Refleksi
Oleh : Andar Ismail
Mengapa orang menikah? Karena jatuh cinta. Mengapa rumah tangganya
bahagia? Bukan karena jatuh cinta, melainkan karena bangun cinta. Jatuh
cinta beda dari bangun cinta. Jatuh cinta itu gampang, dalam sepuluh menit
juga bisa. Tetapi membangun cinta itu susah dan perlu waktu seumur hidup.
Mengapa jatuh cinta gampang? Karena ketika jatuh cinta, kita buta, bisu
dan tuli. Kita buta sehingga tidak melihat keburukan si dia. Seandainya
kita lihat, kita tidak mencela sebab kita bisu. Seandainya kita mencela,
dia pun tidak mendengar, sebab dia tuli. Itu sebabnya, pada masa pacaran
dan bulan madu kita rukun-rukun selalu.
Akan tetapi setelah bulan madu berakhir, kita mulai melihat keburukan si
dia, lalu kita mengkritik, lalu ia membela diri, maka bertengkarlah kita.
Kalau begitu, apakah sebaiknya kita menutup mata, mulut dan telinga? O,
jangan! Meskipun membuka mata, mulut dan telinga mengandung risiko, semua
itu perlu untuk menyepakati berbagai pedoman rumah tangga, demi
penyesuaian diri kita sebagai teman hidup.
Interaksi dengan teman hidup memang berbeda dari teman kampus atau teman
kantor yang hanya berlangsung beberapa jam sehari. Dengan teman hidup,
kita berinteraksi 24 jam sehari selama tujuh hari seminggu. Interaksi yang
intensif berdampak positif dan negatif. Positifnya, kita betul-betul
saling mengenal watak dan kebiasaan kita masing-masing. Semua belang kita
tersingkap. Tidak ada sifat buruk yang bisa disembunyikan di belakang
topeng. Negatifnya, kita jadi saling mudah kecewa dan jengkel terhadap
segala keburukan itu.
Di sini letak perbedaan antara jatuh cinta dan bangun cinta. Kita jatuh
cinta dalam keadaan menyukai. Padahal bangun cinta diperlukan dalam
keadaan jengkel. Dalam suasana jengkel itu, cinta bukan berwujud pelukan,
melainkan berbentuk itikad baik memahami konflik, lalu bersama-sama
mencari solusi yang akseptabel untuk semua pihak.
Dalam cinta yang dewasa tidak ada uneg-uneg yang dipendam. Memang ada
persoalan yang peka untuk dibicarakan, seperti tentang mertua, hubungan
seksual, bantuan uang untuk keponakan, namun hal-hal itu pun perlu
dibicarakan supaya kejengkelan tidak berlarut-larut.
Memperhitungkan Perasaan
Prasyarat untuk keberhasilan pembicaraan itu adalah bahwa kita saling
memperhitungkan perasaan. Si istri berkata, "Kalau kamu lebih meladeni
ibumu ketimbang aku, kamu tidur saja dengan ibumu". Ucapan itu hanya
memperhitungkan perasaan sendiri, yaitu perasaan jengkel terhadap suami.
Padahal perasaan suaminya akan terluka oleh ucapan itu. Cinta yang dewasa
menegur atau memarahi bukan secara destruktif melainkan konstruktif. Kita
saling memperhatikan perasaan masing-masing. Rasul Paulus memakai istilah
"memperhatikan kepentingan" yang bermaksud serupa. Tulisnya, "Janganlah
tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi
kepentingan orang lain juga" (Flp.2:4).
Jika suami istri hanya memperhatikan perasaan sendiri dan kurang
memperhatikan perasaan pihak lain, maka mereka akan saling melukai hati.
Makin berlarut, luka itu makin dalam. Mereka saling memusuhi. Suasana
terasa menyiksa. Pernikahan dan rumah tangga itu sudah bukan surga lagi,
melainkan neraka.
Apakah rumah tangga ini bisa utuh kembali? Tentu saja! Caranya sederhana.
Coba ingat-ingat, dulu ketika masih berpacaran, apa yang kita cari? Apa
kita mencari teman hidup atau musuh hidup? Kalau memang mencari teman
hidup, mengapa sekarang kita memusuhi dia? Nanti dia pun memusuhi kita.
Maka jadilah kita seteru. Lho, kita ini teman hidup atau musuh hidup?
Berteman hidup dimulai dengan jatuh cinta. Tetapi sesudah itu kita perlu
bangun cinta. Membangun cinta berarti mendewasakan cinta sehingga kedua
pihak bisa saling mengkoreksi, berunding, menghargai, bertenggang rasa,
menopang, setia, mendengarkan, memahami, mengalah, bertanggung jawab,
memperhitungkan perasaan, atau menurut istilah Rasul Paulus "memperhatikan
kepentingan". Itu pun prinsip hidup berbangsa dan bernegara.
Mau punya teman hidup? Silakan jatuh cinta. Jatuhlah sedalam-dalamnya.
Tetapi sesudah itu, bangunlah! Bangun cinta! Mau berteman hidup dengan
selamat dan bahagia? Ini ramuannya: 1% jatuh cinta 99% bangun cinta.
Penulis adalah pengarang buku-buku Renungan Seri Selamat BPK Gunung Mulia