Translate

Sunday, April 22, 2018

KAMPUS DISRUPTIF

Kompas, 19 April 2018

KAMPUS DISRUPTIF

Oleh :

ARIF SATRIA

Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB)

 
Pada awal April 2018 ini Kementerian Perindustrian RI meluncurkan Making Indonesia 4.0 yang berisi peta jalan revolusi industri 4.0 di Indonesia. Peristiwa ini bagian dari upaya merespons apa yang ditulis Klaus Schwab (2017) dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution. Kalau peta jalan industrialisasi telah tersusun, bagaimana dengan peta jalan pendidikan tinggi (PT) untuk merespon Revolusi Industri 4.0?  Bagaimana posisi PT dalam peta perubahan ini dan bagaimana strategi adaptasi terhadap perubahan ini?

Kini kita telah berada dalam era Revolusi Industri 4.0 yang menurut Klaus Schwab (2017) sungguh berbeda dari era sebelumnya. Revolusi Industri 1.0 dicirikan dengan tumbuhnya mekanisasi dan energi berbasis uap dan air. Revolusi Industri 2.0 dicirikan dengan berkembangnya energi listrik dan produksi massal. Revolusi Industri 3.0 dicirikan dengan tumbuhnya industri berbasis elektronika, teknologi informasi, serta otomatisasi. Revolusi Industri 4.0 dicirikan dengan berkembangnya Internet of/for Things yang diikuti dengan teknologi  baru dalam ilmu data, kecerdasan buatan, robotik, cloud, cetak 3 dimensi dan teknologi nano, yang telah mendisrupsi inovasi-inovasi sebelumnya.

Dengan perkembangan teknologi tersebut, kini Orang bisa berjualan tanpa harus punya toko. Orang bisa berbisnis taksi tanpa harus punya mobil. Kondisi inilah yang telah membuat hilangnya sejumlah pekerjaan. Namun, sebenarnya era baru ini telah menciptakan berbagai jenis pekerjaan baru yang menggantikan pekerjaan lama. Di Amerika Serikat, ada 3.508 yang hilang tapi ada 19.263 jenis pekerjaan baru yang dibuat. Sementara itu pada tingkat global, ada sekitar 75 hingga 375 juta pekerja perlu beralih ke pekerjaan baru dengan keahlian baru (Global Institute Analysis Mc Kinsey, 2017).

Dinamika perubahan di atas semakin tak terelakkan. Namun persoalannya percepatan perubahan teknologi lebih tinggi dari apa pun, khususnya kultur, kebijakan publik, riset, maupun pendidikan. Inilah yang dalam sosiologi dikenal dengan istilah kesenjangan budaya (cultural lag)yang menunjukkan bahwa perubahan kebudayaan material belum diikuti oleh kebudayaan non-material. Pertanyaannya apakah PT akan mampu  beradaptasi?

 
Dampak dan Strategi

            Dimana posisi PT dalam empat tahapan revolusi industri di atas? Secara kasat mata nampaknya kebanyakan PT di Indonesia belum masuk dalammindset revolusi industri 4.0. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah ciri konvensionalnya dalam keilmuan dan riset, kurikulum, metode dan teknologi pembelajaran, manajemen organisasi dan proses bisnisnya. Dengan melihat ciri-ciri tersebut bisa jadi PT kita masih berada pada zona revolusi industri 3.0. Namun demikian, kehidupan sehari-hari dosen dan mahasiswanya mungkin sudah memasuki era 4.0 dimana konektivitas sudah makin tak berjarak, melek media sosial, bisa memanfatkan teknologi kecerdasan buatan, menyenangivirtual reality, cenderung aktif membaca media daring, dan mulai aktif dalam bisnis secara daring. Persoalannya, kehidupan keseharian tersebut belum sepenuhnya mampu ditransformasikan ke dalam praktek secara institusional PT. Dengan demikian sebenarnya ada kesenjangan antara pola kehidupan personal dengan institusi PT. Secara personal sebagian sudah mencirikan generasi Revolusi Industri 4.0, namun secara institusi masih berciri tahap Revolusi Industri 3.0. Pertanyaannya, langkah apa yang mesti dilakukan PT untuk bisa segera memasuki era 4.0 ini?

Beberapa Langkah Penting 

            Faktor disrupsi tidak hanya bertumpu pada perubahan teknologi akibat Revolusi Industri 4.0, tetapi jufga perubahan struktur demografi, perubahan iklim, globalisasi, serta perubahan peta geopolitik. Oleh karena itu strategi PT menghadapi disrupsi mestinya juga memperhatikan sejumlah faktor tersebut. Ada beberapa langkah penting sebagai berikut.

Pertama, perubahan mindsetatau orientasi PT dari "konsumen" ke "produsen" dalam bentuk karya ide, pemikiran, pengetahuan, teori atau barang.  Perubahan ini akan tercermin dari  neraca aktivitaskeseharian kita: apakah akan lebih diwarnai dengan aktivitas unggah(upload) atau unduh (download). Seringnya kita  mengunggah akan menjadi bukti bahwa kita adalah pemain di era disrupsi ini. Selama ini kita hanya penonton perubahan  dengan lebih banyak aktivitas unduh. Disinilah mestinya PT memiliki orientasi unggah dengan memperbanyak karya riset dan inovasi untuk menginspirasi dan memberi manfaat untuk publik baik pada level lokal maupun global. PT dari hasil risetnya mampu memproduksi pengetahuan dan teori baru sehingga memberi warna bagi ilmu pengetahuan dunia.  Perubahan orientasi ini penting seiring harapan publik sejak dulu yang menganggap bahwa PT adalah sumber perubahan, penentu kecenderungan, dan bukan penonton perubahan. Mestinya PT bisa berciri 5.0 di saat industri baru memasuki 4.0.

Kedua, pengembangan keilmuan baru yang lebih transdisiplin dan peta jalan riset yang responsif terhadap Revolusi 4.0 dan faktor disrupsi lainnya. Ilmu data, kecerdasan buatan,drones, robotik, teknologi  nano,complexity dan sustainability sciences perlu didorong. Dalam pertanian, pertanian presisi melaluismart agriculture and fisheriesharus dikembangkan. Disinilah diperlukan program studi atau peminatan baru yang mengenalkan keilmuan baru. Namun  demikian dimensi kemanusiaan tetap harus mewarnai sejumlah inovasi.

Ketiga, transformasi kurikulum yang adaptif terhadap tumbuhnya generasi milenial dan tantangan disrupsi. Disinilah perlu integrasi dan harmonisasi kurikulum dengan ekstra kurikuler yang mampu memperkuat karakter, kompetensi, dan soft skill mahasiswa yang kompatibel dengan tuntutan perubahan. Di era disrupsi ini, soft skill milenium dan jiwa kewirausahaan harus diperkuat karena jiwa inilah yang akan dapat mendukung orientasi sebagai "produsen". Mahasiswa perlu dirangsang untuk mengembangkan bisnis rintisan (start up).

Keempat, teknologi pembelajaran yang adaptif terhadap kultur milenial. Beberapa kampus besar dunia telah mengembangkan massive open online courses (MOOCs). Dengan demikian  mata kuliah yang disampaikan secara daring sudah menjadi tuntutan. Akan tetapi perlu juga dipikirkan bagaimana model daring tetap mampu menyentuh penguatan karakter dan soft skillmahasiswa.

Kelima, perlu kelincahan organisasi PT dalam mengelola sumberdaya, menangkap peluang-peluang baru, serta membangun kolaborasi.

Kelima hal tersebut perlu regulasi yang progresif untuk memayungi perubahan-perubahan yang ada di PT, sehingga PT kita tidak saja bisa berciri 4.0 tetapi bisa melampaui menjadi 5.0 dan sekaligus sebagai penentu perubahan.
###