Translate

Sunday, June 02, 2013

Tentang Persepuluhan...




Seorang anggota jemaat bertanya kepada pendetanya:

“Sebagian teman saya memberikan “perpuluhan“, yaitu sepuluh persen dari pendapatan mereka untuk dipersembahkan di gereja. Mereka mengatakan bahwa hal ini `alkitabiah’ dan dapat ditemukan dalam Alkitab. Mohon dijelaskan mengenai perpuluhan, dan apakah kita wajib memberikan perpuluhan?
Jawab pendeta:
Istilah yang tepat adalah persepuluhan, bukan perpuluhan.
Pertama kali persepuluhan muncul di Alkitab dalam Kitab Kejadian ketika Melkisedek, seorang raja dan seorang “imam Allah Yang Mahatinggi,” mempersembahkan korban roti dan anggur sebagai ucapan syukur atas kemenangan Abraham atas beberapa raja musuh. Sebagai persembahan kepada Tuhan, Abraham memberikan kepada Melkisedek “sepersepuluh dari semuanya” (Kej 14:17-20).
Dalam Kejadian 28:22, kita juga menemukan persembahan persepuluhan Yakub kepada Allah di Betel. Nazar Yakub itu didasari oleh pengalaman religius melalui mimpi tentang kehadiran Allah dan iman Yakub bahwa Allah akan menyertai perjalanannya dengan selamat.
Hukum Taurat menetapkan persembahan persepuluhan. Umat mempersembahkan kepada Tuhan sepersepuluh dari seluruh hasil benih yang tumbuh di ladang, dari anggur dan minyak, ataupun dari anak-anak sulung lembu sapi dan kambing domba (Ul 12:17, 14:22-29). Persepuluhan yang demikian merupakan ungkapan bahwa Tuhan telah dengan murah hati menganugerahkan berkat-berkat ini atas manusia, dan manusia sebagai balasannya mempersembahkan suatu korban syukur sebesar sepersepuluh dari “hasil-hasil pertama”.
Kitab Bilangan juga mencatat bagaimana Tuhan menetapkan bahwa kaum Lewi, golongan imam dari kalangan bangsa Yahudi diserahi kepercayaan atas persepuluhan ini (Bil 18:21-24). Karenanya, persepuluhan ini merupakan persembahan yang dipersembahkan kepada Tuhan dan dibagi-bagikan di kalangan kaum Lewi untuk menopang hidup mereka.
Dari Maleakhi 3:10 kita mengetahui bahwa Tuhan berfirman: “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharan, supaya ada makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman Tuhan semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan”. Ayat ini mengingatkan umat untuk memberikan persembahan persepuluhan. Pada hakikatnya dengan memberikan persembahan persepuluhan, umat tidak akan rugi atau menjadi miskin/kekurangan. Sekalipun demikian ayat ini tidak boleh ditafsirkan bahwa memberi persembahan persepuluhan akan mendorong Allah untuk mencurahkan berkat atau persembahan persepuluhan merupakan alat untuk menyuap/memancing Tuhan agar mencurahkan berkat dengan berlimpah. Jika demikian yang dihayati, maka persepuluhan yang diberikan bukanlah persembahan yang tulus.
Menariknya, praktek persepuluhan adalah umum di kalangan masyarakat kuno Yunani, Roma, Arabia, Babilonia dan Persia. Sebagian ahli kepurbakalaan beranggapan bahwa besarnya sepuluh persen yang menjadi dasar persepuluhan ini adalah karena angka 10 merupakan dasar bagi sistem numerik dan dengan demikian melambangkan totalitas. Oleh sebab Tuhan adalah penguasa totalitas, maka segala berkat yang diterima darinya merupakan anugerah dari Tuhan, dan karenanya sungguh merupakan tindakan syukur yang pantas untuk mengembalikan – sepersepuluhnya – kepada Tuhan.
Dari penelitian ayat-ayat perjanjian Lama, dapat disimpulkan bahwa persembahan persepuluhan merupakan:
  1. Ucapan syukur umat atas kasih dan berkat yang telah diterima dari Tuhan.
  2. Bersifat sosial dalam persekutuan umat Tuhan.
  3. Tanggungjawab moral untuk menunjang kehidupan pekerjaan Tuhan sehingga para pelayan Tuhan dapat melaksanakan tugas panggilannya serta ibadat dan persekutuan umat dapat berjalan lebih baik.
Jadi penghayatan persembahan persepuluhan merupakan bagian dari tanggungjawab iman dan kasih umat kepada Tuhan yang diwujudkan dengan mendukung penyelenggaraan pekerjaan Tuhan di muka bumi. Persembahan ini bukan sebagai beban tapi sebagai panggilan iman. Persembahan persepuluhan diberikan dengan ucapan syukur yang tulus dan sukacita bukan dengan pamrih mendapatkan keuntungan lebih besar; kasih yang rela memberi tanpa berharap balas jasa.
Dalam sejarah awal Gereja, para pelayan gereja mengandalkan persembahan sukarela dari jemaat dalam menunjang kebutuhan mereka. Kebiasaan ini didasarkan pada perintah Perjanjian Baru: Tuhan Yesus mengajarkan kepada para rasul untuk mengandalkan pemberian kasih apabila Ia mengutus mereka dalam tugas perutusan, “Janganlah kamu membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu. Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya.” (Mat 10:9-10). Paulus juga memberikan perintah kepada komunitas Gereja Perdana untuk menyediakan kebutuhan para imam mereka, “Tidak tahukah kamu, bahwa mereka yang melayani dalam tempat kudus mendapat penghidupannya dari tempat kudus itu dan bahwa mereka yang melayani mezbah, mendapat bahagian mereka dari mezbah itu? Demikian pula Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu” (1 Kor 9:13-14). Persembahan yang demikian, tentu saja, merupakan persembahan yang sukarela dan dalam batas kemampuan orang.
Perjanjian Baru tidak menentukan prosentase penghasilan yang harus disisihkan tapi hanya mengatakan, “sesuai dengan apa yang kamu peroleh” (1 Korintus 16:2). Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita (2 Korintus 9:7).
Dapat disimpulkan bahwa dalam Perjanjian Baru, pemberian persembahan merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan yang diberikan oleh umat sesuai dengan apa yang diperoleh, disertai kerelaan dan sukacita. Harus diingat bahwa memberikan persembahan adalah pengucapan syukur yang meluap dari hati terdalam karena telah menerima kasih dan pengorbanan Tuhan Yesus Kristus yang amat besar dan mulia. Tidak penting berapa jumlahnya, tapi memberi dengan rela dan sukacita. Apakah ini berarti kita boleh “asal memberi”? Tentu tidak! Perhatikan II Korintus 9:6 yang mengatakan: “orang yang menabur sedikit akan menuai sedikit juga dan orang yang menabur banyak akan menuai banyak juga.” Dengan demikian perlu kejujuran dalam menghitung dan mensyukuri berkat Tuhan. Tuhan akan memberkati orang yang memberi dengan tulus dan jujur. Bukankah kematian dan pengorbanan Tuhan Yesus yang begitu mulia tidak dapat diukur dengan segala kemuliaan dan harta benda di dunia ini? Tuhan Yesustelah memberikan 100% hidupnya untuk menyelamatkan kita. Karenanya Salib Kristus mendorong dan memanggil kita untuk mempersembahkan seluruh hidup dan milik kita. Roma 12:1 mengatakan: “… supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Terkait dengan ayat tersebut, kita tidak hanya perlu mengevaluasi diri dalam hal persembahan material yang diberikan kepada gereja, melainkan juga persembahan dalam bentuk waktu dan bakat serta seluruh karya hidup kita.
Ayat-ayat di atas mengajak kita memberi lebih dari aturan dalam Perjanjian Lama. Ini berarti kita bisa memberi lebih dari persepuluhan. Angka 10% dari Perjanjian Lama dapat kita pakai sebagai ukuranminimum dalam memberi persembahan. Hendaknya masing-masing kita minimal menjadi orang yang “memberi persepuluhan” daripada orang yang “memberi sekedar tip” kepada Tuhan. Sekalipun demikian orang Kristen tidak boleh merasa terpaksa memberi persepuluhan. Orang Kristen sepatutnya memberi sesuai dengan apa yang mereka mampu dengan sukacita dan penuh syukur.
Di GKI tidak ada ketentuan mengenai persepuluhan, kita tidak diwajibkan memberi persembahan dengan jumlah tertentu seperti persepuluhan. Karenanya sampul persembahan di GKI adalah sampul bulanan (bukan sampul persepuluhan) supaya tidak terikat prosentase tertentu, namun mestinya umat tetap memberikan persembahan dengan jujur dan penuh syukur secara rutin sesuai berkat Tuhan yang telah kita terima. Kita juga sungguh memiliki tanggungjawab untuk ikut serta menunjang kebutuhan-kebutuhan Gereja.
Mari kita mengevaluasi apa yang telah kita lakukan dalam memberi persembahan: sudahkah kita lakukan dengan penuh syukur? Sudahkah kita berikan dengan jujur? Sudahkah kita berikan dengan rela dan sukacita?
TUHAN memberkati persembahan Saudara!

Sumber : Ambil & Bacalah! Edisi 1. April 2007. Departemen Pengajaran


Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)