Setelah cukup lama vakum dari sekolah minggu, akhirnya saya mulai kembali mengajar kelas Pra Remaja meskipun dengan daftar mengajar tak rutin. Mungkin juga sehubungan dengan 'masa persiapan pensiun penatua' yang sedang saya jalani, maka saya cukup enjoy juga berada di sana,Sudah cukup lama dari tahun 2009 saya memutuskan untuk memilih fokus ke dalam pelayanan penatua, meski telah dijalani dari tahun 2004, kerumitan membagi waktu antara mengajar dan melayani bidang penatua menjadi tantangan tersendiri.Selama tidak mengajar, saya banyak memperhatikan bagaimana orang lain mengajar, khususnya di gereja GKI HI yang selama ini menjadi tumpuan anak-anakku ke sekolah minggu. Dibandingkan dengan GKI BT yang selama ini saya berada di sana, saya mengamati beberapa hal penting.Sekolah Minggu dapat berkembang bila mendapat perhatian dari para Pendeta.Tidak dapat disangkal, kepengurusan yang ada di sekolah minggu memang dibentuk oleh Majelis Jemaat yang notabene juga ada para Pendeta di dalamnya, tapi ternyata Sekolah Minggu memerlukan perhatian lebih dari pada itu. Keterlibatan para istri pendeta dalam mengajar akan membuat hal menarik, dan tentu saja memudahkan komunikasi dan interaksi dengan para pendeta pada umumnya. Demikian pula, keterlibatan para Pendeta dalam kegiatan-kegiatan Sekolah Minggu, tidak hanya pada saat persiapan-persiapan Sekolah Minggu, tapi juga dalam berbagai kegiatan, para Pendeta ditantang untuk terlibat aktif dalam membina dan mendampining para calon jemaat-jemaat dalam lingkungan sekolah minggunya ini. Ini adalah aset dan tidak boleh dilupakan begitu saja dari perhatian para pendeta.Saya yakin, saya melihat potensi ini agak kurang di lingkungan GKI BT, sehingga akhirnya kami di bidang pernah memutuskan untuk melibatkan 'tenaga kategorial' yang akan membantu menjembatani, menbina secara langsung, melakukan mentoring, melakukan pastoral kepada para guru sekolah minggu, pengurus dan jemaat komisi anak. Tapi ternyata, cara ini tidak sepenuhnya benar. Para tenaga kategorial ini, meskipun mereka memiliki hati dan melakukan 'pekerjaan' dan pelayanannya dengan maksimal, tetap saja masih memerlukan perhatian para pendeta, dan tidak hanya pertemuan rutin dan saling update, tapi lebih bagaimana jemaat anak mengenal sosok dan mengagumi para pendetanya. Mungkin terdengar aneh, tapi sedikit banyak, saya belajar mencari sosok dan mengagumi para pendeta pada waktu saya kecil dan mengikuti sekolah minggu.Mungkin tiap gereja memiliki perhatian yang berbeda.Memang benar, tiap gereja memiliki fokus pelayanan dan sedikit banyak tergambar dalam visi dan misi gerejanya masing-masing, tapi toh tetap saja, pelayanan sekolah minggu tidak bisa dianggap enteng. Perlunya keberadaan pendeta mendampingi dan hadir di tengah-tengah pelayanan komisi anak sepertinya tidak dapat dikesampingkan. Beberapa hal yang saya catat dalam pengalaman saya dari tahun 2004, diantaranya adalah sosok pimpinan dan kepemimpinan sekolah minggu yang perlu asistensi ketat. Kemudian juga bagaimana memastikan para guru sekolah minggu mengajarkan hal yang tepat dan baik sesuai dengan ajaran gereja. Dan kepastian kesetiaan para guru sekolah minggu untuk bergereja yang menjadi panutan jemaatnya.Tiap gereja juga memiliki cara sendiri menangani hal ini. Ada yang menganggapnya remeh dan membiarkan saja sekolah minggu berjalan dengan pimpinan Tuhan, ada juga yang sangat menjaga ajaran dan prosedur dalam menjalan sekolah minggu. Semua ini akan kembali kepada apa yang dinamakan 'perhatian' tadi.Apabila gereja yang memiliki perhatian untuk menjadi berkat bagi masyarakat dalam arti luas, seyogyanya mempertimbangkan untuk memiliki dan membina para kader-kadernya dengan maksimal, mulai dari usia dini, dan ini ada di sekolah minggu. Bagaimana sekolah minggu juga menjadi saluran ide, pembentukan pikiran dan opini serta kekuatan moral untuk mendukung ide besar gereja selalu menjadi tantangan sendiri.Memang sekolah minggu memiliki kurikulum yang telah menjadi garis besar pembinaan gereja secara umum, tetapi kekuatan untuk memasukkan ide visi dan misi gereja setempat juga menjadi hal yang harus diperhatikan.Ada saatnya kita lelah.Pada saat-saat tertentu, saya melihat, rekan-rekan pengurus komisi anak seringkali merasakan lelah. Lelah bukan karena mereka tidak suka dengan pelayanan komisi anak mereka, tetapi lelah menghadapi birokrasi. Langkah pemotongan akses birokrasi dalam gereja juga menjadi point tersendiri yang pernah saya tangani. Ketidakefektifan toh tetap saja terjadi. Peran penatua pendamping, tenaga kategorial, bahkan mungkin pendeta komisi sekalipun, dengan mudah dibuat di atas kertas, tapi sangat sulit dikontrol dan dilaksanakan.Saya pernah merasakan capek sendiri pada waktu mengurus komisi-komisi sedemikian banyak dengan beragam permasalahan dan intrik di dalammya, tapi dibalik kelelahan, ada kesegaran. Ada semangat baru untuk bangkit dan memperbaikinya. Dulu saya sempat berpikir, mungkin lebih baik jadi penatua, sehingga saya bisa membantu memperjuangkan ide dan gagasan komisi anak, tapi pernah saya terjebak sebaliknya, sayalah yang mengontrol ide dan gagasan dengan amat ketat sehingga seolah tidak bergerak, sehingga akhirnya saya sadar, saya pada waktu itu merasakan lelah, dan lelah itu wajar. Bahkan Tuhan sendiri pun mengambil waktu untuk tidur dan beristrirahat, tetapi setelahnya, kekuatan doa dan kuasaNya pulih dan mampu menghentak angin ribut di sekitarnya.Mulai lagiMungkin ini bisa menjadi langkah panjang, bisa juga menjadi langkah pendek pelayanan selanjutnya. Tidak ada yang tahu kecuali Tuhan. Selama di hati kecil ini, masih ada kerinduan untuk melihat mata-mata kecil itu merindukan Firman Tuhan, membimbing dan mengajar mereka menyanyi memuji Tuhan, mengenalkan kasih Tuhan kepada mereka, membagikan bagaimana kasih Tuhan begitu nyata dalam hidup saya, sangat lah mungkin pelayanan sekolah minggu menjadi pelayanan saya seumur hidup, tinggal menunggu saja, dimanakah Tuhan akan menempatkan saya, apakah tetap di GKI BT ataukah pindah ke GKI HI . Semuanya kembali kepada kehendakNya.
build-access-manage on www.dayaciptamandiri.com