Translate

Saturday, March 30, 2013

Technopreneurship ?

Warga AS Kini Enggan Jadi Karyawan, Indonesia Juga?

Kamis, 28 Maret 2013 | 12:53 WIB

KOMPAS.com - Amerika Serikat merupakan negara yang berperan penting dalam sejarah technopreneurship dunia. Silicon Valley, lembah yang terletak di negara bagian California, AS, menyimpan banyak cerita sukses tentang technopreneurship.

Budaya inovasi dan technopreneurship yang berkembang di lembah yang menjadi markas bagi kampus-kampus ternama dan perusahaan-perusahaan teknologi kelas dunia itu tak hanya menginspirasi anak-anak muda di negeri Paman Sam, tetapi juga anak-anak muda di seluruh dunia.

Memiliki bisnis sendiri sudah menjadi sebuah "American dream"—mimpi orang Amerika. Belum lama ini, perusahaan software Intuit mengumumkan hasil studinya. Pada tahun 2020, lebih dari 40 persen tenaga kerja produktif di AS atau sekitar 60 juta orang akan bekerja sendiri.

Dikutip dari BusinessInsider, menurut hasil studi tersebut, kebanyakan penduduk di AS lebih memilih untuk bekerja sebagai freelancer, kontraktor, atau pengusaha. Studi itu pun menyimpulkan bahwa dalam tujuh tahun mendatang, jumlah usaha kecil di AS akan meningkat lebih dari 7 juta.

Hasil studi tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil studi yang dilakukan oleh Intuit, enam tahun yang lalu. Menurut studi yang mereka lakukan pada tahun 2007, seperti dikutip dari USAtoday, banyak orang Amerika merasa mentok dengan pekerjaan mereka. Lebih dari dua per tiga penduduk usia produktif di negeri itu berharap bisa segera resign (mengundurkan diri) dari pekerjaan mereka untuk merintis bisnis sendiri.

Studi itu menunjukkan bahwa sebanyak 67 persen orang Amerika selalu berpikir untuk keluar dari pekerjaaan kantoran, sebanyak 72 persen mengaku ingin memulai bisnis sendiri, dan sebanyak 84 persen merasa yakin akan lebih bersemangat dalam bekerja jika memiliki bisnis sendiri.

Terpisah dari hasil studi-studi tersebut, Profesor Scott Shane, ahli di bidang ilmu entrepreneurial yang juga mengajar di Case Western Reserve University, menyebutkan beberapa alasan kenapa orang Amerika menyukai bisnis kecil dan ingin memiliki bisnis sendiri.

Dalam sebuah artikel di Entrepreneur.com, Profesor Shane menyebutkan bahwa menjadi entrepreneur merupakan impian orang-orang Amerika. Mereka menyukai gagasan bahwa perusahaan-perusahaan besar pasti berawal dari sebuah bisnis yang kecil.

Mereka juga menilai para pemilik usaha kecil adalah orang-orang yang jujur dan punya etiket bisnis yang baik, dibandingkan dengan para CEO perusahaan besar. Selain itu, banyak orang Amerika juga memandang usaha kecil adalah cara hidup kelas menengah di negeri mereka.

Technopreneurship di Indonesia

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia, mungkin memang belum ada survei ataupun studi khusus mengenai hal serupa. Tetapi terkait industri digital, sejarah technopreneurship di Tanah Air sudah dimulai pada era tahun 1990-an, dan geliatnya semakin terasa terutama pada akhir tahun 2000-an hingga 3-5 tahun belakangan ini.

Semakin banyak anak muda Indonesia bercita-cita ingin menjadi pengusaha, tidak bekerja untuk orang lain atau perusahaan alias bekerja untuk diri sendiri, sesuai dengan passion mereka, dan dengan jadwal kerja yang fleksibel.

Dalam buku Startup, Indonesia! dipaparkan bahwa perkembangan technopreneurship dan industri digital di Indonesia didorong oleh beberapa faktor. Di antaranya, banyak anak muda terinspirasi oleh kesuksesan perusahaan-perusahaan rintisan (startup) di luar negeri, serta semakin majunya infrastruktur dan teknologi di dalam negeri.

Selain itu, ekosistem industri digital di Indonesia juga semakin mendukung siapapun untuk memulai sebuah startup, terutama dengan munculnya berbagai inisiatif dan dukungan dari berbagai komunitas dan inkubator. Inkubator adalah pihak yang menyediakan bantuan, baik bantuan finansial ataupun pelatihan dan bimbingan untuk pengembangan startup.

Selain menampilkan cerita-cerita inspiratif mengenai bisnis digital, buku tersebut juga menampilkan wawancara dengan beberapa penggiat dan pendiri bisnis digital di Tanah Air. Mereka menyebutkan alasan mengapa mereka memilih untuk menjadi technopreneur.  

Marlin Sugama, misalnya. Salah satu pendiri Main Studios ini tertarik untuk menjadi technopreneur karena ingin berkarya dan menghibur banyak orang dengan karya-karya animasi yang dia buat bersama timnya.

Sementara Soegianto Widjaja mendirikan Sedapur.com, sebuah portal e-commerce yang fokus pada industri kuliner, karena ingin membantu mengembangkan usaha-usaha kecil di bidang kuliner, yang selama ini didominasi oleh para ibu rumah tangga.

Lain ceritanya dengan Willy Ekasalim dan Doddy Lukito. Mereka mendirikan Bistip.com, sebuah layanan untuk titip-menitip barang, untuk memberikan solusi bagi orang-orang Indonesia yang hobi titip-menitip barang dari luar kota ataupun luar negeri.

Dengan menjadi technopreneur, mereka ingin lebih leluasa dalam berkarya dan menciptakan produk sendiri. Selain itu, Bistip juga merupakan perwujudan dari mimpi mereka yang ingin membuat situs web yang mendunia.

Jadi sebenarnya, baik di dalam maupun di luar negeri, banyak orang bermimpi untuk bisa memiliki bisnisnya sendiri. Tetapi yang pasti, butuh keberanian dan banyak persiapan untuk mewujudkan mimpi itu, serta butuh kerja keras untuk bisa menjadi sukses.
build-access-manage at dayaciptamandiri.com