Translate

Thursday, July 31, 2014

Kapur masih memberikan inspirasi bagi pelukis2 ini..

Every Week, 2 Anonymous Students Sneak Into A Classroom And Blow Everyone’s Mind

http://themindunleashed.org/wp-content/uploads/2014/05/proceeddd.png
According to CCAD every week two anonymous intruders have been sneaking into classrooms on campus, leaving some cool chalkboard messages with the signature, #dangerdust.  It captured the attention of the students and are now shared far and wide through social media.
One of the students were lucky enough to get an interview with #dangerdust.

“IT’S DEFINITELY A PASSION,” THEY AGREED.

01 - LS1WzAr02 - f8Q0vDA

“I THINK WE’RE TIRED OF THE COMPUTER, AND [CHALKING] GIVES US MOTIVATION.”

03 - jhBCKhi04 - YVyJ1mX

“I REMEMBER THE FIRST COUPLE [CHALKBOARDS] WE DID, I DIDN’T THINK ANYTHING WAS GOING TO HAPPEN, [BUT] PEOPLE WERE LIKE, ‘YEAH, I’VE SEEN THAT ON INSTAGRAM!’”

05 - 0GLq5vD06 - 5WsoCwe

THE TWO COMPLETE EACH MASTERPIECE IN ONE FELL SWOOP (WHICH CAN TAKE UP TO 11 HOURS), USUALLY WORKING ON SUNDAY OR MONDAY NIGHTS IN A VACANT CLASSROOM. THEY CHOOSE A QUOTE FROM A LIST COMPILED FROM GOOGLE SEARCHES AND SUGGESTIONS FROM FRIENDS, DRAW UP A ROUGH SKETCH, AND THEN GET TO WORK USING REGULAR CHALK (USUALLY FROM THE DOLLAR STORE, THEY JOKED).

07 - nRMWEhX08 - fqRMQLB

“EVERY TIME WE DO IT WE TRY TO MAKE IT LOOK DIFFERENT FROM THE LAST ONE,” THEY SAID. “WE TRY TO ADOPT THE STYLE OF [WHOMEVER WE’RE QUOTING].”

09 - ioPFDMv11 - 2DBhwns13 - r1V37UH15 - AwvdzTC19 - N2eJmPp21 - Wq86d5yi writee25 - pA0T7Mc27 - zJxKHhO
Sources:
Credits: trueactivist.com

Tuesday, July 29, 2014

Mengenal Siapa Itu Generasi Y?

Mengenal Siapa Itu Generasi Y?


GenY2


Siapa itu Generasi Y

Generasi Y, yang biasanya juga disebut sebagai generasi millenium, merupakan generasi yang muncul setelah Generasi X. Ungkapan Generasi Y itu mulai dipakai pada editorial koran besar di Amerika Serikat bulan Agustus tahun 1993.

Pada saat itu editor koran tersebut sedang membahas para remaja yang pada saat itu baru berumur 12–13 tahun, namun memiliki perilaku yang berbeda dengan Generasi X. Kemudian perusahaan-perusahaan pada saat itu mulai mengelompokan anak-anak yang lahir setelah tahun 1980-an sebagai anak-anak Generasi Y.

Hingga saat ini, apabila kita membaca berbagai literatur yang mendiskusikan tentang Generasi Y, tidak pernah ada suatu kesepakatan kapan generasi ini dimulai. Sebahagian literatur menetapkan bahwa mereka adalah generasi yang lahir di awal tahun 1980-an, namun banyak juga literatur yang menetapkan bahwa generasi ini lahir di awal, di tengah bahkan di akhir 1990-an.

Di berbagai belahan bumi pun, belum ada kesepakatan tentang Generasi Y ini. Di Australia, para ahli belum menyepakati kapan persisnya Generasi Y ini muncul dan kapan pula tepatnya generasi ini berakhir atau “cutoff”. Pemerintah Australia sendiri melalui Australian Bureau of Statistics, menetapkan 1982–2000 sebagai masa Generasi Y.

Lain lagi dengan Canada, hampir semua ahli sepakat kalau Generasi Y lahir tahun 1982, dan periode akhir dari Generasi Y ini pertengahan tahun 1990-an atau 2000. Walau pun demikian di antara semua perbedaan, hampir semua literatur sepakat bahwa sebahagaian besar Generasi Y, lahir diantara tahun 1980-an hingga 1990-an.

Semua literatur juga sepakat bahwa sebahagian besar orang tua Generasi Y adalah generasi baby boomers, yang mempunyai kecenderungan untuk memiliki keluarga kecil, sehingga biasanya mereka hanya mempunyai kakak atau adik, tidak lebih dari 3 orang. Walaupun mereka tidak suka, Generasi Y dianggap sebagai suksesor dari Generasi X.

Mengapa Mereka Berbeda?

Apabila kita memperhatikan perilaku atau karakteristik Generasi Y di setiap daerah Indonesia, maka kita akan melihat karakteristik yang berbeda-beda, tergantung di mana ia dibesarkan, strata ekonomi dan sosial keluarganya. Namun secara keseluruhan, kita dapat melihat bahwa Generasi Y itu sangat terbuka pola komunikasinya dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.

Mereka juga pemakai media sosial yang fanatik dan kehidupannya sangat terpengaruh dengan perkembangan teknologi. Kita juga bisa melihat di setiap provinsi, bahwa mereka lebih terbuka dengan pandangan politik dan ekonominya sehingga mereka terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya.

Dari pengalaman pribadi sebagai senior consultant di PPM Manajemen, saya melihat bahwa Generasi Y itu terlihat lebih concern terhadap ‘wealth’ daripada generasi-generasi sebelumnya terutama generasi saya, Generasi Baby Boomers.

Banyak di antara mereka yang sudah membuat rencana apa saja yang mereka inginkan pada saat mereka baru berumur 20-an. Namun definisi mereka tentang ‘wealth’ bukan mengacu kepada kekayaan material saja. Buat mereka hubungan keluarga dan pertemanan juga dianggap sebagai bagian dari ‘wealth’ yang diinginkan.

Saya sering bertemu dengan Generasi Y, yang pindah perusahaan karena perusahaan menuntut mereka bekerja lebih dari 12 jam, sehingga mereka merasa tidak diberi kesempatan untuk membangun kehidupan keluarga atau sosial lainnya, seperti apa yang mereka inginkan. Bahkan, beberapa di antara mereka memutuskan pindah ke perusahaan dengan imbal jasa yang lebih kecil, karena mereka ingin mempunyai waktu yang lebih banyak buat keluarga.

Namun untuk memliliki pandangan secara akurat tentang Generasi Y ini, ada baiknya kita melihat pendapat para ahli yang kompeten. Secara internasional ada berbagai pendapat yang paling populer mengenal Generasi Y.

Pendapat pertama, mengenai generasi Y yang perlu diperhatikan adalah pendapat penulis William Strauss dan Neil Howe yang mencoba mendefinisikan generasi-generasi yang ada di Amerika dalam buku mereka Generations: The History of America’s Future, 1584 to 2069 (1991).

Teori mereka tentang generasi ini banyak diambil oleh berbagai penulis jurnal dan buku yang membahas masalah-masalah antar generasi. Howe and Strauss selalu memakai terminologi Generasi Millenium bagi Generasi Y, karena mereka yakin bahwa anggota Generasi Y sangat tidak suka apabila mereka diasosiasikan dengan Generasi X.

William Strauss dan Neil Howe juga menganggap Generasi Y merupakan generasi yang istimewa. Dalam buku mereka yang berjudul The Fourth Turning, yang ditulis pada tahun 1997, mereka banyak menuliskan keyakinan mereka ini. Keduanya, berpendapat bahwa sejarah modern itu akan selalu berulang sendiri setiap 4 siklus sosial, yang setiap siklus kurang lebih memakan waktu 80 sampai 100 tahun.

Dalam buku tersebut penulis juga meyakini bahwa 4 siklus sosial itu selalu terjadi dengan urutan yang sama. Siklus pertama (High), terjadi pada saat manusia melakukan ekspansi untuk menggantikan generasi yang sebelumnya.

Siklus kedua, dinamakan sebagai siklus kebangkitan (Awakening). Orang-orang pada masa ini lebih spiritual dari siklus sebelumnya, tapi mereka yang hidup di masa ini mempunyai kecenderungan untuk memberontak kepada segala sesuatu yang yang sudah dibuat mapan oleh generasi pertama.

Pada siklus ketiga yang diberi nama sebagai siklus Unraveling, elemen individu dan pengelompokan mempengaruhi masyarakat sehingga timbul berbagai permasalahan yang kemudian memicu kebangkitan generasi keempat.

Pada era masyarakat mengalami berbagai kesulitan sehingga timbul kebutuhan untuk meredefinisi lagi struktur, tujuan dan sasaran yang sudah ditetapkan dalam masyarakat.

Setiap generasi memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain sehingga mereka diberi penamaan yang berbeda. seperti: Prophet, Nomad, Hero, and Artist. Menurut mereka Generasi Y merupakan generasi yang dikategorikan sebagai Hero, dengan karakteristik sangat percaya kepada institusi dan kewenangan, terlihat agak konvensional akan tetapi sangat berpengaruh. Kebanyakan Generasi Y ini dibesarkan pada siklus Unraveling dengan proteksi yang lebih dari generasi sebelumnya, Generasi X.

Ciri-ciri Generasi Y pada setiap tahap kehidupannya akan sangat berbeda. Pada saat muda, Generasi Y ini sangat tergantung pada kerja sama kelompok. Pada saat mereka mulai dewasa mereka akan berubah menjadi orang-orang yang akan lebih bersemangat apabila bekerja secara berkelompok terutama di saat-saat krisis.

Pada saat paruh baya, mereka akan semakin energetik, berani mengambil keputusan dan kebanyakan mereka mampu menjadi pemimpin yang kuat. Pada saat mereka tua, mereka akan menjadi sebagai sekelompok orang tua yang mampu memberikan kotribusi dan kritikan kepada masyarakat.

Pada tahun 2000, berdasarkan suatu penelitian demografis yang sangat luas William Strauss dan Neil Howe menulis buku yang didekasikan kepada Generasi Y dengan diberi judul Millennials Rising: The Next Great Generation.

Di dalam buku ini mereka memakai 1982 dan 2001 sebagai masa di mana Generasi Y mulai dan berakhir. Mereka sangat percaya bahwa semua orang yang lulus SMA sampai tahun 2000 nanti akan sangat berbeda dengan mereka yang lulus SMA sebelum dan sesudah masa itu, karena orang-orang pada masa itu menerima banyak perhatian dari media dan perkembangan politik yang mereka terima. Bahkan William Strauss dan Neil Howe berpendapat bahwa generasi ini akan menjadi generasi yang peduli akan masalah-masalah kemasyarakatan.

Jean Twenge, pengarang buku Generation Me (2007), mempunyai pendapat yang berbeda tentang Generasi Y. Menurutnya, Generasi Y dan bersama-sama Generasi X termasuk generasi yang diberi nama Generation Me.

Ia berpendapat seperti ini, karena dari riset perilaku yang dilakukannya ia melihat bahwa generasi ini meningkat kecenderungan narcissismnya apabila dibandingkan dengan riset yang dilakukan terhadap generasi Baby Boomers, pada saat mereka remaja hingga mereka berumur duapuluhan.

Dengan dasar penelitian ini, ia mempertanyakan pendapat Strauss & Howe tentang generasi ini. University of Michigan’s secara terus menerus sejak tahun 1975 melakukan penelitian terhadap para remaja. Hasil penelitian mereka memperlihatkan:

• Pelajar yang menyatakan kekayaan itu penting semakin meningkat setiap generasi dari 45% pada Generasi Baby Boomers (disurvey pada tahun 1966 dan 1978), menjadi 70% pada Generasi X dan 75% pada Generasi Y atau Millennials.

• Sebaliknya, pelajar yang menyatakan bahwa selalu tahu tentang keadaan politik semakin menurun setiap generasi dari 50% pada Generasi Baby Boomers (disurvey pada tahun 1966 dan 1978), menjadi 39% pada Generasi X dan 35% pada Generasi Y atau Millennials.

• 73% Baby Boomers ingin mengembangkan filosofi yang bermakna, sementara hanya 45% Generasi Y yang mau melakukan hal tersebut.

• 33% Baby Boomers mau terlibat dengan program membersihkan lingkungan dan hanya 33% Generasi Y yang mau melakukan hal tersebut.

Praktek Pengelolaan SDM Bagi Generasi Y

Apabila kita perhatikan data demografi karyawan di perusahaan, kita dapat melihat kalau Generasi Baby Boomers adalah generasi terbesar yang anggotanya sedang aktif bekerja. Penelitian dan observasi memperlihatkan bahwa Generasi Baby Boomers mengidentifikasi atau menggambarkan kekuatan mereka adalah pemikiran-pemikiran tentang organisasi, rasa optimisme dan kemauan untuk bekerja dengan waktu yang panjang (work long hours).

Generasi ini dibesarkan di dalam suatu organisasi dengan struktur organisasi yang hierarkhis daripada struktur manajemen yang datar di mana kerja sama yang timbul di dalam organisasi didasarkan pada tuntutan pekerjaan (teamwork-based job roles).

Sementara Generasi Y, yang mempunyai karateristik yang berbeda dengan Generasi Baby Boomers, juga mempunyai harapan yang sangat berbeda kepada perusahaan yang memperkerjakan mereka. Secara merata Generasi Y mempunyai pendidikan yang lebih baik dari para orang tua, mereka cukup terbiasa dengan teknologi bahkan sebahagian mereka sangat ahli dengan teknologi. Mereka ini mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, mampu mengerjakan beberapa tugas dan selalu mempunyai energi yang berlebihan.

Namun di sisi lain Generasi Y ini sangat membutuhkan interaksi sosial, hasil pekerjaan yang dapat dilihat seketika dan keinginan untuk mendapatkan pengembangan yang cepat. Kebutuhan-kebutuhan ini yang sering dianggap sebagai kelemahan dari Generasi Y oleh kolega mereka yang lebih tua terutama mereka yang berasal dari Generasi Baby Boomers.

Berdasarkan pengalaman PPM Manajemen di dalam merekrut Generasi Y, terlihat bahwa Generasi Y itu lebih banyak harapannya kepada perusahaan, sehingga mereka akan pindah pekerjaan lebih banyak daripada generasi-generasi sebelumnya. Untuk menghadapi tantangan ini beberapa perusahaan multinasional sudah melakukan riset sosial dan perilaku yang lebih mendalam untuk Generasi Y.

Institute of Leadership & Management, misalnya, berkolaborasi dengan Ashridge Business School melakukan riset tentang kesenjangan antara Generasi Y yang direkrut dengan para manajernya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Generasi Y sangat menginginkan perusahaan mempunyai sistem yang dapat mengembangkan diri mereka, imbal jasa yang baik dan proses coaching yang jelas. Apabila perusahaan ingin menggunakan Generasy Y sebagai sumber kompetitif mereka maka perusahaan harus menyempurnakan sistem sistem dan proses Human Capital-nya.

Usaha-usaha yang perlu dilakukan oleh perusahaan di dalam proses akuisisi dan mengembangkan Generasi Y, di antaranya adalah:

1. Meredefinisi karakteristik atau ciri ciri karyawan yang diinginkan karena Generasi Y memiliki karakteristik dan ciri yang berbeda. Misalnya, beberapa perusahaan mempunyai kebijakan untuk tidak menerima karyawan yang memiliki tatto, karena tatto dianggap suatu ciri pemberontakan pada suatu institusi.

Sementara populasi Generasi Y yang memiliki tatto ini cukup besar bahkan beberapa diantara mereka memiliki tatto yang lebih dari 1. Bagi Generasi Y sendiri, tatto hanya merupakan suatu bentuk komunikasi tentang indentitas diri mereka, sehingga banyak di antara mereka walaupun memiliki tatto akan tetapi berkomitmen pada profesi yang dipilih. Atau pandangan bahwa tinggal bersama orang tua merupakan pertanda ketidakdewasaan.

Sementara bagi Generasy Y, tinggal bersama orang tua merupakan bentuk relasi sosial yang ingin dipertahankan karena mereka ingin memberi kasih sayang lebih banyak kepada oarang tuanya. Sehingga banyak di antara mereka yang tinggal bersama orang tuanya, namun secara ekonomi mereka yang menanggung kehidupan orang tuanya.

2. Memberikan informasi yang jelas tentang organisasi sejak awal proses rekrutmen sehingga Generasi Y mendapatkan kejelasan kualifikasi apa yang dituntut organisasi dari mereka. Serta hal-hal yang dapat diberikan perusahaan kepada mereka terutama sistem pengembangan karir dan kompetensi, diri mereka, imbal jasa yang baik dan proses coaching yang jelas serta iklim kerja di organisasi.

3. Mempersiapkan lingkungan unit kerja yang akan menerima penempatan Generasi Y untuk pertama kali. Sehingga para atasan Generasi Y di tempat baru memahami perbedaan karakter Generasi Y. Untuk memastikan Generasi Y yang baru masuk dapat beradaptasi dengang baik, Goldman Sachs membuat workshop bagi para atasan Generasi Y, dengan tujuan mereka bisa memahami dan memenuhi kebutuhan Generasi Y akan tanggung jawab yang jelas, umpan balik terhadap kinerja mereka dan memberi kesempatan untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan.

4. Generasi Y juga akan membawa perubahan dalam cara penyelesaian pekerjaan karena mereka adalah orang-orang yang sangat suka bekerja dalam kelompok dan memakai teknologi lebih banyak dari generasi sebelumnya.

Apabila di generasi-generasi sebelumnya pembagian pekerjaan itu sifatnya individu, maka pada generasi ini sebaiknya pembagian pekerjaan diberikan per kelompok sehingga mereka mempunyai kebebasan untuk menetapkan tugas masing-masing anggotanya berdasarkan kekuatan mereka.

Perusahaan juga harus bisa memberikan kebebasan kepada mereka untuk menggunakan teknologi dalam bekerja. Apabila mereka menganggap tatap muka bukan merupakan suatu hal yang penting, maka berikan mereka kesempatan untuk berkomunikasi melalui teknologi.

5. Generasi Y selalu ingin mengetahui pandangan manajemen atau umpan-balik dari atasan terhadap pekerjaan yang mereka lakukan. Sayangnya, manajemen kinerja yang berlaku di perusahaan saat ini, biasanya hanya memberi kesempatan 2 kali dalam 1 tahun untuk melakukannya.

Kesempatan ini jelas terlalu sedikit dan terlalu lama untuk Generasi Y. Mereka selalu ingin tahu apabila pekerjaan mereka berhasil dengan baik dan mereka menginginkan adanya umpan-balik saat itu juga. Dari suatu penelitian yang dilakukan terhadap pembaca Majalah Manajemen, diketahui bahwa para karyawan Generasi Y mengharapkan para atasan mereka mampu memberikan tuntutan kerja yang jelas, menumbuhkan budaya kerja yang berorientasi pada kerja sama kelompok, memberikan umpan balik secepat mungkin, memberikan kesempatan penghargaan apabila mereka mampu melakukan suatu tindakan yang beresiko tinggi atau berhasil melakukan suatu inovasi.

Apa yang Harus Dilakukan Perusahaan untuk Mempertahankan Generasi Y

Membuat suatu strategi untuk mempertahankan karyawan yang berkinerja tinggi dan bertalenta merupakan suatu sasaran penting bagi manajemen puncak di dalam suatu organisasi. Beberapa organisasi telah berhasil membuat suatu strategi untuk mempertahankan karyawan terbaik mereka yang berasal dari Generasi Baby Boomers. Namun untuk mempertahankan karyawan yang datang dari Generasi Y, organisasi tersebut memerlukan suatu pendekatan dan strategi yang sangat berbeda.

Dari paparan di atas, kita dapat melihat perbedaan karakteristik di antara Generasi Baby Boomers dan Generasi Y. Namun isu yang perlu didiskusikan berikutnya adalah seberapa jauh perbedaan antara Generasi Baby Boomers dan Generasi Y. Keterikatan seorang karyawan kepada organisasi sangat dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kehidupan yang mempengaruhi kepuasan bekerja karyawan tersebut yang bisa membawa pikiran dan fisik mereka ke tempat kerja.

Guna mengetahui dimensi apa yang mendorong para karyawannya untuk terikat kepada organisasi, suatu organisasi dituntut untuk mencari tahu dimensi-dimensi yang membuat seorang karyawan terikat atau ingin melepaskan diri dari organisasinya (engagement drivers and threats). Untuk menyamakan pemahaman kita semua mengenai engagement drivers and threats, sebaiknya diperjelas dulu pengertiannya.

Engagement drivers adalah dimensi-dimensi yang meningkatkan persepsi seseorang untuk terikat terhadap organisasinya, sementara engagement threats adalah dimensi-dimensi yang menurunkan rasa keterikatan seseorang terhadap organisasinya.

Beberapa engagement drivers and threats yang sering dijadikan dimensi pengukuran dalam penelitian tentang engangement, seperti kesempatan mengembangkan karir, corporate social responsibility, kesejahteraan dan kesehatan karyawan, reputasi organisasi, kesempatan untuk belajar dan dikembangkan, manajemen kinerja, gaya kepemimpinan manajemen madya dan work-life balance.

Dari beberapa riset yang dilakukan oleh berbagai pihak, saya berpendapat bahwa Manajemen Kinerja (managing performance) dan Kesempatan untuk mengembangkan karir (career opportunities) merupakan engagement drivers yang paling penting sementara engagement threats yang sangat besar pengaruhnya adalah nama baik perusahaan (Employer Reputation) dan manajemen kinerja (managing performance).

Engagement di dalam suatu perusahaan biasanya diukur berdasarkan opini seluruh karyawannya dari seluruh unit yang ada di dalam organisasi tanpa memperhitungkan perbedaan generasi. Hal seperti itu, bukanlah praktek yang baik karena organisasi menjadi tidak sensitif terhadap engagement drivers and threats bagi setiap generasi dan bahkan kelompok kerja.

Sebaiknya suatu organisasi juga tidak mengukur engagement berdasarkan dimensi-dimensi yang berhasil membuat organisasi lain mengikat karyawannya. Manajer human capital dan para specialist di dalam suatu organisasi mempunyai kewajiban untuk mencari dimensi engagement di dalam organisasi, sebab dimensi engagement suatu organisasi tidak akan sama dengan organisasi yang menjadi pesaingnya maupun organisasi yang menjadi pemimpin di dalam industri tersebut.

Misalnya, apa yang menjadi engangement drivers dan threats bagi taksi Blue Bird sebagai perusahaan yang memimpin industri taxi tidak akan sama dengan drivers dan threats bagi perusahaan-perusahaan taksi yang menjadi pesaingnya.

Apabila suatu organisasi sudah berhasil mengidentifikasi engagement drivers dan threats yang menjadi ciri khas bagi organisasinya, maka manajemen madya di organisasi tersebut harus segera memutuskan bagaimana menyempurnakan sistem dan proses human capital yang sudah ada.

Misalnya, suatu perusahaan berhasil mengidentifikasi bahwa salah satu engagement drivers-nya adalah perlakukan atasan terhadap bawahannya, maka perusahaan tidak mungkin membuat peraturan yang dapat memuaskan setiap orang dari berbagai generasi.

Hal yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah meredisain tugas setiap atasan dan kemudian memberdayakan mereka agar mampu lebih mengenali sumber motivasi bawahannya dan meningkatkan engagement drivers mereka.

Apa yang Perlu Diperhatikan tentang Generasi Y

Di akhir diskusi ini, saya ingin menyampaikan bahwa perbedaan karakteristik di antara Generasi Y dengan generasi-generasi sebelumnya cukup besar. Generasi Y menuntut beberapa hal dari organisasi yang akan mereka masuki atau organisasi tempat mereka bekerja.

Generasi Y sangat menginginkan perusahaan mempunyai sistem yang dapat mengembangkan diri mereka, imbal jasa yang baik dan proses coaching yang jelas. Namun untuk kesuksesan dalam mengelola Generasi Y, sebaiknya perusahaan mengenali karakteristik Generasi Y yang mereka miliki sehingga manajemen bisa membuat kebijakan human capital yang lebih sesuai dengan mereka.

Walaupun beberapa organisasi telah berhasil membuat suatu strategi untuk mempertahankan karyawan mereka yang berkinerja tingga dan bertalenta. Namun untuk mempertahankan karyawan yang datang dari generasi Y, organisasi tersebut memerlukan suatu pendekatan dan strategi yang sangat berbeda. Organisasi perlu mengetahui engagement driver mana yang lebih mengena bagi organisasi Y sehingga mudah bagi organisasi untuk melakukan penyempurnaan terhadap sistem dan prosedur human capital-nya.

#Tulisan ini dimuat di HC Magazine #1 November – Desember 2012.

Octa Melia JalalOcta Melia Jalal. Head of PPM Center for Human Capital Development.
mia@ppm-manajemen.ac.id

Sunday, July 27, 2014

Kepemimpinan yang baik adalah penting untuk segala bisnis

Great Leadership Matters in Any Business BY LOLLY DASKAL  @LOLLYDASKAL
No one factor makes a company admirable. But if you were forced to pick the one that makes the most difference, you'd pick leadership. Not any leadership--but one that matters.
2.2k SHARES

If you are an entrepreneur starting a new venture, if you are an investor looking to invest in a new startup, if you are a boss managing a company, if you are a CEO leading a business, everything you do matters.

Great leaders share a combination of traits and behaviors. The good news for the rest of us is that they're things we can emulate and practice every day:

Lead With Vision. When you have an incredible vision and you are able to convey it to others, your leadership will matter because it comes from the strength of purpose.

Lead With Communication. When you remember that communication is a two-way street and you express your vision and ideas to others and take time to listen to their concerns and ideas, your leadership matters because it is fueled by true communication.

Lead With Value. When you work from the perspective of bringing value to your colleagues, customers, and clients, your leadership matters because it reflects that you care.

Lead With Recognition. When you appreciate and recognize those who work for you and recognize their hard work, your leadership matters because you treat people the way you know they should be treated.

Lead With Connecting. When you surround yourself with good people and invest time in building genuine relationships, your leadership matters because it extends beyond your personal strengths.

Lead With Character. When your leadership is rooted in character, your leadership matters because it reflects your integrity.

Lead With Empowerment. When you instill confidence in others, your leadership matters because you empower them to take ownership of their work.

Lead With Questions. When you lead with questions, your leadership matters because you're willing to admit you don't have all the answers.

Lead With Efficiency: When every goal is actionable and important and the reason for every decision is understood, your leadership will matter because it is based in your belief in creating a future.

Your leadership does not matter until it is built on the things that matter. Great leadership is synonymous with high-performing companies, teams, and businesses.

The more you invest in leadership, the better decisions you will make, the more you will get done in less time and with less cost, and the more you will achieve with better results.

When you can make what you do matter, you are being the kind of leader that matters.

Saturday, July 26, 2014

Apa yang orang tidak beritahu soal entrepreneur ..



What Nobody Tells You About Being an Entrepreneur

Working for yourself is the American dream, but too often it leads to disappointment. Discover why--and learn how to make entrepreneurship work for you.
5.8k SHARES
 
At this very moment, a significant number of people are dreaming about leaving their jobsand going into business for themselves.
These fantasies are fed by all the times we've been told to believe in ourselves, to embrace the American dream of going our own way and doing it for ourselves.
There's no doubt that leaving behind a routine job and becoming your own boss is exciting, and many of those who set off on that path find personal and professional fulfillment there.
But in any endeavor, reality is better preparation than fantasy. And when it comes to entrepreneurship, the reality is complicated.
Here are some of the things you don't hear about it--but should:
There's a dark side. The sad truth is up to 90 percent of new businesses--including entrepreneurial startups--fail within a few years. It's inspiring to hear about an Amazon or a Zappos, but the risk of not making it is real.
Passion alone won't cut it. We've heard it a thousand times: Passion will prevail. And that's true, but only up to a point. In the long haul, success has a lot more to do with less exciting character traits: patience and endurance.
It takes years of hard work to build a business. Many believe that entrepreneurship means shorter hours and more free time. In reality, entrepreneurship means building your business carefully and faithfully day by day over a period of years. If there's a true secret to success, it's hard work, period. Or, more accurately, very hard work. Being in business for yourself is definitely rewarding, but you have to be ready to work harder than you've ever worked for anyone else.
Isolation is a fact of entrepreneurial life. The thought of flying solo is exciting--but it can also be stressful and even lonely. When you work for an established business, you have a trusted network of colleagues to tap into for feedback, a safety net of shared responsibility, and the chance to connect with familiar people during the workday. Isolation is a significant factor in the lives of most entrepreneurs.
To lead others, you must manage yourself. In the popular imagination, entrepreneurship is just about having an idea. But successful businesses--even those with just a single employee--have great leadership. And the best leaders know, above all, how to manage themselves.
You probably won't get rich. Another misconception is that entrepreneurship is a good path for becoming filthy rich. The rewards are many--but if what you're ultimately looking for is wealth, creating a business is probably not the best way to go about it.
A crisis of confidence is probably in your future. Entrepreneurs are generally confident people who hold deep convictions. But for most of them, at some point, the responsibility and high stakes combine to create a devastating loss of certainty in themselves and their work. When you feel hopeless--and you will--you have to be able to work hard to overcome any self-doubt, any feeling of doom, or any situation that feels overwhelming.
Don't fake it, ever. I leave this to the last because I feel it's the most important. "Fake it till you make it" is a popular mantra, but I believe in the integrity of being what you are in the moment. The secret of success is to be yourself--flaws and all.
Entrepreneurship isn't for everyone, and that's OK.
But those with the heart of an entrepreneur will always go through life making more opportunities than they find. They will overcome more challenges than they ever thought they'd be capable of and--above all--they never confuse a defeat with a final defeat.

Friday, July 25, 2014

ManageEngine mengeluarkan Wifi Monitor plus.

ManageEngine the real-time IT management company, today launched WiFi Monitor Plus. Available immediately, the free diagnostic app lets IT admins in SMBs and large enterprises monitor, analyze and survey WiFi signals in any area, directly from their Android mobile devices. WiFi Monitor Plus is available for download at http://ow.ly/zsHg9.

WiFi Monitor Plus offers both Analyzer and Surveyor modes, making it the first WiFi monitor to offer both modes in one app.

Analyzer mode lets users view available networks, graphs of the scanned networks' signal strength, and channels with interference. The information helps users take appropriate actions to optimize WiFi connectivity.Surveyor mode allows users to survey a site for the best signal strength. The heat map feature indicates the strength of the scanned WiFi networks. Users can upload their floor plans and survey different locations on the site for signal strength.

The application's simple, user-friendly GUI helps users quickly access relevant data including best signals, overlaps in a channel, and site locations with the best signal strength. The app also has a Channel Graph widget that users can add to their devices' home screens to instantly access the information without having to invoke the app. With this free app, IT admins gain valuable insights such as the need to switch off specific channels due to interference or deploy access points to help improve WiFi connectivity.

WiFi Monitor Plus has smart filters to show signals with the best strength by default and also by frequency. It intelligently filters out the weak signals, making the interface clutter free. Users, however, have the option to view all the signals on a single graph.

“IT admins responsible for ensuring good network connectivity will immensely benefit from this app,” said Vidya Vasu, head of the ManageEngine community and Free Tools. “The channel interference graph that shows both co-channel and inter-channel interference is a unique functionality that adds value by equipping the IT admins with actionable information. They can quickly decide on a course of action such as turning off a channel to increase the WiFi signal strength.”

Users who have tried the beta version of WiFi Monitor Plus have been particularly impressed with the app's level of functionality and detail.

“Good app! I used [WiFi Monitor Plus] to quickly map out our WiFi setup and enjoyed using the function to see which APs were interfering with others,” said Charlie Smith, technical director at Charles Dhekelia Ltd. “I have previously used WiFi Analyzer for jobs such as this, but the ManageEngine solution does provide a lot more functionality and granular detail, which is definitely useful to have.”

Chris David, solutions implementation specialist at Enterprise Bank & Trust, said, “One of my favorite features is that I can set the analyzer to show all networks or just the best networks. This is actually really handy if you are in a noisy area. Kind of hard to make heads or tails of the data when there are several networks that are just barely in range clogging up the graphs. I also like all the details you can get in the WiFi scan. We're IT — we love details!”

(hp) 62-8121057533
(tw) fankych

Thursday, July 17, 2014

FusionCharts XT Personal License now FREE!


Hello Everyone,

 

In a strategic move, we’ve decided to offer the Personal License type of FusionCharts Suite XT for FREE ! Anyone who is building projects for themselves, which doesn't have any commercial intent, or if they are a non-profit organization, then they can use the non-watermarked, and fully featured version of FusionCharts Suite XT for free!

 

Check these links out - http://www.fusioncharts.com/download/free/ & http://www.fusioncharts.com/download/

 

We do believe that this move will certainly increase the brand positioning and acceptability of FusionCharts Suite XT to the general public.   

 

Happy FusionCharting! Let’s spread the love!  

     

(hp) 62-8121057533
(tw) fankych

Saturday, July 12, 2014

Menyambut booming e-commerce Asia Tenggara

Message for Southeast Asia’s brick-and-mortar retailers: E-commerce companies could soon be eating your lunch.
That’s according to a recent study by UBS UBSN.VX +0.06%, which showed the region’s consumers are already flocking to e-commerce sites at the expense of traditional retailers’ platforms.
Internet penetration in the populous region is higher than many assume, and will soon skyrocket thanks to the increasing use of low-cost smartphones and the availability of mobile Web connections, according UBS’s head of research and strategy in Thailand, Raymond Maguire, who authored the report.
That threatens traditional retailers, since Southeast Asia’s consumers are already visiting online retailers 41 times for every single visit to traditional platforms, despite obstacles such as poor retail logistics systems and limited credit card usage. Online retailers, which have already gained market share on brick and mortar stores, will flourish as more and more users get Web access, Maguire writes in the report, which was released last month to UBS’s clients.
“The power balance has already tipped to the online platforms,” Maguire said. “The traditional retailers really have to get their act together.”
While he noted the region still lacks significant price disrupting online retailers that offer goods at deep discounts, he identified LazadaRocket Internet‘s Southeast Asia Amazon clone, as being popular in many markets. Maguire also pointed out that companies making in-roads in the region include Chinese ecommerce giant Alibabaand Japan’s biggest online retailer, Rakuten.
While online shopping in Southeast Asia only accounts for 0.2% of all retail sales now, if it rises to 5%, the market could be worth some $21.8 billion. By comparison, in China, e-commerce accounts for 8% of retail sales.
In what he says is a first, Maguire analyzed traffic from the 10,000 most popular retailing sites in individual markets using big data algorithms. He found that visits to e-commerce sites were far higher than to traditional retailers, which accounted for just 2.4% of visits.
Maguire likens Southeast Asia now to China between 2006 and 2008, when Internet penetration more than doubled as multitudes of consumers snapped up PCs equipped with broadband connections, leading to the rise of successful e-commerce firms.
Indeed, some 199 million people in Southeast Asia are now online, Maguire reckons. That is significantly higher than an estimate by market-research company comScore last year, which put the number at 62 million.
Maguire projects the number of people online in Southeast Asia will rise 48% to 294 million in just three years. Meanwhile, Internet penetration across Southeast Asia now stands at 32%, and will rise to 48% by 2017, he estimates.

Wednesday, July 09, 2014

Integrasi AppManager + OpManager mudahkan deteksi problem aplikasi Anda


Business applications typically use a complex infrastructure to meet business needs. These complex applications use application servers, databases, servers, web services, URLs, web servers, load balancers, and other network devices. How can an IT Administrator Troubleshoot a production issue quickly? With the introduction of the network monitoring connector from ManageEngine, IT managers will now be able to monitor the availability and performance of both network devices and application tier under a single web console.
While Applications Manager provides availability and performance monitoring for applications and databases, OpManager provides the same for network devices. This information is then provided in a single snapshot for the IT manager under a single web console.
ManageEngine Applications Manager: It provides one of the best innovative, low-cost solutions for monitoring the availability and performance of application servers, databases and systems. More...
ManageEngine OpManager:  It is an efficient network monitoring software that offers comprehensive fault and performance management across WAN, servers and other IT infrastructure. More...
The integrated networks, servers and applications monitoring is achieved through the " ManageEngine OpManager Network Monitoring Connector" in ManageEngine Applications Manager.
image

Tuesday, July 08, 2014

Pindah ke Linux, menghemat miliaran bagi kota Munich



Switching to Linux Saved Munich City Tens of Millions

It may have taken the best part of a decade, but the City of Munich says its decision to switch to open-source software has saved an estimated ten million Euros.
Not that this saving happened over night. The city first began to seek an open-source antidote to its Microsoft dependence in 2003. With some 1.5 million citizens, thousands of employees, and tens of thousands of government workstations to consider, its initial shopping list was suitably strict, spanning everything from avoiding vendor lock-in and receiving regular hardware support updates to having access to a wide array of free applications.
Its first stage of migration in 2006 saw Debian rolled out across a small percentage of workstations, with the remaining Windows computers switching to OpenOffice.org, Firefox and Thunderbird.
Debian was swapped for a custom Ubuntu-based distribution named ‘LiMux‘ in 2008 after the team handling the project ‘realised Ubuntu was the platform that could satisfy our requirements best.’
LiMux is currently based on Kubuntu 10.04 LTS
LiMux is currently based on Kubuntu 10.04 LTS
LiMux version 4 is the current release and is based on Kubuntu 10.04 LTS so uses the KDE 3.5 desktop by default. The upcoming release of LiMux 5 will be based on Kubuntu 12.04 LTS and will use KDE 4.
The entire migration process was announced as ‘complete’ in 2013.

€10,000,000 Saved and Counting

So how much did the City of Munich save by ditching Windows for FOSS-friendly software? Based on reports given to the media the project has saved at least €10 million over the duration of the migration.
This number reportedly includes both the cost of hiring of external companies to assist, manage and implement workarounds, plus the internal cost of investing in training, management and support.
Despite there still being a cost (no, it’s not as simple as popping a LiveCD into the tray of each PC and hoping for the best) the saving is still evident:
  • Switching to open-source: €23 million
  • Upgrading to/licensing Windows 7 & Microsoft Office: €34 million (estimated)
These figures also don’t take into account the long term savings to be had from not being tied to a specific manufacturer or support team. The flexibility, dependability and stability of open-source software means further savings are almost guaranteed.
Peter Hofmann, project manager for the City of Munich, told Canonical of the switch:
“By combining the low costs and freedom of open source software with ongoing support for the hardware and applications we need, it was one of the critical elements to the success of this project. Most important was the backing of our politicians throughout the project.”
The City of Munich has been at the forefront of pushing adoption of open-source solutions. Last year it began distributing free Ubuntu 12.04 LTS CDs to residents in lieu of the (then) impending Windows XP end of life.