Bonus demografi bakal dialami Indonesia pada periode 2030-2040. Apa yang disebut sebagai bonus ini bakal menjadi petaka manakala usia produktif yang mencapai sekitar 70 persen jumlah penduduk kala itu, justru tidak produktif. Mereka yang seharusnya menanggung 30 persen penduduk usia anak dan usia pensiun malah menjadi beban, entah karena tidak memiliki kemampuan atau keterampilan kerja atau karena tidak tersedia lowongan pekerjaan.
Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa. Seiring perkembangan teknologi, tenaga manusia digantikan oleh robot. Berbagai jasa layanan pun sudah memanfaatkan teknologi digital sehingga tak lagi memerlukan tenaga manusia.
Saat ini dunia, termasuk Indonesia, sudah memasuki era disrupsi ekonomi. Model bisnis konvensional yang antara lain ditandai adanya mata rantai dalam produksi dan perdagangan yang menghubungkan konsumen dan produsen, mulai ditinggalkan. Konsumen kini bisa langsung berhubungan dengan produsen untuk membeli barang atau jasa. Akibatnya, banyak pekerjaan dalam mata rantai produksi dan perdagangan hilang. Buktinya, sekarang banyak pusat perbelanjaan yang tutup. Salah satu bank besar di Indonesia menyebutkan, pembukaan kantor cabangnya di berbagai daerah mulai mengalami penurunan hingga 75 persen. Alhasil, kebutuhan karyawan pun akan semakin sedikit ke depannya.
Dalam kondisi seperti sekarang inilah dibutuhkan bukan hanya kecerdikan dan kejelian dalam melihat setiap peluang berkaitan dengan kemajuan teknologi dan tren pasar, melainkan juga kesinambungan visi bangsa dalam mempersiapkan diri guna menghadapi tantangan bonus demografi mendatang.
Pemerintahan sekarang begitu giat membangun infrastruktur demi sebuah fondasi yang kokoh bagi perekonomian saat ini dan masa mendatang. Jembatan, pelabuhan, bandara, jalan tol, dan lainnya yang terbangun membuat rantai produksi, distribusi, dan konsumsi akan semakin lancar dan efisien. Pertumbuhan ekonomi di wilayah pun bakal meningkat. Namun, langkah-langkah akselerasi pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan hal nonfisik lainnya jangan sampai terabaikan.
Pertama, mempersiapkan kualitas tenaga kerja. Persiapan ini tidak main-main mengingat kualitas tenaga kerja kita saat ini tidak bisa dibilang menggembirakan. Dari 120 juta tenaga kerja yang ada sekarang ini didominasi oleh lulusan SD dan yang tidak lulus SD yakni sebanyak 43 juta jiwa.
Butuh kerja ekstra keras dalam waktu 12 tahun untuk mengubah komposisi latar belakang pendidikan para pekerja sehingga ke depan mayoritas tenaga kerja yang tersedia adalah mereka yang minimal memiliki pendidikan tinggi. Ke depan level pendidikan jangan lagi diukur sekadar dari lembar ijazah melainkan pada kompetensi keterampilan dan penguasaan bidang. Mereka yang punya pendidikan tinggi juga harus punya keterampilan mumpuni di bidang ilmu yang ditekuni.
Kedua, pendidikan tinggi saja tidak cukup. Jiwa-jiwa wirausaha harus ditanamkan juga sejak dini. Sejak satu dasawarsa terakhir, pemerintah sudah mendengungkan kewirausahaan. Seberapa banyak kita sudah mencetak entrepreneur-entrepreneur baru? Perlu dicek kembali apakah dari tahun ke tahun terdapat peningkatan signifikan munculnya wirausahawan baru. Para wirausahawan inilah yang nanti bakal menjadi tulang punggung manakala terjadi desrupsi dalam segala bidang, terutama ekonomi.
Ketiga, memanfaatkan peluang di era digital di mana produk-produk rumahan atau usaha kecil menengah (UKM) bisa seketika menginternasional. Peluang ini mungkin tergapai bila para pengusaha rumahan atau pengusaha kecil mengetahui kemajuan teknologi serta potensi yang tertambat di sana.
UKM kita telah terbukti mampu menopang perekonomian nasional sejak krisis moneter 1998. karena itu tak berlebihan bila pemerintah mengupayakan agar pemanfaatan teknologi ini masif terjadi di lingkungan UKM
UKM harus dipersiapkan untuk profesional dalam hal mengkreasikan dan menciptakan produk yang berkualitas, membangun branding agar lebih cepat dikenal, sekaligus memasarkan dan menjual. Dalam rangkaian proses mencipta hingga menjual inilah teknologi digital sangat berperan.
Kita banyak membawa dan kemudian memakai bisnis berbasis teknologi digital atau e-commerce dari luar, seperti yang paling populer adalah bisnis layanan transportasi serta belanja secara daring. Belum banyak aplikasi hasil karya dan inovasi bangsa sendiri. Pemerintah sudah seharusnya peka terhadap masalah ini.
Bila memang kita masih jauh tertinggal soal penguasaan teknologi maka sejak sekarang musti sudah ada percepatan penguasaan teknologi dan inovasi bidang usaha terkait kemajuan teknologi.
Penguasaan teknologi ini mendesak karena selain untuk kepentingan masa depan juga untuk kepentingan saat ini di mana Indonesia dianggap sebagai pasar potensial ekonomi digital.
Dengan munculnya wirausaha baru dan penguasaan teknologi oleh UKM, pemerintah tidak terlalu berat dalam mengupayakan pembukaan lapangan pekerjaan formal.
Di sisi lain, disrupsi yang bagi sebagian orang dianggap mengkhawatirkan bisa menjadi peluang yang terbuka lebar. Pertumbuhan nilai penjualan bisnis online di Tanah Air setiap tahun meningkat 40 persen. Ada sekitar 143 juta pengguna internet dan sekitar 370 juta ponsel digunakan di Indonesia atau melampaui jumlah penduduk yang hanya sekitar 260 juta jiwa. Sepuluh atau 20 tahun ke depan jumlahnya bisa dua atau tiga kali lipat. Saat ini saja e-commercesudah menjadi bagian dari gaya hidup warga terutama di kota-kota. Inilah ceruk pasar yang menjadi peluang menjanjikan.
Nilai transaksi bisnis industri e-commerce Indonesia terus meningkat. Pada akhir 2014 nilai diperkirakan mencapai Rp 25 triliun, dan naik menjadi sekitar Rp 69,8 triliun pada 2016. Pada tahun 2018 diperkirakan transaksi mencapai Rp 144 triliun.
Sementara pemerintah menargetkan Indonesia sebagai negara ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada 2020. Pemerintah menargetkan dapat menciptakan 1.000 technopreneurs baru dengan valuasi bisnis US$ 10 miliar.
sumber: http://www.beritasatu.com/tajuk/5840-mengantisipasi-disrupsi-ekonomi.html.html