Translate

Sunday, November 26, 2017

Dari Negeri Konsumen ke Bangsa Produsen: Transformasi Perekonomian Nasional

Dari Negeri Konsumen ke Bangsa Produsen: Transformasi Perekonomian Nasional

   LINE it! 
Journal Nov 25

li9bPNPyS_SSghfjKXAfOC04FKdI6gZi.jpg
Setelah Badan Pusat Statistik (BPS) memublikasikan data ekonomi nasional pada kuartal III tahun 2017, muncullah polemik, terutama di kalangan para pengamat ekonomi. Sebagian menilai ekonomi Indonesia berada dalam kondisi memerlukan penanganan lebih serius, terutama terkait dengan melemahnya daya beli masyarakat dan meningkatnya angka pengangguran. Sebagian lagi menilai sebaliknya; termasuk dalam kelompok ini adalah Dana Moneter Internasional (IMF) yang melihat bahwa perekonomian Indonesia berada pada kondisi yang sangat baik. 
Indikator yang digunakan oleh IMF adalah tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang tergolong tinggi, tingkat inflasi yang rendah, nilai tukar rupiah yang stabil, dan neraca transaksi berjalan yang relatif baik. Secara makro, kelompok ini menilai bahwa kondisi perekonomian Indonesia berada dalam keadaan sehat dan cenderung bergerak positif. 
Transformasi Kebijakan
Dari sudut pandang yang kedua, situasi positif perekonomian sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari respons cepat dan tepat Presiden Jokowi dalam mengubah ekonomi berbasis konsumsi menjadi berbasis produksi sejak awal pemerintahannya. Langkah inilah yang menjadi pembeda bagi pemerintahan saat ini dalam menjalankan roda pembangunan nasional.
Pada awal pemerintahannya, Presiden Jokowi dihadapkan pada situasi perekonomian yang tidak menguntungkan dari sisi internal maupun eksternal. Secara eksternal, pesona beberapa produk komoditas andalan telah memudar, ditandai oleh minimnya permintaan secara global, terutama komoditas seperti kelapa sawit, mineral, dan batubara. Kejatuhan harga minyak dan gas (migas) dunia juga menggoyahkan penerimaan negara serta mengganggu iklim investasi migas sebagai penyumbang devisa terbesar pada tahun 2014. Belum lagi adanya spekulasi penurunan suku bunga oleh Bank Sentral AS yang menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar. 
Secara internal, selama ini alokasi APBN untuk kegiatan konsumsi jauh lebih besar jika dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk kegiatan produksi. Demikian juga halnya dengan cuaca dan iklim investasi yang tidak kompetitif. Pada tahun 2014, Indeks Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business, EoDB) Indonesia berada di posisi ke-120 dari 190 negara. Berbagai regulasi yang ada justru mempersulit dan kontraproduktif terhadap penciptaan iklim usaha. Sebagai contoh, perizinan di sektor ketenagalistrikan membutuhkan 49 izin dan memakan waktu hingga 923 hari. Selain itu, infrastruktur penghubung ke daerah penghasil komoditas ekspor dan obyek-obyek pariwisata andalan juga minim. Hal ini diperparah oleh defisit listrik di 11 dari 22 sistem besar ketenagalistrikan di Tanah Air. Akibatnya, pertumbuhan pusat-pusat ekonomi baru terhambat dan memerlukan solusi segera.
Untuk merespons situasi tersebut, Presiden Jokowi menempuh “jalan lain” sehingga perekonomian nasional berada pada jalur yang tepat, sekaligus memastikan indikator-indikator kemajuan pembangunan dapat terjaga baik. Pada titik itulah koreksi dan reformasi APBN diperlukan. APBN yang terbebani oleh subsidi BBM yang masif serta tidak tepat sasaran dirombak dan dialokasikan untuk mendukung program-program produktif seperti Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Program Keluarga Harapan. Terobosan deregulasi dan debirokratisasi diambil melalui 16 Paket Kebijakan Ekonomi, mulai dari penguatan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), penyediaan layanan perizinan investasi 3 jam, hingga revisi Daftar Negatif Investasi (DNI). Bersamaan dengan itu, infrastruktur konektivitas dan energi juga dibangun untuk mendukung lahirnya pusat-pusat perekonomian baru.
Titik Balik
Transformasi ke arah ekonomi berbasis produksi itu kini dapat terlihat dari beberapa indikator. Komponen Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) terus meningkat. PMTB merupakan salah satu alat ukur kemajuan produktivitas suatu bangsa, di mana komponennya adalah bangunan, mesin dan perlengkapan, kendaraan, peralatan lainnya, sumber daya biologis, dan produk kekayaan intelektual. Pada triwulan III tahun 2017, pertumbuhan PMTB mencapai 7,11%, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan PDB 5,06%. Sementara, kontribusi PMTB terhadap PDB yang tadinya sekitar 28% meningkat menjadi 32%. 
Tren pertumbuhan konsumsi masyarakat tetap stabil di atas 4,9%, namun sumbangan sektor konsumsi terhadap PDB menurun dari sekitar 58% menjadi 55%. Daya beli terjaga dan kegiatan ekonomi menggeliat. Hal itu terlihat dari tumbuhnya sektor-sektor penunjang konsumsi yang tinggi seperti industri makanan dan minuman sebesar 9,46%, perdagangan mobil, sepeda motor dan reparasinya sebesar 6,12%, serta perdagangan besar dan eceran sebesar 5,35%. Di sisi lain, sektor transportasi dan pergudangan yang merupakan penunjang untuk kegiatan ekonomi tumbuh sebesar 8,27%.
Peningkatan komposisi PMTB terhadap PDB yang dibarengi oleh penurunan komposisi konsumsi terhadap PDB di tengah pertumbuhan ekonomi yang stabil memperlihatkan adanya transformasi fundamental perekonomian nasional, di mana pergerakan ekonomi bangsa ini menuju ke arah lebih produktif.
Penilaian positif juga datang dari lembaga pemeringkat investasi internasional. Lembaga pemeringkat investasi Standard & Poor’s pada  Juli 2017 menaikkan peringkat Indonesia menjadi “Layak Investasi”, melengkapi predikat serupa yang sebelumnya telah disematkan oleh lembaga ternama lainnya yaitu Moody’s dan Fitch Rating. Bank Dunia menaikkan Ease of Doing Business(EODB) Indonesia sebanyak 48 tingkat menjadi peringkat ke-72, melewati Tiongkok yang berada di peringkat ke-78. Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index) 2017-2018 yang dilansir World Economic Forum (WEF) juga menunjukkan lonjakan peringkat Indonesia dari posisi ke-41 di tahun 2014 menjadi posisi ke-36 dari 137 negara.
PSFcM1LUTl_-GYD1IEQHyDMNj8I7t54_.jpg
setkab.go.id
Pengakuan dari berbagai lembaga internasional tersebut juga tercermin pada realisasi penanaman modal. Laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memperlihatkan realisasi penanaman modal triwulan III tahun 2017 mencapai Rp176,6 triliun. Kesiapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Industri (KI), dan Destinasi Pariwisata Prioritas (DPP) didukung dengan kebijakan yang konsisten untuk hilirisasi industri komoditas strategis seperti mineral dan kelapa sawit yang menjadi daya tarik investasi. 
Indonesia juga memiliki banyak potensi kawasan pariwisata, tetapi pengelolaan kawasan tersebut belum optimal karena terbatasnya infrastruktur pendukung seperti bandara, jalan, listrik, air bersih, hotel, dan fasilitas lainnya. Presiden Jokowi kemudian membangun infrastruktur yang komprehensif di kawasan-kawasan pariwisata yang belum memiliki infrastruktur memadai, yang diiringi dengan pengenalan intensif pariwisata Indonesia di dunia internasional. Termasuk di antaranya adalah program 10 destinasi wisata unggulan.
nvQdeFxSkvvp_d6TULIHQVxUQ42FL10k.jpg
jpp.go.id
Langkah ini terbukti mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dari 8,36 juta orang sepanjang Januari hingga September 2016 menjadi 10,46 juta orang pada periode yang sama di tahun 2017, atau naik sebesar 25,05%. Pertumbuhan ini melampaui negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand maupun negara-negara Asia lainnya yang hanya tumbuh sekitar 5%. Pariwisata, kemudian menjadi sektor andalan sebagai penyumbang devisa terbesar. Jika pada tahun 2014 sektor ini berada di peringkat ke-4 penyumbang devisa setelah minyak dan gas bumi, crude palm oil (CPO) dan batubara, pada tahun 2016 sektor pariwisata naik menjadi peringkat ke-2 setelah CPO dengan devisa sebesar Rp183 triliun.
Catatan dan Tantangan
Tentu saja, pencapaian ini bukan tanpa catatan atau tantangan. Apabila dilihat dari sisi ketenagakerjaan, meski penyerapan tenaga kerja tetap tinggi, namun kenaikannya belum berbanding lurus dengan penanaman modal yang meningkat signifikan. Transformasi ekonomi menuju industri padat modal tentu positif. Namun demikian, Indonesia tetap membutuhkan industri padat karya untuk menyerap tenaga kerja dan memastikan pertumbuhan ekonomi berdampak pada kesejahteraan masyarakat, mengingat saat ini baru 12,06% dari 128 juta pekerja yang berpendidikan tinggi.
Sebagai strategi jangka menengah dan panjang, Pemerintah menggalakkan pendidikan vokasional yang terhubung langsung dengan industri agar lulusan SMK dapat siap kerja dan langsung diserap oleh pasar. Di sisi lain, untuk jangka pendek, pemerintah mengalokasikan dana desa serta menganggarkan Rp11,2 triliun di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk dapat digunakan pada sektor padat karya yang siap dijalankan di tahun 2018.  
Di samping itu, tentunya perlu upaya untuk mendorong sektor lain yang masih memiliki potensi pertumbuhan besar dan sekaligus padat karya seperti perikanan. Pertumbuhan pada triwulan III tahun 2017 tergolong tinggi yakni sebesar 6,75%, namun masih ada ruang untuk ditingkatkan. Di sektor pertambangan minyak dan gas bumi, tren kenaikan harga migas harus dijadikan momentum untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia.
Bank Dunia menyatakan bahwa Indonesia sudah berada di jalur yang tepat. Di samping itu, lembaga konsultan bisnis PricewaterhouseCoopers (PwC) memproyeksikan Indonesia akan menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2030. Tentu saja hal tersebut baik, namun tidak boleh membuat kita lengah. Kerja keras dan cerdas dalam semangat kebersamaan sebagai sebuah bangsa yang sedang bertransformasi positif harus senantiasa dipupuk dan dirawat. Dengan usaha sungguh-sungguh dan bergotong royong, hasil ini tidak hanya akan memberikan daya tahan pada perekonomian nasional tetapi juga berdampak nyata pada kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Ilustrasi via Pixabay
sumber: https://www.selasar.com/jurnal/39867/Dari-Negeri-Konsumen-ke-Bangsa-Produsen-Transformasi-Perekonomian-Nasional