanggungjawab?

1.
Membuat
Halaman-halaman Khusus yang Berisi Hal-hal Porno

Tindakan penggunaan FB yang tidak
bertanggungjawab biasanya dilakukan oleh banyak orang Amerika Serikat sendiri
yang hidup tidak karuan. Salah satunya adalah membuat halaman khusus yang
berisi hal-hal dan gambar-gambar porno. Mungkin, di Indonesia, hal ini kurang
atau mungkin tidak ada yang melakukannya. Namun, kita harus mewaspadai hal-hal
ini..



2.
Iseng
dan Mencari Sensasi

Tindakan penggunaan FB yang tidak
bertanggungjawab kedua adalah keisengan dan mencari sensasi. Zaman di mana kita
hidup adalah zaman postmodern dengan ide postmodernisme dan postmodernitas yang
mulai meracuni para generasi muda, tidak terkecuali yang “Kristen.” Selain
postmodernisme, ingatlah, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang diciptakan
dengan segala kreativitasnya, namun telah berdosa dan rusak total. Jika kedua
konsep ini digabungkan, maka timbullah suatu sikap: iseng dan mencari sensasi.
Lho, apa tidak boleh iseng? Iseng sebenarnya tidak apa-apa, asalkan ada
batasnya. Iseng dan mencari sensasi muncul karena kreativitas manusia yang
diberi oleh Allah disalahgunakan dengan tidak bertanggungjawab.



Orang zaman sekarang gemar mencari
dan menimbulkan sensasi untuk mencari keuntungan. Jangankan orang dunia, beberapa
aliran Kristen juga gemar kok dengan tindakan mencari dan menimbulkan sensasi. Coba
perhatikan dunia Kristen sejak zaman dahulu sampai sekarang. Dulu banyak orang
Kristen tergila-gila dengan sensasi Toronto
Blessing (TB), lalu setelah TB selesai, maka pindah lagi ke sensasi gereja
di Singapore di mana istri sang pendeta berpakaian tidak senonoh. Sekarang,
sensasinya berpindah lagi ke Surabaya dengan pendeta yang masih muda,
tampangnya seperti bintang film, dan terkenal melalui bukunya. Di dalam
kebaktian besar yang dipimpinnya, si pendeta menyuruh jemaatnya untuk
bergandengan tangan untuk menerima kuasa dari si pendeta (mirip tindakan tenaga
dalam dalam Gerakan Zaman Baru). Baru-baru ini, meledak lagi 2 sensasi yang
lebih heboh. Pertama, seorang muda yang mengklaim diri sebagai “nabi”, menulis
buku, dan mendirikan persekutuan di Surabaya, namun semuanya hanya kedok,
karena seseorang menceritakan bahwa setelah memimpin persekutuan yang
didominasi oleh banyak mahasiswi, “nabi” ini melakukan free-sex. Seorang pendeta dari sebuah gereja Karismatik Injili
melalui e-mail yang saya baca geleng-geleng kepala dan menegur keras “nabi” ini
dan hamba Tuhan yang ikut mendukung “nabi” ini. Sensasi kedua datang dari kota
besar di Jawa Tengah. Saya mendengar cerita ini dari seorang rekan pendeta. Rekan
saya ini bercerita bahwa ada seorang “pendeta” yang sudah beristri kemudian
ingin memiliki istri kedua yang tidak lain adalah anak buah di dalam
pelayanannya. Tahukah Anda apa alasan yang dia pakai untuk menikah kedua
kalinya? Anda pasti tertawa mendengarnya. Si “pendeta” ini mengatakan bahwa ia
“menikah dalam roh” dengan anak buah pelayanannya itu. Huahahahaha… Lucu
dan konyol kan?



Kalau dunia Kekristenan suka mencari
dan menimbulkan sensasi, maka jangan heran, dunia FB pun tidak lepas dari
sensasi. Biasanya, orang yang gemar mencari dan menimbulkan sensasi dengan cara
berbohong melalui profilnya di FB. Alasannya sich katanya fun, tetapi fun yang ngawur. Misalnya, mengenai relationship status (status hubungan),
seorang bisa mengganti-ganti sesukanya sendiri: dari single, kemudian it’s
complicated, kemudian single,
kemudian engaged, kemudian married, kemudian single, kemudian married,
dll. Lalu, kalau orang ini ditanya, mengapa statusnya diganti-ganti? Jawabannya
sungguh pragmatis: ISENG. Kalau dia mau konsisten dengan keisengannya, mengapa
jenis kelaminnya tidak diganti sekalian? Mengapa Agama tidak diganti sekalian
dari Kristen menjadi atheis? Ini membuktikan keisengannya bukan keisengan tanpa
berpikir bukan? Bukan hanya mengganti status hubungan, tetapi juga berdusta.
Saya menemukan fakta di FB bahwa adik teman saya yang masih remaja (di bawah 17
tahun) sudah memasang status hubungannya: MARRIED
(menikah), kemudian disusul dengan nama seorang yang berjenis kelamin sama
dengan dia. Lucu sih gejala ini, namun konyol. Apa hanya karena alasan iseng,
hal-hal itu dipermainkan? Kalau saya pribadi sudah mengetahui adik teman saya
itu, maka saya mengetahuinya, namun bagaimana dengan orang lain yang tidak
mengetahuinya?



Bukan hanya relationship status, hal-hal lain seperti Siblings pun suka ditulis sesuka hatinya. Menurut arti kata, sibling berarti saudara kandung. Namun
dasar orang postmodern yang iseng, nama-nama di FB yang berkaitan dengan sibling diisi dengan nama
teman-temannya. Aneh bukan? Iseng mengakibatkan segala sesuatu mungkin tampak
lucu, namun lama-kelamaan jika diperhatikan konyol.



Rupa-rupanya HTS (Hubungan Tanpa
Status)[7] atau
istilahnya TTM (Teman Tapi Mesra) atau teman “dekat” atau istilah gaulnya: gebetan yang lagi marak di kalangan
generasi muda zaman postmodern sekarang ternyata tidak luput diaplikasikan di
FB. Bagaimana saya mengetahuinya? Meskipun ini bukan generalisasi dan tidak
mutlak, saya bisa membaca gejala ini dengan mencocokkan antara Relationship Status dengan Looking For di dalam profil seseorang.
Biasanya kalau seseorang sedang menjalin HTS atau memiliki TTM, ada orang yang
menulis status hubungannya: it’s
complicated (rumit). Namun ada juga remaja yang memasang status it’s complicated, namun tidak mengerti
artinya (atau pura-pura tidak mengerti artinya?). Saya menghargai orang jujur yang
mengerti hubungannya. Namun ada juga orang lain yang sudah memiliki TTM, tetapi
tetap menulis status hubungannya: single
(jomblo), namun dia hanya mencari persahabatan (di dalam Looking For, dia menulis: Persahabatan/Friendship). Meskipun orang yang menulis seperti ini TIDAK harus
berarti dia sudah memiliki TTM, tetapi kebanyakan seperti itu. Lalu,
kalau orang ini ditanya, dia akan berkata bahwa itu hanya teman dekat. Teman
dekat namun berbeda jenis kelamin dan mau diajak pergi berdua. Apakah itu hanya
sebatas teman?? Kalau teman, mengapa mau diajak pergi hanya berdua?? Ada juga
yang sudah bertunangan, namun tidak mau menulis status: Engaged, entah apa motivasinya. Kalau kita melihat gejala generasi
muda di FB, kita akan geleng-geleng kepala. Jangankan generasi muda dunia, banyak
generasi muda Kristen pun terlalu fun
di FB, sampai hampir tidak bisa dibedakan mana yang Kristen dan mana yang
bukan.





B. Penggunaan FB yang Bertanggungjawab

Lalu, bagaimana menggunakan FB
secara bertanggungjawab? Apakah di FB tidak boleh fun dan selalu serius? Sekali lagi TIDAK. Bagaimana kita
menggunakan FB secara bertanggungjawab prinsipnya sama dengan perspektif
Kristen mengenai media. Kita menggunakan semua hal untuk kemuliaan Allah, maka
kita menggunakan FB untuk memuliakan Allah. Kita memiliki prinsip-prinsip yang
tegas di dalam menyoroti media, namun TIDAK berarti kita kaku dan kolot di dalam
aplikasinya. Begitu juga halnya dengan FB. Kita memiliki prinsip dan motivasi
yang jelas dan tegas mengapa kita bergabung menjadi anggota di dalam FB, yaitu
untuk memuliakan Allah dan membawa berita firman. Namun tidak berarti kita
menjadi orang yang sok religius ketika memanfaatkan FB. Kita harus bisa
memiliki sikap seimbang antara hal-hal rohani dan hal-hal fun. Saya pribadi sebagai anggota FB berusaha menyeimbangkan dua
hal ini, meskipun saya lebih menekankan hal-hal rohani di FB. Namun, saya tetap
mencoba aplikasi-aplikasi fun di FB
untuk refreshing.









V. KESIMPULAN DAN TANTANGAN

Sebagai penutup dan kesimpulan,
bagaimana sikap kita? Apakah kita meniru apa yang dunia ajar dan lakukan
melalui penggunaan FB secara tidak bertanggungjawab? Ataukah kita melakukan
ekstrem lainnya yaitu tidak mau memanfaatkan FB sama sekali? Ataukah kita
berusaha seimbang dan paradoks yaitu mempergunakan FB secara bertanggungjawab: fun namun tetap memiliki prinsip?
Biarlah kita sebagai anak-anak Tuhan menjadi garam dan terang dunia di dalam
setiap aspek kehidupan, termasuk memanfaatkan FB secara seimbang demi hormat
dan kemuliaan nama-Nya. Biarlah ini bukan teori saja, tetapi kita aplikasikan
di dalam cara kita memanfaatkan FB. Amin. Soli Deo Gloria.







[1] C. J. Mahaney, ed., Worldliness: Resisting the Seduction of a
Fallen World (U.S.A.: Crossway, 2008), hlm. 46-51.

[2] Ibid., hlm. 46.

[3] Ibid., hlm. 47.

[4] Ibid.

[5]
http://en.wikipedia.org/wiki/Facebook

[6]
http://en.wikipedia.org/wiki/Facebook

[7] Saya mendapatkan istilah ini setelah membaca
sebuah artikel yang ditulis oleh Lidya yang berjudul “Hubungan Tanpa Status,
Trend Anak Muda Masa Kini” di Tabloid Reformata (http://www.reformata.com/index.php?m=news&a=view&id=3274).
Lidya sebagai penulis artikel tersebut mengungkapkan inti HTS adalah,
“kedekatan dan keintiman tanpa sebuah pengakuan dan komitmen.”

"Mengenal Allah merupakan hal penting untuk menjalani hidup kita." (Prof. J. I. Packer, D.Phil.; Mengenal Allah, hlm. 5)