Minggu ini, satu minggu setelah hari lebaran, saya termenung setelah mendengarkan khotbah Pak Ferdy. Bukan karena apa-apa, sedikit banyak, kesulitan hidup semakin menghimpit kita dan orang lain sekitar kita. Tinggal beberapa hari lagi, saya akan merayakan ulang tahun ke 31, umur yang tadinya saya pikir dulu - saya telah mencapai titik kemapanan, baik secara ekonomi ataupun karir. Ternyata Tuhan berkehendak lain. Dengan keadaan kami saat ini, kami benar-benar merasakan betapa sulitnya kehidupan yang kami rasakan saat ini. Kalau dulu, waktu saya kecil, ada istilah 'orang miskin makannya ikan asin'. Tapi dari tayangan televisi, kami menyaksikan saudara-saudara kita di timur Indonesia, mereka tidak dapat memakan ikan asin, padahal mereka adalah produsen ikan asin. Hal ini tidak lain karena para suami mereka tidak pergi melaut akibat biaya solar yang sangat tinggi. Mereka tidak sanggup menjalankan mesin kapal yang memakan cukup banyak solar. Jadi, kalau dulu, pada saat tidak ada uang, kita akan makan ikan asing, sekarang ini malah - jangankan untuk memakannya, membuatnya pun sekarang susah luar biasa.
Di televisi, penampilan anak yang perutnya besar karena menderita busung lapar sudah menjadi bagian sehari hari. Tidak terkejut karena memang kita semua tahu dan memperhatikan taraf kehidupan bangsa kita yang seolah naik padahal semakin menurun. Sebut saja barang sehari hari yang telah menjadi barang mahal, gula pasir, beras, sampai cabai. Bagaimana semua ini bisa terjadi ? Salah siapa ? Apakah mau menyalahkan pemerintah saja? Berapa kali kita ganti pemerintahan, toch tetap saja sama hasilnya, bukan ?
Jadi, dimana yang salah ? Yang salah, ada di kita sendiri, di dalam hati kita.
Mari kita lihat...
Pertama, lihat bagaimana kita menerima dan mengajarkan didikan kepada anak kita.. "Nak, cepat besar ya, belajar yang pintar, cari uang yang banyak, biar hidup kamu tidak susah..." Apakah sang anak akan menangkap apa yang kita maksudkan ? Si anak bisa saja berpikir, " wah, yang penting hidup senang punya banyak uang .. ". Jadi, yang penting adalah punya banyak uang, bukan belajar-nya, tak peduli bagaimana, pokoknya harus punya banyak uang.
Sekarang, si anak telah besar, dia akan berusaha sedapat mungkin, bagaimanapun caranya, untuk bertahan harus punya banyak uang. Apabila dia memiliki pengertian yang baik, maka dia akan menempuh jalan baik-baik. Sedangkan apabila tidak, maka bukan tidak mungkin, jalan kurang baik dalam hidupnya-lah yang akan ditempuhnya. Mulai dari mencuri, menipu, hingga penyakit yang akrab dengan telinga kita, korupsi.
Coba lihat sekitar kita, berapa banyak yang menggunakan cara "baik-baik" untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya ? Sedikit banyak, pasti ada unsur KKN - kolusi, korupsi dan nepotisme. Saya berkesempatan berkuliah di salah satu universitas terbaik dalam hal komputer, tetapi pada waktu pelajaran kalkulus lanjutan yang saya ambil selama 3 kali semester berturut-turut saya mendapatkan nilai grade D, maka saya menghadap sang KaJur pada waktu itu. Dan dia meminta sesuatu yang saya tidak miliki pada waktu itu. Jangankan untuk memberinya uang, untuk kuliah saja, saya harus banting tulang bekerja dalam shift. Dengan pendidikan tinggi yang dimilikinya, tetap saja, uang berbicara dan dapat menyelesaikan masalah.
Baiklah, untuk simplenya, mungkin kita akui saja ada yang salah dengan didikan yang kita terima, jadi sekarang mau bagaimana ? Ya, belum terlambat untuk mengubah semuanya. Kita masih ada anak yang kita bisa bimbing untuk mengenal Tuhannya sedari kecil. Betapa bersyukurnya saya memiliki orang tua yang mengenalkan saya dengan Tuhan Yesus, pada waktu saya masih kecil. Dan sampai dengan sekarang, tetap saja kerinduan untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang Dia semakin bertambah.
Kemudian, kita harus membiasakan hidup bersyukur. Ya, bersyukur untuk satu dua hal dengan mudah kita lakukan, tapi kalau bersyukur untuk kekurangan yang selama ini kita alami, waduh, saya jamin berat luar biasa, susah. Coba bayangkan, makan cuma pakai tahu saja hari ini, tetapi harus mengucap syukur. Uang cuma punya Rp.50.000 di kantong, tapi tetap harus bersyukur. Waduh, Tuhan, ada cara lain ga untuk bersyukur... Hidup bersyukur mendatangkan sukacita, hidup berserah mendatangkan sejahtera, hidup berkemenangan mendatangkan kelimpahan. Nah ini yang tidak kita sadari. Betapa sering, dan sangat sering sebenarnya, kita diberikan kesempatan untuk bersyukur. Betapa sering, dalam hidup kita, kita melihat, kita dipelihara oleh Tuhan. Saya jadi ingat, betapa susahnya bangsa Israel, yang biasa hidup mapan meskipun sedikit tertindas di Mesir, harus keluar menuju tanah perjanjian yang mereka tidak tahu itu dimana - entah berantah - harus keluar dan hidup di padang pasir, mereka makan manna - sesuatu makanan yang baru mereka kenal juga. Kalau tidak dengan berserah, dan bersyukur, mana mungkin mereka bisa mencapai Kanaan dan merasakan hidup berkemenangan dalam Tuhan. Maka jadilah kita bangsa Israel. Menjalani hari dalam kesederhanaan, hidup dalam penyerahan diri kepada Tuhan, setia mendengarkan perintah dan ajaran Tuhan, dan kembali, selalu, bersyukur.
Jadi, pada waktu keluarga kami mengalami kesulitan, kata yang menghibur, yang keluar dari mulut kami adalah 'nyengir aja'. Dengan logat betawi yang kental, dua kalimat ini lebih enak dilafalkan - 'nyengir aje'. Dua kata ini memiliki arti yang mendalam setelah saya mencoba mentelaahnya lebih dalam. Pertama, dua kata ini bisa kita ucapkan dengan nada sinis, coba saja ucapkan dengan cepat, pasti kedengaran seperti sedang menghina, sedikit mengejek. Sekarang coba kita lambatkan sedikit, tambahkan kelembutan logat jawa - nyengir aja. Berbeda bukan, ada rasa dan ungkapan menghibur terbesit di sana.
Maka, pada saat kami bingung menghadapi masalah. Kami saling berkata, 'nyengir aja', dan tak lama kemudian, senyum merekah di bibir kami masing-masing. Pada saat tidak ada uang, kata 'nyengir saja' menjadi makin sering kami ucapkan satu dengan yang lain, dan tak lama, mulai dari senyum sampai ketawa terbahak-bahak bisa keluar dari mulut kami. Resep kecil ini, kemudian menguatkan kami, bahwa apapun yang kami hadapi, Tuhan mengijinkan semua terjadi, dan Tuhan juga yang akan memberikan jalan keluar. Sama seperti bangsa Israel, apapun yang mereka hadapi selama di padang pasir, sewaktu memasuki tanah Kanaan, bahkan sampai kelakuan mereka yang tidak berkenan di hadapan Allah, toch tetap, Allah mengasihi mereka. Allah tetap memberikan pimpinan dan kasihNya. Berarti sama halnya dengan kami. Sukacita yang kami rasakan oleh karena penyertaan Tuhan tidak ternilai dalam hidup kami, dan sukacita itu dimulai dengan dua kata tadi 'nyengir aja'. Apapun kesulitan yang kita hadapi, kami menjadi yakin, apabila kami berserah, Tuhan akan memberikan yang terbaik, meskipun kadang, itu tidak sesuai dengan apa yang kami harapkan. Dalam kehidupan berserah kami, dua kata ini menjadi pengingat sederhana betapa berartinya kami di hadapan Tuhan Allah, sang penguasa hidup.