Menjadi Suami yang Romantis
Julianto Simanjuntak
Banyak istri mengeluhkan suami mereka yang tidak romantis. Saya termasuk yang dikeluhkan istri saya Wita.
Saya adalah suami yang tidak romantis. Saya dibesarkan seorang ayah alkoholik, yang sering konflik dengan ibu. Saya tidak melihat contoh rumah tangga yang harmonis dan romantis dari pernikahan mereka. Itu sebabnya saya pun kesulitan membangun hubungan dengan istri, saya sama sekali tidak romantis
Enam tahun pertama pernikahan kami sarat konflik. Penuh kerikil tajam yang membuat kami sering menangis. Sampai akhirnya suatu hari saya mengikuti training atau pendidikan di bidang konseling keluarga.
Beberapa hal penting yang mengubah saya menjadi harmonis dan romantis dengan pasangan adalah :
1. Reparenting.
Mengolah ulang pengalaman saya dengan Ayah yang salah saat saya masih kecil. Caranya, saya disuruh bergaul dengan para pria yang adalah suami yang baik dan romantis. Memang, kalau kita dibesarkan ayah tidak romantis maka teladan inilah yang mempengaruhi sikap kita saat dewasa. Berkat bersahabat dengan beberapa pria yang adalah suami dan ayah yang baik, paradigma saya tentang suami berubah. Saya sadar kekuranganku dan berusaha mengubah diri. Untung beberapa dosen dan sahabat saya punya figur suami yang oke.
2. Training.
Lewat membaca buku buku tentang kepriaan, mengenai suami dan ayah yang baik membantu saya memiliki wawasan baru. Disamping itu menghadiri seminar dan pembinaan yang memperkaya motivasi menjadi suami yang baik. Perjumpaan dengan nara sumber ahli mempercepat proses kita berubah. Sbab banyak perilaku suami dan ayah yang salah karena ketidaktahuan. Atau kita tergoda hanya memakai contoh (dari ortu) yang salah.
3. Mengikuti sesi konseling.
Saya beberapa kali menemui konselor (psikolog). Syukur saya mendapatkan psikolog yang baik dan berwawasan luas lulusan dari Harvard. Saya bertemu seminggu sekali. Dia membantu saya mengenali diri sendiri. Memahami hambatan emosi saya sendiri dan membereskannya. Melatih saya berkomunikasi asertif. Saya dibantu memulihkan trauma dan self esteem saya yang rendah. Diajarkan Mengasihi diri sendiri, serta akrab dengan diri sendiri sebelum intim dengan pasangan. Diajar menghargai diri sebelum menghargai pasangan.
4. Meningkatkan kecerdasan emosi.
Buku Daniel Goleman berjudul Kecerdasan Emosional, membantu saya mengenali diri, berempati dan mengelola emosi dengan baik. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosi berelasi dengan kepuasan pernikahan. Sejak saya membangun kecerdasan emosi, saya merasa lebih mudah bilang “Thank You” pada istri dan juga mulai bisa minta maaf saat bersalah. Pengalaman ini membuat konflik kami makin hari makin sedikit. Hal penting lainnya adalah, saya makin menyadari bahwa sayalah penyebab utama konflik kami selama ini. Sebelumnya saya suka menyalahkan (mengkambinghitamkan) istri kalau ada masalah. Sebelumnya saya menuntut agar istri berubah. Sekarang saya menuntut diri berubah lebih dulu.
5. Mengenali bahasa cinta pasangan.
Buku Gary Chapman berjudul “Lima bahasa cinta Pasangan”, menyadarkan saya bahwa setiap orang punya bahasa cintanya masing masing. Ada yang suka dipuji ada yang suka sentuhan fisik. Ada pula yang suka ngobrol dan waktu bersama. Ada yang suka dilayani. Ada yang suka diberikan hadiah atau pemberian. Dari pengamatan saya, Wita suka waktu dan kebersamaan. Suka ngobrol dan didengarkan. Dia juga menyatakan kebutuhan tersebut. Sejak itu saya berusaha memberikan waktu dan menjadi pendengar yang baik. Menyediakan waktu khusus sebelum tidur. Merancang waktu libur bersama dua kali setahun, dan rutin makan bersama di rumah atau di luar rumah. Hal penting lainnya, saya lebih mudah mengatakan perasaan cinta dengan kata atau puisi.
6. Menjadi Teladan bagi anak.
Terakhir, hal yang mengubah sikap saya menjadi suami yang hangat dan romantis adalah, menyadari bahwa saya merasa perlu memberi teladan bagi kedua putra kami. Sekarang mereka berusia 18 dan 14. Saya mengalami kesulitan menjadi suami yang hangat karena tidak mendapat teladan baik dari ayah saya. Nah Saya diingatkan bahwa saya tidak bisa mengubah ayah yang kaku, kasar dan tdk romantis, tapi saya bisa mempengaruhi anak anak kami. Saya harus memutuskan rantai contoh buruk itu. Maka sayapun berusaha menjadi contoh agar mereka lebih mudah punya punya sikap yang hangat dan romantis dengan pasangan. Kami kadang berpelukan atau rangkulan di depan anak anak. Membiasakan diri bergandengan tangan, dsb.
Demikian sharing bagaimana pernikahan kami diperkaya setelah melewati enam (6) proses penting seperti yang saya tulis di atas.
Keenam hal tsb adalah:
(1) Reparenting;
(2) Training (pembelajaran lewat seminar, sekolah dan buku);
(3) Konseling ( konsultasi dengan profesional helper)
(4) Membangun kecerdasan emosi;
(5) Mengenali bahasa cinta pasangan
(6) Menjadi teladan bagi anak anak.
Semoga bermanfaat
Julianto simanjuntak
Copyright@Pelikan
Penulis buku : “Mencinta Hingga Terluka” (Gramedia Pustaka Utama)