Translate

Sunday, June 07, 2009

Lebih Lambat , Lebih Baik

Makin cepat, makin baik. Lebih dini masuk sekolah, lebih pintar anak kita. Orang tua pun berlomba-lomba menyekolahkan anaknya seawal mungkin. Kalau umur lima atau enam tahun anak sudah masuk SD, sudah lancar membaca, berhitung, menulis, dan berbahasa Inggris, Mandarin atau bahasa asing lain—betapa mekar bangga dada orang tua!

Pandangan semacam ini terfokus pada salah satu aspek perkembangan anak saja. Kesiapan anak masuk sekolah ditakar hanya menurut kemampuan kognitifnya. Kecerdasan intelektualnya dijadikan tolok ukur utama kesuksesan pendidikannya. Perspektif ini mengandung ketimpangan.

Secara umum perkembangan manusia normal berlangsung secara stabil dan normal pula. Setiap anak akan melewati fase-fase pertumbuhan sesuai dengan tahapan usianya. Menurut penelitian pendidik Jean Piaget, anak melewati empat fase menuju kedewasaan. Pada fase awal (0-2 th), anak mempelajari cara berkomunikasi dan menyerap dasar-dasar kepercayaan melalui pengetahuan yang diterimanya. Pada fase prastudi (2-7 th), anak mulai memperluas wawasan dan pergaulan, mulai mengembangkan berbagai perlengkapan dasar yang ia perlukan dalam membangun kapasitas hidup. Pada fase belajar (7-11 th), anak bersemangat mencari tahu, mengembangkan segala aspek dirinya, baik rasional, emosional, maupun keterampilan. Mulai usia 11 tahun, anak memasuki fase dewasa, saat ia masuk ke tengah masyarakat dan menerapkan hasil belajarnya dalam kehidupan.

Pendidikan anak perlu memperhatikan fase-fase perkembangan tersebut. Kita tidak dapat mengarbit anak. Memang perkembangan kognitif anak biasanya jauh lebih cepat daripada kestabilan emosinya. Namun, ini bukan alasan untuk mempercepat memasukkan anak ke sekolah. Mengapa?

Pendidikan dimaksudkan untuk mempersiapkan seseorang menjadi betul-betul dewasa, matang di dalam segala aspek pembelajaran dan kehidupan. Anak bertumbuh menjadi manusia seutuhnya, siap memenuhi panggilan Tuhan dalam hidupnya.

Masalahnya, orang tua—didukung pula oleh kultur sekolah di negeri ini—lebih mengutamakan aspek kognitif, dengan mengabaikan atau menomorduakan aspek perkembangan lain dalam diri anak. Pendidikan atau belajar di sekolah berkutat pada mengetahui informasi, menghafalkan, mengerjakan ujian agar lulus UAN, namun sesudahnya gagap menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan. Kita sempat dikejutkan dengan kasus seorang juara Olimpiade Fisika Nasional yang gagal lulus SMU. Atau, kita menemukan orang yang cerdas, namun gagap dalam membina hubungan dengan orang lain. Ini baru contoh kecil kegagalan akibat pola pendidikan yang tidak holistik.

Pendidikan adalah pendalaman pengertian yang mengubahkan kehidupan. Hal ini melibatkan seluruh aspek pribadi anak, bukan hanya sisi kognitifnya, namun juga perkembangan rohani dan kesiapan mentalnya. Pada usia di bawah tujuh tahun, perkembangan kerohanian dan mentalitas anak belum siap. Ia, misalnya, masih perlu lebih banyak bermain, bukannya duduk berjam-jam menyimak pelajaran. Walaupun secara kognitif rasional anak itu sudah mampu, ia tetap membutuhkan waktu untuk mengembangkan kestabilan emosinya. Bila dipercepat, pertumbuhan emosionalnya menjadi kurang wajar. Pendidikan yang sehat, sebaliknya, akan memampukan anak menghadapi masalah yang berkaitan dengan ilmu yang dipelajari.

Dalam paradigma ini, anak terlambat masuk sekolah satu atau bahkan dua tahun lebih baik daripada lebih cepat satu atau dua tahun. Mereka itu akan memiliki kematangan pribadi yang kuat. Kematangan yang dipersiapkan (bukan karena anak malas masuk sekolah atau tidak dididik dengan baik) akan menghasilkan kesiapan secara menyeluruh bagi anak untuk berkembang menjadi manusia dewasa. Orang-orang yang berkembang matang seperti ini biasanya akan lebih bijaksana di dalam setiap langkah hidupnya. ***

Sumber: Sutjipto Subeno, ”Tujuh Tahun (Baru) Masuk Sekolah?”, Logos, Edisi 3, 2007.