Translate

Tuesday, November 23, 2010

IMAN KRISTEN VS KARMA

IMAN KRISTEN VS KARMA
oleh:
Denny Teguh Sutandio

teman saya yang beragama
Kristen dan non-Kristen pernah mengupdate
statusnya di BlackBerry Messenger (BBM) dengan mengatakan bahwa ternyata
karma
itu ada. Apa itu karma? Dari mana konsep karma itu muncul? Bagaimana
orang-orang "Kristen" zaman ini menafsirkan karma? Apa kata Alkitab tentang
karma?

I.KARMA: ASAL USUL DAN AJARANNYA

Karma atau dalam bahasa
Pali: kamma yang berasal dari India
kuno ini berarti konsep "aksi" atau "perbuatan" yang dalam agama India
dipahami
sebagai sesuatu yang menyebabkan seluruh siklus kausalitas
(yaitu, siklus yang disebut "samsara"). Konsep ini dijaga
kelestariannya di filsafat Hindu, Jain, Sikh dan Buddhisme.[1] Di
dalam Buddhisme, karma berarti "niat
untuk melakukan perbuatan."[2]
Karma bisa melalui pikiran (perbuatan yang dilakukan dengan pikiran), ucapan
(perbuatan yang dilakukan dengan ucapan), dan badan (perbuatan yang dilakukan
dengan badan). Selanjutnya, dalam Buddhisme, hukum karma berarti hukum sebab
akibat. Di dalam Samyutta Nikaya dinyatakan:
"Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pulalah buah yang dituai. Mereka
yang menanam kebajikan akan tumbuh kebahagiaan."[3] Lalu, jika kita
melihat kondisi dunia kita,
bukankah bisa terjadi sebaliknya (yang baik malahan menderita, yang jahat
malahan sukses)? Menanggapi hal demikian, Bhikkhu Utamo Thera dalam
artikelnya
Hukum Karma menjelaskan,

"Kalau hukum karma diumpamakan sebagai sebuah sawah yang
mempunyai tanaman padi dan jagung, di mana tanaman padi dan jagung tersebut
mempunyai usia panen yang berbeda, maka tanaman jagung tentu akan panen
terlebih dahulu daripada tanaman padi. Demikian pula perbuatan baik dan
buruk.
Kalau kita sudah berbuat baik tetapi masih menderita, ini disebabkan karena
perbuatan baik kita belum saatnya dituai/dipanen. Dalam hal ini kita memetik
buah dari perbuatan buruk terlebih dahulu. Jadi semua itu ada waktunya,
walaupun adakalanya masih bisa dipercepat sampai batas-batas tertentu."[4]

Oleh karena itu, Bhikkhu
Utamo Thera menggolongkan karma dari segi waktu, fungsi, dan bobot. Dari segi
waktu, ada 4 kategori karma:[5]

a). Karma
yang langsung berbuah

Misalnya
kita mencuri helm milik orang lain, karena helm kita dicuri seseorang. Supaya
tidak ketahuan, kita mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi
walaupun
lampu lalu lintas berwarna merah. Akhirnya kita ditangkap polisi. Terpaksa
kita
harus membayar tilang Rp 15.000, - (padahal harga sebuah helm hanya Rp
10.000,-). Ini adalah karma yang langsung berbuah.

b). Karma
yang berbuah agak lama tetapi masih dalam satu kehidupan.

Misalnya
orang yang melakukan meditasi hingga tingkat jhana yang tinggi sekali,
setelah
meninggal langsung terlahir di alam brahma.

c). Karma
yang berbuah pada kehidupan-kehidupan yang berikutnya.

Misalnya
orang yang sering mendengarkan Dhamma pasti akan terlahir di alam sorga dalam
kehidupan-kehidupan yang berikutnya. Mengapa demikian? Dengan mendengarkan
Dhamma berarti kita melatih dana perhatian. Pikiran, ucapan dan perbuatan
kita
terjaga dengan baik pada saat itu. Kita bisa mengerti dan melaksanakan
Dhamma.
Bahkan hal ini amat sesuai dengan salah satu sutta Sang Buddha, bahwa
mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat adalah berkah utama.

d). Karma
yang tidak sempat berbuah karena kehabisan waktu atau kehilangan kesempatan
untuk berbuah.

Sering
ada orang yang mengatakan bahwa tercapainya Nibbana apabila karma baik dan
buruk telah habis. Padahal karma itu tidak mungkin habis karena jumlahnya
tidak
terbatas. Tetapi karma bisa dipotong! Kita bisa merasakan karma apabila kita
mempunyai badan dan batin, artinya kita dilahirkan. Kalau kita tidak
dilahirkan
kembali, kesempatan untuk merasakan karma baik dan buruk menjadi tidak ada.
Akhirnya ada karma yang tidak sempat berbuah.

Dari segi fungsi, karma
dibagi menjadi:[6]

a). Fungsi
karma yang melahirkan

Misalnya:
ada orang yang dilahirkan dalam kondisi mempunyai banyak penyakit. Kenapa
terjadi demikian? Sesuai dengan benih yang ditanam, demikian pula buah yang
dituainya; karena ada penyiksaan maka bisa terlahir sakit-sakitan.

b). Fungsi
karma yang mendukung à mendukung fungsi karma yang
melahirkan. Misalnya: selain terlahir di keluarga yang miskin, dia juga
terlahir dalam keadaan cacat. Ini adalah karma yang mendukung.

c). Fungsi karma yang mengurangi à berhubungan
dengan perbuatan kita saat ini. Misalnya: meskipun miskin dan cacat, orang
tersebut mempunyai sila yang baik.

d). Fungsi
karma yang memotong

Karena
silanya baik, ucapannya baik, tingkah lakunya baik, maka ada orang yang
simpati
kepadanya. Orang tersebut diberi pekerjaan yang sesuai dengan keadaannya. Ini
adalah karma yang memotong, artinya bertentangan dengan yang sedang terjadi.
Karma juga berhubungan dengan perbuatan saat ini. Apa yang terjadi pada saat
ini, itulah yang menentukan karma kita. Jadi karma bukanlah nasib! Karma
masih
bisa diperbaiki dan diubah dengan melihat fungsi karma karena karma adalah
niat
berbuat. Perbuatan itulah yang paling penting!

Menurut bobotnya, karma
dibagi menjadi:[7]

a). Bobot
karma super berat

Karma
super berat yang baik misalnya; orang yang mencapai jhana, setelah meninggal
langsung terlahir di alam brahma; atau memperoleh pañña yang berarti
tercapainya Nibbana. Sedangkan super berat yang buruk ada 5 (lima) yaitu
membunuh ayah, membunuh ibu, membunuh seorang Arahat, melukai Sammasambuddha,
dan memecah belah Sangha. Apabila salah satunya dilakukan maka setelah
meninggal orang tersebut langsung terlahir di alam neraka.

b). Karma
yang muncul pada saat kematian

Di
dalam pikiran akan terjadi satu seleksi pada saat proses kematian
yaitu mengingat
perbuatan yang pernah berkesan di dalam diri kita. Misalnya; sebelum
meninggal,
seseorang teringat bahwa dia sering mendengarkan Dhamma, sering bertemu
bhikkhu-bhikkhu dan meninggal dalam keadaan bahagia maka orang tersebut akan
terlahir di alam bahagia. Sebaliknya kalau kesannya tidak baik, orang
tersebut
dapat terlahir di alam menderita.

c). Kalau
di dalam proses kematian itu tidak ada yang berkesan atau tidak sempat
terpikir, misalnya karena meninggal dalam keadaan koma maka yang berbuah
adalah
kebiasaannya. Umpamanya orang yang mempunyai kebiasaan latah maka
seandainya setelah meninggal terlahir menjadi manusia, dia akan menjadi orang
yang suka humor.

d). Bobot
yang super ringan atau kecil à apabila karma yang super berat,
karma pada saat kematian, dan karma kebiasaan tidak muncul maka karma yang
super ringan yang akan berbuah. Misalnya: pada suatu waktu kita melihat ada
paku payung di jalan lalu kita singkirkan supaya tidak mencelakakan orang
lain.
Ini adalah bobot yang super ringan. Apabila bobot yang super ringan ini
muncul
pada saat kematian dan kita merasa bahagia karena bisa menolong orang lain
maka
kita akan terlahir di alam bahagia.

Dengan
kata lain, konsep karma dapat disingkat dengan pernyataan berikut, "Hidup
kita
ditentukan oleh diri kita sendiri, bukan oleh suatu makhluk adikuasa."[8] Di
artikel yang sama, si penulis mengungkapkannya dengan jelas, "Sang
Buddha menekankan bahwa kita lah yang menentukan hidup kita sendiri.
Kita juga bisa seperti Buddha dan setara dengan Buddha untuk mencapai
kebijaksanaan tertinggi atau penerangan sempurna dengan segenap usaha,
semangat, ketekunan, dan pengetahuan sendiri. Kita dapat bertekad untuk
mencapai ke Buddha an dengan segala apa yang kita miliki. Oleh sebab itu,
berbahagialah kita karena kita pun bisa mencapai kesucian seperti guru
junjungan kita. Hal yang sangat jarang dalam kepercayaan lain yang melemahkan
posisi manusia yang telah jatuh ke dalam Lumpur Dosa dan hanya oleh kekuatan
tetentu saja baru bisa keluar dari sana."[9]

Lalu,
apa akibat dari karma?

"Akibat dari karma buruk adalah tumimbal lahir di tiga alam penderitaan
(neraka, hantu kelaparan, dan binatang). Contoh karma buruk yang dapat
menyebabkan seseorang terlahir di alam
neraka antara lain: membunuh orangtua kandung, membunuh orang suci/
Arahat/Bodhisattva,
dan melukai Buddha. Sedangkan akibat dari karma baik adalah
tumimbal lahir di alam manusia atau surga. Sedangkan para Buddha, Arahat
dan Bodhisattva yang sudah mencapai Pencerahan Sempurna memperoleh karma
tidak
bergerak, namun Bodhisattva yang karena welas-asihnya untuk menyeberangkan
semua makhluk yang menderita dapat saja bertumimbal lahir lagi di alam
manusia."[10]

Bagaimana
caranya kita mengetahui karma pada hidup manusia?

"Memang proses bekerjanya
karma tidak dapat kita amati atau dibuktikan secara ilmiah, namun prinsip
bahwa kita akan menuai sesuai dengan apa yang kita tanam itulah yang penting
untuk kita renungkan. Proses bekerjanya karma hanyalah dapat dipahami
sepenuhnya oleh seorang Buddha atau Yang Telah Tercerahkan. Untuk mengetahui
karma dari kelahiran kita sebelumnya, maka renungkanlah berbagai kejadian
baik
berupa penderitaan [dukkha] ataupun kebahagiaan [sukkha] yang menimpa kita
dalam kehidupan saat ini. Sehingga kita tidak tersudut ke dalam suatu kondisi
di mana kita harus mencela orang lain sewaktu menderita ataupun terlalu
menjunjung orang lain sewaktu kita berbahagia. Karma yang berbuah dalam
kehidupan ini apakah menghasilkan kebahagiaan ataupun penderitaan haruslah
kita
syukuri sebagai makin berkurangnya timbunan karma kita sehingga makin
terbukalah peluang untuk kita keluar dari arus kelahiran dan kematian. Namun
demikian kitapun tidak perlu terjebak pada sikap pesimistik dengan
menyalahkan
kehidupan sebelumnya yang menciptakan karma buruk pada kehidupan saat ini
karena
Buddhisme tidak mengajarkan fatalisme yaitu suatu sikap yang menyalahkan
segala
sesuatu kejadian sebagai kodrat, takdir ataupun nasib. Buddhisme mengajarkan
suatu tuntunan buat kita untuk melihat kehidupan saat ini sebagai alam
kehidupan yang memungkinkan manusia untuk berlatih diri keluar dari lingkaran
kehidupan dan kematian."[11]

II.KONSEP "KRISTEN" BERKENAAN DENGAN KARMA

Berkenaan dengan karma,
ternyata orang-orang di luar penganut agama Hindu dan Buddha pun terpengaruh
oleh ajaran ini, tidak terkecuali beberapa (atau banyak?) orang "Kristen".
Demi
kompromi dengan agama lain (dengan dalih "toleransi"), maka beberapa (atau
banyak?) orang Kristen menyetujui tanpa berpikir kritis dengan konsep karma
(bahkan yang mengkritisi konsep karma akan dicap "menghakimi"), bahkan ada
yang
menambahinya dengan konsep Alkitab tentang tabur tuai (Gal. 6:7). Apalagi
beberapa hamba Tuhan/pemimpin gereja yang matre, hukum tabur tuai dipakai
untuk
mengeruk keuntungan dengan mengajar, "Berilah persembahan, maka Tuhan
akan melipatgandakan
100x lipat." Seolah-olah Tuhan bisa diperintah dan harus menaati apa yang
manusia kehendaki.

III.TINJAUAN KRITIS IMAN KRISTEN TERHADAP KONSEP KARMA

A. Presuposisi Karma: Konsep Tuhan yang Tak Berpribadi

Sebelum membahas tinjauan
iman Kristen yang sesuai dengan Alkitab menyoroti konsep karma, maka kita
akan
mencoba berpikir kritis dan logis tentang karma. Kalau kita perhatikan
kembali
asal mula konsep karma, maka sangat jelas bahwa karma lahir dari Hinduisme
yang
nantinya mempengaruhi Buddhisme. Di dalam Hinduisme dipercaya, "Tuhan
(Hyang Widhi), yang bersifat
Maha Ada, juga berada di setiap makhluk hidup, di dalam maupun di luar dunia
(imanen dan transenden). Tuhan (Hyang Widhi) meresap di segala tempat dan ada
di mana-mana (Wyapi Wyapaka), serta tidak berubah dan kekal abadi
(Nirwikara)… Tuhan yang Tunggal (Esa) itu
dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma
sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Ciwa sebagai
pelebur/pemralina.
Banyak lagi panggilannya yang lain."[12] Sedangkan
di dalam Buddhisme dipercaya, "Yang Mutlak (Tuhan) dalam agama Buddha
tidaklah
dipandang sebagai sesuatu pribadi (punggala
adhitthâna), yang kepada-Nya umat Buddha memanjatkan doa dan menggantungkan
hidupnya. Agama Buddha mengajarkan bahwa nasib, penderitaan dan keberuntungan
manusia adalah hasil dari perbuatannya sendiri di masa lampau, sesuai dengan
hukum kamma yang merupakan satu aspek Dhamma."[13]
Kedua agama ini TIDAK mempercayai Allah yang berpribadi, sehingga tidak
heran,
penganut kedua agama ini mempercayai bahwa tujuan akhir hidup manusia
bukan di
tangan Tuhan, tetapi di tangan manusia sendiri. Sebelum kita mengaitkan
konsep
Tuhan mereka dengan konsep karma, maka ada baiknya kita membahas tentang
konsep
Tuhan mereka terlebih dahulu.

Kedua agama ini TIDAK
mempercayai konsep Tuhan yang berpribadi, maka tentunya mereka hanya
mempercayai
bahwa Tuhan itu roh. Dan mereka percaya bahwa Tuhan yang adalah roh itu
berada
di mana-mana dan tidak bisa dilihat dan didengar (konsep Hinduisme).
Pertanyaan
saya selanjutnya:

Pertama, jika Tuhan itu
berwujud roh saja yang tidak bisa dilihat dan didengar, dari mana
Hinduisme bisa muncul? Bukankah Hinduisme percaya bahwa Tuhan itu hanya roh
yang tidak bisa didengar dan dilihat?

Kedua, jika Tuhan hanya
berwujud roh, bagaimana mungkin Buddhisme mengajarkan bahwa Tuhan itu, "Yang
Mutlak, Yang Tertinggi, Yang Maha Suci, dan akhir tujuan semua mahluk."[14]
Coba pikirkan: Pertama, Jika Tuhan diklaim Yang Mutlak, dengan dasar apa kita
mengetahuinya (problema epistemologi), padahal Tuhan dalam agama ini diklaim
tidak bisa dideskripsikan (agama Buddha memandang Yang Mutlak dalam aspek
nafi
(meniadakan segala sesuatu yang dapat dipikirkan)[15])?
Apa bedanya Tuhan dengan setan yang sama-sama roh yang juga tidak bisa
dideskripsikan?
Jika mereka menjawab, dari perbuatannya, pertanyaan saya selanjutnya adalah
bagaimana kita dapat membedakan bahwa kalau dari Tuhan itu benar, sedangkan
dari setan itu salah? Kalau mereka menjawab, hati nurani, saya bertanya lagi,
apakah hati nurani menjamin suatu tindakan itu benar atau salah? Bukankah
hati
nurani juga bisa dipengaruhi oleh tradisi dan kebudayaan tertentu? Di sini,
mereka akan mengalami kebuntuan cara berpikir. Kedua, jika Tuhan diklaim
sebagai akhir tujuan semua manusia, sedangkan manusia sendiri berpribadi,
mungkinkah Tuhan itu tak berwujud pribadi? Jika mereka menjawab bahwa Tuhan
tidak menciptakan manusia, melainkan ada dengan sendirinya melalui
hukum alam, mereka
PASTI berhadapan dengan kebuntuan cara berpikir: mungkinkah dari sebuah hukum
yang mati dapat menghasilkan manusia yang berpribadi? Logika sederhananya
adalah mungkinkah dari sebuah hukum gravitasi yang MATI dapat
menghasilkan benda atau bahkan manusia?

B.
Kaitan
Konsep Tuhan Tak Berpribadi Dengan Karma

Selanjutnya, konsep Tuhan
mereka jika dikaitkan dengan karma akan semakin terlihat kacau. Hukum karma
mengajarkan bahwa hidup manusia itu ditentukan oleh manusia itu
sendiri. Pertanyaannya
adalah jika mereka benar-benar mempercayai Tuhan itu ada dan
Mahakuasa, pertanyaan
saya adalah mengapa Tuhan tersebut tidak memelihara hidup manusia malahan
manusia yang harus mengontrol hidupnya sendiri? Bukankah "Tuhan" yang
demikian
adalah Tuhan yang tak berkuasa, meskipun mereka mengakui bahwa Tuhan itu
Mahakuasa? Konsep ini mirip seperti konsep dalam Kekristenan arus theologi
Arminian yang mengajarkan bahwa keselamatan bisa hilang. Jika keselamatan
yang
katanya dari Allah itu bisa hilang, sungguh mengasihankan Allah seperti ini
karena tak mampu memelihara apa yang telah dikerjakan-Nya sejak awal.

C. Kelemahan Konsep Karma

Sekarang, kita akan
menyoroti secara spesifik tentang hukum karma itu sendiri. Hukum karma
mengajarkan bahwa jika seseorang di kehidupan sekarang berbuat baik, maka di
kehidupan akan datang ia akan menjadi manusia, sedangkan jika tidak, maka di
kehidupan akan datang, ia akan menjadi binatang atau makhluk lain yang
rendah. Atau
hukum karma mengajarkan hal lain: apa yang kita tabur di kehidupan sekarang
akan kita tuai di kehidupan selanjutnya. Misalnya, kalau kita mengalah, maka
kita akan menuai keuntungan. Ada juga karma yang tidak langsung terjadi
demikian, namun menunggu waktu (baca pembagian karma dari segi waktu
di atas). Akibat
konsep ini, maka sebuah website Buddhis mengatakan bahwa jika di kehidupan
saat
ini seseorang itu tampan/cantik, maka itu karena di kehidupan sebelumnya,
orang
itu telah berbuat baik, sebaliknya jika di kehidupan saat ini orang itu
jelek,
itu karena di kehidupan sebelumnya, orang itu berbuat jahat.

Mari kita analisa:

Pertama, kaburnya konsep
tentang karma. Karma mengajarkan sebab akibat, X mengakibatkan Y, Y
disebabkan
X, dst, pertanyaan saya adalah siapa/apakah yang menjadi penyebab
utama (penggerak
yang tidak digerakkan/unmoved mover)?
Jika mereka berkata, hukum alam, pertanyaan berikutnya, bukankah hukum
alam itu
sesuatu yang mati? Mungkinkah dari yang mati mengakibatkan yang hidup?
Setelah
itu, sebab akibat pasti memiliki akhir yang tidak bisa menyebabkan hal lain,
maka siapa/apakah yang menjadi akibat terakhir?

Kedua, kaburnya standar dan
kriteria klasifikasi karma. Di atas disebutkan bahwa ada karma baik dan
buruk,
maka pertanyaan saya, dengan standar apa mengukur baik dan buruk
tersebut? Kedua,
apakah kriteria menyebut tindakan membunuh sebagai karma buruk? Membunuh
semua
makhluk hidup, termasuk binatang adalah sesuatu yang buruk? Mari kita
pikirkan secara
logis. Jika membunuh nyamuk itu suatu dosa, maka logikanya adalah biarkan
nyamuk itu menggigit manusia dan mengakibatkan manusia itu mengidap penyakit.
Jika nyamuk itu nyamuk yang mengakibatkan penyakit demam berdarah atau
penyakit
berbahaya lainnya, maka membiarkan untuk TIDAK membunuh nyamuk justru
mengakibatkan manusia sakit dan meninggal. Jika satu manusia dibiarkan
digigit
nyamuk, maka otomatis manusia lain juga demikian, akibatnya banyak manusia
akan
meninggal karena digigit nyamuk yang menurut iman Buddhisme tidak boleh
dibunuh. Bukankah akibat ini tidak sesuai dengan pernyataan Buddhisme
sendiri,
"Biarlah semua makhluk berbahagia"?

Ketiga, kaburnya akibat
karma. Di atas dijelaskan bahwa akibat karma buruk adalah "tumimbal
lahir di tiga alam penderitaan (neraka, hantu
kelaparan, dan binatang)." Menanggapi hal ini, saya
mengajukan beberapa pertanyaan: Pertama, dari mana seorang Buddhis mengetahui
bahwa ada tiga alam penderitaan? Lebih tajam lagi, dari mana muncul 3 alam
penderitaan tersebut? Ada dengan sendirinya? Atau hukum alam (MATI) yang
menciptakannya? Kedua, ada alam hantu kelaparan. Bagi saya, ini adalah suatu
kekontradiksian nama. Hantu adalah sesuatu yang bersifat roh yang tidak bisa
didengar dan dilihat, maka masa mungkin ada roh yang kelaparan? Kalau yang
kelaparan itu pasti adalah sesuatu yang berpribadi seperti manusia.

Keempat, kaburnya proses
kerja karma. Di atas sudah disebutkan bahwa proses bekerjanya karma itu tidak
dapat dibuktikan secara ilmiah, berarti di titik pertama, konsep ini sudah
tidak logis. Selanjutnya, proses kerja karma dapat diketahui tatkala kita
merenungkan penderitaan dan kebahagiaan pada saat ini (dan tentunya
mengaitkannya dengan kehidupan masa lalu), akibatnya kita tidak mudah
menghina
orang lain yang menderita atau menyanjung mereka yang berbahagia. Akibat
ini di
satu sisi ada baiknya, karena akibat ini membukakan kepada kita tentang
realitas hidup di dunia (penderitaan dan kesukaan), namun juga ada
salahnya. Kalau
kita tidak menghina orang lain yang susah atau memuji orang lain yang
berbahagia, berarti kita berada di dalam kondisi cuek atau tidak peduli.[16]

Selanjutnya, dikatakan bahwa
konsep karma ini tidak mengakibatkan manusia menjadi pesimistis, karena,
"Buddhisme mengajarkan suatu tuntunan buat kita untuk melihat kehidupan saat
ini sebagai alam kehidupan yang memungkinkan manusia untuk berlatih diri
keluar
dari lingkaran kehidupan dan kematian." Sebenarnya penjelasan ini TIDAK
menjawab apa pun, mengapa? Karena: Pertama, konsep karma memang mengakibatkan
manusia menjadi pesimistis dan percaya pada adanya karma atau takdir yang
sudah
ditentukan oleh hukum alam. Kedua, meskipun mereka menolak karma
mengakibatkan
manusia menjadi pesimistis dan percaya pada takdir, mau tidak mau mereka
pasti
menghadapi fakta bahwa ajaran karma mengakibatkan mereka menjadi egois
(manusia
harus berjuang sendiri tanpa perlu memikirkan orang lain). Dan
keegoisan ini mengakibatkan
seorang Buddhis tidak akan menolong orang lain yang kesusahan. Karena tidak
ditolong, maka secara otomatis orang yang kesusahan ini akan meratapi
"nasib"nya dan tentunya menjadi seorang pesimistis.[17] Jika
ada orang Buddhis menolong orang lain yang kesusahan, dengan dasar apa mereka
melakukannya? Welas asih? Bukankah mereka mengatakan bahwa setiap orang
memiliki karmanya sendiri? Apa kaitan welas asih dengan karma?
Keegoisan itu sendiri
berkontradiksi dengan 2 ajaran Buddhisme: kehendak yang benar (belas kasihan)
dan "semoga semua makhluk berbahagia".

D. Iman Kristen Menyoroti Karma: Kedaulatan
Allah dan Dosa Vs Karma

Iman Kristen yang sesuai
dengan Alkitab TIDAK mengenal konsep karma. Mengapa? Karena iman Kristen
dengan
jelas dan logis mempercayai bahwa Allah itu adalah Allah yang berpribadi
(sekaligus roh) yang menciptakan alam semesta ini, memeliharanya, dan kelak
akan menyempurnakannya. Allah yang berpribadi ini adalah Allah Trinitas
yaitu 3
pribadi Allah di dalam 1 esensi Allah. Lebih rasional untuk mempercayai bahwa
ada Pencipta alam semesta ini ketimbang mempercayai bahwa alam semesta ini
jadi
dengan sendirinya atau adanya hukum alam, mengapa? Karena jika alam
semesta ini
jadi dengan sendirinya atau segala sesuatu bergantung pada hukum alam,
berarti
alam semesta ini tetap mati dan dari mana kita bisa memiliki standar
etika/moralitas? Apakah logis mempercayai dari sebuah hukum alam yang
MATI keluarlah
sebuah standar etika/moralitas? Allah yang berpribadi yang mencipta alam
semesta ini juga menciptakan manusia pada hari keenam sesuai dengan gambar
dan
rupa-Nya, sehingga manusia dalam beberapa hal mirip Allah dengan menyandang
atribut-atribut-Nya yang bisa dikomunikasikan, seperti: kebenaran, keadilan,
kejujuran, dll, meskipun tidak bisa 100% sempurna seperti Allah. Karena
manusia
diciptakan oleh Allah, maka sudah seharusnya, manusia hidup oleh dan untuk
Dia
saja. Setelah mencipta, Allah tidak meninggalkan ciptaan-Nya, namun
memelihara
ciptaan-Nya (termasuk manusia), sehingga segala sesuatu terjadi di alam
semesta
terjadi di dalam kehendak-Nya yang berdaulat. Lebih logis mempercayai adanya
pemeliharaan Allah di dalam alam semesta daripada percaya bahwa alam semesta
ini HANYA diatur oleh hukum alam, mengapa? Karena jika alam ini diatur HANYA
oleh hukum alam, bagaimana mungkin jarak antara matahari dengan bumi bisa
tetap? Apakah hukum alam bisa mengatur jarak antara bumi dan matahari dengan
sendirinya? Jika bisa, dengan cara bagaimanakah hukum alam melakukannya?
Kembali, Allah yang mencipta dan memelihara manusia juga adalah Allah yang
menetapkan, "manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali
saja, dan sesudah itu dihakimi," (Ibr. 9:27) Jika Pencipta
manusia telah menetapkan bahwa manusia itu mati satu kali dan setelah itu
dihakimi, hak apa manusia berani memberontak lalu mengajar bahwa manusia bisa
hidup reinkarnasi di dunia akan datang?

Manusia yang telah dicipta
Allah ini karena tidak taat pada perintah Allah, maka mereka jatuh ke dalam
dosa. Semua orang tanpa percaya kepada Allah Trinitas atau Alkitab pun PASTI
mempercayai bahwa semua manusia itu telah berdosa. Jika manusia berdosa, maka
secara logis pun manusia itu tidak bisa berbuat baik dengan sendirinya,
karena
perbuatan baik yang dikerjakannya pun telah dirusak dosa. Tidak usah
jauh-jauh,
mari kita perhatikan tingkah laku anak kecil. Coba ajari anak kecil untuk
berkata benar/jujur atau memberi kepada temannya, lalu bandingkan dengan anak
kecil lain yang diajar untuk berkata dusta, manakah yang lebih cepat untuk
ditiru oleh anak kecil? Meskipun lingkungan mempengaruhi, namun
pengaruh lingkungan
seharusnya bisa dinetralisir oleh pendidikan keluarga, namun fakta yang
terjadi
adalah anak kecil lebih mudah untuk meniru yang salah ketimbang yang benar.
Jika fakta dosa manusia terjadi demikian rusaknya, masihkah manusia
membanggakan diri untuk berpikir, bertindak, dll yang benar?

Dosa manusia mengakibatkan
manusia harus mengalami kematian (maut). Dosa manusia tidak mungkin bisa
diselesaikan dengan cara manusia, karena jika bisa diselesaikan dengan cara
manusia berbuat baik, maka perbuatan baik itu pun sudah tidak baik, karena
tujuan akhirnya bukan untuk kebaikan, namun untuk menyelesaikan dosa. Kedua,
perbuatan baik seperti apa yang bisa menyelesaikan dosa? Apakah karena
seorang
narapidana telah berbuat baik selama di penjara, maka ia bisa dibebaskan
dengan
mudahnya? Berpikirlah logis. Karena tidak bisa diselesaikan dengan cara
manusia, maka Allah yang pertama kali berinisiatif menyelamatkan manusia
berdosa dengan mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus
dosa-dosa umat-Nya. Karya Kristus disalib adalah karya yang mendamaikan Allah
yang Mahakudus dengan manusia yang berdosa, sehingga melalui karya-Nya, kita
dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga.

Karena kita telah diciptakan
oleh Allah dan umat-Nya telah ditebus oleh-Nya, maka umat-Nya dipimpin oleh
Roh-Nya untuk hidup bagi Allah. Hidup bagi-Nya berarti hidup yang bersandar
mutlak pada pemeliharaan-Nya dalam hidup kita. Itulah namanya beriman. Apakah
doktrin/ajaran pemeliharaan dan kedaulatan-Nya mengakibatkan kita menjadi
malas
karena kita berpikir bahwa segala sesuatu sudah ditentukan oleh Allah? TIDAK!
Ajaran pemeliharaan dan kedaulatan-Nya justru menguatkan kita tatkala harus
menghadapi penderitaan dan kesusahan hidup sekaligus mendorong kita bangkit
dari keterpurukan kita. Iman Kristen khususnya dalam perspektif theologi
Reformed yang mempercayai kedaulatan Allah atas segala sesuatu TIDAK
mengajarkan
fatalisme atau takdir-isme dan menjadikan orang-orang Kristen khususnya
Reformed menjadi malas atau terima nasib! Justru, iman Reformed yang
mengajarkan kedaulatan Allah, juga mengajarkan tanggung jawab sebagai
respons manusia
terhadap kedaulatan-Nya, sehingga tidak heran, di mana iman Reformed
diajarkan
dengan ketat, di situ kita melihat sumbangsih besar yang dihasilkan dari para
penganutnya yang bekerja keras demi kemuliaan-Nya. Sedangkan mereka yang
menganut konsep takdir mengakibatkan hampir tidak ada sumbangsih signifikan
yang dihasilkan, karena mereka sudah diindoktrinasi bahwa hidup mereka entah
miskin atau kaya sudah ditetapkan Tuhan atau sudah ada karmanya.

E. Iman Kristen Menyoroti Karma: Hukum Allah Vs
Karma

Jika iman Kristen menolak
hukum karma, bagaimana dengan hukum tabur tuai yang diajarkan baik dalam
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru? Apa beda hukum tabur tuai dengan
hukum
karma?

Perlu ditegaskan kembali
bahwa hukum karma adalah sebuah hukum yang mati yang tidak memiliki kuasa apa
pun. Kalau pun kita tidak mempercayai bahkan menolak hukum ini, kita tidak
akan
meninggal. Mengutip Prof. Norman L. Geisler, Ph.D. dan Ronald M. Brooks,
Th.M.,


"karma
bukanlah ketentuan moral. Ia adalah sistem pembalasan saja; ia tidak memiliki
muatan yang memberi tahu kita apa yang harus dilakukan. Ia adalah
pelaksanaan,
bukan hukum moral; ia adalah sistem hukuman tanpa badan pembuat
undang-undang.
Ia tidak personal, hukum moral tentang hubungan tindakan/konsekuensi."[18]

Dari penjelasan di atas,
kita semakin mengerti bahwa hukum karma sebenarnya adalah sebuah hukum tanpa
ada pemberi hukum (seperti tempat pengadilan tanpa seorang hakim atau sebuah
hukum negara tanpa adanya pembuat dan penegak hukum), tidak
personal/berpribadi, dan lagi tidak berisi hal-hal apa saja yang harus
manusia
lakukan. Berarti dengan sendiri, hukum karma itu adalah sebuah hukum yang
mati
tanpa ada sumbernya. Jika demikian, mengapa manusia harus percaya adanya
hukum
karma? Bisakah Anda membayangkan jika seorang hakim mendakwa seorang
narapidana
dengan hukum yang tak ada pembuatnya? Atau logiskah jika seorang menteri
mengeluarkan sebuah keputusan/peraturan yang tak ada pembuatnya? Jika hukum
negara Indonesia bisa ada dengan sendirinya, justru kita tidak akan
mempercayainya, karena itu suatu hal yang tidak logis.

Lalu,
bagaimana halnya dengan Alkitab yang mengajarkan prinsip yang mirip seperti
hukum karma? Misalnya: ""Jika engkau baik-baik mendengarkan suara
TUHAN, Allahmu, dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya yang
kusampaikan
kepadamu pada hari ini, maka TUHAN, Allahmu, akan mengangkat engkau di atas
segala bangsa di bumi. Segala berkat ini akan datang kepadamu dan menjadi
bagianmu, jika engkau mendengarkan suara TUHAN, Allahmu:"
(Ul. 28:1-2) Bukankah konsepnya adalah kalau kita taat pada Tuhan, maka Tuhan
akan memberkati? Bagaimana pula dengan Galatia 6:7b, "…Karena apa yang
ditabur orang, itu juga yang akan
dituainya."?
Kalau kita memperhatikan seluruh prinsip Alkitab, maka kita dapat melihat
bahwa
hukum dari Allah yang berpribadi ini berbeda total dengan hukum karma. Allah
yang berpribadi memberikan hukum-hukum-Nya termasuk Dasa Titah (Kel.
20:1-17) dan
perintah-perintah Tuhan Yesus sebagai peraturan dan dasar etika bagi
umat-Nya.
Hukum-hukum-Nya ini meskipun merupakan hukum yang mati, namun hukum-hukum ini
tetap menandakan ada Pembuat hukum yaitu Allah sendiri, sehingga standar
etika
dan hukuman menjadi jelas. Hukum Allah yang sama juga berlaku dan ditegaskan
kembali di dalam Perjanjian Baru. Pertama-tama, Kristus sendiri mengajar
umat-Nya untuk berbuat baik demi kemuliaan-Nya. Di dalam Matius 7:12 yang
terkenal dengan The Golden Rule,
Kristus berfirman, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang
perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka."
Setelah mengajar seorang ahli Taurat untuk mengasihi Allah, maka Ia
berfirman,
"Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Mat. 22:39) Itu adalah
hukum terutama dan kedua dalam hukum Taurat. Di dalam Roma 12:7-21, Rasul
Paulus mengajarkan kita prinsip pelayanan yang berlandaskan kasih Allah. Di
dalam Galatia 6:1, Paulus juga menasihati jemaat Galatia untuk menasihati
sesama jemaat yang melakukan pelanggaran sambil tetap menjaga diri. Itu semua
menunjukkan bahwa Kekristenan mengenal hukum Allah yang bersumber dari Allah
sendiri. Hukum tersebut adalah hukum kasih.

Meskipun
dituntut untuk menaati hukum Allah, kita tidak bisa melakukannya
dengan kemampuan
kita sendiri, sehingga mutlak diperlukannya anugerah Allah yang memampukan
kita
sebagai umat-Nya untuk menaati hukum-hukum Allah. Setelah mengajar jemaat
Filipi untuk mengerjakan keselamatan mereka, maka Rasul Paulus mengingatkan
mereka, "Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun
pekerjaan
menurut kerelaan-Nya."
(Flp. 2:13) Dengan kata lain, kemauan untuk umat-Nya untuk berbuat baik demi
kemuliaan-Nya pun dapat terjadi tatkala Allah yang berinisiatif terlebih
dahulu
mendorong/memimpin umat-Nya, sehingga tidak ada jasa baik manusia yang patut
dibanggakan tatkala harus berbuat baik. Perbuatan baik umat Tuhan merupakan
respons terhadap anugerah Allah di dalam penebusan oleh karya Kristus,
sehingga
perbuatan baik SEJATI dilakukan bukan demi mendapatkan sesuatu (kehidupan
yang
lebih baik, keselamatan, dll), tetapi karena sudah mendapatkan sesuatu.
Inilah
bedanya agama yang berpusat pada anugerah Allah vs agama yang berpusat pada
kehebatan diri manusia berdosa.

Pertanyaan
selanjutnya, bagaimana dengan hukum tabur tuai yang mengatakan bahwa kalau
kita
taat kepada Tuhan pasti diberkati, sedangkan kalau tidak taat kepada Tuhan
pasti sengsara? Perjanjian Lama di Ulangan 28 dan 29 mengajar hal demikian,
namun perlu diingat, itu hanya sepenggal ajaran Alkitab. Alkitab TIDAK berisi
hanya Ulangan 28 dan 29, namun dari Kejadian s/d Wahyu, sehingga alangkah
berbijaksananya jika kita memperhatikan keseluruhan pengajaran Alkitab secara
komprehensif. Mazmur 73 merupakan bagian Alkitab yang mencerahkan kita bahwa
justru anak-anak Tuhan hidup sengsara, sedangkan mereka yang tidak mengenal
Allah hidup senang, namun penampakan senang pada hidup orang yang tak
mengenal
Allah itu sebenarnya merupakan tindakan Allah yang membiarkan mereka kelak
untuk hancur dan binasa (ay. 18-19). Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus
yang
taat kepada apa yang Bapa perintahkan pun BUKANlah seorang yang kaya secara
jasmani, bahkan Ia pernah mengatakan kepada seorang yang berseru hendak
mengikut-Nya, "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai
sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan
kepala-Nya."
(Mat. 8:20) Rasul Paulus yang taat dan setia kepada Tuhan pun harus mengalami
penderitaan yang berat (2Kor. 11:24-27) bahkan mengalami penyakit yang tidak
disembuhkan Tuhan (2Kor. 12:7-9). Begitu juga dengan para rasul lainnya,
seperti Petrus yang menurut tradisi disalib terbalik. Kesemuanya ini
mengajarkan kepada kita bahwa mengikut Kristus TIDAKlah mudah (Mat. 16:24).
Namun demikian, Ia menjanjikan hidup yang berkelimpahan kepada mereka yang
hidup di dalam dan bagi Kristus (Yoh. 10:10b). Hidup yang berkelimpahan TIDAK
boleh ditafsirkan berkelimpahan secara materi, karena konteksnya TIDAK
menunjukkan hal tersebut. Hidup berkelimpahan berarti hidup yang
terus-menerus
berlimpah-limpah akan pengertian iman dan anugerah Allah, sehingga umat-Nya
dimampukan untuk tetap teguh dan kuat di tengah penderitaan yang mengancam
hidup mereka. Dengan kata lain, meskipun harus menderita aniaya karena nama
Kristus, kita dimampukan untuk berkata seperti Paulus berkata, "Sebab aku
yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan
kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita." (Rm. 8:18) Jaminan
dan janji Allah yang luar biasa ini TIDAK akan mungkin bisa dijumpai di
agama,
filsafat, kebudayaan, tradisi, sains, dll apa saja, karena jaminan dan janji
Allah ini hanya diberikan oleh Allah yang berpribadi (sekaligus roh) kepada
umat-Nya di dalam Kristus.

Bagaimana
pula dengan hukum tabur tuai menurut konsep Paulus di Galatia 6:7b,
"Karena apa
yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya."?
Ayat ini sering ditafsirkan bahwa kita harus berbuat baik, supaya nantinya
juga
menuai yang baik juga. Benarkah tafsiran ini? Di dalam menafsirkan Alkitab
yang
bertanggung jawab, satu ayat TIDAK bisa dilepaskan begitu saja dari
konteksnya,
maka mengerti ayat 7b TIDAK bisa dilepaskan dari ayat 8 yang
menjelaskannya, "Sebab
barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari
dagingnya,
tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari
Roh
itu."
Dengan kata lain, konteksnya jelas yaitu perbedaan hidup oleh Roh vs hidup
oleh
daging (bdk. Gal. 5:16-26). Umat pilihan-Nya dipimpin oleh Roh Kudus untuk
hidup oleh Roh, sehingga hasil akhirnya adalah hidup kekal, sedangkan mereka
yang tidak dipilih hidup oleh daging dan tentunya hasil akhirnya adalah
kebinasaan.

IV. KESIMPULAN DAN TANTANGAN

Hukum
karma adalah sebuah hukum yang ditegakkan oleh manusia yang tentunya memiliki
problematika dan kelemahan, sehingga adalah berbijaksana bagi kita sebagai
manusia untuk tidak memusatkan hidupnya pada sebuah hukum mati yang tak ada
pembuatnya, lalu kembali kepada Tuhan Allah yang berpribadi yang menciptakan
hukum-hukum-Nya sebagai standar etika yang jelas dan mutlak bagi manusia.
Saat
ini, jika Anda masih mempercayai hukum karma, saya menantang Anda untuk
memikirkan kembali konsep karma yang Anda pegang: bisakah konsep karma
dihidupi
secara logis dan praktis di dalam kehidupan sehari-hari? Bagi Anda yang sudah
Kristen, namun masih suka "jajan" konsep dari agama lain, saat ini
bertobatlah
dan kembali kepada Kristus dan Alkitab!

Akhir
kata, adalah berbijaksananya jika kita mendengar dan menaati apa yang Rasul
Paulus katakan kepada jemaat di Tesalonika, "Ujilah segala sesuatu dan
peganglah yang baik."
(1Tes. 5:21) Amin. Soli Deo Gloria.

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Karma
[2] Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera, Hukum Karma, seperti dikutip
dalam http://www.artikelbuddhis.com/hukum-karma.html
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] http://kmbui.net/index.php?option=com_content&task=view&id=62&Itemid=34
[9] Ibid.
[10] http://www.nshi.org/Buddhisme/Indonesia%20Buddhisme/Hukum-Karma.htm
[11]
http://alietan.com/buddhism/?p=3
[12] Anak Agung
Gde Oka Netra, Pokok-pokok Keimanan Agama Hindu
(1), dikutip dalam:
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=481&Itemid=96
[13] http://www.artikelbuddhis.com/hakekat-agama-buddha-bag-1.html
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Prof. Norman L.
Geisler, Ph.D. dan Ronald M. Brooks, Th.M. dalam bukunya Ketika
Alkitab Dipertanyakan (2006) menjelaskan sikap tidak peduli
dari penganut konsep karma, "Ketika Buddha Gautama meninggalkan lingkungan
aman
di rumah dan menemukan kejahatan dan penderitaan yang ada dalam dunia, ia
harus
menghadapi konflik moral antara mengizinkan Hukum Karma untuk dijalani atau
melakukan perbuatan baik yang bersangkut paut dengannya. Kesimpulannya adalah
bahwa seseorang harus bersikap acuh tak acuh. Orang harus kehilangan
perhatiannya terhadap orang lain, dengan menyadari bahwa: (1) tidak ada
perbedaan riil antara kebaikan dan kejahatan dan (2) segala sesuatu ada
sebagaimana seharusnya. Sebab itu, entah seseorang menolong penderitaan itu
atau mengabaikannya, ia harus melakukan hal itu dengan sikap tidak peduli
sepenuhnya – seolah-olah melakukan satu tindakan sama dengan melakukan
tindakan
satunya. Apa pun jalan yang Anda ambil, itu akan dipandu oleh takdir. Tidak
masalah apa yang Anda lakukan, selama Anda tidak peduli mana yang benar atau
yang salah." (hlm. 289)

[17] Pertanyaan lebih
lanjut, perlukah kita terus-menerus membantu orang yang berkekurangan? TIDAK
PERLU! Karena kalau kita membantu mereka secara material terus-menerus,
mereka
akan menjadi malas bekerja dan terus menadah bantuan kita saja. Namun bukan
berarti kita tidak usah membantu orang yang berkekurangan. Lalu, bagaimana
caranya? Dalam beberapa hal, kita perlu membantu mereka yang berkekurangan,
namun sambil membantu secara material, kita sambil membantu mereka dengan
menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga mereka bisa bekerja dan tidak
terus-menerus mengharapkan bantuan material dari kita saja.

[18] Norman L. Geisler
dan Ron Brooks, Ketika Alkitab
Dipertanyakan, terj. Jhony The (Yogyakarta: Yayasan ANDI), hlm. 286-287.

"Mengenal kehendak Allah bukanlah proses menerima informasi langsung
dari Allah tentang persoalan hidup, tetapi proses mengenali persoalan
hidup berdasarkan wahyu yang telah diberikan Allah kepada kita."(Rev.
Prof. Gary T. Meadors, Th.D., Decision Making God's Way, hlm. 185)