Translate

Sunday, April 12, 2009

Mendemonstrasikan kasih dengan pengurbanan

Jawa Pos, 10 April 2009
Renungan untuk Semangat Paskah
MENDEMONSTRASIKAN KASIH DENGAN PENGURBANAN
Antonius Steven Un


            Hari Jumat, 10 April ini, umat Kristiani sedunia
memperingati Wafatnya Isa Almasih yang dilanjutkan dengan Paskah
sebagai momen kebangkitan dan kemenangan atas maut. Sehari sebelumnya,
masyarakat Indonesia menjalankan pesta demokrasi pemilihan umum
legislatif. Permenungan kritis atas interkoneksi momen politik dan
religius ini patut dilakukan.
Paskah adalah wajah utuh sebuah servant leadership (kepemimpinan
hamba). Dalam aroma anyir suksesi kepemimpinan nasional tahun ini,
rasa-rasanya nada kepemimpinan yang melayani patut dilagukan kembali.
Paskah adalah lonceng yang berbunyi memanggil manusia untuk
merendahkan diri dan melayani orang lain.
            Konsepsi servant leadership pernah diajarkan Yesus dalam
adagium, "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia
menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi terkemuka di antara
kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya" (Markus 10:43-44).
Adagium ini diucapkan dalam konteks rivalitas di antara murid-murid
Yesus sendiri, di mana 10 murid yang lain menjadi berang kepada dua
murid bersaudara yakni Yohanes dan Yakobus yang lancang meminta
jabatan. Namun demikian, kemarahan kesepuluh murid tersebut bukanlah
didasarkan atas compassion terhadap kebenaran melainkan atas dasar
ambisi despotisme dan rivalisme.
Hal ini mirip dengan kejadian di mana salah seorang anggota Cynic,
sebuah mazhab filsafat Yunani yang menginjak-injak baju kuda Alexander
Agung sambil berseru "calco fastum Alexandri" (sekarang saya menginjak
harga diri Alexander), pada saat yang sama dijawab dengan seruan lain,
"sed majori fastu" (tetapi dengan kesombonganmu yang lebih besar dari
Alexander).

Antitesis Ambisi Despotisme
Konteks ini memberikan negasi kepada konsep kepemimpinan sejati bahwa
servant leadership merupakan antitesis kepada ambisi despotisme.
Ambisi jahat inilah yang sayangnya justru dipraktekkan oleh model
kepemimpinan raja Herodes dan Wali Negeri Pilatus dalam Narasi Paskah.
Menjelang pemilihan legislatif, pertanyaan kritis-reflektif bagi para
calon pemimpin adalah sesungguhnya motif apa yang melandasi akan
"nafsu" para tokoh nasional untuk melaju dalam pertarungan
kepemimpinan nasional. Jikalau motifnya adalah ambisi despotisme dan
rivalisme maka tidak heran, roh kekejaman, roh Herodes-Pilatus akan
terus "menghantui" para pemimpin, yang menyebabkan mereka dapat
melakukan kekejaman kepada rakyat.
Kekejaman tersebut antara lain, pertama, suatu bentuk dehumanisasi
melalui mereduksi rakyat sekedar sebagai komoditi politik guna
menghantarkan kanditat ke kursi kepemimpinan, sementara kebutuhan dan
penderitaan rakyat diabaikan. Kedua, hilangnya sense of crisis, antara
lain dengan melakukan kebijakan mercusuar yang sesungguhnya tidak
tepat guna dan tidak tepat nalar dalam pandangan publik, namun
menguntukan pejabat belaka.
Ketiga, hilangnya sense of crisis menyebabkan jalur komunikasi politik
yang buntu sehingga memaksa rakyat kerap menggunakan aksi
ekstra-parlementer yang melelahkan dan bahkan berpotensi terjadi
kekerasan fisik. Keempat, komersialisasi penderitaan rakyat, antara
lain dengan komersialisasi korban bencana alam dan korban kemiskinan
guna mendapatkan sumber daya finansial yang penggunaannya imun audit
dan tidak mendarat pada kebutuhan rakyat banyak.

Vocation of the Servant
            Sebaliknya, motif dari servant leadership adalah menjadi
hamba, menjadi pelayan bagi semuanya. Teolog William Lane menyebutnya
sebagai "vocation of the servant" (1974) yakni suatu model
kepemimpinan yang menegaskan eksistensi diri "bukan untuk dilayani
melainkan melayani" (Markus 10:45).
            Kerelaan Yesus Kristus memikul salib di Golgota merupakan
ekspresi servant leadership di dalam beberapa aspek. Terdepan,
demonstrasi kasih terbesar. Salib merupakan penerjemahan motif kasih
Allah kepada manusia berdosa (Yohanes 3:16).. Servant leadership
berlandaskan kasih sejati dan itulah yang dipraktekkan di Golgota. Di
luar itu, terdapat nilai altruistik, rela menderita bagi umat-Nya.
Salib dalam teologi Kristen merupakan kematian yang menggantikan
(substitutional death) guna melepaskan umat-Nya dari dosa dan maut.
Akhirnya, salib adalah harga kebenaran (the price of truth) karena
Yesus mempertahankan kebenaran menghadapi pengadilan tidak adil dan
kedengkian dari perselingkuhan kotor pemimpin agama, politik dan
hukum. Seorang pemimpin harus rela memperjuangkan kebenaran dengan
harga yang mahal.
            Ekspresi servant leadership dalam konteks kekinian
terwujud dalam beberapa hal pertama demonstrasi kasih, dalam bentuk
pengorbanan bukan manipulasi, eksploitasi dan reduksi eksistensi dan
peran rakyat bagi kepentingan sempit sang penguasa. Demi kekuasaan,
politisi menebar pesona di Situ Gintung tetapi tutup mata di Lumpur
Lapindo.
Kedua, nilai altruistik berupa pembatasan fasilitas dan kemewahan
diri. Ketiga, kepemimpinan hamba menuntut harga yang mahal bagi
perjuangan kebenaran dan keadilan. Almarhum Munir telah melakukan itu:
ia membayar harga mahal bagi kebenaran. Bagaimana dengan pemimpin dan
calon pemimpin yang lain?
            Selamat Paskah!

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!