Dalam ergonomi atau perancangan sistem kerja, ritme circadian atau jam biologis paling banyak berhubungan dengan perancangan shift kerja. Shift kerja erat kaitannya dengan ritme circadian terutama untuk shift kerja malam. Manusia tidak ideal untuk bekerja pada malam hari karena mempengaruhi perubahan ritme circadian dimana mempengaruhi fungsi fisiologis yang berhubungan dengan kapasitas performance kerja. Fungsi fisiologis tubuh berubah dalam 24 jam, dalam waktu yang bersamaan fungsi tubuh tersebut tidak dapat bekerja secara maksimum ataupun minimum. Pada umumnya fungsi tubuh meningkat pada siang hari dan melemah pada sore hari dan menurun pada malam hari untuk melakukan pemulihan dan pembaharuan (Silaban, 2000 ; Astrand & Rodahl, 1986). Selain itu terdapat kecenderungan melalui timbulnya rasa kantuk pada waktu-waktu tertentu, tidak perduli sudah tidur atau belum-lebih banyak belum. Perasaan paling mengantuk pada saat jam-jam di awal pagi hari (02.00-07.00) dan lebih kurang saat siang hari (14.00-17.00). pada saat ini microsleeps dapat berakibat pada keacuhan, mudah lupa, dan penyakit hilang ingatan yang lain (Nurmianto, 2004). Penelitian menunjukkan bahwa kerja shift (kerja malam) merupakan sumber utama dari stress bagi para pekerja pabrik (Monk dan Tepas, 1985). Ketidakcocokan antara waktu kerja dengan ritme circadian ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan, keselamatan kerja, dan aspek sosial, antara lain: Kelelahan kronis, yaitu perasaan lelah yang sangat hebat yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya penyakit lain serta penurunan motivasi kerja. Selain itu, gangguan ini juga menyebabkan terjadinya penurunan selera makan Masalah gastrointestinal (pencernaan), seseorang yang bekerja pada malam hari memiliki kecenderungan unutuk menderita gangguan pencernaan. Hal ini disebabkan adanya ritme circadian yang turun naik sehingga menciptakan kesulitan pada lambung untuk mencerna makanan pada malam hari. Meningkatkan risiko penyakit jantung. Seseorang yang bekerja pada shift malam biasanya mengkonsumsi makanan rendah gizi, kebiasaan merokok meningkat serta tekanan-tekanan pada jantung akibat aktivitas berat di malam hari. Ritme circadian untuk setiap individu berbeda. Ada individu yang merasa lebih aktif dan siaga pada siang hari dan ada yang merasa lebih aktif dan siaga pada malam hari. Pola yang bersifat individu ini disebut chronotype atau tipe circadian dan ini bersifat alamiah. Artinya, individu dapat lahir dengan kecenderungan tipe circadian tertentu yang tidak mudah berubah, namun dalam batas-batas tertentu mampu melakukan adaptasi. Kemampuan adaptasi ini dapat dilihat pada saat seseorang melakukan perjalanan yang melintasi beberapa zona. Pada saat ia kembali di tempat tujuan untuk beberapa saat ia akan mengalami ketidakseimbangan yang dikenal dengan istilah jet lag. Menurut Eastman Kodak Company (1986) dibutuhkan waktu antara 1 – 2 hari untuk menyesuaikan kembali ritme circadian individu dengan lingkungan alamiah di sekitarnya.
Ada dua tipe circadian, yaitu tipe siang (Morningness) dan tipe malam (Eveningness). Individu yang termasuk kategori tipe siang (yang sering disebut dengan Larks) adalah individu yang ritme circadiannya kuarang lebih 2 jam lebih cepat/awal daripada ritme circadian populasi individu secara keseluruhan. Mereka pada umumnya bangun sekitar pukul 04.00 – 06.00 pagi dan tidur pada pukul 20.00 – 22.00 malam. Sedangkan individu yang termasuk kategori malam (yang sering disebut dengan istilah owls) adalah individu yang ritme circadiannya kuarang lebih 2 jam lebih lambat daripada ritme circadian populasi individu secara keseluruhan. Mereka umumnya bangun sekitar pukul 08.00 – 10.00 pagi dan baru tidur sekitar pukul 24.00 tengah malam – 02.00 pagi. Perbedaan waktu tidur-bangun antara tipe siang dan tipe malam sangat jelas terlihat pada saat libur. Orang-orang tipe malam akan bangun lebih siang daripada orang-orang tipe siang. Tetapi dalam hal lama tidur, tidak ada perbedaan diantara kedua tipe tersebut. Selain berbeda dalam waktu tidur-bangun, tipe siang dan tipe malam juga berbeda dalam hal tingkat tingkat tinggi atau rendahnya kesiagaan individu. Tingkat kesiagaan tertinggi tipe siang terjadi sekitar pukul 10.00 siang dan terendah pukul 04.00 pagi, sedangkan tipe malam, tingkat kesiagaan tertinggi terjadi sekitar pukul 14.00 siang dan terendah sekitar pukul 08.00 pagi. Perbedaan kesiagaan ini penting untuk diperhatikan karena jika individu bekerja dalam keadaan kuarang siaga, maka ia akan mudah membuat kesalahan bahkan dapat menimbulkan kecelakaan verja. Beberapa studi tentang toleransi terhadap kerja shift malam menemukan bahwa mereka yang termasuk tipe siang akan lebih sensitif terhadap mundurnya jam tidur malam, karena jangka waktu (lamanya) tidur malam menjadi lebih singkat. Ditemukan adanya penurunan tingkat kesegaran (fitness) setelah kerja shift malam. Kelompok tipe siang juga menunjukkan ketidakpuasan kerja terhadap kerja shift malam dibandingkan dengan tipe malam dan lebih sering mengalami gangguan pencernaan dibandingkan dengan tipe malam. Dalam hubungannya dengan penyesuaian diri ditemukan bahwa tipe circadian ini merupakan prediktor dari keberhasilan sistem kerja shift rotasi. Studi longitudinal tentang dampak fisik dan psikososial dari sistem kerja shift rotasi mengungkapkan bahwa tipe siang lebih sering mendapat kesulitan dengan jadwal kerja yang mencakup kerja malam dan ditemukan pula adanya ketidakseimbangan menyesuaikan diri pada kelompok tipe siang dan kelompok netral. Sebaliknya ditemukan proporsi yang besar dari tipe malam yang stabil dan “adjusted”. Salah satu faktor yang mempengaruhi ritme circadian dan pola tidur-bangun adalah usia. Sejalan dengan bertambahnya usia biasanya antara 40 – 45 tahun, terjadi perubahan pada jam biologis internal yang mempengaruhi koordinasi antara beberapa fungsi tubuh seperti suhu badan, siklus tidur-bangun dan tingkat hormon. Perubahan ini menyebabkan tidur menjadi mudah terganggu terutama pada malam hari. Menurut Koller, usia kritis bagi pekerja shift adalah usia 40 – 50 tahun. Pada usia tersebut, penyesuaian circadian (terhadap kerja shift) menjadi lebih lambat dibandingkan dengan pekerja shift yang berusia lebih muda. Hal ini menandakan bahwa pekerja shift pada usia 40 – 50 tahun memerlukan waktu yang lebih lama dalam melakukan adaptasi terhadap kerja shift. Selain itu, tingkat kepuasan terhadap sistem kerja shift rotasi paling rendah ditemukan pada kelompok usia 41 – 50 tahun.