*Wamen Stella dan Arah Pendidikan& Riset Negeri Kita*
_TNA_
_Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie mengaku dirinya adalah seorang ekonom gagal. Ini diakuinya dalam Sarasehan 100 Ekonom Indef, yang dipandu Dr Aviani Malik, Rabu (3/12/2024)._
_*"Dulu cita-cita saya masuk Fakultas Ekonomi UI. Waktu saya kuliah pun di Harvard sampai tingkat 3 jurusan ekonomi, waktu tingkat 3 berubah pikiran, jadi tidak selesai dengan gelar ekonominya,"*_ kata Stella sebagaimana dikutip CNBC Indonesia.
Wamen Stella dengan cerdas memantik diskusi menarik pada forum sarasehan tersebut lewat caranya yang unik. Alih-alih memaparkan presentasinya secara monolog ala pejabat atau akademisi di kelas berpendekatan klasik, beliau justru menerapkan konsep _active learning_ dengan pendekatan ala *Problem Based Learning* yang diawali dengan melontarkan pertanyaan pemantik yang unik. _*"Saya punya 4 pertanyaan untuk para ekonom*_, demikian kira-kira _preambule_ nya.
Dalam tulisan ini saya hanya akan elaborasi 1 pertanyaan saja dari beliau. Itupun hanya sebatas pengantar agar dapat saya gunakan untuk membuat sebuah tulisan dengan opini bebas. Maklumlah saya bukan ekonom, ahli pendidikan, ataupun pejabat negara yang punya kewenangan untuk membuat kebijakan bukan ?
Pertanyaan pertama dari Bu Wamen terkait dengan kebijakan atau prosedur ekonomi apa yang dilakukan sehari-sehari di kementerian atau lembaga yang bisa membuat riset dianggap sebagai investasi dan bukan melulu soal pengeluaran.
_*"Jadi saya menanyakan kepada saudara-saudara apa yang bisa dibuat? kebijakan ekonomi apakah? prosedur ekonomi apakah yang bisa mngubah pemikirian ini? sehingga kita bisa mencapai the Romer model of economic growth?"*_ Tanya Bu Wamen dengan gaya *sersan*, serius tapi santai.
Pertanyaan itu tentu memantik munculnya berbagai reaksi dan diskusi menarik yang melibatkan banyak proses pengolahan data, mulai dari masalah kronik yang dihadapi para pendidik dan peserta didik, sampai ke persoalan yang lebih bersifat futuristik seperti implikasi perkembangan teknologi seperti kecerdasan artifisial yang banyak merubah konsep dan tatanan pendidikan secara sistemik.
Pertama-tama saya juga ingin menyampaikan _disclaimer_ terkait tulisan ini, karena sebagian besar konsep pemikiran saya tidak berfokus sepenuhnya pada ruang lingkup kewenangan Ibu Wamen Stella, melainkan juga menyasar pada persoalan-persoalan pendidikan yang lebih fundamental.
Tanpa menafikan arti pentingnya keterpaduan antara konsep pendidikan tinggi, riset, dan teknologi dengan industri dan berbagai aspek di ranah implementasi, saya melihat bahwa upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indoensia memang harus dimulai dari level yang paling mikro: *keluarga*. Baru kita berbicara tentang lingkungan dan pendidikan dasar.
Tapi tentu saja, jika kita ingin merangkum semua faktor tersebut dalam satu tulisan singkat yang akan diunggah di grup WA yang biasanya berisi percakapan singkat dan unggahan informatif terkait isu terkini, rasanya kurang tepat. Karena bisa jadi bahasan itu lebih cocok untuk menjadi sebuah _e-book_. Maka izinkan saya untuk membahas beberapa bagian dari sistem pendidikan saja, terutama yang relevan dengan pengantar dari Bu Wamen di atas.
Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Teori pertumbuhan ekonomi, baik dari perspektif endogen maupun eksogen, menempatkan pendidikan sebagai pilar utama pembangunan.
Namun, efektivitas pendidikan sebagai penggerak ekonomi tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur atau besarnya anggaran, tetapi juga oleh pendekatan pedagogi, kualitas kurikulum, dan keselarasan antara dunia pendidikan dan sektor industri.
Dalam konteks Indonesia, kita masih perlu belajar dari pengalaman berbagai negara dalam mengelola sumber daya manusianya. Berbagai pelajaran penting dapat diambil dari sistem pendidikan di negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, Inggris (UK), dan Finlandia, tentu dengan tidak melupakan keunggulan komparatif yang berangkat dari akar budaya dan kearifan lokal yang menjadikan kita Indonesia.
Jika kita belajar dari berbagai negara tersebut, kita dapat mengetahui bagaimana model pendidikan dasar mereka berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi? Dan bagaimana Indonesia dapat mengadopsi praktik terbaik untuk menciptakan pendidikan yang tidak hanya inklusif, tetapi juga mampu mendukung ekonomi berbasis pengetahuan?
_*Teori Pertumbuhan Endogen*_, seperti yang dirumuskan oleh Paul Romer dan Robert Lucas, menunjukkan bahwa inovasi, pengetahuan, dan modal berupa sumber daya manusia merupakan kunci utama dalam pertumbuhan ekonomi. Pendidikan memiliki peran sentral dalam meningkatkan modal manusia yang berkualitas. Model ini berbeda dengan Model Solow-Swan dan Harrod-Domar, yang lebih menitikberatkan pada akumulasi modal fisik dan kemajuan teknologi sebagai faktor eksternal.
Di Indonesia, alokasi anggaran pendidikan telah mencapai 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sesuai amanat UUD 1945. Namun, efektivitasnya masih perlu ditingkatkan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi sekolah dasar hampir universal (97,3%), tetapi masih ada kesenjangan signifikan pada pendidikan menengah (79,4%) dan tinggi (35,7%).
Sejalan dengan konsep pembelajaran bermakna mendalam atau _*deep learning*_ yang digagas oleh Mendikdasmen Abdul Mu'ti, tampaknya kita perlu pula mengelaborasi nilai dan pengalaman dari berbagai proses pendidikan di berbagai negara yang kerap menjadi rujukan global, karena dianggap cukup berhasil mengoptimasikan potensi sumber daya manusianya melalui model dan konsep pendidikan nasional.
Sistem pendidikan Jepang misalnya, dikonsep untuk menanamkan nilai-nilai kerja keras, disiplin, dan tanggung jawab. Pendidikan moral menjadi bagian terintegrasi dari kurikulum. Jepang juga menggunakan pendekatan *lesson study* untuk meningkatkan kualitas pengajaran secara berkelanjutan. Hasilnya, siswa Jepang selalu unggul dalam literasi matematika dan sains berdasarkan data PISA.
Sementara Korea Selatan mengintegrasikan teknologi dalam sistem pendidikannya untuk mendukung pembelajaran berbasis STEM (*Science, Technology, Engineering, Mathematics*). Meski dikenal dengan tekanan akademik yang tinggi, Korea Selatan berhasil menghasilkan tenaga kerja yang kompetitif di pasar global. Tingkat literasi digitalnya merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
Tak kalah menariknya adalah sistem pendidikan Inggris yang berfokus pada inklusivitas, memastikan anak-anak dari berbagai latar belakang mendapatkan akses pendidikan yang setara. Dengan kurikulum yang fleksibel dan berbasis proyek, Inggris mendorong siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif.
Lalu sebagaimana yang banyak dibicarakan dalam berbagai forum pendidikan dasar adalah konsep atau model yang dikembangkan di Finlandia. Finlandia menawarkan sistem pendidikan tanpa tekanan ujian standar hingga usia 16 tahun. Pendekatan berbasis proyek dan relevansi kehidupan nyata membuat pendidikan di Finlandia menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Tingkat kepuasan siswa sangat tinggi, dan Finlandia terus unggul dalam survei PISA.
Terlepas dari konsep pendidikan dasar tersebut, jika kembali pada teori Pertumbuhan ala Romer dan teori-teori terkait lainnya, memang tak dapat dipungkiri bahwa modal sumber daya manusia terdidik itu punya peran strategis di suatu negara. Tak hanya di ranah ekonomi, tapi juga terbentuknya _civil society_ yang cerdas, dan sistem tata kelola negara yang bernas dan berkeadilan diawali dari tingkat keterdidikan warga bangsa tentunya.
Berdasarkan teori-teori tersebut, pengembangan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi menjadi penting dalam meningkatkan kualitas modal manusia. Angka dan data statistik yang telah disampaikan di atas menunjukkan perlunya peningkatan akses dan kualitas pendidikan pada semua jenjang, dengan disertai inovasi pada konsep, konten, dan model _delivery_ nya.
Di sisi lain, riset dan pengembangan (R&D) menjadi komponen penting dalam mendorong inovasi. Namun, belanja R&D Indonesia hanya 0,28% dari PDB pada 2022, jauh di bawah rata-rata global sebesar 2,2%. Ini menunjukkan perlunya kebijakan yang mendorong investasi lebih besar di bidang riset, termasuk melalui kolaborasi dengan sektor industri.
Diperlukan integrasi antara pendidikan, riset, dan industri yang diharapkan dapat diwujudkan melalui pengembangan kluster industri berbasis pengetahuan, seperti industri teknologi informasi, bioteknologi, dan energi terbarukan. Sebagai contoh, negara-negara seperti Korea Selatan telah berhasil memanfaatkan integrasi ini untuk mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi.
Tapi di sisi lain, jika kita hanya mengadopsi berbagai model yang kita anggap baik dari berbagai negara yang dianggap maju dalam hal pendidikan, kita dapat tercerabut dari akar budaya dan keunggulan komparatif kita sebagai bangsa. Padahal kita sama-sama ketahui bahwa ada masanya bangsa Nusantara ini pun pernah berjaya dalam bidang penguasaan ilmu, teknologi, sampai dikenal amat mumpuni dalam hal seni dan budaya.
Mengintegrasikan elemen lokal dan unik Indonesia ke dalam kurikulum pendidikan nasional merupakan langkah strategis untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki identitas budaya, pemahaman ekologi, dan daya saing global. Pendekatan ini dapat dilakukan melalui pengenalan kearifan lokal, keunggulan komparatif berbasis indikasi geografis dan biologi, serta _tacit knowledge_ ke dalam pembelajaran yang kontekstual dan aplikatif.
Kearifan lokal mencakup tradisi, nilai-nilai, dan praktik budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Di Indonesia, ini meliputi sistem pertanian seperti *Subak* di Bali, pengetahuan bahari suku Bajo, hingga filosofi hidup seperti _gotong royong._
Bahkan pelajaran geografi dan bahasan _toponimi_ dapat disimak dari _*Kisah Bujangga Manik*_. Cerita tentang seorang pangeran dari Kerajaan Sunda yang memilih untuk hidup sebagai rahib dan pertapa. Dimana dalam cerita ini dikisahkan perjalanan suci Bujangga Manik yang mengelilingi Tanah Jawa dan pulau-pulau di sekitarnya.
Bujangga Manik, yang sebenarnya bernama Jaya Pakuan, adalah pangeran dari Istana Pakuan yang tidak betah dan merasa terkukung oleh tembok istana. Bujangga Manik lalu melakukan dua kali perjalanan, yaitu dari Pakancilan ke Pamalang dan dari Pakancilan ke Bali.
Dalam perjalanan kedua, Bujangga Manik mencari tempat suci untuk masa akhir hidupnya.
Bujangga Manik menyebutkan banyak nama tempat yang dikunjunginya, termasuk Medang Kamulan, Gunung Karungrungan, Sungai Bengawan Solo, Gunung Penanggungan, pegunungan Tengger, Blambangan, dan Penanjungan. Bujangga Manik juga sempat bertemu dengan Syech Siti Jenar di Jalawastu, sebuah daerah di kawasan Brebes Selatan.
Naskah Bujangga Manik memiliki beberapa keunikan, di antaranya mencatat banyak nama tempat, dengan sedikitnya 450 nama tempat yang disebutkan dengan indikasi geografisnya (toponimi).
Naskah ini juga menampilkan puisi prosais atau prosa puitis yang merupakan ungkapan estetis dari penghayatan dan pengalaman religius Bujangga Manik.
Naskah Bujangga Manik yang telah disimpan di perpustakaan *Bodleian di Oxford* (Inggris) sejak 1627 atau 1629, dapat menjadi sumber pembelajaran dalam model belajar berbasis proyek, atau _experiental learning_. Ada semangat eksplorasi dan pengamatan berbasis metodologi ilmiah, yang dapat dielaborasi melalui pendekatan berbagai disiplin ilmu terkait secara terintegrasi.
Sementara dengan semangat yang sama, kurikulum sains dapat memanfaatkan keanekaragaman hayati lokal sebagai bahan pembelajaran. Contoh mempelajari proses fotosintesis menggunakan tanaman lokal seperti _mangrove_ atau anggrek.
Pelajaran ekonomi atau kewirausahaan dapat melibatkan siswa dalam simulasi bisnis berbasis sumber daya lokal, seperti mengolah produk dari rempah-rempah khas Indonesia. Sekolahpun dapat bermitra dengan petani, pengrajin, atau kelompok pelestari lingkungan untuk memberikan pengalaman langsung kepada siswa.
Dimana dalam program interaktif tersebut semua disiplin ilmu yang dipelajari dapat diterapkan secara tepat guna, hingga diharapkan peserta didik memiliki kemampuan untuk memetakan persoalan secara cepat dan tepat, untuk kemudian mengembangkan solusi metodologis berdasar pendekatan yang paling rasional dan logis.
Mungkin konsep ini dapat memperkuat proses pembelajaran STEM bagi peserta didik lintas generasi, karena ada motivasi khusus terkait relevansi proses belajar dengan persoalan riil di lingkungan sosial, juga modelnya yang dapat membantu pemahaman tentang kegunaan berbagai disiplin ilmu secara terintegrasi untuk mencari solusi yang tepat untuk suatu masalah yang kompleks.
Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, maka AI pun dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu pendidikan yang diharapkan dapat membantu efektifitas proses pembelajaran. AI dapat digunakan untuk menciptakan program pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu siswa, seperti untuk mengembangkan _*Adaptive Learning Platforms*_/ALP. ALP seperti *DreamBox* atau *Khan Academy* dapat menjadi lebih _powerful_ dengan memanfaatkan AI untuk menyesuaikan tingkat kesulitan materi berdasarkan kemajuan siswa, juga meningkatkan _attractiveness_ dan interaktivitas model pembelajaran mandiri.
Demikian juga pada konsep MOOC, *Massive Open Online Courses*. _Platform_ seperti *Coursera* atau *EdX* dapat dikembangkan dengan memanfaatkan _generative AI_, seperti _large language model_, sebagaimana yang digambarkan dalam narasi berikut;
_LLMs use deep learning algorithms, often based on transformer architectures, to analyze and predict the next word in a sequence, allowing them to generate text that is grammatically correct and semantically meaningful._
Diharapkan dengan memanfaatkan potensi AI/LLM itu, proses untuk mempelajari topik baru dapat terus dikembangkan secara berkesinambungan berdasar dataset yang diakuisisi dari berbagai sumber.
AI pun dapat digunakan untuk mengembangkan aplikasi interaktif yang mengajarkan budaya dan tradisi lokal melalui permainan edukatif.
Terlepas dari semua perkembangan dan pendekatan yang telah kita bahas di atas, termasuk upaya untuk menggali nilai-nilai yang bersumber dari kearifan lokal, tak dapat dipungkiri bahwa konektivitas dan internet serta berbagai _platform_ pelayanan publik digital, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan dapat menjadi modal yang penting dalam mengakselerasi kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Konektivitas merupakan modal sosial dan intelektual yang luar biasa dalam mengejar ketertinggalan di berbagai sektor yang memerlukan kemampuan dasar berbasis pengetahuan. Suka atau tidak sudak, kontra dan pro, serta munculnya paradoks yang terkadang ironis adalah bagian dari keniscayaan terkait upaya berinvestasi dalam modal sumber daya manusia ini. Kehadiran *Starlink* misalnya, menimbulkan banyak polemik terkait masa depan industri teleko nasional, tapi dengan sigap dan _*cergas*_ (cerdas dan gegas), disambar oleh Menkes BGS sebagai mitra dalam pelaksanaan program-progra kesehatan masyarakatnya yang inovatif.
Pada 19 Mei 2024, Elon Musk meresmikan penggunaan *Starlink* di Puskesmas Pembantu Sumerta Kelod, Denpasar, Bali. Acara ini dihadiri oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, yang menandatangani nota kesepahaman dengan Elon Musk untuk digitalisasi fasilitas kesehatan di pedesaan. Uji coba layanan ini juga dilakukan di Puskesmas Pembantu Bungbungan, Klungkung, dan Puskesmas Tabarfane di Kepulauan Aru, Maluku, yang sebelumnya tidak memiliki akses internet.
Kehadiran Starlink diharapkan dapat mempercepat digitalisasi layanan kesehatan di Indonesia. _Associate Professor Monash University_ yang berasal dari Indonesia, Dr. Grace Wangge, menyatakan bahwa akses internet yang disediakan oleh _Starlink_ akan mempermudah pengumpulan data kesehatan secara sewaktu/_real-time_, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Hal ini sangat penting untuk pemantauan penyakit dan pemberian layanan kesehatan, terutama di daerah terpencil.
Elon Musk sendiri menekankan bahwa selain sektor kesehatan, Starlink juga dapat mentransformasi bidang pendidikan. Dengan akses internet berkecepatan tinggi, masyarakat di daerah pedesaan dapat mengakses materi pendidikan secara online, memungkinkan mereka untuk belajar apa saja dan menjual produk atau jasa secara global. Hal ini diharapkan dapat membawa dampak signifikan pada perekonomian dan kualitas pendidikan di daerah-daerah tersebut.
Sementara itu Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa layanan internet berbasis satelit seperti _Starlink_ dapat membantu meningkatkan layanan pendidikan dan kesehatan di daerah pelosok Indonesia. Ia menekankan bahwa dengan adanya _Starlink_, komunikasi di daerah terpencil akan menjadi lebih baik, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas layanan publik di sektor-sektor tersebut.
Secara keseluruhan, implementasi Starlink di Indonesia menunjukkan potensi besar dalam meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan serta pendidikan, khususnya di daerah-daerah yang selama ini sulit dijangkau oleh infrastruktur internet konvensional. Dengan dukungan pemerintah dan kolaborasi dengan berbagai pihak, diharapkan inisiatif ini dapat membawa perubahan positif bagi masyarakat Indonesia.
Tapi jangan salah, Indonesia sendiri, melalui kemitraan BRIN dan berbagai perguruan tinggi dalam negeri, telah mampu mengembangkan teknologi satelit nano yang dapat menjadi sistem komunikasi dan koneksi internet berbasis metoda konstelasi satelit orbit rendah. Di luar satelit nano dan LEO, Indonesia pun telah memiliki _grand design_ pemanfaatan ruang angkasanya sebagai media untuk mempersatukan bangsa dan menegakkan kedaulatan (sovereignty) tanah, air, udara melalui jejaring koneksi berteknologi tinggi.
Beberapa satelit yang menjadi bagian dari tulang punggung (backbone) angkasa luar Indonesia telah diluncurkan secara bertahap dan telah memasuki _orbit geostationer_ untuk memulai layanannya. Satelit nasional itu antara lain adalah *SATRIA-1* yang diluncurkan pada Juni 2023. SATRIA-1 adalah satelit geostasioner dengan kapasitas 150 Gbps yang dirancang untuk menyediakan akses internet ke 50.000 titik fasilitas publik, termasuk sekolah, puskesmas, dan kantor desa di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Dengan teknologi _*Very High Throughput Satellite*_ (VHTS), SATRIA-1 menjadikan Indonesia sebagai negara keempat yang memiliki teknologi ini, setelah Luksemburg, Kanada, dan Amerika Serikat.
Sebelum itu ada satelit *Nusantara Satu* yang diluncurkan pada Februari 2019. Satelit ini menyediakan layanan komunikasi suara, data, dan _internet broadband_ di seluruh Indonesia dan Asia Tenggara. Dengan total bandwidth 15 Gbps, Nusantara Satu mendukung konektivitas di daerah-daerah terpencil.
Tak hanya layanan konektivitas di angkasa, Indonesia juga telah mengembangkan program nasional *Palapa Ring*. _Palapa ring_ adalah proyek infrastruktur jaringan tulang punggung/ _backbone_ serat optik nasional yang dibangun oleh *Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi* (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Digital (*KOMDIGI*). Proyek ini terdiri dari tiga paket; barat, tengah, dan timur, yang mencakup total panjang kabel serat optik sekitar *12.148 kilometer.*
Dengan tersedianya infrastruktur *Palapa Ring,* akses internet cepat dan stabil dapat dinikmati oleh masyarakat di berbagai daerah, termasuk wilayah terpencil. Hal ini memungkinkan institusi pendidikan untuk mengakses sumber daya digital, _platform e-learning,_ dan materi pembelajaran daring/_online_, sehingga meningkatkan kualitas pendidikan dan mengurangi kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Jika daya dukung, alokasi anggaran, program penyiapan infrastruktur pendidikan dan riset, program peningkatan kapasitas dan kompetensi tenaga pengajar dan pengelola sistem pendidikan Indonesia telah dilakukan sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar sebagaimana yang termaktub dan dapat disimak di ;
- Pasal 31 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
- Pasal 31 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
- Pasal 28C yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya.
Lalu negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan negara dan daerah. Maka amanat-amanat yang menunjukkan bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, harus diikuti dengan penjabaran konsep pendidikan mulai dasar sampai tinggi dan sistem acuan riset yang sudah sewajarnya membersamai aktivitas belajar di perguruan tinggi.
Sementara dalam konteks keselarasan program riset dengan kebutuhan nasional, termasuk industri, data saing, dan kesejahteraan bangsa, hampir semuanya telah termaktub dalam *Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2018* yang mengatur tentang *Rencana Induk Riset Nasional (RIRN)* untuk periode 2017-2045.
Peraturan ini bertujuan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi guna mendukung pembangunan nasional melalui riset yang terintegrasi secara nasional. Dimana visi dan misi RIRN adalah ; *mewujudkan Indonesia yang berdaya saing dan berdaulat berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.* Serta misinya adalah *menciptakan masyarakat Indonesia yang inovatif berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi,* untuk membangun keunggulan kompetitif bangsa di tingkat global.
Tujuannya adalah sebagai berikut ;
- Meningkatkan literasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
- Meningkatkan kapasitas, kompetensi, dan sinergi riset nasional.
- Memajukan perekonomian nasional berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan sasarannya adalah;
- Peningkatan kapasitas riset nasional, termasuk kuantitas dan kualitas sumber daya iptek.
- Peningkatan relevansi dan produktivitas riset serta peran pemangku kepentingan.
- Peningkatan kontribusi riset terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Sementara sasarannya dalam konteks indikator masukanadalah sebagai berikut;
- Meningkatkan rasio jumlah sumber daya manusia iptek menjadi 8.600 per satu juta penduduk pada tahun 2045.
- Meningkatkan rasio mahasiswa program magister dan doktor terhadap sarjana menjadi 100% pada tahun 2045.
- Meningkatkan alokasi anggaran riset nasional sektor swasta sehingga rasio alokasi anggaran pemerintah terhadap swasta menjadi 1:3 pada tahun 2045.
Sedangkan indikator Keluarannya yang diharapkan dapat bersifat objektif adalah sebagai berikut;
- Mencapai produktivitas sumber daya manusia iptek dengan 22 publikasi ilmiah internasional bereputasi per 100 peneliti pada tahun 2045.
Dengan dampak sistemik tercapainya produktivitas multifaktor sebesar 70% pada tahun 2045.
Sedangkan terkait kelembagaan riset dan inovasi nasional, berdasarkan *Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021*, dibentuklah *Badan Riset dan lnovasi Nasional (BRIN)*, yang merupakan lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dalam menyelenggarakan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi.
Berbagai target, visi misi, tujuan, serta sasaran tersebut memerlukan rencana strategis yang bersifat lebih fundamental dan aplikatif. Apa yang harus dipersiapkan semenjak fase pendidikan dasar? Kapasitas dan kompetensi seperti apa yang dibutuhkan agar hasil pendidikan dan riset yang berkelindan dengan aktivitas di institusi pendidikan dan lembaga riset nasional dapat bersifat aktual dan menjadu bagian dari solusi nasional.
Maka perlu ada keselarasan antara kementerian pendidikan dasar dan menengah, kementerian pendidikan tinggi sains dan teknologi, kementerian kebudayaan, BRIN, kementerian PU, kementerian KOMDIGI, dan kementerian kesehatan, dalam merumuskan program pengembangan sistem pendidikan nasional yang bersifat holistik. Mulai dari penyiapan sumber daya manusianya secara biopsikologis, sarana dan prasarana pendidikan, infrastruktur teknologi penunjang pendidikan, penelusuran nilai-nilai luhur budaya Indonesia, pengembangan kurikulum dan metode pembelajaran, peningkatan kapasitas dan kompetensi insan pendidikan, sampai program bersama terkait program unggulan nasional yang maujud dalam karakter industri, dan berbagai hal yang menjadi sendi kebangkitan peradaban bangsa.
Untuk itu tentu perlu dirumuskan terlebih dahulu program dan strategi nasional dalam 5 tahun ke depan oleh Prof Pratikno, sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, bersama Pak AHY atau Bapak Dr Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, serta tentu saja dengan melibatkan Bapak Abdul Muhaimin Iskandar, selaku Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat.
Rumusan di tingkat Menko, yang tentu saja merupakan penjabaran dari arahan kebijakan Presiden RI, dapat menjadi acuan bagi para menteri terkait untuk menyusun program strategis yang bersifat sistematik terstruktur dengan langkah dan indikator capaian yang terukur. Jika konsep ini dapat dilakukan dengan baik, maka sistem dan program pendidikan dan riset kita akan terarah dan diharapkan dapat tepat sasaran. Juga terlepas dari stigma sekedar bongkar pasang kurikulum sejalan dengan pergantian kabinet dan menteri. ππΎπ²π¨π©΅
_*Daftar Pustaka*_
Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). Tingkat Partisipasi Sekolah di Indonesia 2023. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Lucas, R. E. (1988). On the Mechanics of Economic Development. Journal of Monetary Economics, 22(1), 3–42.
OECD. (2022). PISA 2022 Results: Education Performance in Global Contexts. Paris: OECD Publishing.
Romer, P. M. (1990). Endogenous Technological Change. Journal of Political Economy, 98(5), S71–S102.
UNESCO. (2022). Global Education Monitoring Report. Paris: UNESCO Publishing.
World Bank. (2022). World Development Indicators: Research and Development Expenditure. Washington, D.C.: The World Bank.
Zhang, H., & Wang, T. (2021). The Role of Artificial Intelligence in Education: A Systematic Review. Computers & Education, 160(104024).