Akhir-akhir ini istilah social entrepreneur atau kewirausahaan sosial semakin santer terdengar. Seseorang terdorong menjadi Social entrepreneur bukan karena kepincut oleh laba yang akan dihasilkan, melainkan ingin mengubah suatu keadaan di masyarakat menjadi lebih baik. Soal laba, itu urusan belakangan.
Ada beberapa tokoh social entrepreneurs yang dapat dijadikan contoh bagaimana panggilan hati mereka mengubah wajah dunia.
Sebut saja Mohammad Yunus. Pria 71 tahun asal Bangladesh ini sukses mengembangkan kredit mikro, pinjaman skala kecil bagi para pengusaha miskin yang tidak mampu mendapat kredit dari bank umum. Yunus mengimplementasikan ide tersebut dengan mendirikan bank rakyat bernama Grameen Bank.
Salah satu program terobosan Grameen Bank yang cukup unik dan luar biasa adalah di tahun 1997 Yunus memberikan pinjaman sebesar US$ 147.000 kepada 40.000 orang pengemis di Bangladesh. Para pengemis ini diminta untuk melakukan usaha yang dapat dilakukan sambil mengemis, seperti membuat anyaman, sulaman, jualan korek api dan permen. Grameen Bank memberikan lencana nasabah. Hasilnya, di tahun 2005 tercatat setidaknya 7.843 orang berhenti mengemis. Alasannya, mereka malu mengemis karena mempunyai lencana yang membangkitkan harga diri dan mempunyai lapangan usaha baru dari modal yang diberikan Grameenn Bank.
Selain Yunus, ada juga sosok Warren Buffet yang dikenal luas sebagai seorang filantropis dan social entrepreneur. Lewat perusahaan investainya, ia menyumbangkan 99% dari seluruh labanya kepada orang lain lewat Bill Foundation.
Ia hanya mengambil 1% keuntungannya untuk kebutuhan keluarganya. Ia tak ingin anak-anaknya merasa ak harus melakukan apapun karena ayahnya memiliki banyak uang. Ia ingin anak-anaknya melakukan lebih banyak lagi bagi masyarakat.
Tak mau kalah dengan orang asing, beberapa tokoh besar Indonesia pun layak dijadikan contoh bagaimana kewirausahaan sosial bukan hanya bisa menghasilkan laba tapi juga meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Sebut saja Sofyan Tan. Pria asal medan, Sumatera utara ini merasa masih ada jurang pemisah yang besar antara etnis-etnis dan agama di Indonesia. Untuk itulah ia medirikan sekolah multikultural di bawah Yayasan Pendidikan Sultan Iskandar Muda (YPSIM). Di sekolah yang ia dirikan tersebut, para siswa dibiasakan dengan kemajemukan. Ia membangun semua rumah ibadah di sekolah itu dan menjelang perayaan hari raya suatu agama para siswa juga dibiasakan berpartisipasi mendukung, mialnya dengan mendekor ruang kelas.
Selain sekolah, pria yang mendapat penghargaan sebagai tokoh Social Entrepreneur 2011 dari sebuah surat kabar nasional ini juga mendirikan Waroeng Pintar sebagai wadah interaksi warga Medan dan memfasilitasinya dengan berbagai macam buku. Tujuan didirikannya Waroeng Pintar ini untuk menjembatani berbagai perbedaan di Medan.
Ada juga Santoso, seorang wartawan yang juga menjadi wirausahawan sosial. Ia mendapat penghargaan dari Ernst & Young untuk kategori social entrepreneur tahun 2010 lalu.
Ia membangun radio KBR68H untuk menyediakan informasi yang baik pada masyarakat Indonesia melalui radio. Dengan mengedepankan program-program jurnalistik seperti berita, talk show, dan lain-lain.
Santoso mejelaskan latar belakang lahirnya stasiun radio ini adalah karena melihat kekosongan yang terjadi pada pemberitaan melalui radio paska reformasi 1998. Saat era Orde Baru memang siaran berita melalui radio sangat dibatasi dan hanya RRI (Radio Republik Indonesia) saja yang boleh direlay oleh stasiun radio swasta. Namun ketika sudah reformasi dan adanya kebebasan dan keterbukaan informasi, momentum inilah yang ia jadikan awal untuk membuat program berita sendiri.
Tokoh-tokoh tersebut telah membuktikan bahwa dengan idealisme pun seseorang tetap bisa menjalankan bisnisnya.
build-access-manage at dayaciptamandiri.com