e-Entrepreneurship
Kondisi Usaha TI di Indonesia
Penulis: Ekananta - detikInet
e-Entrepreneurship
e-Entrepreneurship, Catatan Redaksi: Tulisan ini merupakan bagian ketiga yang merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya dengan tajuk 'Syarat Utama Entrepreneur TI'.
Sebuah perusahaan ibaratnya sebuah bibit tanaman yang disebarkan di permukaan tanah. Tumbuh tidaknya sebuah bibit selain ditentukan oleh kualitas bibit itu sendiri juga ditentukan oleh lingkungan tempat bibit tersebut berada. Dalam melakukan kegiatan sebagai entrepreneur bidang IT di Indonesia, lingkungan dan kondisi usaha di Indonesia sangatlah menentukan sukses tidaknya perusahaan yang baru dibangun oleh seorang entrepreneur.
Secara umum, lingkungan dan kondisi usaha di Indonesia masih belum mampu mendukung seorang entrepreneur untuk dengan mudah mendirikan dan menjalankan perusahaan sendiri khususnya usaha dalam bidang IT. Beberapa kondisi ekonomi dan dunia usaha Indonesia yang tidak kondusif seperti:
- Belum adanya regulasi khusus yang mendukung kegiatan perusahaan start-up seperti tidak adanya insentif pajak dari pemerintah. Di Indonesia, semua perusahaan baik perusahaan kecil atau besar mengikuti peraturan yang sama. Hal ini memang seringkali dirasakan memberatkan bagi perusahaan start-up yang tentunya terbatas dalam bidang operasi dan pendanaannya.
- Belum adanya dukungan dari dunia komunitas keuangan Indonesia seperti belum adanya kredit dari perbankan untuk operasi perusahaan dengan bunga dan persyaratan yang memadai. Hampir semua bank mensyaratkan agunan (kolateral) dalam bentuk bangunan atau deposito untuk setiap usulan pendanaan yang dipastikan sangat sulit dilakukan oleh sebuah perusahaan start-up. Bahkan dalam lingkungan entrepreneurship sering dikenal sebuah pameo yang mengatakan perbankan hanya meminjamkan uang kepada perusahaan yang tidak membutuhkan pendanaan, sedangkan perusahaan yang membutuhkan pendanaan sangat sulit dalam mengakses fasilitas keuangan yang ada.
- Masih lemahnya perlindungan dan penghargaan dalam bidang patent yang berakibat masih kurangnya entrepreneur Indonesia yang menekuni pengembangan perangkat lunak aplikasi, karena tidak ada jaminan bahwa aplikasi mereka tidak digandakan secara illegal.
- Belum adanya semangat untuk mendukung dunia wirausaha dari perusahaan pemerintah di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peraturan pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan negara atau BUMN dilakukan minimal 30 hari setelah semua dokumen disetujui.
Persyaratan ini berlaku bagi perusahaan besar dan juga perusahaan kecil yang berarti bahwa perusahaan kecil atau baru memberikan pinjaman selama setidaknya 30 hari kepada perusahaan negara atau BUMN tersebut. Hal ini tentunya sangat memberatkan perusahaan start-up.
Itulah kondisi dan lingkungan dunia usaha di Indonesia yang menurut pandangan penulis sampai saat ini belum kondusif untuk mendukung semangat kewirausahaan (entrepreneurship) di Indonesia. Sebagai perbandingan, di Canada terdapat sebuah badan yang disebut IRAP (Industrial Research Assistance Programme) yang merupakan bagian atau program dari National Research Council.
Misi dari IRAP ini adalah membantu industri kecil dan menengah dalam mengembangkan kemampuannya di bidang teknologi dan inovasi . IRAP memberikan konsultasi pada usaha bisnis baru tentang potensi, kelemahan dari bisnis tersebut, kompetitor, dan pakar-pakar di Canada yang dapat dihubungi untuk melakukan konsultasi teknologi, dan hal-hal lain yang sangat berguna bagi perusahaan yang baru berkembang.
Semua jasa konsultasi tersebut dapat diperoleh dengan biaya yang sangat terjangkau. Di samping itu, Canada juga memiliki sebuah pasar modal yang dikhususkan bagi perusahaan start-up yang sebagian besar merupakan perusahaan IT.
Kondisi di Canada ini merupakan kondisi ideal yang seharusnya diciptakan di Indonesia untuk dapat mendukung semangat dan tumbuhnya jiwa-jiwa entrepreneurship di kalangan muda di Indonesia khususnya dalam bidang IT, yang pada akhirnya mampu mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Penutup
Dunia entrepreneurship merupakan dunia yang cukup menantang terutama bagi mereka yang membutuhkan tantangan pekerjaan lebih berat dibandingkan hanya sebagai karyawan sebuah perusahaan.
Dunia ini juga menjanjikan imbalan berupa kesuksesan karir dan finansial bagi yang berhasil menjalaninya dan secara umum entrepreneur juga memberikan kontribusi bagi perekonomian negara Indonesia dalam bentuk tersedianya lapangan kerja baru dan adanya perusahaan pembayar pajak baru.
Salah satu bidang usaha yang banyak menghasilkan entrepreneur muda sukses adalah bidang IT. Bidang ini merupakan bidang yang paling terbuka untuk entrepreneur tetapi juga merupakan bidang yang paling ketat persaingannya.
Kemudahan untuk memasuki bidang IT ini hampir sama dengan kemudahan terlempar keluar dari bidang ini karena persaingan usaha, sehingga kemampuan untuk memilih usaha yang tepat serta memiliki keterampilan yang tepat sangat diperlukan oleh setiap entrepreneur yang akan memasuki bidang usaha IT.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh seorang entrepreneur adalah kondisi lingkungan usaha tempat perusahaan itu didirikan. Lingkungan usaha yang kondusif ibarat tanah subur yang akan mendorong tumbuh suburnya bibit-bibit perusahan baru hasil karya dari jiwa dan semangat entrepreneurship yang dipupuk terus-menerus.
Saya hanya seorang yang berpikiran sederhana, mencoba memahami dunia penuh kerumitan, mensyukuri setiap langkah yang diberkati, mendoakan harapan dan berharap hidup saya membuat banyak orang merasa sungguh hidup..
Translate
Saturday, September 16, 2006
Lulusan TI, Karyawan atau Entrepreneur?
e-Entrepreneurship
Lulusan TI, Karyawan atau Entrepreneur?
Penulis: Argogalih - detikInet
e-Entrepreneurship
e-Entrepreneurship, Siapa sih yang tidak bangga menjadi orang TI (Teknologi Informasi)? Saya pun bangga menjadi orang TI, sama seperti Anda. Namun saat ini kebanggaan saya menjadi orang TI sedikit terusik. Mengapa? Karena beberapa hari yang lalu, tanpa sengaja, saya mendengar secara langsung pembicaraan beberapa mahasiswa di salah satu cafe terkemuka di Jakarta.
Terus terang, saya sangat terkejut mendengarnya ketika mereka mengatakan bahwa saat ini ada usaha tersembunyi (terselubung), hampir semua perguruan tinggi di Jakarta, untuk mengarahkan mahasiswa lulusan jurusan TI-nya menjadi seorang wirausaha, atau bahasa kerennya adalah seorang entrepreneur.
Mereka bilang semua itu adalah KONSPIRASI! Konspirasi untuk menutupi kegagalan perguruan tinggi dalam menjalankan fungsinya sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi. Khususnya kegagalan dalam hal menciptakan lulusan TI yang berkualitas guna menghadapi persaingan yang ketat (kompetitif) di bursa tenaga kerja.
Atau dengan kata lain, perguruan tinggi gagal menciptakan SDM yang berkualitas (tidak bisa memenuhi standar kualitas kebutuhan tenaga kerja diberbagai macam bidang industri). Kondisi inilah yang akhirnya mendorong lahirnya sebuah konspirasi bersama antar perguruan tinggi. Sebuah konspirasi yang katanya diberi nama entrepreneur.
Alamak! Sebuah tuduhan yang sangat berat dan juga sekaligus sangat menyesatkan! Dalam konteks seperti ini, saya rasa harapan semua perguruan tinggi di mana-mana adalah sama. Yakni semua lulusan TI harus mampu dan mahir menggunakan komputer (tentunya sesuai dengan jurusan atau disiplin bidang ilmu yang ditekuninya).
Dengan kata lain adalah lulusan TI diharapkan akan menjadi pakar TI! Itulah sebabnya mengapa semua perguruan tinggi selalu berusaha memperbaiki kurikulum pendidikan dari tahun ke tahun. Semua semata-mata hanya untuk meningkatkan kualitas pendidikan saja. Masalah kemudian Anda ingin jadi seorang karyawan ataupun entrepreneur, itu urusan lain. Perguruan tinggi tidak dapat mencampuri pilihan hidup Anda.
Perlu Anda ketahui, belakangan ini ada pro dan kontra seputar opini pilihan karier seseorang di masa depan, apakah harus menjadi seorang karyawan ataukah entrepreneur, khususnya dikalangan perguruan tinggi. Semua ini sebenarnya berawal dari buku karangan Valentino Dinsi, yang terbit ditahun 2004, berjudul "Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian".
Tidak lama kemudian di tahun 2005, teori dalam buku tersebut berusaha dipatahkan oleh Safir Senduk, pakar perencana keuangan, dalam bukunya yang berjudul "Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya?". Di sinilah awal wacana perdebatan antara pro dan kontra seputar entrepreneur itu dimulai. Sebenarnya dulu juga sudah pernah terjadi, namun tidak seheboh ini.
Lalu jalan manakah yang harus dipilih oleh lulusan TI? Jadi seorang karyawan ataukah entrepreneur? Cukup memusingkan memang. Setiap pilihan memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing. Memang benar, dalam hal ini, Anda tidak mudah mengambil keputusan. Butuh banyak pertimbangan. Namun kalau boleh saya beri saran, lulusan TI lebih baik jadi seorang entrepreneur saja. Kubur mimpi Anda untuk menjadi karyawan di sebuah perusahan.
Lulusan TI, Karyawan atau Entrepreneur?
Penulis: Argogalih - detikInet
e-Entrepreneurship
e-Entrepreneurship, Siapa sih yang tidak bangga menjadi orang TI (Teknologi Informasi)? Saya pun bangga menjadi orang TI, sama seperti Anda. Namun saat ini kebanggaan saya menjadi orang TI sedikit terusik. Mengapa? Karena beberapa hari yang lalu, tanpa sengaja, saya mendengar secara langsung pembicaraan beberapa mahasiswa di salah satu cafe terkemuka di Jakarta.
Terus terang, saya sangat terkejut mendengarnya ketika mereka mengatakan bahwa saat ini ada usaha tersembunyi (terselubung), hampir semua perguruan tinggi di Jakarta, untuk mengarahkan mahasiswa lulusan jurusan TI-nya menjadi seorang wirausaha, atau bahasa kerennya adalah seorang entrepreneur.
Mereka bilang semua itu adalah KONSPIRASI! Konspirasi untuk menutupi kegagalan perguruan tinggi dalam menjalankan fungsinya sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi. Khususnya kegagalan dalam hal menciptakan lulusan TI yang berkualitas guna menghadapi persaingan yang ketat (kompetitif) di bursa tenaga kerja.
Atau dengan kata lain, perguruan tinggi gagal menciptakan SDM yang berkualitas (tidak bisa memenuhi standar kualitas kebutuhan tenaga kerja diberbagai macam bidang industri). Kondisi inilah yang akhirnya mendorong lahirnya sebuah konspirasi bersama antar perguruan tinggi. Sebuah konspirasi yang katanya diberi nama entrepreneur.
Alamak! Sebuah tuduhan yang sangat berat dan juga sekaligus sangat menyesatkan! Dalam konteks seperti ini, saya rasa harapan semua perguruan tinggi di mana-mana adalah sama. Yakni semua lulusan TI harus mampu dan mahir menggunakan komputer (tentunya sesuai dengan jurusan atau disiplin bidang ilmu yang ditekuninya).
Dengan kata lain adalah lulusan TI diharapkan akan menjadi pakar TI! Itulah sebabnya mengapa semua perguruan tinggi selalu berusaha memperbaiki kurikulum pendidikan dari tahun ke tahun. Semua semata-mata hanya untuk meningkatkan kualitas pendidikan saja. Masalah kemudian Anda ingin jadi seorang karyawan ataupun entrepreneur, itu urusan lain. Perguruan tinggi tidak dapat mencampuri pilihan hidup Anda.
Perlu Anda ketahui, belakangan ini ada pro dan kontra seputar opini pilihan karier seseorang di masa depan, apakah harus menjadi seorang karyawan ataukah entrepreneur, khususnya dikalangan perguruan tinggi. Semua ini sebenarnya berawal dari buku karangan Valentino Dinsi, yang terbit ditahun 2004, berjudul "Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian".
Tidak lama kemudian di tahun 2005, teori dalam buku tersebut berusaha dipatahkan oleh Safir Senduk, pakar perencana keuangan, dalam bukunya yang berjudul "Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya?". Di sinilah awal wacana perdebatan antara pro dan kontra seputar entrepreneur itu dimulai. Sebenarnya dulu juga sudah pernah terjadi, namun tidak seheboh ini.
Lalu jalan manakah yang harus dipilih oleh lulusan TI? Jadi seorang karyawan ataukah entrepreneur? Cukup memusingkan memang. Setiap pilihan memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing. Memang benar, dalam hal ini, Anda tidak mudah mengambil keputusan. Butuh banyak pertimbangan. Namun kalau boleh saya beri saran, lulusan TI lebih baik jadi seorang entrepreneur saja. Kubur mimpi Anda untuk menjadi karyawan di sebuah perusahan.
Tim Mahasiswa ITB dan Unpad Memenangkan Imagine Cup 2006 Indonesia Software Design
Tim Mahasiswa ITB dan Unpad Memenangkan Imagine Cup 2006 Indonesia Software Design
Mereka akan Mewakili Indonesia pada Final Imagine Cup 2006 di India
JAKARTA, 24 Mei 2006 - Setelah melalui proses panjang, tim Gatot Kaca yang terdiri dari tiga mahasiswa Institut Teknologi Bandung (Narenda Wicaksono, Wildan Fakhri dan Hardani Maulana) serta satu mahasiswa Kedokteran Universitas Padjadjaran (Renaldi Prasetia) akhirnya berhasil memenangkan Imagine Cup 2006 Indonesia Software Design melalui kreasi rancangan piranti lunaknya yang disebut project Sigap!. Tim ini kemudian akan dikirim bersama tim Academic Developer Evangelist Microsoft Indonesia untuk berkompetisi mewakili Indonesia pada ajang serupa tingkat internasional, yaitu Worldwide Software Design Invitational of Imagine Cup 2006 yang akan berlangsung di New Delhi, India, pada bulan Agustus ini.
Imagine Cup 2006 Indonesia Software Design merupakan bagian dari ajang kompetisi global tingkat mahasiswa tahunan yang digelar oleh Microsoft Corporation. Melalui ajang ini, mahasiswa-mahasiswa mendapatkan kesempatan untuk memperkenalkan karya ciptanya dan berkompetisi dengan mahasiswa lainnya dari berbagai negara di seluruh dunia.
Imagine Cup kali ini telah memasuki tahun keempat sejak pertama kali inisiatif ini dilaksanakan pada tahun 2003. Di Indonesia sendiri, ajang ini baru memasuki tahun ketiga. Setiap kali pelaksanaan, Imagine Cup memiliki tema yang berbeda. Tema yang diusung pada tahun 2006 adalah mengenai peran teknologi piranti lunak yang memungkinkan kita hidup dalam sebuah kehidupan yang lebih sehat - "Imagine a world where technology enables us to live healthier lives".
Imagine Cup 2006 Indonesia Software Design
Imagine Cup 2006 Indonesia Software Design
Click here for a high-res version.
"Ajang ini merupakan sarana bagi para generasi penerus untuk menunjukan potensi diri mereka di ajang internasional dalam hal IT. Imagine Cup menantang mahasiswa untuk membayangkan dunia yang lebih baik yang dapat diciptakan melalui kejeniusannya, kreativitas, dan energinya menciptakan solusi teknologi yang inovatif dan menawarkan kegunaan yang praktis," ungkap Ari Kunwidodo, Wakil Presiden Direktur PT Microsoft Indonesia.
Dalam setiap ajang kompetisi, terdapat enam kategori yang dilombakan, antara lain: (1) Software Design; (2) Algorithm; (3) IT; (4) Project Hoshimi; (5) Short Film; dan, (6) Interface Designer. Imagine Cup 2006 Indonesia kali ini masuk pada kategori perlombaan untuk Software Design.
Terdapat tiga hal utama yang menjadi kunci penilaian ajang kompetisi, yaitu: Inovasi, aplikasi memecahkan permasalahan baru atau memecahkan permasalahan lama dari sisi yang belum pernah terpikirkan; Impact, apakah aplikasi meninggalkan kesan kepada user. Apakah aplikasi tersebut hanya bermanfaat untuk orang tertentu saja atau dapat digunakan oleh seluruh jajaran masyarakat, atau oleh user tertentu yang memberikan dampak pada orang banyak seperti pemerintahan; efektif, seberapa persen aplikasi piranti lunak tersebut dapat memecahkan permasalahan yang dirumuskan.
"Imagine Cup yang didukung penuh oleh perusahaan penyedia piranti lunak terbesar dunia, Microsoft, ini sudah merupakan jalur yang paling tepat bagi para mahasiswa untuk menunjukan kebolehannya dalam menciptakan solusi piranti lunak. Maka, kesempatan ini harus kita manfaatkan sebaik-baiknya," kata Dr. Ir. Richard Mengko, Staf Ahli Bidang Teknologi Informasi, Kementerian Negara Riset Dan Teknologi yang juga menjadi salah satu juri Imagine Cup 2006 Indonesia Software Design.
Tim Gatotkaca yang telah memenangkan Imagine Cup 2006 Indonesia Software Design mengalahkan empat tim lainnya yang masuk ke babak final dengan beragam kreasi ciptaannya menggunakan teknologi Microsoft(R) dan .NET Web Services. Berikut adalah lima aplikasi yang masuk babak final:
1. Project Runtastic. Dikembangkan oleh tim mahasiswa ITB, merupakan aplikasi yang berjalan pada perangkat mobile (PDA) untuk membuat olahraga jogging lebih menyenangkan. Aplikasi ini memungkinkan user dapat berkompetisi dengan para jogger lain di belahan dunia lain untuk memotivasi user. User juga mendapat bimbingan dari personal traineer berkelas dunia selama melakukan olahraganya, sehingga user yakin telah melakukan olahraga dengan sempurna.
2. Project Personal Food Guide (PFG). Dikembangkan oleh tim mahasiswa ITS, merupakan aplikasi yang memungkinkan user selalu mendapatkan menu yang sehat berdasarkan catatan medis user. PFG mengkolaborasikan keahlian dari pemerintahan, restoran-restoran dan para ahli nutrisi ke dalam satu layanan tunggal. Aplikasi ini memungkinkan user mencari dan mendapatkan menu sehat dari restoran melalui perangkat mobile, memasak makanan sehat berdasarkan resep-resep yang bisa didownload serta mendapatkan info-info terbaru mengenai makanan sehat dari restoran-restoran di lokasi terdekat.
3. Project MAc (Mobile Acupuncture). Dikembangkan oleh tim mahasiswa ITB, merupakan aplikasi mobile yang menyediakan fasilitas terapi akupuntur tanpa harus berhubungan langsung dengan ahli terapisnya. Mac dapat digunakan kapan saja dan dimana saja dengan men-seting Electro-Acupunture Unit dan Body-Censor unit yang terintegrasi dalam hardware MacWare pada tubuh user dan dikoneksikan menggunakan PDA melalui Bluetooth.
4. Project MediXob. Dikembangkan oleh tim mahasiswa ITS, merupakan aplikasi yang memfasilitasi user untuk berkonsultasi mengenai kesehatannya dengan cara yang sangat flexible, cepat, mudah dan terjangkau melalui handphone atau PC. User tinggal mengirimkan keluhannya via sms, mms, WAP atau internet. MediXob mempermudah penyampaian keluhan untuk dimengerti dengan disertakan Text Analysis dan Expert System.
5. Project Sigap!. Dikembangkan oleh tim mahasiswa ITB dan UNPAD, merupakan aplikasi yang berguna bagi user untuk mendapatkan jangka waktu paling tepat untuk berlatih cardio secara menyenangkan yaitu dengan menyesuaikan detak jantung user dengan beat lagu favorit pada saat berlatih.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Imagine Cup 2006 beserta rancangan aplikasi para finalis, silahkan kunjungi: http://www.microsoft.com/indonesia/students/imagine_cup.aspx
Mereka akan Mewakili Indonesia pada Final Imagine Cup 2006 di India
JAKARTA, 24 Mei 2006 - Setelah melalui proses panjang, tim Gatot Kaca yang terdiri dari tiga mahasiswa Institut Teknologi Bandung (Narenda Wicaksono, Wildan Fakhri dan Hardani Maulana) serta satu mahasiswa Kedokteran Universitas Padjadjaran (Renaldi Prasetia) akhirnya berhasil memenangkan Imagine Cup 2006 Indonesia Software Design melalui kreasi rancangan piranti lunaknya yang disebut project Sigap!. Tim ini kemudian akan dikirim bersama tim Academic Developer Evangelist Microsoft Indonesia untuk berkompetisi mewakili Indonesia pada ajang serupa tingkat internasional, yaitu Worldwide Software Design Invitational of Imagine Cup 2006 yang akan berlangsung di New Delhi, India, pada bulan Agustus ini.
Imagine Cup 2006 Indonesia Software Design merupakan bagian dari ajang kompetisi global tingkat mahasiswa tahunan yang digelar oleh Microsoft Corporation. Melalui ajang ini, mahasiswa-mahasiswa mendapatkan kesempatan untuk memperkenalkan karya ciptanya dan berkompetisi dengan mahasiswa lainnya dari berbagai negara di seluruh dunia.
Imagine Cup kali ini telah memasuki tahun keempat sejak pertama kali inisiatif ini dilaksanakan pada tahun 2003. Di Indonesia sendiri, ajang ini baru memasuki tahun ketiga. Setiap kali pelaksanaan, Imagine Cup memiliki tema yang berbeda. Tema yang diusung pada tahun 2006 adalah mengenai peran teknologi piranti lunak yang memungkinkan kita hidup dalam sebuah kehidupan yang lebih sehat - "Imagine a world where technology enables us to live healthier lives".
Imagine Cup 2006 Indonesia Software Design
Imagine Cup 2006 Indonesia Software Design
Click here for a high-res version.
"Ajang ini merupakan sarana bagi para generasi penerus untuk menunjukan potensi diri mereka di ajang internasional dalam hal IT. Imagine Cup menantang mahasiswa untuk membayangkan dunia yang lebih baik yang dapat diciptakan melalui kejeniusannya, kreativitas, dan energinya menciptakan solusi teknologi yang inovatif dan menawarkan kegunaan yang praktis," ungkap Ari Kunwidodo, Wakil Presiden Direktur PT Microsoft Indonesia.
Dalam setiap ajang kompetisi, terdapat enam kategori yang dilombakan, antara lain: (1) Software Design; (2) Algorithm; (3) IT; (4) Project Hoshimi; (5) Short Film; dan, (6) Interface Designer. Imagine Cup 2006 Indonesia kali ini masuk pada kategori perlombaan untuk Software Design.
Terdapat tiga hal utama yang menjadi kunci penilaian ajang kompetisi, yaitu: Inovasi, aplikasi memecahkan permasalahan baru atau memecahkan permasalahan lama dari sisi yang belum pernah terpikirkan; Impact, apakah aplikasi meninggalkan kesan kepada user. Apakah aplikasi tersebut hanya bermanfaat untuk orang tertentu saja atau dapat digunakan oleh seluruh jajaran masyarakat, atau oleh user tertentu yang memberikan dampak pada orang banyak seperti pemerintahan; efektif, seberapa persen aplikasi piranti lunak tersebut dapat memecahkan permasalahan yang dirumuskan.
"Imagine Cup yang didukung penuh oleh perusahaan penyedia piranti lunak terbesar dunia, Microsoft, ini sudah merupakan jalur yang paling tepat bagi para mahasiswa untuk menunjukan kebolehannya dalam menciptakan solusi piranti lunak. Maka, kesempatan ini harus kita manfaatkan sebaik-baiknya," kata Dr. Ir. Richard Mengko, Staf Ahli Bidang Teknologi Informasi, Kementerian Negara Riset Dan Teknologi yang juga menjadi salah satu juri Imagine Cup 2006 Indonesia Software Design.
Tim Gatotkaca yang telah memenangkan Imagine Cup 2006 Indonesia Software Design mengalahkan empat tim lainnya yang masuk ke babak final dengan beragam kreasi ciptaannya menggunakan teknologi Microsoft(R) dan .NET Web Services. Berikut adalah lima aplikasi yang masuk babak final:
1. Project Runtastic. Dikembangkan oleh tim mahasiswa ITB, merupakan aplikasi yang berjalan pada perangkat mobile (PDA) untuk membuat olahraga jogging lebih menyenangkan. Aplikasi ini memungkinkan user dapat berkompetisi dengan para jogger lain di belahan dunia lain untuk memotivasi user. User juga mendapat bimbingan dari personal traineer berkelas dunia selama melakukan olahraganya, sehingga user yakin telah melakukan olahraga dengan sempurna.
2. Project Personal Food Guide (PFG). Dikembangkan oleh tim mahasiswa ITS, merupakan aplikasi yang memungkinkan user selalu mendapatkan menu yang sehat berdasarkan catatan medis user. PFG mengkolaborasikan keahlian dari pemerintahan, restoran-restoran dan para ahli nutrisi ke dalam satu layanan tunggal. Aplikasi ini memungkinkan user mencari dan mendapatkan menu sehat dari restoran melalui perangkat mobile, memasak makanan sehat berdasarkan resep-resep yang bisa didownload serta mendapatkan info-info terbaru mengenai makanan sehat dari restoran-restoran di lokasi terdekat.
3. Project MAc (Mobile Acupuncture). Dikembangkan oleh tim mahasiswa ITB, merupakan aplikasi mobile yang menyediakan fasilitas terapi akupuntur tanpa harus berhubungan langsung dengan ahli terapisnya. Mac dapat digunakan kapan saja dan dimana saja dengan men-seting Electro-Acupunture Unit dan Body-Censor unit yang terintegrasi dalam hardware MacWare pada tubuh user dan dikoneksikan menggunakan PDA melalui Bluetooth.
4. Project MediXob. Dikembangkan oleh tim mahasiswa ITS, merupakan aplikasi yang memfasilitasi user untuk berkonsultasi mengenai kesehatannya dengan cara yang sangat flexible, cepat, mudah dan terjangkau melalui handphone atau PC. User tinggal mengirimkan keluhannya via sms, mms, WAP atau internet. MediXob mempermudah penyampaian keluhan untuk dimengerti dengan disertakan Text Analysis dan Expert System.
5. Project Sigap!. Dikembangkan oleh tim mahasiswa ITB dan UNPAD, merupakan aplikasi yang berguna bagi user untuk mendapatkan jangka waktu paling tepat untuk berlatih cardio secara menyenangkan yaitu dengan menyesuaikan detak jantung user dengan beat lagu favorit pada saat berlatih.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Imagine Cup 2006 beserta rancangan aplikasi para finalis, silahkan kunjungi: http://www.microsoft.com/indonesia/students/imagine_cup.aspx
Business Start-up Award 2006
Business Start-up Award 2006
YES Programme atau Program Wirausahawan Muda Pemula adalah sebuah inisiatif untuk membantu anak muda Indonesia membangun usaha mandiri (wirausaha) sebagai suatu pilihan karir. Inisiatif tersebut dikoordinasikan oleh Yayasan Indonesia Business Links (IBL) dan dalam pelaksanaannya mendapatkan dukungan dari berbagai organisasi dan korporasi, diantaranya adalah Shell Companies in Indonesia, International Finance Corporation (IFC), Standard Chartered Bank, McKinsey & Company, dan Yayasan Progressio Indonesia.
Inisiatif ini terdiri dari tiga kegiatan utama; (1) pembangunan kesadaran pada anak muda Indonesia bahwa wirausaha merupakan salah satu pilihan karir yang pantas bagi masa depan melalui pelaksanaan workshop ‘Bright Ideas’ di Jakarta, Bandung dan Yogya, (2) pemilihan wirausahawan muda pemula berpotensi yang dapat dijadikan acuan bagi anak muda Indonesia dalam ajang ‘Business Start-up Award (BSA) 2006’, serta (3) pembinaan/mentoring dan pelatihan teknis bagi wirausahawan muda pemula yang mempunyai potensi untuk berkembang.
Business Start-up Award bertujuan untuk memberikan penghargaan kepada wirausahawan muda pemula terpilih yang mempunyai potensi untuk berkembang menjadi wirausahawan yang sukses, yang nantinya dapat dijadikan sebagai acuan (role model) bagi anak muda Indonesia yang ingin menjadikan wirausaha sebagai salah satu pilihan dalam berkarir.
Ajang ini terbuka bagi pemuda/pemudi Indonesia dengan usia antara 18 sampai dengan 32 tahun; mempunyai usaha sendiri yang sudah berjalan sampai dengan dua tahun (tahap start-up) serta usahanya berlokasi di wilayah DKI Jakarta & sekitarnya, Kota Bandung & sekitarnya, serta Kota Yogya & sekitarnya.
Business Start-up Award 2006 telah dimulai pada tanggal 17 Januari 2006 dengan melakukan launching promosi dan pembukaan pendaftaran di tiga kota: Jakarta, Bandung, Yogya. Sampai dengan tanggal terakhir pendaftaran (26 Februari 2006) telah terkumpul 1447 profil usaha (lihat: daftar peserta) yang dikirimkan oleh para wirausahwan muda. Setelah melalui proses seleksi tingkat awal yang dilaksanakan oleh manajemen, terdapat 87 buah profil usaha yang memenuhi prasyarat utama BSA: pengusaha berusia 18-32 tahun dan usaha sudah berjalan paling lama dua tahun. Ke-87 profil usaha tersebut diminta untuk dijabarkan oleh si pengusaha muda dalam sebuah rencana usaha (business plan).
Hanya 26 orang wirausahawan muda (lihat: daftar semifinalis) yang mengirimkan rencana usahanya. Ke-26 orang tersebut diseleksi kembali oleh Panel Juri di tingkat lokal. Penilaian dilakukan terhadap rencana usaha yang diajukan serta potensi diri dari wirausahawan yang dinilai pada saat dilakukan wawancara oleh panel juri pada tanggal 5 April 2006 (Bandung), 11 April 2006 (Jakarta), serta 12 April 2006 (Yogya). Penilaian terhadap rencana usaha melihat pada tiga aspek: Produk, Pasar, serta Organisasi/Manajemen. Juri (lihat: daftar juri lokal) terdiri dari kombinasi wirausahawan lokal yang sukses serta kalangan professional.
Dari hasil penilaian tersebut, saat ini terdapat 8 orang wirausahawan muda dan usahanya (lihat: daftar finalis) dinilai layak untuk lolos ke babak final.
Babak final dilaksanakan bersamaan dengan penyelenggaraan BSA 2006 Ehibition and Inauguration Night pada tanggal 16 Juni 2006 di Hotel Mulia, Jakarta. Final diselenggarakan dalam bentuk eksibisi/pameran dimana akan disediakan stan-stan pameran bagi para finalis untuk memasarkan produk mereka. Para penilai akan memilih lima peserta terbaik yang akan dianugerahi penghargaan berupa hibah/grant senilai Rp 25.000.000 sebagai modal usaha.
Acara BSA 2006 Exhibition and Inauguration Night terselenggara berkat dukungan Merrill Lynch, sebagai tuan rumah (host) acara; serta bantuan dari Yayasan Indonesia Business Links, Shell Companies in Indonesia, International Finance Corporation, dan Accenture dalam penyelenggaraannya.
YES Programme atau Program Wirausahawan Muda Pemula adalah sebuah inisiatif untuk membantu anak muda Indonesia membangun usaha mandiri (wirausaha) sebagai suatu pilihan karir. Inisiatif tersebut dikoordinasikan oleh Yayasan Indonesia Business Links (IBL) dan dalam pelaksanaannya mendapatkan dukungan dari berbagai organisasi dan korporasi, diantaranya adalah Shell Companies in Indonesia, International Finance Corporation (IFC), Standard Chartered Bank, McKinsey & Company, dan Yayasan Progressio Indonesia.
Inisiatif ini terdiri dari tiga kegiatan utama; (1) pembangunan kesadaran pada anak muda Indonesia bahwa wirausaha merupakan salah satu pilihan karir yang pantas bagi masa depan melalui pelaksanaan workshop ‘Bright Ideas’ di Jakarta, Bandung dan Yogya, (2) pemilihan wirausahawan muda pemula berpotensi yang dapat dijadikan acuan bagi anak muda Indonesia dalam ajang ‘Business Start-up Award (BSA) 2006’, serta (3) pembinaan/mentoring dan pelatihan teknis bagi wirausahawan muda pemula yang mempunyai potensi untuk berkembang.
Business Start-up Award bertujuan untuk memberikan penghargaan kepada wirausahawan muda pemula terpilih yang mempunyai potensi untuk berkembang menjadi wirausahawan yang sukses, yang nantinya dapat dijadikan sebagai acuan (role model) bagi anak muda Indonesia yang ingin menjadikan wirausaha sebagai salah satu pilihan dalam berkarir.
Ajang ini terbuka bagi pemuda/pemudi Indonesia dengan usia antara 18 sampai dengan 32 tahun; mempunyai usaha sendiri yang sudah berjalan sampai dengan dua tahun (tahap start-up) serta usahanya berlokasi di wilayah DKI Jakarta & sekitarnya, Kota Bandung & sekitarnya, serta Kota Yogya & sekitarnya.
Business Start-up Award 2006 telah dimulai pada tanggal 17 Januari 2006 dengan melakukan launching promosi dan pembukaan pendaftaran di tiga kota: Jakarta, Bandung, Yogya. Sampai dengan tanggal terakhir pendaftaran (26 Februari 2006) telah terkumpul 1447 profil usaha (lihat: daftar peserta) yang dikirimkan oleh para wirausahwan muda. Setelah melalui proses seleksi tingkat awal yang dilaksanakan oleh manajemen, terdapat 87 buah profil usaha yang memenuhi prasyarat utama BSA: pengusaha berusia 18-32 tahun dan usaha sudah berjalan paling lama dua tahun. Ke-87 profil usaha tersebut diminta untuk dijabarkan oleh si pengusaha muda dalam sebuah rencana usaha (business plan).
Hanya 26 orang wirausahawan muda (lihat: daftar semifinalis) yang mengirimkan rencana usahanya. Ke-26 orang tersebut diseleksi kembali oleh Panel Juri di tingkat lokal. Penilaian dilakukan terhadap rencana usaha yang diajukan serta potensi diri dari wirausahawan yang dinilai pada saat dilakukan wawancara oleh panel juri pada tanggal 5 April 2006 (Bandung), 11 April 2006 (Jakarta), serta 12 April 2006 (Yogya). Penilaian terhadap rencana usaha melihat pada tiga aspek: Produk, Pasar, serta Organisasi/Manajemen. Juri (lihat: daftar juri lokal) terdiri dari kombinasi wirausahawan lokal yang sukses serta kalangan professional.
Dari hasil penilaian tersebut, saat ini terdapat 8 orang wirausahawan muda dan usahanya (lihat: daftar finalis) dinilai layak untuk lolos ke babak final.
Babak final dilaksanakan bersamaan dengan penyelenggaraan BSA 2006 Ehibition and Inauguration Night pada tanggal 16 Juni 2006 di Hotel Mulia, Jakarta. Final diselenggarakan dalam bentuk eksibisi/pameran dimana akan disediakan stan-stan pameran bagi para finalis untuk memasarkan produk mereka. Para penilai akan memilih lima peserta terbaik yang akan dianugerahi penghargaan berupa hibah/grant senilai Rp 25.000.000 sebagai modal usaha.
Acara BSA 2006 Exhibition and Inauguration Night terselenggara berkat dukungan Merrill Lynch, sebagai tuan rumah (host) acara; serta bantuan dari Yayasan Indonesia Business Links, Shell Companies in Indonesia, International Finance Corporation, dan Accenture dalam penyelenggaraannya.
Kewirausahaan TI di Indonesia
Kamis , 24/08/2006 07:01 WIB
e-Entrepreneurship
Kewirausahaan TI di Indonesia
Penulis: Ekananta - detikInet
e-Entrepreneurship
e-Entrepreneurship, Entrepreneurship atau kewirausahaan adalah sebuah tema yang cukup menarik untuk dibicarakan dan coba ditekuni oleh beberapa orang karena menjanjikan sebuah kesuksesan karir dan finansial bagi yang berhasil menjalaninya.
Di Indonesia, pembicaraan mengenai entrepreneurship semakin sering terdengar dalam beberapa tahun terakhir ini antara lain dipicu oleh suksesnya penjualan buku "Rich-Dad-Poor-Dad" karangan Robert Kiyosaki yang secara eksplisit menyarankan kepada pembacanya untuk beriwirausaha sebagai bagian untuk memperoleh kebebasan finansial.
Bahkan beberapa pemuda bertutur bahwa mereka ingin menjadi wirausaha dengan mendirikan perusahaan dan memperoleh kebebasan finansial seperti yang disarankan oleh Kiyosaki tanpa menghiraukan bidang apa yang akan mereka terjuni dan hambatan apa saja yang akan mereka temui dalam berwirausaha.
Di samping itu, dunia Information Technology (IT) adalah sebuah dunia usaha dan teknologi yang paling banyak menghasilkan enterpreneur yang sukses baik secara bisnis maupun keuangan. Nama-nama seperti Hewlet-Packard, Bill Gates, Lerry Elison, Steve Jobs, dan Michael Dell merupakan nama-nama pendiri perusahaan di bidang Teknologi Informasi, dan merupakan entrepreneur murni karena mereka memulai usaha yang baru sama sekali dan di usia yang cukup muda.
Melihat kondisi inilah maka tidak heran kalau banyak sekali enterpreneur yang ingin mendirikan usaha dalam bidang IT, bahkan di era dot-com, hampir semua entrepreneur berusaha mendirikan perusahaan dot-com. Seiring dengan berlalunya era dot-com dan dengan jatuhnya banyak perusahaan dot-com, tetap tidak mengurangi semangat para entrepreneur muda untuk mencoba peruntungan mereka dalam dunia IT ini.
Dalam tulisan ini, penulis ingin menyoroti prospek entrepreneurship di bidang IT di negara Indonesia berdasarkan atas pengamatan dan pengalaman yang pernah dijalani penulis dalam membangun dan menjalankan sebuah perusahaan strart-up di bidang IT.
Walaupun usaha yang dilakukan belum pantas untuk disebut sukses, tetapi penulis ingin berbagi beberapa pengalaman yang pernah dialami yang mungkin berguna bagi perkembangan jiwa dan semangat entrepreneurship di Indonesia.
Membangun usaha dalam bisnis IT
Dunia IT merupakan sebuah dunia yang sangat menjanjikan bagi para entrepreneur muda karena sifatnya yang sangat terbuka bagi siapa saja yang berminat memasukinya, bahkan untuk menggambarkan betapa terbukanya bidang ini dinyatakan oleh pernyataan seorang aktor dalam sebuah film fiksi tentang perusahaan IT yang berjudul "Anti Trust" mengatakan bahwa "Every student who works on their garage is potentianly become a competitor in this business".
Setiap mahasiswa yang bekerja dari sebuah garasi di rumahnya untuk membuat perangkat lunak IT berpotensi untuk menjadi pesaing bagi perusahaan yang telah beroperasi terlebih dahulu. Seperti juga sebuah bisnis pada umumnya, jika gampang memasukinya maka gampang pula untuk terlempar keluar dari persaingan, oleh sebab itu pemahaman dan pemilihan dalam membangun sebuah bisnis, khususnya dalam bidang IT sangat menentukan sukses tidaknya usaha tersebut dijalankan.
Walaupun banyak sekali bidang bisnis IT, tetapi pada umumnya bidang usaha yang sering dimasuki oleh seorang pebisnis baru adalah:
- Perusahaan pengembangan perangkat lunak aplikasi (software house).
- Konsultan Implementasi Teknologi Informasi baik itu implementasi hardware maupun implementasi software.
- Distributor dari produk-produk IT, baik hardware ataupun software.
- Training dan pendidikan bidang IT.
Dari keempat bidang ini, muncul berbagai varians dari bisnis IT yang biasanya merupakan bentuk spesialisasi dari keempat bidang usaha tersebut. Untuk sukses dalam bisnis dalam bidang ini faktor yang paling berpengaruh adalah ketepatan memasuki pasar (time-to-market) dan juga kualitas sebuah produk atau solusi yang dimiliki.
Terlambat memasuki pasar berarti akan kehilangan kesempatan menjadi market leader, sedangkan terlalu awal masuk pasar akan dibebani biaya besar untuk melakukan pendidikan pasar. Faktor yang kedua yaitu kualitas dari produk atau solusi yang akan menjamin kesinambungan perusahaan dalam bisnis ini. Kualitas yang jelek akan menyebabkan hilangnya kepercayaan dari pelanggan, walaupun time-to-market nya sudah tepat.
e-Entrepreneurship
Kewirausahaan TI di Indonesia
Penulis: Ekananta - detikInet
e-Entrepreneurship
e-Entrepreneurship, Entrepreneurship atau kewirausahaan adalah sebuah tema yang cukup menarik untuk dibicarakan dan coba ditekuni oleh beberapa orang karena menjanjikan sebuah kesuksesan karir dan finansial bagi yang berhasil menjalaninya.
Di Indonesia, pembicaraan mengenai entrepreneurship semakin sering terdengar dalam beberapa tahun terakhir ini antara lain dipicu oleh suksesnya penjualan buku "Rich-Dad-Poor-Dad" karangan Robert Kiyosaki yang secara eksplisit menyarankan kepada pembacanya untuk beriwirausaha sebagai bagian untuk memperoleh kebebasan finansial.
Bahkan beberapa pemuda bertutur bahwa mereka ingin menjadi wirausaha dengan mendirikan perusahaan dan memperoleh kebebasan finansial seperti yang disarankan oleh Kiyosaki tanpa menghiraukan bidang apa yang akan mereka terjuni dan hambatan apa saja yang akan mereka temui dalam berwirausaha.
Di samping itu, dunia Information Technology (IT) adalah sebuah dunia usaha dan teknologi yang paling banyak menghasilkan enterpreneur yang sukses baik secara bisnis maupun keuangan. Nama-nama seperti Hewlet-Packard, Bill Gates, Lerry Elison, Steve Jobs, dan Michael Dell merupakan nama-nama pendiri perusahaan di bidang Teknologi Informasi, dan merupakan entrepreneur murni karena mereka memulai usaha yang baru sama sekali dan di usia yang cukup muda.
Melihat kondisi inilah maka tidak heran kalau banyak sekali enterpreneur yang ingin mendirikan usaha dalam bidang IT, bahkan di era dot-com, hampir semua entrepreneur berusaha mendirikan perusahaan dot-com. Seiring dengan berlalunya era dot-com dan dengan jatuhnya banyak perusahaan dot-com, tetap tidak mengurangi semangat para entrepreneur muda untuk mencoba peruntungan mereka dalam dunia IT ini.
Dalam tulisan ini, penulis ingin menyoroti prospek entrepreneurship di bidang IT di negara Indonesia berdasarkan atas pengamatan dan pengalaman yang pernah dijalani penulis dalam membangun dan menjalankan sebuah perusahaan strart-up di bidang IT.
Walaupun usaha yang dilakukan belum pantas untuk disebut sukses, tetapi penulis ingin berbagi beberapa pengalaman yang pernah dialami yang mungkin berguna bagi perkembangan jiwa dan semangat entrepreneurship di Indonesia.
Membangun usaha dalam bisnis IT
Dunia IT merupakan sebuah dunia yang sangat menjanjikan bagi para entrepreneur muda karena sifatnya yang sangat terbuka bagi siapa saja yang berminat memasukinya, bahkan untuk menggambarkan betapa terbukanya bidang ini dinyatakan oleh pernyataan seorang aktor dalam sebuah film fiksi tentang perusahaan IT yang berjudul "Anti Trust" mengatakan bahwa "Every student who works on their garage is potentianly become a competitor in this business".
Setiap mahasiswa yang bekerja dari sebuah garasi di rumahnya untuk membuat perangkat lunak IT berpotensi untuk menjadi pesaing bagi perusahaan yang telah beroperasi terlebih dahulu. Seperti juga sebuah bisnis pada umumnya, jika gampang memasukinya maka gampang pula untuk terlempar keluar dari persaingan, oleh sebab itu pemahaman dan pemilihan dalam membangun sebuah bisnis, khususnya dalam bidang IT sangat menentukan sukses tidaknya usaha tersebut dijalankan.
Walaupun banyak sekali bidang bisnis IT, tetapi pada umumnya bidang usaha yang sering dimasuki oleh seorang pebisnis baru adalah:
- Perusahaan pengembangan perangkat lunak aplikasi (software house).
- Konsultan Implementasi Teknologi Informasi baik itu implementasi hardware maupun implementasi software.
- Distributor dari produk-produk IT, baik hardware ataupun software.
- Training dan pendidikan bidang IT.
Dari keempat bidang ini, muncul berbagai varians dari bisnis IT yang biasanya merupakan bentuk spesialisasi dari keempat bidang usaha tersebut. Untuk sukses dalam bisnis dalam bidang ini faktor yang paling berpengaruh adalah ketepatan memasuki pasar (time-to-market) dan juga kualitas sebuah produk atau solusi yang dimiliki.
Terlambat memasuki pasar berarti akan kehilangan kesempatan menjadi market leader, sedangkan terlalu awal masuk pasar akan dibebani biaya besar untuk melakukan pendidikan pasar. Faktor yang kedua yaitu kualitas dari produk atau solusi yang akan menjamin kesinambungan perusahaan dalam bisnis ini. Kualitas yang jelek akan menyebabkan hilangnya kepercayaan dari pelanggan, walaupun time-to-market nya sudah tepat.
Wednesday, September 13, 2006
Doa Hari Selasa, 12 September 2006
Doa Hari Selasa, 12 September 2006
Terima kasih Tuhan Yesusku,
Engkau telah memberi kami negeri ini,
negeri yang luas dan subur
yang dapat ditumbuhi benih apa pun.
Kami mohon berkat-Mu untuk para petani
agar mereka tetap tekun bekerja
menggarap sawah, ladang dan kebun,
dan agar hasil usaha mereka melimpah
demi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa kami.
Sertailah di dalam setiap usaha mereka.
Berilah cuaca yang baik yang mendukung akan
pertumbuhan setiap benih yang mereka tanam.
Tolonglah mereka di dalam setiap kendala yang
mereka hadapi, baik di dalam usaha mereka,
maupun setiap permasalahan di dalam kehidupan
mereka.
Berilah mereka ini kesehatan yang baik,
dan rejeki yang berkecukupan daripadaMu.
Terima kasih Tuhan
yang Maha Pengasih.
Semoga berkat-Mu atas para petani
menjadi rahmat bagi bangsa kami,
dan membuat kami selalu bersyukur
dan tunduk di hadapan-Mu.
Amin.
Terima kasih Tuhan Yesusku,
Engkau telah memberi kami negeri ini,
negeri yang luas dan subur
yang dapat ditumbuhi benih apa pun.
Kami mohon berkat-Mu untuk para petani
agar mereka tetap tekun bekerja
menggarap sawah, ladang dan kebun,
dan agar hasil usaha mereka melimpah
demi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa kami.
Sertailah di dalam setiap usaha mereka.
Berilah cuaca yang baik yang mendukung akan
pertumbuhan setiap benih yang mereka tanam.
Tolonglah mereka di dalam setiap kendala yang
mereka hadapi, baik di dalam usaha mereka,
maupun setiap permasalahan di dalam kehidupan
mereka.
Berilah mereka ini kesehatan yang baik,
dan rejeki yang berkecukupan daripadaMu.
Terima kasih Tuhan
yang Maha Pengasih.
Semoga berkat-Mu atas para petani
menjadi rahmat bagi bangsa kami,
dan membuat kami selalu bersyukur
dan tunduk di hadapan-Mu.
Amin.
The Sidoarjo mudflow as an acid test for CSR
The Jakarta Post, HEADLINE, Tuesday 12 Sept 2006
The Sidoarjo mudflow as an acid test for CSR
B. Herry-Priyono, Jakarta
On Aug. 29, the three-month anniversary of the Sidoarjo mudflow in East
Java, there was a strange move by several desperate groups to demand the
government declare the calamity a national disaster.
This demand may have arisen from a genuine concern for the plight of the
victims. By declaring the calamity a national disaster, it was expected
the victims would at last receive proper attention. Very noble! We may
have been seduced by the demand, if only for its compassionate appearance.
Reality, however, is always less happy than fantasy.
The fantasy was to rally public concern, yet in reality there were dire
legal implications; dire in the sense that by buying into such a move, we
would be succumbing to a state of affairs in which we would be digging our
own grave by swallowing the bait prepared by Lapindo Brantas.
Indeed, for the company that drilled the gas well from which the mud has
flowed, nothing could be sweeter than the costs of its colossal fault
being borne by the wider public. If not blatantly hit up for donations for
the colossal repair and compensation costs, the public would have to bear
the costs, partly or fully, through government expenditure. This surely
means public money, including our tax money. In theory at least, that
would be the meaning of the Sidoarjo calamity being declared a national
disaster.
This is certainly not the only possibility, for there could be other
arrangements. But once a problem is declared a national disaster, nothing
in legal terms can halt an imperative wherein the government is forced to
get involved in bearing the costs. The route to this state of affairs is
not as remote as it first appears, and on many occasions Vice President
Jusuf Kalla has unambiguously suggested the government will share the
financial responsibility of the disaster.
In my view, the most proper role for the government in the Sidoarjo affair
is as an overseer. And by no means should the government spend public
money to pay for the cleanup and compensation. That would be like a repeat
of the Bank Indonesia liquidity funds scandal, where trillions of rupiah
were looted by indebted bankers.
Surely it is not easy for the government to stick to its role as an
overseer. There are at least two powerful forces that are likely to push
the government to abandon this role. The first is a naive demand, based on
an outdated political philosophy, that the government must be responsible
for any malady befalling the country. This demand is likely to be based on
the seemingly lofty argument that government is elected to take care of
its citizens. This sort of argument is like a wolf in sheep's clothing.
The second force is none other than a compulsion intrinsic to any business
power, i.e. to socialize costs and privatize profits. To socialize costs
is simply another term for "externalities", in technical economic
parlance.
The arid sound of the term should not deceive us, for what is meant is
plain: profit is mine, the cost someone else's problem. If this can only
be done by collusion or nepotism, so be it. This may sound harsh, but the
harshness comes from the fact that we live in an age where we, if
unconsciously, venerate corporate executives as knights on white horses.
We are awed even before raising questions.
It is interesting to note that the Sidoarjo calamity has occurred at a
times when there is much talk about corporate social responsibility (CSR).
The coincidence could not have been better placed. In an age where the
"externalized-cost-is-privatized-profit" motive has become the business of
business itself, CSR is indeed a tall order.
It was back in 1962 when Milton Friedman, that militant market
fundamentalist economist, said that a company's social responsibility
beyond the interests of stockholders is immoral. In his words, "there is
one and only one social responsibility of business -- to use its resources
and engage in activities designed to increase its profits".
This peculiarly provocative statement is, of course, a provocation.
Although he marshals a good deal of logical wits, he is essentially an
economic mandarin looking for practical convenience.
In Friedman's view, there is only one instance when CSR can be tolerated,
that is when it serves no other purpose but the company's profit. In his
words, it's like "putting a good-looking girl in front of an automobile to
sell an automobile; that is not to promote pulchritude, but in order to
sell cars". Lofty ideals are immaterial, for hypocrisy is virtuous when it
serves the bottom line.
It is apparently this issue that prompted Robert Monks, that prominent
businessman and shareholder activist, to say that "corporate power is an
externalizing machine, in the same way that a shark is a killing machine".
Indeed, a company's built-in compulsion to externalize costs is at the
root of many environmental ills, for the costs saved by externalization
only reappear elsewhere. In some cases, the "elsewhere" is environmental
disaster, in other instances social ills, and still in other cases it is
economic ruin.
This, of course, is not to belittle so-called "positive externalities" in
the form of, say, job creation. The point, rather, is that the trade-off
is hardly in favor of positive externalities.
But who is in charge of ensuring that the public at large will not bear
the brunt of this built-in compulsion? It is the overseer. Alas, in
economic policymaking circles regulation is the subject that dares not
speak its name. Of course, if "regulation" means "red tape", no regulation
is to be tolerated. But the type of regulation to force companies to
internalize costs that would otherwise be externalized onto society and
the environment is indispensable.
This, however, hasn't touched the bottom line. CSR is not alms-giving. It
is rather a movement to make any corporate ventures re-embedded. This
cannot but be reflected in the bookkeeping scorecard that counts not only
benefits and costs to shareholders but also to the stakeholding public,
including the environment. Otherwise, we couldn't distinguish whether it
is the entrepreneurs who have arrived, or the barbarians.
Or is it possible that they are the same?
The writer, a lecturer in the Postgraduate Program at Driyarkara School of
Philosophy, Jakarta, holds a PhD from the London School of Economics.
The Sidoarjo mudflow as an acid test for CSR
B. Herry-Priyono, Jakarta
On Aug. 29, the three-month anniversary of the Sidoarjo mudflow in East
Java, there was a strange move by several desperate groups to demand the
government declare the calamity a national disaster.
This demand may have arisen from a genuine concern for the plight of the
victims. By declaring the calamity a national disaster, it was expected
the victims would at last receive proper attention. Very noble! We may
have been seduced by the demand, if only for its compassionate appearance.
Reality, however, is always less happy than fantasy.
The fantasy was to rally public concern, yet in reality there were dire
legal implications; dire in the sense that by buying into such a move, we
would be succumbing to a state of affairs in which we would be digging our
own grave by swallowing the bait prepared by Lapindo Brantas.
Indeed, for the company that drilled the gas well from which the mud has
flowed, nothing could be sweeter than the costs of its colossal fault
being borne by the wider public. If not blatantly hit up for donations for
the colossal repair and compensation costs, the public would have to bear
the costs, partly or fully, through government expenditure. This surely
means public money, including our tax money. In theory at least, that
would be the meaning of the Sidoarjo calamity being declared a national
disaster.
This is certainly not the only possibility, for there could be other
arrangements. But once a problem is declared a national disaster, nothing
in legal terms can halt an imperative wherein the government is forced to
get involved in bearing the costs. The route to this state of affairs is
not as remote as it first appears, and on many occasions Vice President
Jusuf Kalla has unambiguously suggested the government will share the
financial responsibility of the disaster.
In my view, the most proper role for the government in the Sidoarjo affair
is as an overseer. And by no means should the government spend public
money to pay for the cleanup and compensation. That would be like a repeat
of the Bank Indonesia liquidity funds scandal, where trillions of rupiah
were looted by indebted bankers.
Surely it is not easy for the government to stick to its role as an
overseer. There are at least two powerful forces that are likely to push
the government to abandon this role. The first is a naive demand, based on
an outdated political philosophy, that the government must be responsible
for any malady befalling the country. This demand is likely to be based on
the seemingly lofty argument that government is elected to take care of
its citizens. This sort of argument is like a wolf in sheep's clothing.
The second force is none other than a compulsion intrinsic to any business
power, i.e. to socialize costs and privatize profits. To socialize costs
is simply another term for "externalities", in technical economic
parlance.
The arid sound of the term should not deceive us, for what is meant is
plain: profit is mine, the cost someone else's problem. If this can only
be done by collusion or nepotism, so be it. This may sound harsh, but the
harshness comes from the fact that we live in an age where we, if
unconsciously, venerate corporate executives as knights on white horses.
We are awed even before raising questions.
It is interesting to note that the Sidoarjo calamity has occurred at a
times when there is much talk about corporate social responsibility (CSR).
The coincidence could not have been better placed. In an age where the
"externalized-cost-is-privatized-profit" motive has become the business of
business itself, CSR is indeed a tall order.
It was back in 1962 when Milton Friedman, that militant market
fundamentalist economist, said that a company's social responsibility
beyond the interests of stockholders is immoral. In his words, "there is
one and only one social responsibility of business -- to use its resources
and engage in activities designed to increase its profits".
This peculiarly provocative statement is, of course, a provocation.
Although he marshals a good deal of logical wits, he is essentially an
economic mandarin looking for practical convenience.
In Friedman's view, there is only one instance when CSR can be tolerated,
that is when it serves no other purpose but the company's profit. In his
words, it's like "putting a good-looking girl in front of an automobile to
sell an automobile; that is not to promote pulchritude, but in order to
sell cars". Lofty ideals are immaterial, for hypocrisy is virtuous when it
serves the bottom line.
It is apparently this issue that prompted Robert Monks, that prominent
businessman and shareholder activist, to say that "corporate power is an
externalizing machine, in the same way that a shark is a killing machine".
Indeed, a company's built-in compulsion to externalize costs is at the
root of many environmental ills, for the costs saved by externalization
only reappear elsewhere. In some cases, the "elsewhere" is environmental
disaster, in other instances social ills, and still in other cases it is
economic ruin.
This, of course, is not to belittle so-called "positive externalities" in
the form of, say, job creation. The point, rather, is that the trade-off
is hardly in favor of positive externalities.
But who is in charge of ensuring that the public at large will not bear
the brunt of this built-in compulsion? It is the overseer. Alas, in
economic policymaking circles regulation is the subject that dares not
speak its name. Of course, if "regulation" means "red tape", no regulation
is to be tolerated. But the type of regulation to force companies to
internalize costs that would otherwise be externalized onto society and
the environment is indispensable.
This, however, hasn't touched the bottom line. CSR is not alms-giving. It
is rather a movement to make any corporate ventures re-embedded. This
cannot but be reflected in the bookkeeping scorecard that counts not only
benefits and costs to shareholders but also to the stakeholding public,
including the environment. Otherwise, we couldn't distinguish whether it
is the entrepreneurs who have arrived, or the barbarians.
Or is it possible that they are the same?
The writer, a lecturer in the Postgraduate Program at Driyarkara School of
Philosophy, Jakarta, holds a PhD from the London School of Economics.
Subscribe to:
Posts (Atom)