ISU global warming (pemanasan global) menjadi salah satu isu yang banyak dibicarakan hingga ke tingkat internasional. Masalah ini menjadi tanda nyata kerusakan lingkungan.
Global warming dan segala dampak turunannya adalah akibat perilaku manusia yang tidak memedulikan kelestarian alam. Manusia telah bersikap terlalu konsumtif dan mengeksploitasi alam secara sporadis. Kepentingan ekonomi menjadi titik tolaknya. Optimalisasi ekonomi dengan dukungan teknologi modern saat ini pada gilirannya membentuk pola hidup manusia yang konsumtif.
Pola hidup yang seperti itu mengakibatkan kerusakan pada lingkungan. Johannes Berger dalam bukunya The Economy and The Environment menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh berbahaya bagi lingkungan. Manusia pun mulai sadar terhadap isu ini. Solusi pun mengemuka, selain berbagai penelitian yang berupaya mencari tahu akar masalah global warming.
Solusi yang dikampanyekan dan ditawarkan pun beragam, tergantung penyebabnya seperti mengonversi energi fosil menjadi energi biofuel dan program penanaman sejuta pohon. Penyumbang masalah global warmingpun mulai ditinggalkan. Di antaranya illegal logging, polusi udara, dan pola pertanian konvensional. Lalu bagaimana dengan sampah? Masalah yang satu ini sering terlewatkan. Padahal jika dirunut, sampah juga merupakan salah satu penyebab global warming.
Secara logis, tidak mungkin manusia tidak melakukan kegiatan konsumsi. Setiap kegiatan konsumsi pasti menghasilkan sampah. Namun, jika konsumsi berlebihan, akan dihasilkan sampah yang berlebihan pula yang bahkan siklus daur ulang oleh alam pun tidak dapat mengatasinya. Hal itu seperti yang tertulis dalam Alquran surat Asy-Syura ayat 27 bahwa ulah manusia yang berlebih-lebihan merupakan penyebab alam menjadi rusak. Di Kota Yogyakarta saja, menurut data rekapitulasi TPA Piyungan, pada bulan April lalu telah dihasilkan sebanyak 7.578 ton sampah.
Karena itu dapat diperkirakan Kota Yogyakarta per tahunnya menghasilkan 90.000 ton sampah. Sayangnya teknologi modern saat ini belum memberikan solusi komprehensif dalam pengelolaan sampah. Sampah sebanyak itu umumnya masih dikelola secara konvensional yang tidak mampu mengurangi jumlah sampah secara signifikan. Jika memang Indonesia belum mampu melakukan berbagai solusi yang canggih,misalnya pengelolaan sampah modern, kita bisa menunjukkan peran dengan mengubah sedikit demi sedikit pola hidup konsumtif.
Ini bisa dimulai dari hal-hal yang kecil seperti membatasi jumlah pakaian, sepatu, dan aksesori yang banyak, padahal pemakaiannya jarang. Ini merupakan tindakan preventif yang dapat mengurangi banyaknya sampah yang dapat mengakibatkan suhu bumi meningkat. Bukankah perubahan besar dimulai dari hal yang kecil. (*)
Ghaisani
Mahasiswi Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian UGM�
(//mbs)