Translate

Monday, April 07, 2025

Mengapakah RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Dipermasalahkan Amerika ?

 Untuk menilai apakah isi Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) Indonesia dapat merugikan Amerika Serikat (AS), kita perlu mempertimbangkan substansi RUU tersebut berdasarkan draf yang tersedia (versi terbaru per Februari 2025 menurut informasi publik) serta kepentingan AS dalam konteks hubungan bilateral dan ekonomi digital. Karena RUU ini belum disahkan per April 2025 dan masih dalam tahap pembahasan, analisis ini didasarkan pada isi yang telah diungkap secara resmi serta implikasi logisnya.

Isi Utama RUU KKS (Berdasarkan Versi Terkini)
  1. Kewajiban Pelaporan Insiden Siber: Penyelenggara infrastruktur informasi vital (misalnya, sektor keuangan, energi, dan teknologi) wajib melaporkan insiden siber kepada Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dalam waktu tertentu.
  2. Standar Keamanan Siber: Perusahaan yang beroperasi di Indonesia, termasuk asing, harus mematuhi standar keamanan siber yang ditetapkan BSSN, termasuk audit rutin dan sertifikasi.
  3. Penguatan BSSN: BSSN diberi wewenang untuk mengkoordinasikan respons nasional terhadap ancaman siber, termasuk akses ke data tertentu untuk investigasi.
  4. Lokalisasi Data: Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam semua versi, ada indikasi bahwa RUU ini akan selaras dengan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) 2022, yang mengatur transfer data lintas batas dengan syarat ketat.
  5. Sanksi: Pelanggaran terhadap ketentuan bisa dikenakan denda, pencabutan izin operasi, atau sanksi administratif lainnya.
Potensi Dampak pada Amerika Serikat
Aspek yang Mungkin Merugikan AS
  1. Hambatan Operasional Perusahaan Teknologi AS:
    • Kepatuhan dan Biaya: Perusahaan AS seperti Amazon (AWS), Microsoft, Google, dan Meta yang menyediakan layanan cloud atau platform digital di Indonesia akan menghadapi biaya tambahan untuk mematuhi standar keamanan siber BSSN, pelaporan insiden, dan potensi lokalisasi data. Ini bisa meningkatkan biaya operasional mereka di pasar Indonesia.
    • Transfer Data: Jika RUU KKS memperkuat aturan lokalisasi data (sejalan dengan UU PDP), perusahaan AS mungkin harus menyimpan lebih banyak data di Indonesia, bertentangan dengan model bisnis mereka yang mengandalkan arus data bebas ke pusat data global (banyak di AS). Hal ini bisa dianggap sebagai hambatan perdagangan oleh AS, serupa dengan keluhan mereka terhadap kebijakan TKDN.
  2. Konflik dengan Kebijakan AS:
    • Data Free Flow with Trust (DFFT): AS mendorong arus data lintas batas bebas melalui kerangka seperti Indo-Pacific Economic Framework (IPEF), yang diikuti Indonesia. Ketentuan RUU KKS yang membatasi transfer data dapat dipandang AS sebagai langkah proteksionis, berpotensi memicu ketegangan diplomatik atau ancaman tarif balasan (seperti yang disinggung di X pada 2025).
    • Executive Order AS 2024: Aturan AS yang mulai berlaku 8 April 2025 (berdasarkan EO 14117) membatasi transfer data sensitif ke "negara yang menjadi perhatian". Meskipun Indonesia bukan target, perusahaan AS harus memastikan data yang mengalir dari Indonesia tidak melanggar aturan ini, menambah kompleksitas jika RUU KKS mewajibkan data tetap di Indonesia.
  3. Risiko Sanksi untuk Perusahaan AS:
    • Jika perusahaan AS gagal memenuhi kewajiban pelaporan atau standar keamanan siber BSSN, mereka bisa menghadapi denda atau pencabutan izin operasi. Ini merugikan secara finansial dan mengancam pangsa pasar mereka di Indonesia, pasar digital terbesar di ASEAN.
Aspek yang Tidak Merugikan AS
  1. Keamanan Siber Bersama:
    • RUU KKS bertujuan meningkatkan ketahanan siber Indonesia, yang juga menguntungkan AS secara tidak langsung. Infrastruktur digital yang lebih aman di Indonesia akan melindungi rantai pasok global dan layanan cloud AS dari ancaman siber, seperti ransomware yang sering menargetkan kedua negara.
    • Kerja sama bilateral dalam keamanan siber (misalnya, melalui IPEF atau TIFA) bisa diperkuat, memberikan AS peluang untuk memengaruhi implementasi RUU agar lebih selaras dengan kepentingannya.
  2. Pasar yang Tetap Terbuka:
    • RUU ini tidak secara eksplisit menargetkan perusahaan asing atau AS untuk dilarang beroperasi, melainkan menetapkan aturan main yang sama untuk semua pelaku. Perusahaan AS yang sudah berinvestasi di Indonesia (contoh: pusat data Microsoft) bisa menyesuaikan diri tanpa kehilangan akses pasar.
Perspektif AS dan Indonesia
  • Pandangan AS: Pemerintah dan perusahaan AS mungkin melihat RUU KKS sebagai bagian dari tren proteksionisme Indonesia (bersama TKDN dan UU PDP), yang meningkatkan biaya dan membatasi kebebasan operasional. Sentimen di X pada 2025 menunjukkan kekhawatiran AS tentang hambatan non-tarif, dan RUU ini bisa memperburuk persepsi tersebut.
  • Pandangan Indonesia: RUU KKS dianggap penting untuk kedaulatan siber dan melindungi data warga dari eksploitasi asing, termasuk oleh perusahaan teknologi AS yang dominan.
Kesimpulan
RUU Ketahanan Siber tidak secara langsung "merugikan" AS dalam arti melarang operasi atau menargetkan kepentingannya secara spesifik. Namun, ketentuan seperti lokalisasi data, kewajiban kepatuhan, dan potensi sanksi dapat meningkatkan biaya operasional dan menghambat arus data bebas yang menjadi prioritas AS, sehingga dianggap merugikan oleh perusahaan teknologi AS dan pemerintahnya. Di sisi lain, RUU ini juga mendukung keamanan siber bersama yang menguntungkan kedua negara. Dampaknya akan tergantung pada implementasi final dan negosiasi bilateral dalam kerangka seperti IPEF. Untuk kepastian lebih lanjut, isi RUU yang disahkan nanti perlu diperiksa secara detail.