GET THE TICKET FIRST, BEFORE THE TRAIN COME
(Beli tiket dulu, sebelum keretanya datang)
Beberapa minggu yang lalu saya diundang ke Bandung untuk sharing session tentang leadership. Dan ternyata acaranya cukup menarik dan dihadiri ratusan peserta dari beberapa perguruan tinggi, perusahaan maupun khalayak ramai.
Kemudian seorang peserta bertanya. Sebut saja namanya Fauzia, bekerja di Marketing department di sebuah perusahaan. Fauzia kelihatan cerdas, cantik dan anggun di balik jilbabnya yang berwarna biru pada hari itu.
"Pak Pam, saya tertarik banget dengan paparan Pak Pam tentang leadership hari ini. Tetapi saya jadi bertanya tanya ... karena di tempat saya seringkali pemilihan leader itu tidak berdasarkan kompetensi. Dan ini membuat banyak orang frustasi. Terus saya jadi bertanya tanya, buat apa saya mengembangkan diri. Kalau pemilihan promosi leader seringkali berdasarkan suka atau tidak suka, berdasarkan suku, berdasarkan ini temannya siapa , dan bukannya berdasarkan siapa yang lebih kompeten. Buat apa saya mengembangkan kompetensi pak? Bagaimana saya harus menyikapi hal ini?"
Fauzia menembakkan kata-kata nya terus menerus tiada henti. Saya melihat frustasi dan kekecewaan di sana. Ternyata session tanya jawab sudah menjadi session curahan hati sekarang 😀.
Tetapi pertanyaan ini sangat valid dan mungkin juga dirasakan banyak orang.
Saya akan menjelaskannya dari dua sudut.
1. Get ready before the opportunity come
2. How to develop your leadership competence
Kita bahas satu persatu ...
Apakah anda harus mengembangkan diri menjadi calon leader yang baik padahal belum tentu mendapatkan posisinya, seperti kata Fauzia dalam cerita di atas.
Well, analogynya adalah seperti membeli ticket sebelum kereta datang.
Kalau anda tidak punya ticket waktu kereta datang, anda tidak akan bisa naik kereta.
Sama, kalau anda tidak mempersiapkan diri dan mengembangkan diri anda, pada saat kesempatan menjadi leader datang, anda tidak akan menjadi leader yang baik.
Terus bagaimana kalau anda sudah belajar dan mengembangkan diri menjadi leader tapi anda tidak dipromosikan di perusahaan anda sekarang ....
3 alternative ...
1) Anda bisa menunggu kesempatan promosi berikutnya (sambil terus menembangkan diri)
2) Anda tidak rugi karena anda tetap menjadi leader yang baik, buat lingkungan anda, buat keluarga anda dan buat anda sendiri
3) Dan kalau memang anda merasa bagus, tidak ada salahnya mengetes anda sendiri dan melamar ke perusahaan lain (ingat, anda boleh melamar, tetapi harus tetap perform maximum selama belum benar benar pindah ke tempat baru)
Sekarang, bagaimana mengembangkan leadership competence anda?
Kita bisa mencoba langkah langkah di bawah ini ...
1. Be a good follower
Ingat, sebelum anda menjadi a good leader , anda harus menjadi a good follower dulu.
Jadi anda harus mencoba untuk memahami leader anda, mengerti arahannya dan menjalankan semua instruksinya.
Susah kan? Kita kan kebiasaan suka protes aja.
Tapi kalau jadi follower aja gak bisa gimana mau jadi leader?
2. Be a good team player
Next, jadilah seorang team player yang baik.
Ini berarti bagaimana anda bekerja sama dengan kolega yang satu level dengan anda.
Di mana anda harus bekerja sama dan menempatkan team objective di atas objective anda sendiri.
Di sini anda belajar untuk melakukan "influencing without authority" yang akan sangat berguna di masa depan.
3. Analyze what would you expect from your leader and create your own learning plan
Nah, sekarang anda mulai belajar leadership dengan cara yang sederhana.
Ingat leadership itu mempunyai 3 angle ...
- Lead Your Business
- Lead Your Team
- Lead Yourself
nah, dari ketiga sudut itu amati boss anda sekarang.
Lihat apa yang sudah dilkukan dengan baik.
Amati, pelajari dan tiru dia.
Kemudian kalau ada hal hal yang dia jelek banget ...
Amati, pelajari, jangan ditiru, dan lakukan yang sebaliknya.
Jadi seperti apapun leader yang anda punya, jangan complain tiap hari, gak ada gunanya.
Justru pelajari dari dia from both sides ....
Nah sekarang catat learning points anda tadi dan bikin action plan untuk mengimplementasikannya
4. Start to learn and implement your plan
Di sini anda mulai mempelajari hal hal yang anda identify di step 3 tadi.
Mulailah belajar dengan 3 cara ini ...
- belajar teori dari buku atau Internet
- mulai menerapkan di pekerjaan anda sehari hari
- belajar dari coach/mentor di tempat kerja anda
5. Get the feedbacks from others
Setelah anda menerapkan langkah 3, kemudian anda sebaiknya mendapatkan feedback dari teman kerja anda ...
- what did you do well
(tanyakan 3 area di mana anda sudah melakukan dengan baik)
- what do you need to improve
(tanyakan 3 hal di mana anda perlu memperbaiki diri)
Nah, berikutnya anda bisa berfokus pada hal hal itu.
Repeat from step 1 to 5, continuously, because life is a continuous learning and continuous improvement.
Salam Hangat
Pambudi Sunarsihanto
Sent from my iPhone
Jakarta 26 Juni 2017,
Seven Eleven sedang jadi topik hangat bagi kalangan entrepreneur, pengamat business maupun mungkin pemerintah sebagai regulator. Selain dari persoalan tidak atau belum terjadinya kesepakatan akuisisi oleh PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI) yang awalnya mau membeli dengan nilai 1 Triliun Rupiah, Sevel juga menjadi rujukan banyak pihak melihat kondisi business retail Indonesia.
Banyak pihak yang mencoba memahami apa yang terjadi karena walaupun situasi ekonomi Indonesia tidaklah sebaik tahun-tahun sebelumnya, terutama di industri retail, namun menurut data APRINDO tahun 2016 masih ada pertumbuhan dan tahun 2017 di perkirakan masih tumbuh walaupun tidak sebaik tahun 2016. Justru kwartal 1 2017 APRINDO mengatakan pertumbuhan retail "Negative" sebesar 20% namun di harapkan akan pulih kembali di pertengahan tahun ini.
APA YANG MENYEBABKAN SEVEL JATUH?
Kalau kita baca berita dan analisis para pakar manajemen, blogger dan juga pemerintah, maka ada beberapa yang saya tangkap penyebabnya:
1. Business model yang tidak cocok
2. Industri retail yang sedang lesu
3. Kebijakan pemerintah yang melarang Mini Market menjual Alkohol
4. Kurang tanggapnya Regulator terhadap perkembangan business dan trend
5. Ekspansi yang agresif
Prof. Rhenald Kasali dalam tulisan beliau di Kompas.com tanggal 26 juni 2017 cukup pedas mengkritik regulator yang beliau anggap cukup besar andilnya dalam persoalan Sevel ini.
Saya kenal Prof. Rhenald dan mengagumi tulisan-tulisan beliau dan sering saya share dengan teman-teman pegiat wirausaha di tanah air. Analisis beliau yang cermat, tidak ngawur dan bisa di pertanggung jawabkan. Namun kali ini saya kurang sependapat dengan beliau karena banyak sekali faktor baik internal Sevel maupun external yang mempengaruhi kinerja Sevel sampai dengan kondisi sekarang ini.
Tanpa kita paham secara detail dan melihat data Sevel secara utuh maka akan sulit kita memberikan analisa yang tepat. Namun dengan melihat data PT. Modern International tbk. yang tersedia, maka ada cukup banyak informasi yang bisa kita dapatkan untuk mencoba memberikan gambaran persoalan mereka.
Dalam analisis yang biasa saya lakukan, alat sederhana yang selalu saya pakai adalah "Smart Business Map" dengan 3 komponen utama yaitu Playing field, Market Landscape dan Operational Profitability. Dari ke 3 komponen itu ada 12 pertanyaan inti yang saya coba jawab dan melihat kondisi kesehatan sebuah business seperti Sevel ini.
PLAYING FIELD
Melihat kondisi playing field Sevel Indonesia ini ada beberapa masalah yang saya lihat:
1. Industri retail yang mereka pilih dengan Category yang "Banci" mungkin menjadi masalah awal. Termasuk tentunya disini adalah masalah DNA business yang mereka pilih. Restoran/Cafe atau Convenience store? Jarang saya lihat business yang "banci" bisa sukses, karena pilihan category business dan DNA kita akan menentukan juga Persoalan (problem) konsumen yang ingin kita selesaikan, business model, Target Market, Value yang di ciptakan, Sales starategy sampai ke Operational model.
" positioning dari bisnis ini yang diusung sejak awalnya buka gerai pertama di Bulungan pada akhir tahun 2009, yaitu untuk menjadi “Food Store Destination”, konsep 7-Eleven di Jakarta memang sengaja difokuskan untuk penyediaan makanan dan minuman segar dengan kualitas yang baik, aman dan higienis, cepat, nyaman dan praktis serta dengan harga yang terjangkau. Sekitar 50% area gerai memang digunakan untuk penyediaan berbagai macam program dan varian makanan dan minuman segar. "
2. Pemilihan Category yang menurut mereka sesuatu yang baru di tahun 2009 menyebabkan kurang tegasnya Target mereka. Karena business model mereka yang cukup mahal akan sulit bisa profitable kalau pada kenyataannya lebih banyak kalangan anak-anak muda yang datang untuk nogkrong atau pinjam tempat kumpul-kumpul dengan belanja yang sedikit.
3. Dengan potensi pasar retail yang masih cukup besar di Indonesia harusnya bukan menjadi persoalan untuk bisa berkembang. Namun dengan model business yang mereka ciptakan membuat Regulator menjadi kesulitan untuk menetapkan izin-izin mereka. Namun sebagai perusahaan yang profesional masalah "Core environment" yang bisa mempengaruhi kelangsungan business mereka harusnya sudah di antisipasi. Pemerintah adalah salah satu stake holder (Core environment) yang mereka harus kelola. Kalaupun ada kebijakan pemerintah yang negatif terhadap business mereka seharusnya mereka bergerak menyesuaikan atau kalau bisa melakukan lobby agar pihak pemerintah bisa memahami inovasi Sevel ini.
MARKET LANDSCAPE
Melihat Market Landscape mereka dari luar maka ada beberapa point yang menurut saya masih belum jelas:
1. Apa yang membedakan mereka dengan pesaing mereka? istilah simplenya Unique Selling Proposition (USP) mereka apa? Value apa yang mereka berikan kepada pelanggan mereka? Saya adalah pelanggan Sevel dari awal mereka buka gerai pertama di kawasan Blok M Jakarta. Yang saya rasakan perbedaanya hanyalah sebuah convenience store yang punya tempat duduk dan Wifi gratis dengan makanan siap saji yang terbatas menunya. Perbedaan yang mudah sekali di tiru oleh pesaing mereka, terutama Indomaret dan Alfamart yang sudah punya fondasi dan basis yang lebih kuat dan efisiensi operasional.
2. Basis dari sales dan distribusi mereka adalah gerai retail yang di buka di tempat yang strategis dan premium dan tentunya ini akan membawa dampak juga terhadap biaya yang mereka harus keluarkan. Walaupun mungkin banyak sekali gerai mereka mengambil alih tempat dan lokasi bekas usaha mereka sebelumnya (Modern Film/fuji) namun tetap akan ada biaya.
3. Sebagai sebuah "Brand" yang sudah terkenal di dunia dan indentik dengan "Convenience Store" maka agak sulit mereka akan lepas dari image tersebut dan mencoba menciptakan sebuah Category baru.
OPERATIONAL PROFITABILITY
Masalah Operational Profitability ini menurut saya adalah masalah mereka yang paling besar. Bukan masalah regulasi.
1. Melihat data keuangan mereka sejak tahun 2012 -2016 Sales Revenue mereka memang meningkat namun pertumbuhan revenue mereka (revenue generation) lebih disebabkan oleh pertumbuhan Horizontal gerai mereka sehingga sampai tahun 2014 mereka punya 190 Gerai dan baru tahun 2015 mereka tutup 20 gerai yang tidak produktif, namun membuka 18 gerai yang baru. Penurunan penjualan tahun 2015 dimana aturan baru pemerintah yang tidak memperbolehkan mini market menjual produk beralkohol rendah tidak terlihat banyak pengaruhnya.
Outlet Sales Revenue Sales/per outlet Pertumbuhan
2014 190 971,771 M 5.1 M
2015 188 886,843 M 4.7 M -8.7% dari thn 2014
2016 161 675,275 M 4.2 M - 23.8% dari thn 2015
Tahun 2015 memang Sales revenue mereka mulai turun baik secara total maupun per outlet mereka. Kalau kita lakukan dengan perbandingan usaha retail lainnya seperti Alfamart maka mereka masih mencatat pertumbuhan positif. Begitu juga data APRINDO yang mengatakan tahun 2015-2016 masih adanya pertumbuhan retail tersebut.
Dengan sales Revenue yang hanya rata-rata sekitar 4-5 M per tahun dengan gross margin yang kecil, maka akan sangat sulit mereka akan bisa bertahan. Dalam laporan mereka ke pemegang saham, mereka memang sudah mulai mencari "revenue stream" yang lain sperti menjual pulsa, pembayaran listrik dan sebagainya. Namun ini belum bisa menutup kekurangan dari pemasukan utama mereka makanan dan minuman.
2. Dari sisi biaya, saya lihat dalam laporan keungan mereka memang menjadi PR terbesar mereka. Operational cost mereka yang sangat tinggi, beban bunga jangka pendek dan panjang yang besar serta "Cash Flow" yang sudah mulai negatif sejak 2 tahun yang lalu menyulitkan operasional mereka.
Mengutip penjelasan di Laporan Keuangan mereka tahun 2016:
"Penjualan bersih pada 2016 turun sebesar Rp 337,3 Milliar atau sebesar -27,45% menjadi Rp 891,4 miliar dibandingkan 2015 sebesar Rp1.228,7 miliar. Penurunan pendapatan usaha ini terutama disebabkan oleh melambatnya daya beli dan konsumsi konsumen , kompetisi pasar yang tinggi serta hilangnya pendapatan dari penutupan 25 gerai yang tidak memberikan performa yang baik serta ketatnya arus kas Perseroan sehingga keberadaan persediaan di gerai- gerai terbatas. Untuk pendapatan komprehensif 2016, terjadi penurunan sebesar Rp 583,9 miliar atau turun sebesar –1066,2% jika dibanding dengan tahun sebelumnya, sehingga Perseroan mencatatkan kerugian sebesar Rp 638,7 Milliar. Faktor –faktor penyebab kerugian adalah karena penurunan pendapatan, penurunan margin gross profit untuk menjaga daya saing pasar , kenaikan biaya operasi akibat biaya penutupan gerai 7-Eleven yang serta biaya-biaya perampingan operasi bisnis seperti biaya pesangon bekas karyawan. "
3. Masalah lain yang mungkin bisa terjadi menurut saya adalah besarnya investasi mereka untuk Joint Venture dan persiapan business Fresh Food dan Central Kitchen. Ini adalah masalah "Core Resources" mereka. Namun mengelola core resources tidak selalu harus mendirikan pabrik dan supply sendiri. Apa lagi dengan kondisi Cash Flow yang kurang baik.
4. Yang mungkin tidak terlalu kelihatan adalah masalah Organisasi, Tim Manajemen dan SDM mereka. Dalam business apapun yang baik maupun yang sedang tidak baik masalah SDM dan tim manajemen pasti besar pengaruhnya.
Secara singkat, masalah Seven-Eleven Indonesia ini multi dimensi dan tidak ada satu faktor saja yang mempengaruhinya. Namun secara umum, bisa kita lihat masalah internal pengelolaan yang menurut saya masalah yang paling besar dan bukan masalah external, apa lagi masalah regulasi yang menyangkut business retail dan mini market.
Tidak salah menurut saya pihak Charoen menunda pembelian Sevel ini karena dengan nilai 1 Triliun mungkin terlalu mahal untuk sebuah business dengan Revenue 675 M setahun dan terus menurun dan lisensi Franchise yang tinggal 12 tahun. sayangnya saya tidak mendapatkan data book value dari business Seven-Eleven yang terpisah dari induknya.
Budi Isman
CEO Mikroinvestindo
Founder Onein20Movement (OIM) proindonesia
sumber: http://www.budiisman.com/blog/runtuhnya-seven-eleven-indonesia-bukan-masalah-kebijakan-pemerintah-tanggapan-tulisan-prof-rhenald-kasali
Seven Eleven sedang jadi topik hangat bagi kalangan entrepreneur, pengamat business maupun mungkin pemerintah sebagai regulator. Selain dari persoalan tidak atau belum terjadinya kesepakatan akuisisi oleh PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI) yang awalnya mau membeli dengan nilai 1 Triliun Rupiah, Sevel juga menjadi rujukan banyak pihak melihat kondisi business retail Indonesia.
Banyak pihak yang mencoba memahami apa yang terjadi karena walaupun situasi ekonomi Indonesia tidaklah sebaik tahun-tahun sebelumnya, terutama di industri retail, namun menurut data APRINDO tahun 2016 masih ada pertumbuhan dan tahun 2017 di perkirakan masih tumbuh walaupun tidak sebaik tahun 2016. Justru kwartal 1 2017 APRINDO mengatakan pertumbuhan retail "Negative" sebesar 20% namun di harapkan akan pulih kembali di pertengahan tahun ini.
APA YANG MENYEBABKAN SEVEL JATUH?
Kalau kita baca berita dan analisis para pakar manajemen, blogger dan juga pemerintah, maka ada beberapa yang saya tangkap penyebabnya:
1. Business model yang tidak cocok
2. Industri retail yang sedang lesu
3. Kebijakan pemerintah yang melarang Mini Market menjual Alkohol
4. Kurang tanggapnya Regulator terhadap perkembangan business dan trend
5. Ekspansi yang agresif
Prof. Rhenald Kasali dalam tulisan beliau di Kompas.com tanggal 26 juni 2017 cukup pedas mengkritik regulator yang beliau anggap cukup besar andilnya dalam persoalan Sevel ini.
Saya kenal Prof. Rhenald dan mengagumi tulisan-tulisan beliau dan sering saya share dengan teman-teman pegiat wirausaha di tanah air. Analisis beliau yang cermat, tidak ngawur dan bisa di pertanggung jawabkan. Namun kali ini saya kurang sependapat dengan beliau karena banyak sekali faktor baik internal Sevel maupun external yang mempengaruhi kinerja Sevel sampai dengan kondisi sekarang ini.
Tanpa kita paham secara detail dan melihat data Sevel secara utuh maka akan sulit kita memberikan analisa yang tepat. Namun dengan melihat data PT. Modern International tbk. yang tersedia, maka ada cukup banyak informasi yang bisa kita dapatkan untuk mencoba memberikan gambaran persoalan mereka.
Dalam analisis yang biasa saya lakukan, alat sederhana yang selalu saya pakai adalah "Smart Business Map" dengan 3 komponen utama yaitu Playing field, Market Landscape dan Operational Profitability. Dari ke 3 komponen itu ada 12 pertanyaan inti yang saya coba jawab dan melihat kondisi kesehatan sebuah business seperti Sevel ini.
PLAYING FIELD
Melihat kondisi playing field Sevel Indonesia ini ada beberapa masalah yang saya lihat:
1. Industri retail yang mereka pilih dengan Category yang "Banci" mungkin menjadi masalah awal. Termasuk tentunya disini adalah masalah DNA business yang mereka pilih. Restoran/Cafe atau Convenience store? Jarang saya lihat business yang "banci" bisa sukses, karena pilihan category business dan DNA kita akan menentukan juga Persoalan (problem) konsumen yang ingin kita selesaikan, business model, Target Market, Value yang di ciptakan, Sales starategy sampai ke Operational model.
" positioning dari bisnis ini yang diusung sejak awalnya buka gerai pertama di Bulungan pada akhir tahun 2009, yaitu untuk menjadi “Food Store Destination”, konsep 7-Eleven di Jakarta memang sengaja difokuskan untuk penyediaan makanan dan minuman segar dengan kualitas yang baik, aman dan higienis, cepat, nyaman dan praktis serta dengan harga yang terjangkau. Sekitar 50% area gerai memang digunakan untuk penyediaan berbagai macam program dan varian makanan dan minuman segar. "
2. Pemilihan Category yang menurut mereka sesuatu yang baru di tahun 2009 menyebabkan kurang tegasnya Target mereka. Karena business model mereka yang cukup mahal akan sulit bisa profitable kalau pada kenyataannya lebih banyak kalangan anak-anak muda yang datang untuk nogkrong atau pinjam tempat kumpul-kumpul dengan belanja yang sedikit.
3. Dengan potensi pasar retail yang masih cukup besar di Indonesia harusnya bukan menjadi persoalan untuk bisa berkembang. Namun dengan model business yang mereka ciptakan membuat Regulator menjadi kesulitan untuk menetapkan izin-izin mereka. Namun sebagai perusahaan yang profesional masalah "Core environment" yang bisa mempengaruhi kelangsungan business mereka harusnya sudah di antisipasi. Pemerintah adalah salah satu stake holder (Core environment) yang mereka harus kelola. Kalaupun ada kebijakan pemerintah yang negatif terhadap business mereka seharusnya mereka bergerak menyesuaikan atau kalau bisa melakukan lobby agar pihak pemerintah bisa memahami inovasi Sevel ini.
MARKET LANDSCAPE
Melihat Market Landscape mereka dari luar maka ada beberapa point yang menurut saya masih belum jelas:
1. Apa yang membedakan mereka dengan pesaing mereka? istilah simplenya Unique Selling Proposition (USP) mereka apa? Value apa yang mereka berikan kepada pelanggan mereka? Saya adalah pelanggan Sevel dari awal mereka buka gerai pertama di kawasan Blok M Jakarta. Yang saya rasakan perbedaanya hanyalah sebuah convenience store yang punya tempat duduk dan Wifi gratis dengan makanan siap saji yang terbatas menunya. Perbedaan yang mudah sekali di tiru oleh pesaing mereka, terutama Indomaret dan Alfamart yang sudah punya fondasi dan basis yang lebih kuat dan efisiensi operasional.
2. Basis dari sales dan distribusi mereka adalah gerai retail yang di buka di tempat yang strategis dan premium dan tentunya ini akan membawa dampak juga terhadap biaya yang mereka harus keluarkan. Walaupun mungkin banyak sekali gerai mereka mengambil alih tempat dan lokasi bekas usaha mereka sebelumnya (Modern Film/fuji) namun tetap akan ada biaya.
3. Sebagai sebuah "Brand" yang sudah terkenal di dunia dan indentik dengan "Convenience Store" maka agak sulit mereka akan lepas dari image tersebut dan mencoba menciptakan sebuah Category baru.
OPERATIONAL PROFITABILITY
Masalah Operational Profitability ini menurut saya adalah masalah mereka yang paling besar. Bukan masalah regulasi.
1. Melihat data keuangan mereka sejak tahun 2012 -2016 Sales Revenue mereka memang meningkat namun pertumbuhan revenue mereka (revenue generation) lebih disebabkan oleh pertumbuhan Horizontal gerai mereka sehingga sampai tahun 2014 mereka punya 190 Gerai dan baru tahun 2015 mereka tutup 20 gerai yang tidak produktif, namun membuka 18 gerai yang baru. Penurunan penjualan tahun 2015 dimana aturan baru pemerintah yang tidak memperbolehkan mini market menjual produk beralkohol rendah tidak terlihat banyak pengaruhnya.
Outlet Sales Revenue Sales/per outlet Pertumbuhan
2014 190 971,771 M 5.1 M
2015 188 886,843 M 4.7 M -8.7% dari thn 2014
2016 161 675,275 M 4.2 M - 23.8% dari thn 2015
Tahun 2015 memang Sales revenue mereka mulai turun baik secara total maupun per outlet mereka. Kalau kita lakukan dengan perbandingan usaha retail lainnya seperti Alfamart maka mereka masih mencatat pertumbuhan positif. Begitu juga data APRINDO yang mengatakan tahun 2015-2016 masih adanya pertumbuhan retail tersebut.
Dengan sales Revenue yang hanya rata-rata sekitar 4-5 M per tahun dengan gross margin yang kecil, maka akan sangat sulit mereka akan bisa bertahan. Dalam laporan mereka ke pemegang saham, mereka memang sudah mulai mencari "revenue stream" yang lain sperti menjual pulsa, pembayaran listrik dan sebagainya. Namun ini belum bisa menutup kekurangan dari pemasukan utama mereka makanan dan minuman.
2. Dari sisi biaya, saya lihat dalam laporan keungan mereka memang menjadi PR terbesar mereka. Operational cost mereka yang sangat tinggi, beban bunga jangka pendek dan panjang yang besar serta "Cash Flow" yang sudah mulai negatif sejak 2 tahun yang lalu menyulitkan operasional mereka.
Mengutip penjelasan di Laporan Keuangan mereka tahun 2016:
"Penjualan bersih pada 2016 turun sebesar Rp 337,3 Milliar atau sebesar -27,45% menjadi Rp 891,4 miliar dibandingkan 2015 sebesar Rp1.228,7 miliar. Penurunan pendapatan usaha ini terutama disebabkan oleh melambatnya daya beli dan konsumsi konsumen , kompetisi pasar yang tinggi serta hilangnya pendapatan dari penutupan 25 gerai yang tidak memberikan performa yang baik serta ketatnya arus kas Perseroan sehingga keberadaan persediaan di gerai- gerai terbatas. Untuk pendapatan komprehensif 2016, terjadi penurunan sebesar Rp 583,9 miliar atau turun sebesar –1066,2% jika dibanding dengan tahun sebelumnya, sehingga Perseroan mencatatkan kerugian sebesar Rp 638,7 Milliar. Faktor –faktor penyebab kerugian adalah karena penurunan pendapatan, penurunan margin gross profit untuk menjaga daya saing pasar , kenaikan biaya operasi akibat biaya penutupan gerai 7-Eleven yang serta biaya-biaya perampingan operasi bisnis seperti biaya pesangon bekas karyawan. "
3. Masalah lain yang mungkin bisa terjadi menurut saya adalah besarnya investasi mereka untuk Joint Venture dan persiapan business Fresh Food dan Central Kitchen. Ini adalah masalah "Core Resources" mereka. Namun mengelola core resources tidak selalu harus mendirikan pabrik dan supply sendiri. Apa lagi dengan kondisi Cash Flow yang kurang baik.
4. Yang mungkin tidak terlalu kelihatan adalah masalah Organisasi, Tim Manajemen dan SDM mereka. Dalam business apapun yang baik maupun yang sedang tidak baik masalah SDM dan tim manajemen pasti besar pengaruhnya.
Secara singkat, masalah Seven-Eleven Indonesia ini multi dimensi dan tidak ada satu faktor saja yang mempengaruhinya. Namun secara umum, bisa kita lihat masalah internal pengelolaan yang menurut saya masalah yang paling besar dan bukan masalah external, apa lagi masalah regulasi yang menyangkut business retail dan mini market.
Tidak salah menurut saya pihak Charoen menunda pembelian Sevel ini karena dengan nilai 1 Triliun mungkin terlalu mahal untuk sebuah business dengan Revenue 675 M setahun dan terus menurun dan lisensi Franchise yang tinggal 12 tahun. sayangnya saya tidak mendapatkan data book value dari business Seven-Eleven yang terpisah dari induknya.
Budi Isman
CEO Mikroinvestindo
Founder Onein20Movement (OIM) proindonesia
sumber: http://www.budiisman.com/blog/runtuhnya-seven-eleven-indonesia-bukan-masalah-kebijakan-pemerintah-tanggapan-tulisan-prof-rhenald-kasali