Translate

Friday, July 04, 2014

Evaluasi Terakhir Capres, Diperlukan Menko yang Gesit (Rhenald Kasali )


Rhenald Kasali 
@Rhenald_kasali

Tulisan pertama dari dua tulisan

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, dunia leadership mendapatkan ujian yang super berat. Peneliti Richard L. Hughes, Katherine C. Beatty dan David L. Dinwoodie dari Center for Creative Leadership (2014) menemukan sebuah kesimpulan, yaitu “Diperlukan pemimpin yang bertindak, bukan berencana!”

Bertindak itu artinya berkoordinasi, memimpin ke samping. Jadi yang dibutuhkan bukan pemimpin yang pandai berorasi, melainkan bertindak, memeriksa keadaan, lalu menghubungkannya. Kalau ia benar-benar mampu, maka hasilnya mudah dilihat. Kesenjangan kaya-miskin akan menurun, angka keluhan berkurang, buruh tak lagi berdemo karena soal kesejahteraan, dan angka korupsi jauh berkurang (karena pemimpin-pemimpin daerah tak perlu lagi menyuap pejabat pusat demi pembiayaan infrastruktur di daerahnya).

Pandai Belum Tentu Gesit

Mengapa kita perlu pemimpin yang gesit? Jawabannya adalah karena pejabat-pejabat kita terlalu senang berpidato kendati rakyatnya mengantuk, lalu juga senang diperlakukan sebagai pejabat yang didatangi. Kalau tak didatangi mereka mudah tersinggung dan pintu-pintu ekonomi daerah terkunci. Sulit dibuka.

Saya bisa memahami, mengapa para pemimpin daerah banyak yang ditangkap KPK. Sebab, salah satunya, untuk sampai ke meja Menko, surat-surat mereka harus melewati banyak meja dan “orang-orang dekat”.

Tidak sulit untuk mengetahui gerak para penyuap itu. Anda tinggal duduk di kedai-kedai kopi di hotel-hotel berbintang, lalu merapatlah pada meja-meja yang ditempati orang-orang berpakaian safari. Dengarkan suara keluh kesah mereka. Hampir pasti, sebagian di antara tamu-tamu itu ada pemburu rentenya. Ini sudah rahasia umum. Umum sekali.

Nah persoalannya, mengapa para menteri mendiamkan praktik-praktik ini berlarut-larut? Jawabannya adalah karena mereka membiarkan dikelilingi staf-staf khusus utusan partai politik yang tak memiliki kompetensi yang jelas.

Kalau orang yang hanya bisa membuat selebaran gelap bisa diangkat menjadi deputi bagi seorang staf khusus presiden, berarti kemampuan propaganda masih lebih dianggap istimewa dalam budaya leadership kita saat ini, ketimbang kompetensi untuk kesejahteraan umum. Orang-orang seperti inilah yang sekarang diberi reward berupa jabaran komisaris.

Jadi, pintar bicara saja bukanlah jaminan untuk kesejahteraan kita bersama di masa depan. Ke depan Indonesia memerlukan orang-orang pandai dalam arti sebenarnya, yaitu pandai yang dipakai untuk mencapai tujuan kita bernegara seperti yang diamanatkan konstitusi: masyarakat yang adil dan makmur.

Pintar orasi adalah lagi-lagi propaganda. Pintar bertindak adalah hal yang lain lagi. Ini hanya bisa dilihat dari kerendahatiannya menyambangi orang lain, mengunjungi bawahan, meretas hambatan-hambatan, dan memeriksa apakah betul hambatan-hambatan horizontal-vertikal telah disingkirkan aparat birokrasi dan para pemburu rente.

Cara-cara Baru

Tak banyak pejabat yang paham bahwa dunia telah benar-benar berubah sehingga membentuk sebuah lingkungan kompetitif yang dinamis, bergejolak dan penuh ketidakpastian. Bahkan pemimpin-pemimpin daerah berani membayar upeti demi mendapatkan kepastian bagi percepatan pembangunan infrastruktur di daerahnya.

Di Kalimantan Timur misalnya. Setiap kali Saya menyambangi gubernur, saya lebih senang naik pesawat kecil (Susi Air) dari Balikpapan ke Samarinda. Dari udara saya selalu memandangi ujung-ujung jalan tol yang bergerak lamban sekali. Namun, setiap saya tanyakan pejabat-pejabat di daerah, saya selalu menemukan keluhan yang sama.

“Aneh Pak, ijin membuka jalan tidak keluar-keluar dari kementerian kehutanan. Padahal, jalan untuk para pencuri kayu diberikan.” Itulah keluhan orang daerah. Padahal Kaltim masuk dalam program MP3EI yang menjadi program kesayangan Menko Perekonomian.

Dr. Hendri Saparini, dalam panel diskusi ahli Ekonomi di Kompas pernah menyatakan, “Sayangnya MP3EI tak dimasukkan dalam APBN, sehingga berjalan sendiri-sendiri.”

Jadi ke depan, Bapak-bapak calon presiden renungkanlah ini: Indonesia butuh menko-menko yang gesit. Bahkan menteri-menteri biasa pun harus punya keahlian menjalin hubungan horizontal yang gesit.

Inilah abad di mana “Ketegangan antara internal needsbertabrakan dengan eksternal needs,” tulis Hughes, dkk (2014). Karena itulah memimpin ke samping, menjadi tantangan sendiri yang jauh lebih sulit ketimbang memimpin vertikal ke bawah.

Tulisan kedua dari dua tulisan

Sejatinya, pemimpin itu ingin dikenal sebagai pemimpin yang berhasil. Apalah artinya, kalau sekadar “berhasil menjadi presiden”. Apalagi bila kelak gagal. Bukan cuma cacian, melainkan juga ancaman bagi kedamaian. Sebab pemimpin yang gagal akan menuai konflik internal yang tajam dan pembuatan benteng-benteng pertahanan diri yang berlebihan.

Maka sebelum kegagalan tiba, calon presiden dan pengikut-pengikutnya harus mengubah cara pandang. Dari mengedepankan “kepentingan teman-teman” diubah menjadi "kepentingan umum”. Pasukan pemenangan kampanye mempunyai karakteristik yang tak sama dengan pasukan pemenangan pembangunan.

Sejatinya pula leadership adalah sebuah proses, bukan posisi. Maka jauhi orang yang mengedepankan posisi dan fokuslah pada orang proses. Sejarah mengajarkan, jagoan hebat menang di belakang, bukan yang tertawa di depan. Lantas apa yang bisa mengikat pemimpin?

Landasan Moral

Sejatinya juga, kita tak bisa mengevaluasi capres dari visi-misinya belaka. Dalam ilmu manajemen visi-misi tak pernah terpisah darivalues. Inilah landasan moral: Visi-Misi-Values.

Nah, kalau kita bandingkan kedua capres, maka kita bisa dibuat bingung. Karena banyak kesamaan jawaban dari sisi logika. Tak heran kalau capres Prabowo Subianto sering  mengucapkan “saya setuju”. Bisa jadi saat menjawab, capres Joko Widodo menjelaskan terlebih dahulu. Atau bisa jadi ia bisa menjelaskan dengan lebih artikulatif karena pengalaman riilnya. Jadi secara logika “banyak kesamaan”.

Dan ini, membuat Anda yang ingin memilih yang terbaik menjadi bingung. Sikap Anda berbeda dengan sikap orang-orang yang fanatik, atau mereka yang telah bersikap. 

Kalau boleh saya usulkan, cobalah evaluasi landasan moral mereka. Ya, values-nya. Kita masih punya waktu untuk menilai, bahkan mengajukan pertanyaan, menitipkannya pada para wartawan/moderator debat. Atau kalau tak bisa juga, lakukan analisis pribadi saja.

Pertama, tanyakan dan periksalah, apakah mereka dikelilingi oleh orang-orang yang punya respek. Mudah kok. Orang-orang yang punya respek tak asal menghina, tidak reaktif. Mereka tidakmencla-mencle, mereka tahu bahwa kampanye ini hanya 40 hari ketimbang 5 tahun di pemerintahan nanti. Jadi harusnya mereka berhitung.

Orang-orang yang tak punya respek berorientasi pada apa yang diucapkan lawan-lawannya, lalu mencari celah untuk menghina. Bukan untuk menguji. Yang dihina pun adalah aspel-aspek emosional, seperti agama, suku, keturunan, istilah, atau hal-hal lain yang bersifat fitnah.

Ingatlah, rakyat tak respek pada pemimpin-pemimpin yang tak punya respek. Orang-orang seperti itu akan sulit melakukan transformasi, karena kehilangan trust.

Kedua, pelajari apakah mereka mencari kebenaran atau pembenaran. Orang-orang yang mencari kebenaran cenderung realistis dan mengakui kesalahan, bahkan tidak mengambil orang-orang yang tak baik dalam teamnya. Sedangkan yang bekerja dengan pembenaran akan selalu membenarkan yang tidak benar, sekalipun itu perbuatan tercela.

Ketiga, adakah kekuatan “uang” di balik semua dukungan yang diberikan? Meski hal ini sulit dibuktikan, kita punya perasaan dan naluri. Uang akan membuat manusia buta terhadap kebenaran, dan berani melacurkan moralitas.

Keempat, “sakit hati”. Apakah pemimpin mau menjauhi dirinya dari kelompok sakit hati? Ingatlah, hanya orang-orang yang “sakit” yang punya kegairahan untuk menyakiti orang lain. Orang-orang seperti ini harusnya dikasihani, diterapi, bukan diberi jabatan. Karena mereka dapat menjadi duri dalam daging.

Kelima, musuh terbesar no 1 bukan no 2, dan musuh terbesar no 2 bukanlah no 1, melainkan no 1 melawan no 1, no 2 melawan no 2. Moral yang harus dibangun kelak, pertama-tama bukanlah moral rakyat atau birokasi pemerintahan, melainkan moral para timses dan pengurus partai politik  masing-masing. Maaf, harus saya katakan, terlalu banyak bakteri dan kuman yang harus dikeluarkan, disucikan dari kalangan internal masing-masing.

Revolusi Mental  

Waktu saya dalami, kandidat no 2 sebenarnya sudah memiliki landasan moral. Revolusi mental adalah landasan moral. Berbeda dengan orang-orang yang menyatakan “revolusi” adalah jargon komunis, saya justru melihat sebagai jargon perubahan. Lagi pula, apa masih ada negeri  komunis yang 100 persen komunis.

Tiongkok saja hanya memasang gambar palu arit namun perilakunya Anda bisa nilai sendiri. Sementara anak emasnya, Vietnam, menyebut dirinya sebagai: “Market  Mechanism under Socialism Leadership.”

Jadi kalau kita mau menganut landasan teori dialektika, maka kita akan gemar konflik karena prinsipnya setiap tesis harus ditentang dengan anti tesisnya. Impiannya, akan terjadi solusi kreatif. Nyatanya, yang terjadi bukanlah perubahan postif, melainkan keributan tiada ujung.

Nah teori perubahan, justru mewaspadai ancaman perubahan perlahan-lahan (evolutif). Sebab perubahan yang perlahan-lahan itu justru berbahaya. Lebih banyak melahirkan kepunahan (seperti yang tengah dialami pasar-pasar tradisional) ketimbang kemajuan.

Perubahan evolutif dalam Darwinian Theorem (bapak teori evolusi) di lain pihak juga melanggar kodrat zaman, karena dunia tengah bergerak ke abad kecepatan dengan teknologi digital. Bayangkan ketika kebocoran besar terjadi, sedangkan perubahan (perbaikan) dibua perlahan-lahan, maka kapal ini akan tenggelam.

Karena itulah landasan moral menjadi sangat penting. Nah lantas apa yang harus dilakukan capres terpilih kelak? 

Terlepas sudah ada atau belum, sudah  dirumuskan atau belum, siapapun yang terpilih harus melakukan hal ini: bekerja dengan dasar moral dan integritas, hanya memilih orang-orang yang punya respek dan bermoral, berani memecat anggota kabinet yang melanggar tata nilai yang disepakati, lalu mengikat semua anggota kabinet dengan landasan moral.

Maka, rapat kabinet pertama akan sangat menentukan langkah-langkah selanjutnya. Apakah  memilih berfoto di anak tangga istana dengan pakaian terindah yang dibuat penjahit kenamaan dengan bahan-bahan terbaik, atau cebur-ceburan di waduk Jatiluhur, melakukan team building dan difoto dalam pakaian basah penuh lumpur.

Selamat memilih, dan jangan lupa, nilailah landasan moral mereka baik-baik. Lihat siapa-siapa saja yang tendensinya akan duduk dalam jajaran leadership kedua kandidat. Saya mendoakan saudara akan menemukannya.