Mengapa impor TKA-TIK dipermudah?
Membaca berita ini di minggu ini, membuat saya heran dengan wacana pemerintah. Apakah memang begitu sangat darurat kebutuhan dan kondisi sumber daya manusia Indonesia, khususnya dengan latar belakang teknologi informasi (TIK) ? Mengapa solusi impor selalu menjadi solusi singkat yang dikedepankan di negeri ini ?
link berita: https://ekbis.sindonews.com/read/1278782/34/pemerintah-buka-lebar-keran-tenaga-ti-asing-di-indonesia-1517542561
Kita semua sepakat, dan sangat setuju Indonesia harus menjadi negara digital sesuai dengan target Presiden Jokowi di 2020, dan itu memang tinggal 2 tahun lagi. Dengan kondisi kurikulum , dan carut marutnya dunia pendidikan Indonesia, memang tidak bisa mengandalkan sekolah, universitas untuk mencetak mereka yang memiliki skill di bidang TIK. Apa yang selama ini dikeluarkan sekolah, dan kampus, selalu tidak sesuai dengan kebutuhan industri TIK, yang memang cenderung bergerak sangat cepat.
Tapi tetap saja, keputusan impor tenaga kerja asing, dengan tujuan mempercepat proses itu, tetap tidak bisa saya terima.
Pertama, bayangkan akan banyak orang asing (yang sudah pasti India, Filipina, China dan selain dari negera terdekat Singapura dan Malaysia) akan menyerbu masuk ke Indonesia. Mungkin mereka hanya akan dibatasi masuk ke bidang tertentu, misal e-commerce dan digital economy, tapi bayangkan efeknya. Kita akan melihat orang asing ini muncul di kantor-kantor kita, biaya ekonomi tinggi akan muncul untuk menggaji orang-orang ini. Kecemburuan sosial akan muncul di kalangan tertentu.
Kedua, apakah memang dengan kehadiran mereka, semua masalah akan selesai ? Apakah mereka akan bersedia melakukan transfer-knowledge ke orang Indonesia yang bekerjasama dengan mereka ? Dalam pengalaman saya selama ini, sangat jarang, orang-orang yang punya high-skill mau berbagi dan melakukan transfer knowledge. Menjadi programmer itu perlu kemauan dan kemampuan khusus yang terus menerus ditempa, dan proses transfer knowledge tidak melulu bisa terjadi, karena umumnya programmer akan dikhususnya untuk menangani hal dan aspek tertentu dalam pekerjaan.
Dalam pengalaman kita selama ini, saya rasa jarang ketemu dengan expat yang dengan senang hati berbagi skill, apalagi terhadap orang yang bukan sebangsanya. Dan ini hampir merata di semua suku bangsa, mereka memprioritaskan suku bangsa mereka sendiri untuk maju. Jadi jangan heran, dalam 5-10 tahun, bisa saja, orang dari negara asing menguasai TIK Indonesia, dan itu mulai dari engineer hingga manager bahkan direkturnya. Kita akan kembali tersingkir dan jadi penonton saja.
Ketiga, kita baru sadar, ternyata kita perlu didik anak-anak kita sesuai kebutuhan industri TIK. Dan ini sedang dikerjakan, menyesuaikan menjadi peta Okupasi. Dan jangan lupa, untuk mengembangkan skill ini, perlu waktu, dan biaya. Proses penyesuaian dengan kebutuhan industri tidak kunjung selesai, dan semua ini sedang dikebut oleh BNSP, dengan target Peta Okupasi. Semoga peta Okupasi ini bukan cuma jadi dokumen.
Keempat, libatkan industri. Pemerintah jangan bicara sendiri, industri jalan sendiri, semuanya harus pikirkan jalan bersama. Beberapa asosiasi sudah menyampaikan ini, dan bahkan beberapa asosiasi TIK di Indonesia bergabung, bernaung di bawah KPTIK (Komite Penyelarasan TIK) untuk menyampaikan hal ini kepada pemerintah. Kepentingan kita bersama memastikan kita memiliki sumber daya manusia Indonesia yang bisa mendukung kebutuhan industri.
Kalau target pemerintah adalah digital economy, maka fokuskanlah kurikulum, pendidikan, dan industri sebagai ekosistem untuk bisa membentuk dan mendukung ini semua.
Ayolah, kita harus dukung bersama, dengan kemampuan kita masing-masing. Jangan sampai industri TIK kita, yang sudah tidak bisa bersaing secara hardware , karena sebagian besar mengimpor hardware. Kemudian sekarang bergantung kepada software, tetapi dikatakan kekurangan sumber daya manusia, dan berpikiran impor TKA TIK akan menyelesaikan segalanya. Kita harus bergerak, mencegah semua ini terjadi, dan terus mengupayakan peningkatan skill di Indonesia dapat terus dilakukan.