Saya hanya seorang yang berpikiran sederhana, mencoba memahami dunia penuh kerumitan, mensyukuri setiap langkah yang diberkati, mendoakan harapan dan berharap hidup saya membuat banyak orang merasa sungguh hidup..
Translate
Tuesday, August 10, 2004
Profil Bisnis Waralaba
Kamis, 5 Agustus 2004 09:54 WIB - warta ekonomi.com
Menjual Citra dan Pengalaman
Nama besar plus pengalaman puluhan tahun menangani bisnis TI menjadi modal Metrodata Electronics dalam mengembangkan sistem waralaba. Lewat sistem ini diharapkan SDM dan laju bisnis bisa lebih terkontrol.
Puluhan tahun berkiprah di bisnis teknologi informasi (TI) tak langsung membuat PT Metrodata Electronics Tbk. percaya diri untuk menawarkan waralabanya ke pasar. Maka, tak heran bahwa meski embrio waralaba sudah ada sejak 1997--ditandai dengan pembukaan 11 gerai Metrodata di berbagai daerah dan kini mencapai 11 gerai yang berlokasi di beberapa kota besar di Indonesia--toh hingga tahun lalu mereka masih saja berpikir untuk terus membangun gerai dengan modal sendiri.
Baru pada Mei 2004, ketika perkembangan bisnis TI dirasa makin cepat, Metrodata resmi menawarkan waralabanya ke pasar. Hasilnya, gerai waralaba pertama untuk jasa penjualan dan layanan komputer di Makassar pun resmi dibuka. Gerai ini mengusung "merek" Metrodata Sales & Service (MSS). Rencananya, pembukaan gerai pertama ini akan disusul dengan pembukaan gerai MSS berikutnya di kota-kota besar lainnya. Target yang dipasang lumayan juga, yaitu tujuh gerai MSS hingga akhir tahun ini.
Menurut Agus Honggo Widodo, direktur PT Metrodata Electronics Tbk., selain alasan ekspansi, ada dua hal lain yang mendorong pihaknya mewaralabakan bisnisnya. Pertama, kebutuhan akan SDM yang tinggi dalam bisnis perdagangan komputer. "Dalam bidang ini ada knowledge khusus yang harus dimiliki. Jadi, SDM menjadi faktor penting yang memotori berkembangnya bisnis TI. Apalagi untuk daerah yang jauh dari kantor pusat," ungkap Agus. Kedua, soal pengawasan. Lewat sistem waralaba, menurut Agus, diharapkan laju bisnis Metrodata akan lebih mudah dikontrol. Apalagi kalau bisnis yang dijalankannya makin berkembang.
Untuk membangun sebuah gerai MSS, seorang investor mesti menyiapkan modal Rp500 juta. Jumlah ini sudah mencakup franchise fee Rp150 juta, dan sisanya yang Rp350 juta untuk menyewa tempat, renovasi, dan modal kerja. Angka ini, kata Agus, cukup untuk mengembangkan bisnis di kota-kota yang memang belum dimasuki Metrodata sebelumnya. "Kami harapkan dalam dua tahun modal sudah kembali," katanya.
Selain bidang penjualan dan layanan komputer, Metrodata juga menawarkan waralaba bidang pendidikan TI. Hanya kali ini Metrodata merangkul perusahaan asal Filipina, System Technology Institute (STI). Keduanya sepakat membentuk perusahaan bernama PT Metrodata STI Indonesia (MSTI), yang sekaligus dijadikan merek. Di sini modal yang mesti disiapkan oleh seorang investor lumayan banyak. Franchise fee-nya sendiri mencapai US$10.000.
Agus mengakui bahwa bidang pendidikan merupakan areal baru bagi Metrodata. Itu sebabnya mereka memilih berpartner dengan STI, yang berpengalaman dalam waralaba pendidikan TI selama lebih dari 20 tahun. "Kami optimistis bisnis ini akan berhasil," tandas Agus. Tak heran jika hingga akhir 2004 ini pihak Metrodata menargetkan empat sekolah MSTI bakal berdiri.
Target ini, menurut penilaian Agus, tak terlalu muluk. Itu sebabnya meski memiliki pengalaman puluhan tahun, dengan reputasi yang besar, mereka tetap memilih bersikap hati-hati. "Bisnis waralaba ini ibarat orang menikah, harus melalui proses penjajakan, penyatuan misi dan visi," tambah Agus. Harapannya, tentu agar usaha ini terus langgeng.
PT Metrodata Electronics Tbk.
Nama waralaba:
Metrodata Sales & Service (MSS)
Metrodata STI Indonesia (MSTI)
Pemilik waralaba:
PT Metrodata Electronics Tbk. (berdiri 1975)
PT Metrodata STI Indonesia (berdiri 2003)
Mulai diwaralabakan:
Mei 2004
Jumlah gerai (Juni 2003):
3 MSTI
1 MSS
Target (2004):
4 gerai MSTI
7 gerai MSS
ADE RACHMAWATI DEVI
Menakar Untung Setiap Celupan
Hanya tujuh bulan saja sejak gerai pertama Mr. Celup's dibuka September 2003, kini jajanan serba rebus ini memiliki 38 gerai. Kreativitas dalam menciptakan selera lokal jadi andalan untuk meraih laba hingga 30%.
Kalau pemilik waralaba lain butuh waktu tiga tahun untuk menyiapkan sistem waralaba bagi usahanya, maka Sugiarto dan dua rekan bisnisnya, Thomas Linardi dan Mulyadi Wijaya, tak perlu sampai selama itu. Hanya dalam tempo tiga bulan saja, sebuah gerai pertama waralaba dibuka oleh tiga pria asal Bogor ini, sesudah gerai pertama Mr. Celup's, yang menawarkan jajanan serba rebus, dibuka di Jl. Pajajaran, Bogor. "Awalnya karena ada seorang pembeli dari Denpasar yang mengutarakan minatnya untuk membuka gerai Mr. Celup's di Bali," ungkap Sugiarto kepada Warta Ekonomi . Minat pengusaha asal Bali itulah yang membuat Mr. Celup's mempercepat ekspansinya lewat jalur waralaba. Padahal semula mereka berniat akan mewaralabakan usahanya ini sesudah berjalan satu tahun.
Belakangan, bukan cuma jumlah pengunjung gerai Mr. Celup's di Jl. Pajajaran yang membeludak, tetapi jumlah permintaan para investor terhadap waralaba Mr. Celup's juga ikut membengkak. Hanya dalam tempo tujuh bulan saja, menurut Sugiarto, tak kurang dari 38 gerai Mr. Celup's telah tersebar di berbagai tempat di Indonesia. Mulai dari Bogor, Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bali, hingga Lampung. Bahkan, tahun ini, lanjut pria berumur 35 tahun itu, mereka bakal meresmikan gerai berikutnya di luar Jawa, seperti di Makassar.
Sugiarto memaparkan, sebenarnya ide untuk mendirikan usaha jajanan ini berasal dari kedai jajanan sejenis yang mereka temui di negara tetangga, Singapura. Hanya, karena tak ingin dianggap meniru mentah-mentah, maka ketiganya melakukan modifikasi dalam hal penampilan gerai. Pilihan mereka jatuh pada warung berjalan Mr. Celup's, alias mobil yang dimodifikasi sebagai tempat berjualan.
Kini untuk bisa membuka usaha sejenis dengan cara waralaba, seorang investor cukup menyiapkan modal Rp165 juta. Ini sudah termasuk untuk gerai mobil yang dimodifikasi, peralatan memasak, franchise fee yang besarnya Rp50 juta untuk jangka waktu lima tahun, dan tentu saja perlengkapan untuk memasak. Di luar itu, pembeli hak waralaba pun mesti menyiapkan uang untuk sewa tempat. Syukur-syukur mereka mempunyai tempat gratis untuk "memarkir" warungnya tadi.
Salah satu kelebihan waralaba Mr. Celup's dibandingkan waralaba makanan lainnya, boleh jadi, adalah kelonggaran untuk berkreativitas. Menurut Sugiarto, pihaknya memberi kebebasan kepada pembeli waralaba Mr. Celup's untuk melakukan modifikasi sesuai kebutuhan di daerahnya masing-masing. Alasannya sederhana saja, masing-masing daerah mempunyai selera yang berbeda. Cuma, untuk bisa meluncur ke pasar, produk tadi mesti melewati proses uji coba "lidah" Sugiarto. "Kebetulan sayalah yang bertugas di bagian ini," katanya.
Saat ini tak kurang dari 50 jenis jajanan dipajang di gerai Mr. Celup's. Ke depan, ungkap Sugiarto, pihaknya bakal meningkatkan standarisasi pelayanan di Mr. Celup's. Selain itu, tentu saja menambah jenis jajanannya. Jadi, mengapa Anda tidak ikut membeli waralaba Mr. Celup's dan memarkir dagangan Anda di depan rumah?
CV Celup Mitra Saudara
Nama waralaba:
Mr. Celup's
Pemilik:
Sugiarto, Thomas Linardi, dan Mulyadi Wijaya
Mulai diwaralabakan:
Desember 2003
Jumlah gerai (Juni 2003):
38 gerai
Target 2004:
40 gerai
GENUK CHRISTIASTUTI
Menjepit Laba di My Salon
Tak sampai setahun, Mega Mulia Mandiri berhasil meluncurkan waralaba My Salon ke pasar. Bergandengan tangan dengan Rudy Hadisuwarno, salon kecantikan yang menyasar segmen menengah ke bawah ini menawarkan laba hingga 30% dari omzet bulanan.
Tak perlu ragu untuk pindah kuadran, seperti yang kerap dianjurkan Robert T. Kiyosaki. Siapa tahu peruntungan Anda datang dari kuadran baru ini. Hal ini persis seperti yang dilakoni Thomas Lie, direktur PT Mega Mulia Mandiri (MMM). Pada usianya yang ke-33, persisnya Maret 2003, pria berwajah imut ini memutuskan untuk menjadi pengusaha dengan merintis usaha salon kecantikan--pilihan yang jauh menyimpang dari profesi yang selama ini ditekuninya, yaitu profesional jasa keuangan. "Saya pilih bisnis salon karena tak banyak yang mau menekuninya," ungkapnya, terbahak.
Terbukti, meski bisnis salonnya baru berjalan satu tahun, kini Thomas sudah memiliki delapan gerai salon. Dengan modalnya itu, ia pun memberanikan diri menawarkan sebuah proposal "pernikahan" dengan Rudy Hadisuwarno, pemilik PT Rudy Hadisuwarno Organization, yang dikenal sebagai kelompok usaha terkemuka di bisnis kecantikan. Hasilnya sungguh di luar dugaan. Bukan cuma berniat memberikan bantuan teknis, seperti diharapkan Thomas, bahkan pihak Rudy pun menyatakan minatnya untuk menjadi salah satu pemegang saham di perusahaan tersebut. Hasilnya, sebuah merek My Salon by Rudy Hadisuwarno. "Tepat Januari 2004 kami resmi bekerja sama dengan Rudy," kata Thomas.
Menjadi bagian dari Grup Rudy menempatkan My Salon pada level ketiga, yaitu yang membidik segmen menengah ke bawah. Sebelumnya, Rudy telah memiliki waralaba untuk level menengah ke atas, yaitu Rudy Hadisuwarno (Executive) dan Rudy Brown. Selain itu, kelompok yang sama juga memiliki Kiddy Cuts dan Fun Cut, yang ditujukan untuk anak-anak. "Dari sisi harga, posisi kami adalah head on dengan Yoppie Salon dan Johnny Andrean," ungkap Thomas.
Untuk Anda yang berminat menjadi pemilik gerai waralaba My Salon, Thomas memaparkan, modal yang perlu disetor tak banyak. "Investasi untuk membuka gerai My Salon mencapai Rp180 juta," ungkapnya. Adapun tawaran keuntungan yang bakal diperoleh terbilang menggiurkan. "Bisa mencapai 30% dari pendapatan per bulan," ungkap Thomas.
Meski bisnis salon kecantikan ini sudah disesaki nama-nama beken seperti Johnny Andrean, Yoppie Salon, dan Salon Lutuye, hal itu tak menyurutkan rencana Mega Mulia untuk mengembang-biakkan My Salon. Berani? Jelas. Sebab, papar Thomas Lie, salonnya memiliki konsep yang jelas. Selain menembak pasar kelas menengah ke bawah yang masih sangat potensial, dukungan manajemen pun akan sangat menentukan. Misalnya, seluruh pengelolaan salon akan dilakukan oleh pihak Mega Mulia. "Kalau mereka setiap hari mesti ngurusin usahanya, lebih baik mereka membuka usaha sendiri saja," ujar Thomas, terkekeh.
Meski begitu, bukan berarti pemilik waralaba My Salon mesti ongkang-ongkang kaki. Mereka masih bisa menempatkan orangnya, atau dia sendiri, sebagai kasir, yang sekaligus bisa bertindak sebagai "mata-mata" di dalam salon. "Seluruh penghasilan salon akan masuk ke rekening para pembeli waralaba," katanya tegas. Dan nikmati keuntungan yang mudah-mudahan bisa sampai 30%. Jadi, tunggu apa lagi?
PT Mega Mulia Mandiri
Nama waralaba:
My Salon
Pemilik waralaba:
Thomas Lie dan Rudy Hadisuwarno
Mulai diwaralabakan:
Februari 2004
Jumlah gerai (Juni 2003):
14 gerai
Target (2004):
30 gerai
GENUK CHRISTIASTUTI
Tak Ingin Sekadar Jago Kandang
Dengan mengusung nama berbau asing, Daily Bread Bakery berencana merambah pasar ASEAN. Langkah awalnya, menguasai pasar domestik lewat penawaran sistem bagi hasil yang dirintis tahun ini.
Di tengah maraknya bisnis bakery yang berkembang di Tanah Air belakangan ini, Daily Bread Bakery optimistis bisa terus mengembangkan bisnis yang telah digelutinya sejak 1996. Modalnya bertumpu pada tiga hal, yaitu kualitas produk, servis yang memuaskan, serta tim yang solid. Bukan hanya itu. Meski nama Daily Bread Bakery berbau asing, merek ini benar-benar asli lokal. Ini pula yang membuat PT Adirasa Selaras Abadi (ASA), perusahaan pengelola Daily Bread Bakery, merasa yakin bahwa usahanya bakal sukses dan mendapat respons yang baik dari pasar. "Sebagai tuan rumah di negeri sendiri, kami merasa lebih mengenal kondisi pasar di sini, termasuk juga selera konsumen dan apa yang mereka harapkan," ungkap Dedi Tanukusumah, vice-president PT Adirasa Selaras Abadi.
Meski saat ini ASA telah menggelar sekitar 24 gerai di seputar Jakarta, Bandung, dan Surabaya yang semuanya milik sendiri, tak urung mereka juga ingin berbagi sukses dengan masyarakat. Itulah sebabnya, sejak 2004 mereka mulai mengembangkan sistem revenue sharing, yang diistilahkan dengan "sistem operator". Agak berbeda dengan sistem waralaba yang telah mereka tawarkan sebelumnya, di sistem ini mitra bisnis hanya diminta menyediakan lokasi. "Praktis tak ada dana yang harus mereka keluarkan," kata Viki Mari, senior finance and accounting manager ASA.
Sebenarnya pertimbangan untuk menjalankan sistem ini sendiri sudah mulai dilakukan sejak lima tahun silam dengan bantuan konsultan dari Singapura. Namun, dengan alasan ingin mengenalkan lebih jauh lagi "brand" Daily Bread Bakery ke pasar, sistem ini baru akan dioperasikan pada 2004. "Kami melakukan pendekatan dari mulut ke mulut, dan cara ini ternyata cukup efektif," aku Dedi. Dengan perhitungan satu gerai membutuhkan modal Rp500 juta, maka pihak manajemen ASA memasang target 40 gerai bisa berdiri dengan sistem ini pada tahun 2004.
Mungkinkah target itu tercapai? Dengan penuh percaya diri Dedi menyatakan bahwa saat ini pihaknya telah melakukan penjajakan dengan beberapa calon mitra bisnis. "Kalaupun tak tercapai di tahun ini, kami pastikan tahun depan target ini benar-benar tercapai," tandasnya. Lalu, berapa besar pembagian revenue-nya? Menurut Viki, saat ini mereka menetapkan sistem 90 : 10. Maksudnya, 90% bagi ASA, dan sisanya untuk mitra bisnis. "Sebenarnya masih ada dua konsep yang kami tetapkan, yaitu 70 : 30 dan 60 : 40. Namun, saat ini kami baru menjalankan konsep yang 90 : 10," jelas Viki.
Dengan konsep ini diharapkan ekspansi bisnis Daily Bread Bakery, yang rata-rata omzet per bulannya Rp200 juta untuk setiap gerai, makin melaju. Bahkan mereka tak ingin hanya menjadi jago kandang, tetapi juga berancang-ancang untuk go international. Alasan itu pula yang melatarbelakangi perusahaan mengusung merek berbau asing. Targetnya, setelah sukses di Tanah Air, mereka pun bakal membidik pasar ASEAN.
PT Adirasa Selaras Abadi
Nama waralaba:
Daily Bread Bakery
Pemilik waralaba:
PT Adirasa Selaras Abadi (ASA)
Mulai diwaralabakan:
2004
Jumlah gerai (Juni 2004):
24 gerai
Target 2004:
40 (sistem operator)
ADE RACHMAWATI DEVI
Monday, August 09, 2004
Pengusaha Muda 2004: Mampu Bertahan karena Kreatif dan Inovatif
Pengusaha Muda 2004: Mampu Bertahan karena Kreatif dan Inovatif
0 Tanggapan
Senin, 26 Juli 2004 10:21 WIB - warta ekonomi.com
Situasi ekonomi makin sulit, lahan bisnis makin sempit, dan modal makin susah. Namun, sejumlah pengusaha muda bisa berhasil menyiasati dan keluar sebagai "pemenang". Kunci suksesnya adalah karena mereka kreatif dan inovatif dalam menciptakan nilai tambah. Mereka juga termasuk mampu mengelola usaha dengan benar sehingga dapat terus mencetak laba.
Bisnis tak selalu manis. Sesekali bahkan ia bisa sangat pahit. Jadi, wajar kalau suatu masa Anda untung, tetapi pada kala yang lain bisa buntung. Itu pulalah yang dialami Setyo Yanus Sasongko, seorang pengusaha muda yang kini berusia 35 tahun. Bisnis pemilik dan sekaligus presdir PT Aimtopindo Nuansa Kimia ini adalah memproduksi bahan karbon aktif (activated carbon) dari arang tempurung kelapa. Berangkat dari hanya sebuah ide, bisnisnya pelan-pelan berkembang terus selama delapan tahun, dan hingga sekarang omzetnya mencapai Rp6 miliar. Masih tergolong kecil, memang. Namun, itu bukannya tanpa sebab.
Setyo mengungkapkan bahwa kendala utama yang dihadapinya sekarang adalah makin mahalnya harga bahan baku produksi dari pemasok, perubahan tata niaga, dan kondisi ekonomi. Untuk tahun ini, Setyo mengakui, isu survival menjadi begitu penting bagi perusahaannya. Namun, Setyo tak mau kekurangan akal. Ia mencoba kreatif dalam hal inovasi teknologi supaya harga biaya produksi bisa murah. Hasilnya, ia sekarang sudah punya cara mendiversifikasi bahan baku dan teknologi pengolahannya.
"Kami berhasil mengganti bahan baku dengan memodifikasi teknologinya," tutur Setyo. Sebelumnya bahan baku produksi berupa arang dari tempurung kelapa yang harus diperoleh dengan harga mahal dari pemasok. Akan tetapi sekarang, setelah teknologinya berhasil dia modifikasi, bahan baku bisa langsung berupa tempurung kelapa. Dengan modifikasi ini, biaya bahan baku akhirnya bisa dipotong sekitar 40%. Meski begitu, Setyo mengaku, "Saat ini tingkat keuntungan kami belum stabil karena kami masih dalam masa transisi menuju teknologi baru."
Setyo yakin, apabila proses transisi yang sekarang sudah setengah jalan tersebut berhasil diselesaikan, maka tingkat keuntungan usahanya akan pulih kembali. Ujung-ujungnya, harga akhir produk karbon aktif buatannya bisa bersaing dengan produk Cina, yang saat ini menguasai pasar lokal dan pasaran internasional. Setyo juga mempunyai rencana membuat pabrik di Sulawesi karena di sana ada deposit bahan baku tempurung kelapa yang sangat murah. Di sana tempurung kelapa dibuang begitu saja, tidak dimanfaatkan. "Saya mau menggandeng mitra lokal yang mempunyai deposit tempurung kelapa berskala besar di Sulawesi, untuk bersama-sama menciptakan nilai tambah dari bahan baku yang terbuang menjadi bahan baku yang memiliki nilai," paparnya.
Bagi Setyo, problem bahan baku yang dihadapinya sekarang justru dianggapnya merupakan momentum yang baik karena memaksa dirinya untuk kreatif dan berinovasi, sehingga akhirnya malah bisa mengurangi biaya produksi secara signifikan. "Justru peluang usaha saya makin terbuka daripada yang tadinya aman-aman saja," ungkapnya. Persoalan yang dia hadapi tidak menjadikannya patah semangat untuk terus meniti karier sebagai pengusaha, walaupun kesempatan menjadi eksekutif di perusahaan multinasional juga kerap mendatanginya.
"Lebih enak menjadi pengusaha, karena ide-ide saya bisa langsung saya implementasikan," tuturnya. Ia juga merasa bangga karena usahanya ternyata bisa berdampak positif bagi masyarakat, ia bisa melakukan ekspor atau membantu negara memperoleh devisa, dan bisa memberikan nilai tambah yang tinggi pada sumber-sumber ekonomi yang ada.
Setyo merasa sayang jika usahanya yang sudah berjalan selama sekian tahun itu sampai harus terputus di tengah jalan. "Saya sebenarnya memiliki cita-cita sebagai pengusaha di bidang pengembangan teknologi, bukan sekadar dagang," tuturnya. Ia mengaku telah membuat beberapa paket teknologi baru yang tinggal membutuhkan mitra usaha yang tertarik mengembangkannya menjadi sebuah produk. "Saya tidak tertarik untuk menjadi besar sendirian, seperti Grup Salim. Saya merasa lebih baik besar bersama orang lain yang lebih menguasai di bidangnya, sehingga ide-ide saya bisa profitable," ungkapnya.
Tak Mau Menyerah
Beberapa pengusaha muda yang lain yang seusia Setyo umumnya juga mengaku mengalami masalah yang kurang lebih sama. Artinya, mereka juga merasakan dampak dari situasi ekonomi yang masih tidak kondusif bagi perputaran roda bisnis mereka. Erwien Nurwihatman, direktur pelaksana PT Capella Sumber Intranet, merasakan betapa turunnya bisnis teknologi informasi (TI) di Indonesia untuk tahun ini berdampak nyata pada tingkat penjualan perusahaannya yang menyediakan perangkat lunak dan perangkat keras, serta services dan konsultasi TI. "Itu bisa dilihat langsung dari turunnya bisnis di perdagangan ritel TI di Mangga Dua dan Glodok," ungkap Erwien.
Demikian juga yang dirasakan Ian Rangkuti, presdir PT Natnit.net. Ia melihat bahwa kondisi perekonomian nasional masih dalam tahap pemulihan. Walau beberapa sektor usaha berkembang, stabilitas usahanya di bidang perdagangan lewat internet masih terganggu oleh lemahnya daya beli masyarakat umum dan "panas"-nya situasi politik. "Akibatnya perencanaan jangka panjang bisnis saya sulit untuk dilaksanakan dan sukar diprediksi tingkat keberhasilannya," tutur Ian.
Sementara itu, Christovita Wiloto, presdir PT Wiloto Corporation, yang antara lain bergerak di jasa public relations, juga sempat merasakan betapa perusahaan calon kliennya seperti sedang diet, alias menahan atau mengurangi biaya.
Namun, seperti halnya Setyo, para pengusaha muda tersebut umumnya juga tak mau patah semangat, atau mudah menyerah begitu saja menghadapi tekanan situasi. Mereka berusaha terus mencari peluang di tengah tantangan situasi perekonomian yang ada. "Saya sudah lama menjalankan bisnis parsel, dan ketika krisis moneter menimpa Indonesia, siapa sih yang tidak kena imbasnya? Akan tetapi, ternyata para pelanggan saya sudah menganggap parsel sebagai barang primer pada event-event tertentu," ungkap Fahira Fahmi Idris, dirut PT Nabila Parcel Bunga. Maka, jadilah bisnis Fahira mampu bertahan di tengah himpitan krisis.
Hal senada juga diungkapkan oleh Saleh Abdul Malik, presdir PT Altelindo Karya Mandiri. Saleh menegaskan bahwa ia tidak mau lagi bergantung pada risiko-risiko yang ada. Ia berupaya tidak mengaitkan dan menggantungkan kegiatan bisnisnya pada situasi yang ada, walau itu memang ada pengaruhnya. "Saya harus bisa dewasa, belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya bahwa bisnis harus tetap jalan terus," papar Saleh.
Lahan Bisnis Makin Sempit, Modal Makin Sulit
Menurut pengamat bisnis Wilson Nababan, dalam situasi bisnis yang makin global dan makin sengit persaingannya sekarang, peluang usaha bagi pengusaha muda pendatang baru sebenarnya makin tipis. "Sebab, peluang bisnis sekarang makin sempit karena lahannya makin dikuasai oleh para pemodal raksasa, terutama dengan masuknya perusahaan multinasional ke Indonesia," ujar presdir perusahaan riset bisnis PT CISI Raya Utama itu. Ia mencontohkan, apabila seorang pengusaha muda hendak membuka toko dagang eceran sederhana dengan merek dan gerai sendiri, mereka pasti akan sulit bersaing dengan jaringan ritel yang sudah mapan, seperti Alfa atau Indomaret. "Masuk ke sektor keuangan, seperti mendirikan bank pasar atau menjadi kontraktor, juga makin sulit sekarang ini," tuturnya.
Akan tetapi, lanjut Wilson, itu bukan berarti peluang usaha sudah tertutup sama sekali. Bisa saja seorang pengusaha muda masuk ke pasar dengan beroperasi di bawah lisensi atau waralaba--meskipun ada persentase tertentu dari keuntungan yang harus diserahkan ke pemilik lisensi atau pewaralaba. Bisa juga mereka membuka usaha dealer kendaraan bermotor, atau bengkel, atau restoran. Namun, lagi-lagi, bagaimanapun, semua itu membutuhkan modal yang cukup, networking yang kuat, dan, terutama, pengalaman untuk menekuni bisnis tersebut.
Bagi Wilson, kian sempitnya lahan bisnis itu tak hanya dialami oleh pengusaha-pengusaha muda yang baru muncul karena bertumbangannya para pengusaha besar nasional. Dalam era globalisasi sekarang, makin banyak unit-unit produksi berskala besar yang jatuh ke tangan perusahaan multinasional. Sepertinya, saat ini hanya tinggal menunggu waktu saja, bidang usaha apa lagi yang akan diambil alih perusahaan-perusahaan multinasional tersebut. Umpamanya di industri elektronik, kendaraan bermotor, dan perhotelan. "Industri elektronik memang berkembang, tetapi produksi dan jaringan distribusinya makin dikuasai oleh pemain asing," tuturnya.
Wilson mencermati, praktis tidak banyak pengusaha muda yang memiliki pencapaian tinggi dalam situasi ekonomi sekarang. "Dalam masa sulit seperti ini, yang bisa tumbuh adalah pengusaha yang superior atau menjadi 'super entrepreneur'," tuturnya. Anak-anak pengusaha besar yang sekarang mewarisi bisnis orang tuanya, seperti di Grup Bakrie, Grup Barito, Grup Sinar Mas, dan Grup Argo Manunggal, juga harus bekerja keras untuk melanjutkan warisan usaha ayahnya. Bank juga tak lagi mudah membantu mereka. "Boro-boro membantu pendatang baru, untuk langganan lama mereka saja juga ragu-ragu. Sebab, mereka sendiri diawasi dengan ketat oleh Bank Indonesia," ungkapnya.
Wilson menekankan, supaya seorang pengusaha muda bisa unggul dalam masa sekarang, ia harus memiliki kemampuan yang menonjol dalam hal networking, inovasi, serta improvisasi. "Dan sampai seberapa lama kesulitan ekonomi nasional bisa mereka atasi," tegasnya. Tiga motor penggerak ekonomi Indonesia selama ini, yakni sektor pangan, minyak, dan komoditas ekspor, praktis mengalami kemunduran. Kesulitan pangan, seperti beras dan gula, menyebabkan Indonesia harus makin bergantung pada impor. Indonesia juga telah berubah dari negara pengekspor minyak menjadi negara pengimpor minyak, sehingga patokan harga bahan bakar domestik terancam harus terus disesuaikan dengan harga pasaran internasional. Harga komoditas ekspor tradisional, seperti kopi, karet, lada, cokelat, dan kayu juga rendah. Sementara itu, komoditas ekspor yang lain, seperti kelapa sawit dan hasil tambang, hanya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan tertentu saja.
Mundurnya motor penggerak ekonomi itu sudah pasti berdampak buruk terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan. "Jangankan sampai akhir tahun, sampai lima tahun ke depan saja rasanya belum banyak perubahan yang akan terjadi," ujar Wilson. Di tengah situasi yang seperti itu, mereka masih harus menghadapi "serangan" dari imperium bisnis perusahaan multinasional. Ia tak merasa heran kalau beberapa pengusaha muda asal Indonesia justru bisa sukses berbisnis di luar negeri, seperti di Australia, Malaysia, dan Cina, karena kondisi di luar negeri yang lebih baik. "Jadi, jangan terlalu banyak berfantasi deh," tegas Wilson.
B.S. Kusmuljono, direktur utama PT Permodalan Nasional Madani (PNM), membenarkan bahwa banyak lembaga keuangan pemilik dana, seperti PNM, yang makin selektif dalam menyalurkan pendanaan kepada pengusaha-pengusaha muda. "Justru yang terpenting adalah kesiapan para pengusahanya, bukan besarnya modal," ujarnya. Berdasarkan pengalamannya selama ini dalam menjadi mitra usaha banyak pengusaha muda, terbukti pemberian dana modal atau kredit lebih banyak gagalnya karena pelakunya ternyata tidak memiliki kesiapan untuk menjadi pengusaha. "Sekarang modal tidak akan diberikan kalau para pelakunya tidak siap menjadi pengusaha," tegas Kusmuljono.
Menurut Kusmuljono, sejak awal menjadi pengusaha, seseorang harus siap memiliki budaya kerja, seperti memiliki cara berpikir wirausaha, mandiri, dan profesional. Ia juga harus memiliki budaya berani dalam mengambil risiko, dan memiliki etika moral yang baik. Misalnya, kalau punya utang ya harus dilunasi. "Jangan dininabobokan oleh anggapan bahwa modal adalah syarat utama menjadi pengusaha. Sebab, yang tidak mempunyai modal pun sebenarnya bisa menjadi pengusaha," ujarnya.
Saat ini, lanjut Kusmuljono, yang penting untuk dilihat oleh institusi penyedia modal adalah apakah pengusaha muda itu bisa menunjukkan kemampuannya dalam menciptakan laba. Oleh karena itu, dia menyarankan agar pengusaha muda bisa menciptakan kegiatan yang memberikan nilai tambah. Dari penciptaan nilai tambah itu, pengusaha muda tersebut harus bisa meraih penjualan, menciptakan arus kas usaha yang positif, dan dapat terus menciptakan nilai tambah yang makin tinggi, sehingga usahanya bisa langgeng.
Namun, itu saja tidak cukup. Pengusaha muda juga harus bisa menunjukkan kelayakan usahanya. Syaratnya, mereka harus mempunyai rencana usaha yang jelas, struktur organisasi, cara menjalankan usaha, kemampuan membuat laporan keuangan, dan cara pengawasan usaha. "Itu supaya mereka bisa bankable atau memenuhi syarat untuk memperoleh kredit," tutur Kusmuljono. Adapun sektor usahanya, mereka bisa bergerak di sektor riil, seperti perkebunan, perikanan, dan pertanian, yang sedang tumbuh baik sekarang, atau di sektor jasa, seperti perdagangan ritel dan distribusi makanan-minuman yang juga masih terus bertumbuh karena pasar domestiknya besar. "Atau di sektor keuangan, seperti mendirikan bank perkreditan rakyat dan koperasi simpan pinjam," tuturnya.
Bergerak berdasarkan lisensi atau waralaba, bagi Kusmuljono, juga boleh-boleh saja. Akan tetapi, selayaknya ilmu dari pemberi lisensi dan pewaralabanya bisa diserap sebagai bentuk cara alih teknologi. "Jadi, selanjutnya ia bisa menciptakan nilai tambah yang lebih besar, bukan sekadar tukang jahit saja atau terlalu bergantung pada impor," tegas Kusmuljono.
Mencintai Pekerjaan
Sementara itu, pakar manajemen bisnis Rhenald Kasali mencermati, memang tidak mudah apabila seseorang yang berusia muda kemudian terjun menjadi pengusaha. Alasannya, menjadi pengusaha itu menyangkut soal pilihan hidup. Akibatnya, pertama, kebanyakan orang belum merasa mantap menjadi pengusaha, sehingga masih perlu perjuangan. Kedua, tantangan menjadi pengusaha tidak sama antara satu orang dengan orang yang lain.
Dari asumsi tersebut, ketua Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Indonesia itu melihat, ada tiga kelompok besar pengusaha muda. Pertama, orang yang sebetulnya tidak punya pilihan, sehingga akhirnya pilihan itulah yang dia tempuh. "Mereka ini yang kemudian malah biasanya bisa berhasil," ungkap Rhenald. Kedua, "anak mami" atau mama's boy. Berhubung ayah-ibunya termasuk orang berada, maka sang anak diberi modal usaha. "Akan tetapi karena berasal dari keluarga yang mampu, dia mempunyai banyak pilihan, sehingga akhirnya tidak fokus pada usahanya dan malah bisa mengalami kegagalan," jelas Rhenald. Ketiga, orang-orang akademik atau anak sekolahan yang memang mempunyai pengetahuan. Tantangan bagi mereka adalah mereka berpikir dunia bisnis sama persis seperti dunia sekolahnya. "Padahal dunia bisnis belum tentu seperti kasus-kasus yang mereka pelajari selama di sekolah," tuturnya.
Terlepas dari semua itu, Rhenald optimistis, dalam keadaan sesulit apa pun, ada orang yang jatuh dan ada yang berhasil. "Tak semua orang jatuh," tegas Rhenald. Baginya, yang membedakan mereka yang berhasil dengan yang jatuh bukanlah pilihan bisnisnya, atau "what business are you in", melainkan cara mengelola perusahaan atau "how to manage your company". Ia melihat, kini banyak pengusaha muda mencoba terjun ke bisnis komoditas, seperti teh dan kopi, karena para ekonom setiap hari terus mengunggul-unggulkan tentang pentingnya agrobisnis, selain juga bisnis-bisnis yang berbasis sumber daya alam. "Memang bisnis yang berbasis sumber daya alam menarik dan cenderung berskala besar. Akan tetapi, mereka sering lupa bahwa harganya juga volatile, mudah naik-turun dan nilai tambahnya rendah karena tidak ada inovasi," paparnya. Akibatnya, mereka bisa saja cepat menjadi pengusaha besar karena memperoleh keuntungan besar, tetapi bisa cepat hilang karena harga jatuh.
Oleh karena itu, tambah Rhenald, supaya tidak jatuh, mereka harus bisa menciptakan sesuatu yang baru, yang tidak meniru sesuatu yang sudah ada. "Nah, saya melihat pengusaha muda yang berhasil sekarang ini adalah yang spesialis dalam bidangnya, mereka yang tidak bermimpi menjadi konglomerat, mereka yang ingin bisa bekerja sekaligus menikmatinya," tuturnya. Rhenald mencontohkan pengusaha muda yang seperti itu, antara lain, adalah Helmy Yahya (pengusaha di bidang entertainment), Abdi Pirsawan Azis (pembuat video proses kelahiran bayi), Nia Dinata (sutradara dan produser film), dan Ahmad Dhani (pemusik grup band Dewa yang tak segan mengklaim diri sebagai pengusaha musik).
Soal bekerja sekaligus menikmatinya (works, leisure, and learning), ini juga menjadi begitu penting di mata Rhenald karena dilihatnya pengusaha yang berhasil tergolong yang mencintai pekerjaannya. Jadi, mereka melakukannya bukan karena keterpaksaan, tetapi karena memang menyukai atau merupakan hobinya juga. Mereka juga tergolong orang-orang yang selalu membangun network dan selalu menjaga kepercayaan. "Dan yang jelas, mereka harus tahan banting, harus rela merangkak dari bawah karena memang tidak ada jalan pintas mencapai puncak, dan harus berani bersaing dengan pengetahuan dan konsep," jelas Rhenald.
Tantangan Pengusaha Muda 2004
1. Situasi ekonomi domestik yang makin sulit, terutama akibat mundurnya tiga motor penggerak ekonomi, yaitu sektor pangan, minyak, dan komoditas ekspor.
2. Lahan bisnis makin sempit karena dikuasai oleh para pemodal besar dan perusahaan multinasional.
3. Permodalan makin sulit didapat.
4. Kurangnya kesiapan menjadi pengusaha.
Sumber: Diolah dari wawancara
Kunci Sukses Menjadi Super Entrepreneur Muda 2004
1. Kreatif dan inovatif, terus menciptakan nilai tambah.
2. Mampu mengelola usaha hingga terus menciptakan laba.
3. Mencintai pekerjaannya.
4. Bisa membangun networking.
5. Bisa menjaga kepercayaan.
Sumber: Diolah dari wawancara
FADJAR ADRIANTO, ARI WINDYANINGRUM, ACHMAD ADHITO HATANTO, DAN HENDARU
Friday, August 06, 2004
8 Kiat Jitu Bekerjasama Dengan Distributor
Yadi Budhisetiawan
Managing Director FORCE ONE - Selling & Distribution Consultants
Kendala klasik yang menghambat hubungan produktif prinsipal dengan distributor umumnya menyangkut perbedaan kepentingan, kesenjangan antara tuntutan dan kemampuan masing-masing pihak, serta meningkatnya rasa kurang percaya lantaran miskomunikasi dan mispersepsi. Ini berakibat perundingan mengalami jalan buntu, saling melakukan klaim, dan persoalan terus mengambang.
Distributor adalah “mitra strategis”. Prinsipal adalah “pelanggan utama”. Keduanya punya kepentingan untuk memupuk kerja sama yang efektif dan produktif. Ini menyangkut hubungan jangka panjang (biasanya >5 tahun), bukan sekadar “kawin-cerai” 1-3 tahun sekali. Prinsipal yang berhasil umumnya ditopang oleh jaringan kemitraan distributor yang berjangka panjang. Distributor yang sukses biasanya memiliki jejak rekam daftar prinsipal lama. Sehubungan dengan itu, terdapat 8 jurus sakti untuk menggalang hubungan kerja sama yang win-win.
1. Keserasian dalam berusaha
Hubungan prinsipal dan distributor layaknya api dan asap, bukan seperti air dan minyak. Hubungan ini bersifat saling mengisi, menguntungkan, memberi-menerima, dan melengkapi. Hasil akhirnya bersinergis. Keserasian berarti memiliki kesamaaan visi, misi, falsafah, platform, prioritas, strategi, nilai-nilai, pola kerja, serta saling memanfaatkan informasi dan jaringan pasar.
2. Kecocokan jenis distributor dan prinsipal
Secara mikro spesifik, ada 16 kategori distributor: dari yang terbesar seperti Distributor Nasional Perusahaan Terbuka Full Service hingga yang paling sederhana, yaitu Distributor Lokal Perusahaan “One Man Show” dengan pola berdagang ala komoditas. Di lain pihak, terdapat 20 jenis prinsipal: dari yang paling canggih seperti Perusahaan Global Berusaha Lokal secara maya sampai Perusahaan Home Industry Lokal “One Man Show”. Setiap perusahaan harus ekstra hati-hati mencari padanan yang cocok karena langsung menyentuh sendi-sendi pengelolaan lapangan.
3. Kesepakatan dalam platform utama
Banyak prinsipal dan distributor terjebak dalam penetapan & pencapaian sales. Selain itu, mereka terlalu menguras energi dalam hal teknis dan taktis yang normatif seperti administrasi pelaporan, barang kosong atau kredit (term of payment). Seharusnya mereka merumuskan kesepakatan dalam 3 platform kerja utama, yaitu: jumlah & jaringan pelanggan, kiat selling through, serta sinergisasi keterpaduan segmentasi pelanggan– segmentasi jajaran penjual–segmentasi product items. Ketiga platform ini berdampak langsung pada peningkatan penjualan, arus kas, dan proses parameter perbaikan yang berkelanjutan.
4. Kiat mengatur & mengatasi bidang rawan
Dalam sebuah hubungan pasti terjadi salah paham, konflik kepentingan, dan perbedaan persepsi. Harus disepakati bahwa apapun perbedaannya, suatu saat itu harus diakhiri. Makanya, tatanan kerja yang efektif akan lebih banyak merumuskan bidang-bidang yang cenderung rawan bagi masing-masing pihak. Contoh, bagi prinsipal, bidang yang peka biasanya pencapaian sales target, product availability dan product items penetration. Namun, bagi distributor, yang rawan adalah modal kerja, margin dan selling out. Tindakan kedua, merumuskan siapa yang bakal berunding dalam penyelesaiannya.
5. Surat perjanjian yang praktis & terurai
Kebanyakan surat perjanjian diberlakukan dari perspektif hukum. Harusnya lebih dilihat dari sudut kerangka kerja sama. Hak dan kewajiban masing-masing pihak mesti jelas terurai, adil, dan seimbang. Paling penting adalah jangka waktu kesepakatan harus lebih lama dari sasaran waktu return on investment. Kalau tidak, distributor akan enggan berinvestasi. Long term security harus benar-benar diperhatikan oleh prinsipal. Kesepakatan kerja perlu dibuat spesifik, terinci maksimal 16 bidang pokok kerja sama, tapi tidak terlalu melebar agar tidak birokratis. Surat perjanjian dibuat lebih aplikatif seperti surat bisnis, bukan seperti kontrak hukum. Lebih baik membuat 2-3 surat bisnis 5-8 halaman per tahun yang menegaskan “kesepakatan acuan kerja lapangan” daripada kontrak distribusi 60 halaman yang sempurna, indah, dan menyeluruh setiap tiga tahun.
6. Organisasi & SDM yang terfokus
Hubungan prinsipal & distributor harus intensif, interaktif, dan dua arah. Tidak sehat bila hanya menggantungkan diri pada satu saluran –antara pemilik vs pemilik atau marketing department prinsipal vs pemilik distributor saja. Hubungan ini harus dalam kerangka multi-fungsional dan multi-tasking. Artinya, ada departemen penjualan, market research, atau logistik yang juga ikut berperan dan terlibat rutin. Akan lebih baik lagi bila kedua organisasi membuat “hot line” khusus di masing-masing bidang untuk koordinasi dan pemantauan tindak lanjut antar lintas fungsional. Dengan demikian sumber daya organisasi, manusia dan keuangan lebih terarah dan terpadu.
7. Teknologi informasi & komunikasi
Hubungan intensif tidak saja datang dari manusia, namun dari data atau informasi yang dibagikan. Jumlah, bentuk, dan frekuensi laporan bersama komunikasi mesti dibakukan. Semakin terinci, update, dan akurat, maka hubungan manusia cenderung jadi lebih lancar, mudah, dan jelas mencari solusi. Tidak ada jalan lain, keduanya harus investasi dalam perangkat keras maupun lunak, pelatihan sistem prosedur, serta pola pengambilan keputusan dan analisis elektronis. Pertemuan fisik bisa berkurang sehingga setiap pihak punya lebih banyak waktu untuk memikirkan keputusan jitu. Kultur budaya kerja harus berubah ke arah digitalisasi atau berbasis kompetensi informasi & komunikasi.
8. Utamakan penanganan dan perbaikan proses
Sering memuji kesuksesan kecil atau sebuah kemajuan tiap minggu jauh lebih berarti ketimbang penyematan tanda jasa setahun sekali yang bersifat seremonial. “Grasa-grusu” akhir bulan, yang biasa terjadi setelah tanggal 25 untuk menutup bulan dengan pencapaian sales target, merupakan tindakan kontra-produktif. Lebih baik melakukannya harian, mingguan, atau dwimingguan dengan melihat parameter 4-5 teknis terinci daripada 1 parameter hasil akhir. Berarti kita harus belajar memantau perkembangan proses dalam bentuk “vital signs” yang merupakan penjabaran lebih jauh dari key results areas dan key performance indicators yang bersifat hasil akhir.
Bila ke-8 kiat di atas diterapkan dengan konsekuen, hubungan prinsipal dan distributor akan menjadi lebih efektif dan ampuh dalam mematahkan keunggulan pesaing karena kedua pihak mengubah orientasi dari introvert looking menjadi hubungan yang berbasis ke pasar & pesaing (extrovert looking).
Wednesday, August 04, 2004
Entrepreneurship on employees' minds
Entrepreneurship on employees' minds
03/08/2004
Nearly a quarter of UK employees think about ditching their jobs and starting up their own business at least once a week, a new survey has found.
Research by Jacks of London Franchise Programme found that 24 per cent of staff consider going it alone at least once a week, with the main motivations not based on money.
Six in ten said they would like to work their own hours, while over half were attracted by becoming their own boss.
The research follows similar studies released over the past week that revealed that both young entrepreneurs and employees of small businesses were not mainly motivated by money.
The challenge of the job and the chance to make important decisions have been the biggest incentives in all three surveys, with few budding entrepreneurs planning to become multi-millionaires.
With record numbers of people willing to start up in business, it appears there are several deep-rooted reasons why employees are rejecting the nine to five life, other than money.
The Jacks of London study found that women, young people and those in London were most keen to go it alone, while those aged over 55 were least likely to leave their jobs.
Sir Richard Branson and Dame Anita Roddick were the most inspiring entrepreneurial figures to employees,.
However, financial concerns were an issue for over half of those polled, while 38 per cent were worried about their lack of business experience.
Sue Whitehead, managing director of Jacks of London, said that franchising was a great way for employees to get into business ownership.
“Franchising is a less risky way of starting a business, giving the franchisee structure, support and guidelines for creating, maintaining and growing the business.
“And you don’t even need experience in the sector to make a success of the business,” she said.
03/08/2004
Nearly a quarter of UK employees think about ditching their jobs and starting up their own business at least once a week, a new survey has found.
Research by Jacks of London Franchise Programme found that 24 per cent of staff consider going it alone at least once a week, with the main motivations not based on money.
Six in ten said they would like to work their own hours, while over half were attracted by becoming their own boss.
The research follows similar studies released over the past week that revealed that both young entrepreneurs and employees of small businesses were not mainly motivated by money.
The challenge of the job and the chance to make important decisions have been the biggest incentives in all three surveys, with few budding entrepreneurs planning to become multi-millionaires.
With record numbers of people willing to start up in business, it appears there are several deep-rooted reasons why employees are rejecting the nine to five life, other than money.
The Jacks of London study found that women, young people and those in London were most keen to go it alone, while those aged over 55 were least likely to leave their jobs.
Sir Richard Branson and Dame Anita Roddick were the most inspiring entrepreneurial figures to employees,.
However, financial concerns were an issue for over half of those polled, while 38 per cent were worried about their lack of business experience.
Sue Whitehead, managing director of Jacks of London, said that franchising was a great way for employees to get into business ownership.
“Franchising is a less risky way of starting a business, giving the franchisee structure, support and guidelines for creating, maintaining and growing the business.
“And you don’t even need experience in the sector to make a success of the business,” she said.
Entrepreneurship: Carrying on with ‘fancy’ trade
Fact Box:
Name: Ramzan Ali Bhanjee
Age: 65
Type of business: Electric fancy fitting importer
Location: Swami Narayan Temple, M A Jinnah Road
Daily Times: What is your background?
Ramzan Ali Bhanjee: I was born in Karachi before independence. I got an MBBS degree from London Royal Guys Medical Institute and College in Britain. My father was a carriage contractor during the British Empire in Karachi. During that period bogies on tramway had been pulled with horses. This business was my family trade. My father also opened electric and gas appliances business. I have a son and a daughter. My married son has done MBA from London and he holds an executive post in an advertising firm in Karachi. My daughter is studying computer sciences. I have four brothers and five sisters and all of them are married.
DT: How did you come into this field?
RAB: After my father’s death in 1962, I had to look after his business. My two elder brothers were involved in other business and sisters were young. I accepted this challenge. I was also interested in doing some business, so it was easy for me to run the business.
DT: How has your business grown over the years?
RAB: My commitment, honest dealing and competitive prices are the key to success and progression of my business. Secondly, I have been introducing latest electric fancy appliances from time to time. I import fancy electric fittings, lamps and shades from China and Taiwan. I also import unique crystal chandelier and crystal lamps, which are very popular. I offer quality products with affordable prices.
DT: What problems have you faced as an entrepreneur?
RAB: I have a technical problem as other business members of this trade also face the same in general. The custom duty on such imports is 25 percent, and I concurrently want to promote sale of local products of the same kind. But when clients know that price difference between the imported and locally made product is not much, more than 70 percent of them prefer to buy imported material.
DT: How many customers do you cater to per day?
RAB: I have a number of clients who are loyal. They are retailers as well as institutions. Customers on daily basis also visit my showroom. Some 25 to 30 percent of the daily turn out of customers becomes potential clients. I run this business with the help of salesmen and other staff. After meeting monthly expenditures and paying 15 percent sales tax, I earn a respectable living.
DT: Have demand patterns changed over the years.
RAB: Throughout my business carrier spanning over 40 years, only visible change I noticed is that customers no longer have confidence on the trader. All customers need latest variety with quality. But they always bargain over the price.
DT: What are your future plans?
RAB: I want to expand my imports and to introduce other quality of fancy electric fittings. I am planning to computerized my dealing system with clients in order to offer them benefit on second purchase and further onwards dealings. —Razi Syed
Name: Ramzan Ali Bhanjee
Age: 65
Type of business: Electric fancy fitting importer
Location: Swami Narayan Temple, M A Jinnah Road
Daily Times: What is your background?
Ramzan Ali Bhanjee: I was born in Karachi before independence. I got an MBBS degree from London Royal Guys Medical Institute and College in Britain. My father was a carriage contractor during the British Empire in Karachi. During that period bogies on tramway had been pulled with horses. This business was my family trade. My father also opened electric and gas appliances business. I have a son and a daughter. My married son has done MBA from London and he holds an executive post in an advertising firm in Karachi. My daughter is studying computer sciences. I have four brothers and five sisters and all of them are married.
DT: How did you come into this field?
RAB: After my father’s death in 1962, I had to look after his business. My two elder brothers were involved in other business and sisters were young. I accepted this challenge. I was also interested in doing some business, so it was easy for me to run the business.
DT: How has your business grown over the years?
RAB: My commitment, honest dealing and competitive prices are the key to success and progression of my business. Secondly, I have been introducing latest electric fancy appliances from time to time. I import fancy electric fittings, lamps and shades from China and Taiwan. I also import unique crystal chandelier and crystal lamps, which are very popular. I offer quality products with affordable prices.
DT: What problems have you faced as an entrepreneur?
RAB: I have a technical problem as other business members of this trade also face the same in general. The custom duty on such imports is 25 percent, and I concurrently want to promote sale of local products of the same kind. But when clients know that price difference between the imported and locally made product is not much, more than 70 percent of them prefer to buy imported material.
DT: How many customers do you cater to per day?
RAB: I have a number of clients who are loyal. They are retailers as well as institutions. Customers on daily basis also visit my showroom. Some 25 to 30 percent of the daily turn out of customers becomes potential clients. I run this business with the help of salesmen and other staff. After meeting monthly expenditures and paying 15 percent sales tax, I earn a respectable living.
DT: Have demand patterns changed over the years.
RAB: Throughout my business carrier spanning over 40 years, only visible change I noticed is that customers no longer have confidence on the trader. All customers need latest variety with quality. But they always bargain over the price.
DT: What are your future plans?
RAB: I want to expand my imports and to introduce other quality of fancy electric fittings. I am planning to computerized my dealing system with clients in order to offer them benefit on second purchase and further onwards dealings. —Razi Syed
Subscribe to:
Posts (Atom)