Oleh: Dr. Dimitri Mahayana
Sekalipun fisikawan Denmark ternama, Niels Bohr (1885-1962), pernah berucap bahwa “prediction is very difficult, especially about the future”, namun atensi akan apa yang terjadi di esok hari takkan pernah surut.
Setidak-tidaknya,
pertanyaan tentang apa yang akan terjadi dalam sektor teknologi
informasi Indonesia pada 2012, kerap menghampiri penulis. Dari yang
bersifat konseptual hingga sisi pragmatis bisnis-nya.
Ini menjadi
kian menarik dibahas, manakala jumlah pengguna internet Indonesia yang
sudah tembus 50 juta, telah banyak mengubah tatanan. Bahwa teknologi
informasi hari ini adalah keseharian yang masuk ranah consumer.
Teknologi
informasi bukan lagi perangkat monopoli korporasi, atau sebagian
golongan dengan akses kapital besar. Karena itu, mengabaikan consumer
dalam semua kebijakan bisa menciptakan sebuah kesalahan besar.
E-Channel Revolution
Secara
garis besar, ada empat poin utama --saling berkaitan-- yang akan
terjadi tahun depan. Pertama, pergerakan mendatang akan terangkum dalam
sebuah konsep bernama e-channel revolution atau revolusi berbasis
layanan dunia maya.
Frase ini merujuk pada situasi mulai
meluasnya dan mengakarnya aplikasi internet dalam kehidupan keseharian
masyarakat Indonesia. Dari mulai e-commerce, e-lifestyle, e-social,
e-payment, e-banking, dan sejenisnya.
Ambil contoh Forum Jual
Beli/FJB Kaskus.us atau tokobagus.com yang nilai transaksi bulanannya
sudah demikian besar. Kita tak pernah mengira bahwa orang Indonesia akan
jual-beli produk di internet secepat dan sedahsyat ini.
Bahkan,
saya amati, generasi muda saat ini lebih mencari dan membeli produk
berbasis rekomendasi koleganya di internet --sekalipun di lingkungan
sekitarnya sudah ada toko konvensional yang menjual produk serupa.
Transaksi Elektronik
Demikian
pula dengan sistem pembayaran elektronik. Kini lazim ditemukan,
sekalipun di level pedagang ritel di Glodok, yang seluruh transaksinya
dibayar oleh sebuah perangkat keypad (misalnya milik BCA) untuk
mentransfer seketika.
Dua contoh ini menunjukkan bahwa pembayaran
dan transaksi telah mengalami revolusi amat signifikan. Kepraktisan,
kemudahan, kekuatan jejaring, keamanan, dan kecepatan, telah mengubah
preferensi prilaku masyarakat Indonesia.
Revolusi ini tentu akan
membahayakan mereka yang masih bergerak pada paradigma bisnis lama. Kita
cukup terhenyak dengan kenyataan bahwa Aquarius Dago, toko kaset iconic
Bandung sekian puluh tahun lamanya, juga harus ditutup!
Ini
pertanda bahwa cara orang mengakses lagu dan film sudah berubah luar
biasa. Mereka tetap mau mengeluarkan uang untuk menikmati tembang
favoritnya, namun dengan cara digital dan sophiscticated seperti
RBT/ring back tone.
Apakah kita kini mencari dan mereservasi
hotel masih dengan mendatangi tempatnya? Banyak fakta di tahun ini
menegaskan bahwa pencarian dan reservasi hotel semacam agoda.com justru
lebih diminati, terutama oleh masyarakat urban.
Yang Kolot, Tergerus
E-channel
revolution juga telah menggerus banyak perusahaan kolot, bahkan salah
satu toko buku terbesar di Amerika pun, harus menerima kenyataan bahwa
Amazon.com menyalipnya dan kini kokoh jadi toko buku terbesar di dunia.
Seluruh
perubahan berbasis layanan digital ini akan kian menguat tahun depan di
Indonesia. ‘Taring’-nya bahkan bakal makin tajam karena segala bentuk
dan variasi layanannya makin banyak dan mungkin di luar imajinasi kita.
Kekuatan
layanan penunjang hidup digital ini bisa juga makin mengakar karena
perangkat pendukung semacam smartphone-pun makin terjangkau. Belum
dengan fenomena komputer tablet yang mudah ditemukan di lingkungan kita.
Generasi GIMI
Prediksi
penulis tentang generasi GIM (gadget internet mobile) di awal 2011
lalu, yang dinamis namun tetap terkoneksi, bukan hanya terbukti di
lapangan, namun juga terjadi melampaui prediksi dengan fenomena iPad.
GIMI
atau gadget internet mobile iPad and iPad like be adalah istilah yang
lebih tepat ketika kita melihat bahwa masyarakat Indonesia semakin mudah
dan nyaman saat mengakses internet kapan dan dimanapun.
So,
tahun 2012 akan menunjukkan kian maraknya fenomena GIMI di Indonesia,
sehingga menciptakan mata rantai yang kuat dalam mewujudkan e-channel
revolution. Mereka yang masih konservatif, berhati-hatilah!
Setelah e-channel revolution, prediksi kedua ini termasuk ancaman, yakni
kasus risiko teknologi informasi yang lebih banyak di 2012. Kejadian
sedot pulsa tahun ini, akan berulang sekalipun dalam bentuk yang
berbeda.
Situasi ini adalah keniscayaan dari prediksi pertama.
Dengan jumlah pengguna layanan teknologi informasi yang kian luas dengan
perangkat keras pendukung semakin terjangkau, otomatis resiko pun
membesar sendirinya.
Ketika pengguna e-commerce dan e-payment
makin meluas, dengan natural kerentanan sistem maupun kemungkinan tindak
penyimpangan akan muncul. Oknum internal dan eksternal dari sistem
pembayaran akan datang sendirinya.
Secara simultan, prilaku moral hazard
semacam meretas (hacking) hingga mencuri identitas (phishing) pun
muncul. Ditilik dari sudut pandang manapun, kejahatan pastinya akan
selalu mengikuti big fish—pasar yang gemuk.
Terulangnya Kasus Sedot Pulsa
Maka,
besar kemungkinan kita akan kembali mendengar kejadian semacam sedot
pulsa. Jika tahun lalu kasus risiko ini meledak di layanan seluler,
bukan tidak mungkin tahun depan memporakporandakan pengguna internet.
Hal
ini wajar terjadi jika mengingat aksi preventif maupun tindak solutif
regulator terkait tidak secepat dan setegas diharapkan. Kita belum
melihat departemen terkait mewaspadai dan menangani kasus risiko dengan
komprehensif, sehingga efek jera kurang muncul.
Jangankan
menangani kasus besar yang merugikan rakyat secara massif, proses
registrasi nomor prabayar seluler yang jadi pangkal banyak kasus risiko
teknologi informasi ini pun, belum bisa ditangani dengan baik hingga
kini.
Karena itu, e-channel revolution bisa menjadi peluang besar
jika manajemen risiko dari regulator sudah tepat dan cepat. Atau malah
menjadi kerugian besar di tahun depan (apabila manajemen risiko tidak
diperhatikan dengan baik).
Pada titik ini, penulis mengimbau
pemangku kepentingan terkait, terutama operator seluler, vendor
teknologi informasi, dan perbankan yang dikoordinir Depkominfo agar
makin concern dan selalu waspada pada manajemen resiko ini.
Business Intelligence
Prediksi
ketiga adalah implementasi business intelligence di semua sektor
industri. Dengan dorongan piranti lunak yang dimiliki, banyak pihak
memikirkan bagaimana caranya agar bisnis makin optimal.
Intelijen
bisnis adalah sistem yang menganalisa, mengelola, dan merangkum data
bisnis yang ada (baik intern maupun ekstern) guna menghasilkan kebijakan
bisnis yang efektif. Secara khusus, ini juga berfungsi memberi layanan
lebih baik.
Bukan berarti tools ini sekarang tidak berfungsi,
namun persaingan ketat yang mengarah ke hypercompetition tahun depan,
bakalan menegaskan arti penting perangkat pengawas bisnis ini di masa
mendatang.
Ditambah potensi dari e-channel revolution serta
ancaman dari kasus risiko teknologi informasi, maka business
intelligence pun bisa kian berperan dengan multifungsi. Baik sebagai
perangkat pencegahan maupun pendongkrak bisnis.
Google Culture
Dan
prediksi terakhir adalah terciptanya Google Culture di masyarakat
Indonesia. Istilah ini mengacu kian bergantungnya masyarakat pada ‘Om’
Google dalam memulai, menjalani, dan menyelesaikan kesehariannya.
Mencari
suku cadang/ bahan kuliah/ referensi/ rumah/mobil/album kenangan/ atau
calon istri? Saat ini, seluruhnya kerap diawali oleh mesin pencari
terbesar karya Larry Page dan Sergei Brin ini, sehingga semua seolah
addicted.
Kita sangat percaya dengan kecanggihan mencari dan
menyajikan berbagai info yang dibutuhkan dari Google, sehingga
menanyakan informasi terkait ke tetangga atau keluarga inti tampak sudah
malas dilakukan.
Mungkin tak ada direktori atau perpustakaan
luar biasa besarnya saat ini. Tak ada guru di dunia ini yang bisa
menjawab apapun pertanyaan, dan tak ada mesin yang bisa menghadirkan
seluruhnya. Google adalah rangkuman itu semua.
Lantas, dari data
penemuan yang disajikan, mata kita pun terbuka sehingga akhirnya terus
mengakses situs yang diperlihatkan tadi. Hingga pada akhirnya, pengguna
asyik masyuk dan seperti terperangkap dalam dunia maya.
Peluang Bagi Indonesia
Tahun
depan, budaya baru ini akan menghadirkan peluang bagi masyarakat
Indonesia. Sebab, kita memiliki kesetaraan posisi dengan siapapun dalam
mengakses informasi dan menggapai tingkat kemajuan dan intelektual
paripurna.
Namun jangan salah, Google Culture juga banyak
bahayanya! Sebab bakalan makin banyak pengguna, terutama dari kalangan
remaja dan pemuda di Indonesia, yang akan menderita Attention Deficit
Disorder/ADD.
Pada konteks ini, ADD adalah situasi di mana
pengguna internet asyik dengan dunianya sendiri, sehingga dunia nyata di
sekitarnya malah diabaikan. Raga mereka ada di sekeliling, tapi tidak
dengan jiwanya.
Inilah tugas keluarga, orangtua, dan sekolah
untuk menciptakan pengguna internet yang seimbang dan cerdas. Hmm, akhir
kata, seperti kata Niels Bohr, prediksi esok hari memang sangat sulit,
namun kita bisa melihat dari apa yang terjadi hari ini. Selamat datang
2012!
*Penulis adalah Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision.