Translate

Sunday, December 21, 2025

Kemampuan Bertanya: Kunci Kecerdasan di Era AI

*Kemampuan Bertanya: Kunci Kecerdasan di Era AI*

Pada suatu sore yang cerah, seorang ayah dan putrinya duduk berdampingan di ruang tamu. Sang putri, mahasiswa generasi Z yang akrab dengan teknologi, tiba-tiba bertanya, "Ayah, apakah kamu takut AI akan mengambil alih pekerjaan manusia?" Pertanyaan itu sederhana, namun mengandung kegelisahan yang kini banyak dirasakan masyarakat di era kecerdasan buatan (AI). Sang ayah, yang pernah menekuni dunia jurnalisme, tersenyum dan menjawab, "Tidak, Nak. Justru yang paling penting sekarang bukan siapa yang bisa menjawab paling cepat, tapi siapa yang bisa bertanya dengan tepat."

Kisah ini bukan sekadar percakapan keluarga. Ia adalah cerminan zaman, di mana kemampuan bertanya menjadi kunci untuk bertahan dan berkembang di tengah derasnya arus informasi dan kemajuan teknologi.

Di sebuah sekolah di pinggiran kota, seorang guru bertanya kepada murid-muridnya, "Apa yang ingin kalian ketahui tentang dunia di luar sana?" Awalnya, kelas hening. Namun, setelah beberapa saat, satu tangan kecil terangkat, "Bu, kenapa langit berubah warna saat senja?" Pertanyaan sederhana ini membuka diskusi panjang tentang sains, seni, dan keindahan alam.

Di kantor, seorang karyawan baru bertanya kepada atasannya, "Bagaimana cara terbaik untuk belajar dari kegagalan?" Pertanyaan ini memicu obrolan hangat tentang pengalaman, pembelajaran, dan pentingnya tidak takut mencoba hal baru.

Kisah-kisah seperti ini menunjukkan bahwa bertanya adalah awal dari pembelajaran, inovasi, dan perubahan. Di setiap sudut Indonesia, dari desa hingga kota, dari sekolah hingga kantor, seni bertanya adalah jembatan menuju masa depan yang lebih baik.

Di era AI, ketika jawaban bisa didapatkan dalam hitungan detik, justru pertanyaan yang baiklah yang menjadi pembeda. Seperti kata Sam Altman, CEO OpenAI, "Mencari tahu pertanyaan apa yang harus ditanyakan akan lebih penting daripada mencari tahu jawabannya."

Albert Einstein pernah berkata, "Jika saya punya waktu satu jam untuk memecahkan masalah, saya akan menghabiskan 55 menit untuk memahami masalahnya dan hanya 5 menit untuk mencari solusinya." Kutipan ini mengajarkan bahwa inti dari pemecahan masalah bukan pada kecepatan menemukan jawaban, tetapi pada kedalaman kita memahami pertanyaannya. Dalam dunia yang serba cepat, banyak orang terburu-buru mencari solusi tanpa benar-benar memahami akar permasalahan. Padahal, dengan sedikit waktu untuk merenung dan bertanya, solusi yang lebih tepat dan berkelanjutan bisa ditemukan.

Jeff Bezos, pendiri Amazon, juga menyoroti pentingnya bertanya. Ia berkata, "Saya sering mendapat pertanyaan: 'Apa yang akan berubah dalam 10 tahun ke depan?' Tapi hampir tidak pernah ada yang bertanya: 'Apa yang tidak akan berubah dalam 10 tahun ke depan?'" Dengan fokus pada hal-hal yang tetap konstan, Bezos membangun strategi bisnis yang tahan lama dan relevan bagi pelanggan.

Bayangkan Anda sedang berada di sebuah perpustakaan raksasa, di mana setiap buku, artikel, dan data tersedia hanya dengan satu klik. Namun, tanpa pertanyaan yang jelas, Anda akan tersesat di lautan informasi itu. Inilah tantangan utama di era digital: bukan kekurangan jawaban, melainkan kelangkaan pertanyaan yang bermakna.

Di zaman AI ini kemampuan bertanya adalah senjata yang sesungguhnya. Pertanyaan adalah seni menjelajah pengetahuan, lebih dalam dan luas daripada sekadar menghafal jawaban. Cerita imajinatif Einstein menunggang cahaya menjadi simbol: dengan keberanian bertanya "bagaimana jika", ia melompat ke alam pikiran baru. Hingga kemudian imajinasinya menunggangi cahaya tersebut kelak di kemudian hari menjadi teori yang sangat terkenal di dunia fisika: "teori relativitas". Begitu pula kita: dengan seni bertanya ala Pestalozzi, kita menavigasi kecerdasan buatan dan informasi melimpah, menemukan solusi dan pemahaman yang benar-benar baru. Bertanya bukan lagi akhir cerita, melainkan awal dari petualangan intelektual yang berkelanjutan.

Tidak hanya Einstein sebagai murid yang menjadi warisan dari konsep reformasi pendidikan Pestalozzi, warisan Pestalozzi juga mewarnai karya banyak pemikir dan inovator besar lainnya. Friedrich Frรถbel, pendiri taman kanak-kanak, misalnya, mengembangkan metodenya berdasarkan ide-ide Pestalozzi. Begitu pula tokoh-tokoh seperti Maria Montessori dan Jean Piaget, namanya sering disebut dalam aliran pendidikan yang "berada dalam jalur" pemikiran Pestalozzi. Pendidikan kontemporer banyak terinspirasi oleh prinsip Pestalozzi tentang belajar dari pengalaman konkret, sebuah jejak yang masih kita ikuti hingga kini.

Penting untuk disadari bahwa di era Kecerdasan Buatan, jawaban telah menjadi sesuatu yang dapat diproduksi secara massal oleh mesin. Namun, kebijaksanaan yang terkandung dalam sebuah pertanyaan tetap menjadi hak prerogatif manusia. Kita tidak boleh menjadi wadah penampung informasi yang pasif; kita harus tetap menjadi pengamat dunia yang aktif, layaknya siswa-siswa Pestalozzi yang diajak mengamati sungai dan batu di depan mata mereka.

Seni bertanya adalah jembatan yang menghubungkan pengetahuan masa lalu dengan inovasi masa depan. Dari kegigihan Pestalozzi membela hak anak-anak miskin untuk berpikir mandiri, hingga langkah berani para pendiri startup Indonesia yang menantang kemacetan Jakarta, satu hal yang pasti: perubahan selalu dimulai dari seseorang yang berani bertanya "Mengapa?" dan "Bagaimana jika?". Dengan terus bertanya, kita memastikan bahwa kemanusiaan tetap memiliki kedaulatan atas teknologi yang diciptakannya sendiri.

Untuk tulisan lebih lengkapnya bisa dibaca di link berikut ini
๐Ÿ‘‡๐Ÿ‘‡๐Ÿ‘‡
https://socioinformatics.id/kemampuan-bertanya-kunci-kecerdasan-di-era-ai/

AO

Tangerang Selatan, 21 Desember 2025 

Fanky Christian

Sekjen APTIKNAS (Asosiasi TIK Nasional) 2022-2027

Founder DCM Group - www.dayaciptamandiri.com
Check our next events at www.eventcerdas.com
Build Your Talents - www.521talenta.com
Join B2B Community - www.indobitubi.com