Translate

Thursday, January 02, 2025

Saat 'Perut' Mendominasi

*REFLEKSI AWAL TAHUN 2025*
*Saat 'Perut' Mendominasi!*
Albertus M. Patty 

Dalam The Republic, Plato memberikan gambaran yang sangat menarik tentang manusia. Meski Plato menulisnya ribuan tahun yang lalu, filosofinya masih sangat relevan, terutama dalam memahami pangkal persoalan sosial-politik dan ekonomi yang menjerat bangsa kita. 

Plato menggambarkan manusia sebagai makhluk yang terdiri dari tiga unsur: kepala (rasio), dada (nilai-nilai luhur), dan perut (nafsu). Kepala seharusnya memimpin dengan kebijaksanaan, dada mendukung dengan keberanian dan cinta, sementara perut atau nafsu, meski tetap dibutuhkan, tunduk pada keduanya. Persoalan muncul ketika perut atau nafsu itu tidak terkontrol. Bahkan, perut muncul sebagai unsur yang mendominasi kepala dan dada, saat itu kehancuran moral dan sosial tak terhindarkan. Fenomena 'dominasi perut' ini mencerminkan realitas politik yang ada pada sebagian besar oknum birokrat dan elite politik bangsa kita saat ini. 

Kebijakan politik yang seharusnya didasarkan pada akal sehat sering kali didorong oleh nafsu pribadi dan ambisi kekuasaan. Kebijakan publik tidak lagi berorientasi pada kesejahteraan rakyat, melainkan diarahkan untuk memperkaya segelintir elite politik. Program pemerintah yang menjanjikan justru menjadi ladang korupsi. Lihat saja, hampir semua institusi negara yang semestinya melayani publik terperangkap dalam manipulasi dan nepotisme. Ironisnya, para koruptor itu sering diperlakukan special dan mendapat 'karpet merah.' Fenomena korupsi bancakan ini sangat menyakitkan hati dan menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap birokrasi dan elite politik bangsa ini. Lalu apa penyebab dari fenomena jahat yang menjerat sebagian besar oknum elite kita ini?

*Pembajakan Akal Sehat!*
Dalam The Righteous Mind, Jonathan Haidt menyoroti bagaimana emosi sering mendominasi rasionalitas. Hal ini mirip dengan perut dalam filsafat Plato, yang menggambarkan nafsu dan hasrat sebagai kekuatan destruktif jika tidak dikendalikan. Sebagian besar elite politik kita digerakkan lebih oleh 'perut' atau nafsu. Boleh saja mereka tampil dengan janji-janji yang manis, tetapi di level kebijakan perut atau nafsu mereka lebih mendominasi. Dan nafsu yang tidak terkontrol itu membajak dan memperbudak akal budi yang tugasnya membenarkan alias melegitimasi tindakan yang sebenarnya tidak bermoral. Akibatnya, nilai-nilai keadilan serta cinta kasih menjadi sekadar retorika.

Tentu saja, efeknya sangat merugikan masyarakat. Korupsi yang meluas merampas hak rakyat atas pendidikan dan kesehatan yang layak. Judi online yang tetap beroperasi menghancurkan ekonomi dana mempermiskin keluarga kecil, sementara pemerintah seolah menutup mata, baik karena hutang budi maupun karena oknum pemerintah sendiri menari-nari dalam keuntungan tak terperi.

Ketika dada alias hati nurani tidak lagi berfungsi sebagai penjaga moralitas, dan kepala telah diperbudak dan dibajak oleh perut, kebijakan yang muncul tidak memihak rakyat, tetapi hanya memperbesar ketimpangan sosial.

Krisis ini menunjukkan perlunya pemimpin dengan kepala yang bijak, dada yang penuh integritas, dan pengendalian perut. Hanya dengan harmoni ini, seperti yang diimpikan Plato, Indonesia dapat menemukan jalan keluar dari krisis moral dan politik yang mengancam masa depannya. Sebuah revolusi nilai dimana kepentingan perut harus lebih dikontrol oleh hati nurani (dada) dan akal sehat perlu dimulai dari elite itu sendiri, agar politik kembali melayani kepentingan rakyat banyak, bukan nafsu pribadi. 

Bila di tahun 2025 ini kita gagal menciptakan sistem yang mengontrol 'perut' sebagian besar birokrat dan elite politik kita, Indonesia sedang berjalan menuju jurang kehancuran.   

Bandung
1 January 2025