Translate

Saturday, January 19, 2019

Bisa Rugi Besar, RI Harus Hati-hati Nego Pusat Data & GSP


Bisa Rugi Besar, RI Harus Hati-hati Nego Pusat Data & GSPFoto: Suasana konferensi pers terkait negosiasi fasilitas pembebasan bea masuk Generalized System of Preferences (GSP) dari Amerika Serikat (AS) di Gedung Ombudsman, Jakarta, Jumat (18/1/2019). (CNBC Indonesia/Samuel Pablo_

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah diminta berhati-hati menegosiasikan fasilitas pembebasan bea masuk Generalized System of Preferences (GSP) dari Amerika Serikat (AS), terutama terkait isu lokalisasi pusat data.

Pelaku usaha pusat data (data center) dan industri turunannya, mulai dari cloud computing hingga hosting mengatakan hal tersebut usai menemui Ombudsman RI (ORI) terkait revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem & Transaksi Elektronik (PP PSTE).

CTO Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) Muhammad Salahuddin menjelaskan, sebenarnya pertanyaan pihak AS terkait PP PSTE tidak secara spesifik mempermasalahkan lokalisasi pusat data, melainkan kepastian regulasi pemerintah bagi investor teknologi asal AS.

"Pada kenyataannya, perusahaan-perusahaan besar, calon investor asal AS sudah menunjukkan minatnya dan sudah memutuskan untuk berinvestasi di Tanah Air. Artinya, dari sisi regulasi itu [lokalisasi data] tidak menjadi persoalan bagi mereka. Yang mereka persoalkan barangkali adalah kepastian regulasi bagi investasi mereka di Indonesia," ujarnya.

Foto: Infografis/GELIAT PASAR CLOUD DI DUNIA OKTOBER 2018/Aristya Rahadian Krisabella





Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto mengatakan, ada tiga hal yang menjadi pertimbangan AS melakukan market access review GSP terhadap RI, yakni kebijakan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), PP PSTE, dan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). 

Alex mengungkapkan, nilai ekonomi yang diperoleh RI melalui fasilitas GSP jauh lebih kecil dibandingkan potensi kerugian apabila pusat data tidak diwajibkan berada di dalam negeri.

"Kalau kita pelajari, potensi loss kita jauh lebih besar kalau data ada di luar Indonesia dibandingkan dengan nilai ekonomi dari GSP. Kita harapkan pemerintah berhati-hati sekali, harus punya pandangan ke depan, apalagi fasilitas GSP hanya sampai 2020 sebelum dikaji kembali," ujar Alex di Gedung Ombudsman, Jumat (18/1/2019).

"Masa kita mau menukarkan sesuatu yang jangka panjang dengan sesuatu yang nilainya tidak terlalu signifikan dan jangka waktunya hanya dua tahun?" imbuhnya

Anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah meminta pemerintah, khususnya Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, untuk berhati-hati dalam setiap tahap negosiasi GSP serta mengonsultasikannya dengan pelaku usaha, termasuk industri pusat data domestik.

"Ombudsman menyarankan agar pemerintah sangat berhati-hati dalam negosiasi ini, jangan tinggalkan pelaku industri. Sepakati betul, harus ada konsensus. Jangan pikirkan dampak dari sisi perdagangan saja, tapi bisa jadi nanti akan menghambat pertumbuhan ekosistem digital lokal yang pada akhirnya akan backfire ke perekonomian negara sendiri," jelas Ahmad.

Pada Oktober 2017, Pemerintah AS melalui USTR mengeluarkan Peninjauan Kembali Penerapan GSP Negara (CPR) terhadap 25 negara penerima GSP, dan Indonesia termasuk di dalamnya. Pada 13 April 2018, USTR secara eksplisit menyebutkan akan melakukan peninjauan pemberian GSP kepada Indonesia, India, dan Kazakhstan. Hal ini tertuang dalam Federal Register Vol. 83, No. 82. 

Pada 30 Mei 2018, AS juga mengumumkan akan melakukan peninjauan GSP terhadap Thailand. Dalam tujuh bulan terakhir, Pemerintah RI telah berkomunikasi dan berkoordinasi secara intensif dengan Paman Sam agar status Indonesia dapat tetap dipertahankan dalam skema GSP, karena program ini memberi manfaat baik kepada eksportir Indonesia maupun importir AS yang mendapat pasokan produk yang dibutuhkan.

sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20190118192426-4-51419/bisa-rugi-besar-ri-harus-hati-hati-nego-pusat-data-gsp