Membangun Negeri dengan Korporasi Unggul
• Penulis: Darwin Silalahi
• Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
• Cetakan: I, 2012
Menurut pelopor studi kepemimpinan modern, Warren G Bennis, menjadi pemimpin sejati sama artinya dengan menjadi manusia otentik. Pendapat Bennis ini rupanya sudah dihayati lama oleh Darwin Silalahi yang mengisahkan hidupnya dalam bingkai kepemimpinan modern dalam bukunya yang cantik: Life Story, not Job Title.
Saya sebut cantik karena perkisahan dirinya dari pesisir Danau Toba hingga menjadi pejabat eksekutif tertinggi (CEO) sebuah korporasi unggul di negeri ini merupakan perjalanan yang berliku-liku dan heroik, meski Darwin sendiri mengaku: perjuangan yang sarat anugerah Tuhan.
Kisah Darwin sebagai anak Batak kampung yang lewat pendidikan bertiwikrama menjadi pemimpin terpandang di pentas Indonesia merdeka sesungguhnya mengikuti jejak pendahulunya, seperti TB Silalahi dan Sudi Silalahi, atau generasi yang lebih awal, seperti AH Nasution dan TB Simatupang. Namun, berbeda dengan putra-putri Batak lainnya yang lebih memilih jalur militer, politik, birokrasi, hukum, dan pendidikan, Darwin merambah jalan baru: korporasi profesional.
Jalan korporasi tidak hanya baru bagi anak-anak Batak pintar, tetapi juga bagi putra-putri Indonesia cerdas lainnya, dipelopori sekitar empat dekade lalu oleh Tanri Abeng dari Bugis dan Jonathan Parapak dari Toraja. Kini ribuan anak-anak Indonesia dari segenap penjuru Tanah Air sedang mengukir jejak masing-masing, kiranya bisa mencapai panteon korporasi seperti yang pernah dijejaki Tanri Abeng, Jonathan Parapak, dan kini Darwin Silalahi.
Perkisahan diri
Menghabiskan masa kecil dan remajanya di Hinalang dan Siborongborong—desa dan kota kecil di tenggara Danau Toba—Darwin menuntaskan sekolah menengahnya di Jakarta. Bermodalkan nilai 10 untuk Matematika pada ijazahnya, ia pun diterima di Jurusan Fisika, Universitas Indonesia. Dengan wibawa Fisika UI (1985) inilah ia bekerja di British Petroleum Indonesia—salah satu raksasa korporasi migas dunia—sebagai geofisikawan. Perusahaan ini kemudian mengirimnya ke Houston, Amerika Serikat, untuk sebuah penugasan internasional. Dengan etos belajar dan semangat juang yang besar, dalam dua tahun saja, memanfaatkan waktu sore-malamnya untuk kuliah, Darwin pun meraih gelar MBA dari Houston University.
Kembali ke Jakarta (1993), Darwin menjumpai Indonesia yang sedang bergegas. Korporasi dan ekonomi nasional bergerak ekspansif. Konglomerat lokal bermekaran, korporasi multinasional berkiprahan, dan Tanri Abeng—berjulukan manajer satu miliar—menjadi idola baru anak-anak kampus yang cerdas.
Setelah mampir sebentar di Grup Dharmala (1994), Darwin direkrut oleh Tanri Abeng untuk membantunya mengelola Grup Bakrie, dan berlanjut ke Kementerian BUMN, mengikuti Tanri yang didapuk Soeharto menjadi Menteri BUMN (1998). Pada periode inilah Darwin bergaul intensif dengan berbagai konsultan manajemen kelas dunia: McKinsey, BCG, Booz Allen, AT Kearney, EY dan PWC yang diminta Tanri turut membenahi BUMN. Selepas pergolakan moneter-politik 1998-1999 yang menumbangkan Orde Baru, Darwin malah diminta menjadi Country CEO Booz Allen Hamilton (2000-2007).
Darwin yang selalu ingin berada dalam arus utama perubahan bangsanya, tidak saja belajar keras dan bekerja cerdas untuk boleh ikut serta, dengan telaten ia juga merawat samua jejaring vitalnya dan relasi interpersonalnya sejak awal.
Lewat tangan orang-orang yang dikirim Tuhan ini—begitu ia mempersepsi mereka—Darwin pun kembali ke habitat awalnya, kali ini ditawari menjadi CEO PT Shell Indonesia (2007) yang ditekuninya hingga kini. Ini tentulah sebuah pusuk buhit (puncak gunung) mengingat Shell selalu nomor wahid pada Fortune Global 500 Companies, alias perusahaan terbesar di dunia berdasarkan pendapatan.
Akibat perjalanannya yang sarat kesulitan—disebutnya crucibles—Darwin sangat bersimpati kepada orang yang berjuang membangun diri. Belakangan ia paham, justru berbagai kesulitan inilah yang mencetaknya menjadi pemimpin andal. Tidak mengherankan bila kini Darwin banyak terlibat—lewat kiprah tanggung jawab sosial perusahaan Shell—menginspirasi kawula muda di sejumlah kampus karena jelas pula akhirnya, inspirasi adalah langkah pertama untuk melejitkan potensi kepemimpinan seseorang: Darwin dari Hinalang ke Houston, Parapak dari Rantepao ke Hobart, dan Tanri dari Selayar ke New York.
Enam tema kepemimpinan
Indonesia kini diskenariokan menjadi lima besar ekonomi dunia pada 2030. Ini tak berlebihan mengingat potensi geologi, geografi, demografi, dan lingkungan strategisnya. Yang dibutuhkan adalah seratus ribuan pemimpin sekelas Darwin Silalahi; dan tidak hanya pemimpin korporasi, tetapi juga pemimpin di sektor birokrasi, politik, hukum, pendidikan, keumatan, dan kemasyarakatan.
Berdasarkan studi Darwin yang lanjut hingga ke Harvard, yang telah ia sintesakan dengan pengalaman korporasinya yang panjang dan beragam, buku ini kemudian menyarikan enam tema kepemimpinan yang berdampak besar: tetaplah setia pada tujuan (stay connected to your purpose), hiduplah dengan tujuan tertinggi (live with the highest goal), selalu kaitkan dengan hati (relate from the heart), penuhilah janji-janji (deliver on the promises), nikmati perjalanannya (enjoy the journey), dan bangun ketangguhan pribadi (build personal resilience).
Sambil berkisah, Darwin memperkuat narasinya dengan pikiran-pikiran terbaik tentang kepemimpinan manjur dari segala zaman—terutama yang mutakhir—dari ranah pustakanya yang luas.
Hanya satu yang saya tunggu, tetapi tak tegas di buku ini: bagaimana membangun diri menjadi pemimpin yang andal tetapi juga kebal terhadap rayuan korupsi—kelemahan pribadi yang menjerembapkan banyak pemimpin Indonesia—yang dapat pula menghadang negeri ini menjadi lima besar ekonomi dunia seperti yang didambakan. Tampaknya Darwin perlu menulis buku berikutnya.