Translate

Sunday, March 21, 2010

Single-Parent – Orang Tua Tunggal (mang Ucup)

---------- Forwarded message ----------
From: MANG UCUP <mang.ucup@gmail.com>
Date: Sun, 21 Mar 2010 14:31:29 +0100
Subject: [i-kan-ayahbunda] Single-Parent – Orang Tua Tunggal
To: i-kan-ayahbunda@googlegroups.com

Bagi kebanyakan perempuan menjadi Orang Tua Tunggal bukanlah pilihan;
melainkan nasib yang memaksakan demikian. Dan juga bukanlah suatu
trendi seperti yang banyak digembar-gemborkan oleh para selebritis,
walaupun tidak bisa dipungkiri, bahwa lebih dari 70% orang tua tunggal
adalah kaum perempuan. Kita semua mengerti akan makna dari kata
Single-Parent atau Orang Tua Tunggal, tetapi apakah kita juga
memahaminya problem maupun perasaan mereka sebagai Orang Tua Tunggal?

Ada dua jenis kategori orang tua tunggal yaitu yang sama sekali tidak
pernah menikah dan yang sempat/pernah menikah. Mereka menjadi orang
tua tunggal bisa saja disebabkan, karena ditinggal mati lebih awal
oleh pasangan hidupnya, ataupun akibat perceraian atau bisa juga
ditinggal oleh sang kekasih yang tidak mau bertanggung jawab atas
perbuatannya.

Pilihan untuk menjadi orang tua tunggal adalah satu pilihan yang
berat, walaupun demikian daripada aborsi dan harus menambah beban
dosa, mereka lebih ikhlas memilih untuk menjadi orang tua tunggal.
Untuk ini mereka juga harus siap menerima reaksi dari orang tua,
keluarga dengan risiko dikucilkan entah untuk sementara ataupun
selamanya. Belum lagi menjadi gujingan maupun dicibirkan oleh teman,
tetangga maupun rekan kerja. Untuk menjalani semua itu; dibutuhkan
kekuatan hati dan daya juang yang tinggi, termasuk mengikis perasaan
dendam kepada si lelaki notabene ayah dari anaknya sendiri. Sedangkan
bagi perempuan yang pernah menikah, siap atau tidak; predikat janda
dengan anak akan disandangnya. Untuk menjadi orang tunggal itu
tidaklah mudah.

Mereka harus siap dan mampu untuk berperan ganda: sebagai pencari
nafkah dan sekaligus membesarkan dan mendidik anak-anaknya seorang
diri, termasuk bagaimana mengatur waktu bagi anak-anaknya. Sebagai
orang tua tunggal, mau tak mau, dituntut untuk bisa mengatur segalanya
seorang diri, termasuk me-manage waktu. Kapan ia harus menyediakan
waktu bagi anak, kapan harus bekerja, bagaimana mengatasi masalah, dan
sebagainya. Mereka harus hidup tanpa ada pasangan di sampingnya,
tempat dimana ia bisa bertanya atau mencurahkan perasaannya untuk
berbagi suka maupun duka. Semuanya harus diselesaikan dan ditanggung
sendiri olehnya. Belum lagi apabila ia sendiri jatuh sakit, siapa yang
mau bantu mengurusnya?

Tugas yang seharusnya dipikul berdua (ayah dan ibu), harus diembannya
sendiri. Ia harus mampu berperan sebagai ibu sekaligus ayah, sementara
fungsi ayah berbeda dengan fungsi ibu. Cobalah renungkan bagaimana
perasaan seorang ibu apabila anaknya diberondong dengan berbagai macam
pertanyaan oleh teman-teman sekolahnya "Kenapa ayahmu tidak pernah
jemput kamu?" atau "Ayahmu pernah ngasih kado apa aja buat kamu?"
Juga, "Lho, kenapa ayahmu tidak mau tinggal sama kamu lagi?"

Dengan ini saya kutip pengalaman dari orang tua tunggal, agar pembaca
bisa lebih memahaminya bagaimana perasaan dari seorang tua tunggal
itu:
Teringat olehku ketika malam-malam barusan saja pulang dari kantor
dalam keadaan letih melihat sepasang gelandangan bermain dengan
anak-anak mereka yang kecil di tepi jalan yang telah sepi. Anak-anak
itu, walaupun kenyataannya dalam serba kekurangannya, tetapi bisa
tertawa ceria bersama dengan ayah bundanya. Walaupun pakaian mereka
compang-camping, bahkan mungkin tidak bisa duduk dibangku sekolah,
tetapi mereka masih memiliki orang tua utuh yang dapat memberikan
kasih sayang kepada sang anak. Airmataku tak kuasa kutahan turun
berlinang. Perasaanku terhimpit, seakan-akan akulah yang menjadi
penyebab anakku kehilangan kebahagiaan memiliki ayah yang
menyayanginya.

Jujur, aku merasa sebagai penyebab hilangnya kebahagiaan anakku. Aku
merasa terjepit. Berbulan-bulan setiap malam, sebelum tidur aku
mencium kaki anakku, berbisik pelan di telinganya, "Maafkan Bunda,
sayang..."

Aku ibu anakku. Anak yang sembilan bulan lamanya, kukandung dalam
rahimku. Anak yang pernah berada sangat dekat dengan jantungku. Mata
beningnya menatapku dengan sedih, ketika melihatku menangis. Aku
merasakan suara kanak-kanaknya yang lembut meyakinkanku, bahwa aku
mampu membahagiakannya. Hidup memang tak pernah sempurna. Impianku tak
banyak. Aku hanya tak ingin menghapus senyum itu dari bibir anakku.

Harus diakui, bahwa banyak orang telah bisa mencapai keberhasilan di
dalam kehidupannya, walaupun mereka harus hidup tanpa ayah misalnya
Barack Obama Presiden Amerika Serika yang ke 44.

Di dalam Alkitab pun Tuhan berjanji akan memelihara para single parent
dan juga memelihara anak-anaknya (Yer 49:11). Allah Bapa yang
menggantikan tempat sebagai Ayah bagi anak-anak yang harus hidup tanpa
ayah (Mzm 68:6) Dan kita sebagai umat Kristen diwajibkan untuk membela
single parent maupun anak-anaknya (Yes 1:17).

Terbuktikan pula, bahwa single parent juga bisa berhasil mendidik anak
yang taat kepada Tuhan. Misalnya Timotius yang sejak kecil hidup
dengan neneknya Lois dan hanya dididik oleh ibunya Eunike ternyata
bisa menjadi orang soleh, bahkan diangkat sebagai anak asuh oleh Rasul
Paulus. Mungkin hal inilah juga yang mendorong Rasul Paulus untuk
menulis mengenai masalah janda dalam 1Timotius 3:16.

Mang Ucup
Email: mang.ucup<at>gmail.com
Homepage: www.mangucup.org

--
Gabung : i-kan-ayahbunda+subscribe@googlegroups.com
Keluar : i-kan-ayahbunda+unsubscribe@googlegroups.com
Arsip Milis : http://groups.google.com/group/i-kan-ayahbunda?hl=id
Moderator : moderator@ayahbunda.org

To unsubscribe from this group, send email to
i-kan-ayahbunda+unsubscribegooglegroups.com or reply to this email
with the words "REMOVE ME" as the subject.

Saturday, March 20, 2010

Kepuasan Pelanggan

Kepuasan pelanggan merupakan kunci sukses suatu perusahaan / entitas.

Pengertian kepuasan ini diantaranya:

1. the fulfillment or gratification of desire, need or appetite (Pemenuhan atau menyenangkan atas suatu keinginan kebutuhan atau selera)
2. pleasure derived from the gratification of a desire or appetite (Kesenangan yang diperoleh dari kepuasan atas suatu keinginan atau selera)
3. reparation in the form of penance on sin atonement (kompensasi untuk luka atas kehilangan ; kerugian)
4. a source of gratification (suatu sumber kesenangan)

Tingkat kepuasan pelanggan sangat tergantung pada mutu suatu produk atau jasa. Artinya, pelanggan Anda akan merasa puas jika mutu produk Anda dan Anda sendiri dapat memenuhi harapan pelanggan. Sebaliknya, pelanggan Anda tidak puas atau kurang puas jika mutu produk Anda dan Anda sendiri tidak dapat atau kurang memenuhi harapan pelanggan. Jika pelanggan kurang atau tidak puas, mereka akan pindah ke entitas / lembaga pesaing Anda dan jika keadaan ini berlangsung terus, maka Anda akan akan gulung tikar.

Ketidakpuasan terhadap produk dan mereka sebagai hasil dari dua variabel, yaitu harapan prapembelian dan ketidakcocokan.
Harapan prapembelian adalah kepercayaan tentang kinerja suatu produk yang diperkirakan akan muncul. Ketidakcocokan adalah perbedaan antara harapan pra pembelian dan persepsi pasca pembelian.

Harapan prapembelian dapat dipenuhi ketika kinerja produk sesuai dengan apa yang diharapkan dan tidak cocok ketika terjadi sebaliknya.

*Seringkali, kita memberikan harapan prapembelian yang terlalu berlebihan, seolah produk dan jasa yang ditawarkan merupakan 'top of the top', sehingga pada saat pasca pembelian, setelah direview ulang, maka banyak yang tidak atau bahkan kurang sesuai. Seyogyanya kita harus JUJUR dalam memberikan dan menjelaskan harapan prapembelian. Tuhan mengajarkan hal ini sangat jelas. Kejujuran akan memberikan hasil terbaik.

(bersambung)

Thursday, March 18, 2010

KESEMPATAN & PILIHAN

Bertemu adalah kesempatan..

Mencintai adalah pilihan..

Ketika bertemu seseorang yang membuat kita tertarik, Itu bukan pilihan, itu kesempatan..

Bila kita memutuskan untuk mencintai orang tersebut, bahkan dengan segala kekurangannya..
Itu bukan kesempatan, itu adalah pilihan..

Ketika kita memilih bersama seseorang walau apapun yang terjadi, justru di saat kita menyadari bahwa masih banyak orang lain yang lebih menarik, lebih pandai, lebih kaya daripada pasangan kita, dan tetap memilih untuk mencintainya..
Itu bukan kesempatan, itu adalah pilihan...

Perasaan cinta, simpatik, tertarik, datang sebagai Kesempatan dalam hidup kita..

Tetapi cinta yang dewasa, mencintai dengan komitmen di hadapan Tuhan dan manusia adalah Pilihan...

Mungkin kesempatan mempertemukan pasangan jiwa kita dengan kita..
Tetapi mencintai dan tetap bersama pasangan jiwa kita, adalah pilihan yang harus kita pertanggung jawabkan di hadapan Tuhan dan manusia.

Kita berada dunia bukan untuk mencari seseorang yang Sempurna untuk dicintai.. Tetapi untuk BELAJAR mencintai orang yang Belum Sempurna.. Dengan cara yang Sempurna...

Mari BELAJAR mencintai dan menyayangi suami/istri/pasangan kita yang Belum Sempurna dengan cara yang Sempurna..

Karena pasangan kita adalah satu2 pasangan waris kita.. Agar jiwa kita pun menjadi Sempurna di hadapan Tuhan.. ♧ǤǑĐ:)ƁĹ€ŠŠ:)ЎÖŮ♧

Wednesday, March 17, 2010

Hidup manusia seperti buku

Hidup Manusia itu spt sebuah BUKU.

FRoNT Cover adalah tgl lahir, BaCK Cover adalah tgl akhir. Tiap lmbarnya a stiap hr dlm hdp kita. Ada buku yg tebal ada buku yg tipis. Ada buku yg menarik dibaca. Ada yg tdk menarik sama sekali. Sekali menulis tdk akan pernah berhenti sampai selesai. Yg hebatnya, seburuk apapun halaman sebelumnya, sll tersedia hal selanjutnya yg putih bersih, baru dan tiada cacat. Sama dgn hidup kita, seburuk apapun kemarin, Tuhan selalu menyediakan hari yg baru utk kita. Kita selalu diberi kesempatan yg baru utk melakukan sesuatu yg benar dlm hidup kita setiap harinya, memperbaiki kesalahan kita n melanjutkan alur cerita yg sdh ditetapkanNYA u/ kita masing2. SYuKuR kpd Tuhan utk hari ini!! Nikmati, isi dgn hal2 yg baik dan jgn lupa utk selalu bertanya kpd Tuhan ttg apa yg hrs ditulis setiap harinya ...
Infrastructure-Application-ManagedServices.Visit www.dayaciptamandiri.com for details..

Thursday, March 11, 2010

PEMBERIAN TERINDAH: "DALAM TIGA HARI"



SUDAH SELESAI

Ketika Yesus mati, Ia sungguh mengetahui bahwa pekerjaan-Nya telah
selesai. Yesus, sang Gembala Agung, menyerahkan nyawa-Nya dengan
sukarela bagi domba-domba-Nya. Ia berseru, "Sudah selesai" (Lukas
23:46). "Apa pun maksud [seruan] itu," kata Dr. G. Campbell Morgan,
"tujuan kedatangan-Nya, tujuan kepergian-Nya, itu telah selesai
sepenuhnya dan lengkap." Penikaman lambung Yesus dengan tombak
membuktikan dua hal. Pertama, apa yang difirmankan Tuhan telah
tercapai dengan setepat-tepatnya. Tidak satu pun tulang-Nya yang
dipatahkan (Mazmur 34:20; Keluaran 12:46; Zakharia 12:10; Mazmur
22:16). Kedua, kematian-Nya telah memberikan bukti yang tidak dapat
dibantah. Para petugas yang membunuh-Nya tidak mudah dikelabui,
mereka sudah memastikan bahwa Yesus benar-benar sudah mati. Pilatus
sendiri bertanya secara khusus kepada kepala pasukannya "... apakah
Yesus sudah mati" (Markus 15:44). Mengenai penikaman lambung Yesus,
Dr. Morgan menambahkan bahwa "Dia sudah mati, dan kematian itu
disebabkan oleh kerusakan pada hati-Nya. Ketika Ia berkata 'Sudah
selesai' dan Ia menyerahkan Roh-Nya kepada Bapa, peristiwa itu sudah
menghancurkan hati-Nya, dan Ia pun mati."

YESUS TERBARING DI SANA

Pemakaman tubuh Yesus adalah salah satu bukti nyata tentang
kematian-Nya, salah satu peristiwa terpenting di dalam Alkitab
(1 Korintus 15:3-4). Mereka yang berperan bukanlah pengikut-pengikut
terdekat Tuhan Yesus, namun kita mengetahui meskipun sedikit, masih
ada dua orang terdekat, yaitu Yusuf dari Arimatea -- sebuah kota di

Yudea -- dan Nikodemus. Yusuf disebut sebagai "... anggota Majelis
Besar yang terkemuka, yang juga menanti-nantikan Kerajaan Allah."
(Markus 15:43a) Menurut Lukas 23:50, Yusuf adalah seorang yang
"baik" dan "benar". Yusuf adalah seorang pengikut Yesus, tetapi
secara "... sembunyi-sembunyi karena takut kepada orang-orang Yahudi
-- ...." Yohanes 12:42 menulis kemungkinan Yusuf dan Nikodemus
adalah dua orang anggota dari sekelompok pemimpin, yang memercayai
Yesus dengan sembunyi-sembunyi. Yusuf meminta izin dari Pilatus
untuk menurunkan mayat Yesus (Yohanes 19:38).

Nikodemus adalah anggota Sanhedrin, penguasa Yahudi yang datang
kepada Yesus pada malam hari (Yohanes 3). Ia berdiri dengan berani
menentang imam-imam kepala dan orang-orang Farisi ketika mereka
menangkap Yesus (Yohanes 7:50). Kematian Tuhan Yesus ternyata
mendatangkan keberanian pada kedua orang ini, dan dengan tindakan
itu mereka menyatakan diri secara terbuka sebagai pengikut Tuhan
Yesus. Yusuflah yang menyediakan kain kafan untuk membungkus tubuh
Tuhan Yesus, dan demikian juga "tempat kuburnya yang baru" (Matius
27:59,60). Nikodemus yang membawa rempah-rempah, sebanyak hampir 40
kilogram. Mereke membersihkan tubuh Tuhan Yesus dan membungkus-Nya
dengan kain kafan. Ramuan kemenyan dan buah pohon gaharu ditempatkan
di sela-sela kain. Kain yang lain dipakai untuk membungkus bagian
kepala Tuhan. Lalu sebuah batu besar ditempatkan untuk menutupi
liang kubur itu, dan mereka pergi dengan sedih. Yesus, yang mereka
percayai sebagai seorang pembebas orang-orang Israel, ternyata telah
mati.

DIA BANGKIT

Alkitab tidak mencatat detik per detik kebangkitan Kristus.
Murid-murid Tuhan Yesus telah gagal mencatat atau telah melupakan
pernyataan yang diulang-ulang-Nya bahwa Dia akan mati dan bangkit
kembali (Matius 16:4; Markus 8:31, 9:31; Lukas 9:22; Yohanes 2:19).
Karena kematian-Nya, pengharapan mereka sudah hancur. Maria
Magdalena datang untuk berkabung pada hari pertama dalam minggu itu
(Yohanes 20:1). Adakah orang-orang lain yang datang bersama Maria
Magdalena pada hari itu? Mungkin! Ini tampak dari penggunaan kata
"kami" pada ayat kedua; Yohanes hanya mencatat Maria Magdalena yang
melihat batu penutup jalan masuk ke kuburan itu telah diangkat.
Selanjutnya, Maria menduga kubur Tuhan yang telah kosong itu
dirampok orang, oleh karena itu Maria berseru "Tuhan telah diambil
dari liang kuburnya!"

Ketika Petrus mendengar berita itu, ia dan murid-murid yang lain
berangkat ke kubur itu. Yohanes, yang lebih dahulu tiba di sana,
menjenguk ke dalam ruangan yang agak gelap itu dan ia melihat "kain
kafan yang tergeletak". Tetapi, Yohanes tidak langsung masuk ke
dalam. Petrus, si impulsif itu, seperti biasanya langsung masuk ke
dalam kubur itu dan memeriksa bukti yang ada. Dalam kata-kata G.
Campbell Morgan, kain kafan yang tergeletak itu "masih seperti waktu
membungkus tubuh Yesus, dengan semua ramuan dan gulungan kain yang
tidak berubah, namun bagian yang dipakai untuk membungkus tubuh
Yesus sudah mengempis sama sekali karena tidak berisi lagi. Sedang
kain peluh yang semula di kepala Yesus terletak terpisah, dan masih
terlipat seperti ketika membalut kepala-Nya."

Tatkala Petrus tertegun, Yohanes menerobos masuk ke dalam kubur.
Yohanes "melihat dan percaya" (Yohanes 20:8). Seperti yang ditulis
secara tepat oleh Dr. Merrill Tenney, "Kubur Yesus terbuka bukan
untuk memberikan keluar kepada Yesus, melainkan untuk memberikan
jalan masuk bagi murid-murid-Nya. Yesus telah bertransformasi
dalam kebangkitan-Nya, sehingga Ia seperti lenyap melalui jubah
kematian, yang ditinggalkan-Nya bagaikan kepompong kemuliaan."

TUHANKU DAN ALLAHKU

Dari sekian banyak bukti yang menghebohkan mengenai kebangkitan
Tuhan Yesus, tidak ada yang lebih menghebohkan dibanding penampakan
diri Yesus di hadapan murid-murid-Nya. Kita diberitahukan bahwa Ia
menampakkan diri-Nya pada malam yang sama, "hari pertama minggu itu"
(Yohanes 20:19). Pada suatu hari Yesus menampakkan diri-Nya kepada
Simon Petrus (Lukas 24:34) dan kepada kedua murid-Nya di Emaus
(Lukas 24:l3). Pada saat murid-murid-Nya sedang berkumpul di ruang
tertutup dan pintu telah ditutup rapat-rapat "karena takut kepada
orang-orang Yahudi". Tidak ada baut yang longgar atau pintu yang
terbuka engselnya, ketika Yesus tiba-tiba berdiri di hadapan mereka.
Tidak heran bahwa mereka terkejut seperti melihat "hantu" (Lukas
24:37). "Damai sejahtera bagi kamu," salam Yesus kepada murid-murid-
Nya (Yohanes 20:21).

Kemudian, Yesus menunjukkan tangan dan lambung-Nya kepada mereka
untuk membuktikan identitas-Nya. Bekas-bekas luka itu akan selalu
ada pada-Nya. Apa yang semula merupakan suatu tanda kekalahan, telah
berubah menjadi meterai kemenangan yang abadi. Tidak heran bahwa
murid-murid Yesus bersukacita melihat Dia, sebab mereka bukan hanya
melihat Dia dengan mata mereka sendiri, tetapi juga menyadari
kebenaran tentang kebangkitan Yesus, sama seperti yang dialami
Yohanes di kubur Tuhan Yesus. Tetapi, Tomas "... tidak ada
bersama-sama dengan mereka, ketika Yesus datang ke situ" (Yohanes
20:24b). Ketidakpercayaannya sedikit berbeda dari yang lain.
Murid-murid Yesus yang lain telah melihat Dia dengan mata mereka
sendiri, dan Tomas menuntut perlakuan yang sama. Ia berkata bahwa,
"Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku
mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku
ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya." (Yohanes
20:25b) Maka, Tomas tetap kesepian dan bersedih hati selama delapan
hari.

Pada hari Minggu berikutnya murid-murid Yesus sedang berkumpul di
tempat yang sama dan Tomas sedang bersama-sama dengan mereka. Sekali
lagi, pintu telah ditutup rapat-rapat. Namun, Yesus sekali lagi
menampakkan diri-Nya secara tiba-tiba. Kali ini, Ia berbicara kepada
Tomas. William Hendrickson menulis bahwa untuk setiap [permintaan
Tomas] Yesus memberikan satu perintah. Tomas berkata seminggu
sebelumnya: "[Aku harus] melihat bekas paku pada tangan-Nya." Yesus
mengatakan hari itu, "Lihatlah tangan-Ku." Tomas juga mengatakan,
"[Aku harus] mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu." Perintah
Yesus kedua, "Taruhlah jarimu di sini." Tuntutan Tomas yang ketiga,
"Dan [aku harus] mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya." Kata
Yesus, "Ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku."
(Yohanes 20:27)

Seminggu sebelumnya Tomas berkata, "Aku tidak akan percaya." Yesus
berkata pada hari itu, "Jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan
percayalah." Apakah Tomas sungguh-sungguh memeriksa tubuh Yesus?
Tampaknya, Tomas jelas terperanjat dan terpana, tidak memerlukan
lagi bukti melebihi yang telah dilihatnya. Pengakuannya melebihi
kata-kata apa pun: "Tuhanku dan Allahku." Kepercayaan Tomas bukannya
kurang berarti, meskipun didasarkan pada apa yang telah dilihatnya.
Tetapi, Yesus kemudian menekankan kebahagiaan bagi mereka yang
percaya meskipun tidak beroleh konfirmasi melalui penglihatan.
(Yohanes 20:29)

Diambil dari:
Judul majalah: HARVESTER, Edisi Maret/April, Tahun 1994 (Disadur
dari Majalah Moody, April 1977)
Judul artikel: Pemberian Terindah: "Dalam Tiga Hari"
Penulis: Ivy Supratman
Penerbit: Indonesian Harvest Outreach
Halaman: 18 -- 19

KURBAN SEJATI ATAU MANIPULASI

Penjangkauan sesama membuat hidup kita menjadi berarti. Kenyataan
membuktikan bahwa semakin kita banyak memberi dan berbagi, semakin
kita banyak menerima dan mendapat balasannya. Ketika kita mengasihi
dan melayani dengan berbuat baik kepada sesama, segala kebajikan dan
hal-hal yang baik akan mendatangi kita. Tetapi, kita mungkin akan
berpikir sejenak, bagaimana dalam kondisi sulit seperti sekarang
kita masih bisa bermurah hati dan rela berkurban?

Rasanya sikap rela berkurban sudah semakin langka saat ini. Nilai
pengurbanan juga terasa semakin luntur ketika hidup makin diwarnai
prinsip "berikan dan terimalah", "tidak ada makan siang yang
gratis", atau prinsip "elu elu -- gua gua". Jika ada [yang mencoba
tanpa pamrih], itu pun dilakukan dengan berbagai pertimbangan
"apakah imbalan yang akan kuterima?" atau "apa manfaatnya bagiku?"
Tampaknya, kita perlu merenungkan kembali, masih adakah kurban yang
sejati [tanpa pamrih]? Pengurbanan sebagai suatu tindakan nyata
tanpa pamrih, tidak dimotivasi keinginan mendapat balasan atau
menghitung-hitung manfaat yang kita akan terima secara langsung.
Manfaat semacam itu baru akan dipetik dalam jangka waktu panjang,
dalam bentuk kita memperoleh kasih, penghormatan, dan kemurahan dari
orang lain. Kita mungkin menerima pertolongan orang lain pada saat
yang tidak terduga, tepat ketika kita membutuhkannya.

Mengapa Berkurban Itu Penting?
1. Karena kehidupan memiliki siklus tabur dan tuai.
Secara kodrati, Tuhan telah menetapkan prinsip umum hukum alam
bahwa segala sesuatu yang ditanam pasti akan bertumbuh dan
menghasilkan buah. Demikian pula dengan setiap tindakan yang kita
lakukan pasti akan menghasilkan balasan entah kapan waktunya.

2. Jika tidak ada kerelaan berkurban, bumi penuh dengan kefasikan.
Bayangkan jika semua orang ingin menang dan berhasil, termasuk
dengan menghalalkan segala cara! Setiap kejatuhan dan kesusahan
dianggap sebagai peluang untuk memenangkan persaingan, kegagalan
orang lain disambut sebagai seleksi alami [siapa] yang kuat -- si
pandai pemenangnya -- dan sukses. Tanpa hati nurani, dunia serasa
hanya dipenuhi dengan semak berduri.

3. Pengurbanan membuat hidup itu bernilai.
Mandat untuk hidup diwujudkan dengan berkarya dan mengusahakan
bumi ini secara penuh tanggung jawab. Bukti dari keberhasilan
setiap jerih lelah dan prestasi ditandai dengan berbagai bentuk
pengurbanan dan kerelaan melakukan sesuatu yang terbaik.

4. Penghargaan muncul dari setiap pengurbanan.
Kita tidak dapat membeli penghargaan dan tidak bisa memaksa orang
lain untuk menaruh hormat kepada kita, sebab penghargaan itu
hanya berasal dari sikap dan tindakan rela berkurban. Ini
pasti menginspirasi pemikiran dan memotivasi banyak orang untuk
melakukan perbuatan positif yang sama.

Manipulatif -- Berkurban dengan Suatu Pamrih

Ketika perhatian kita hanya terpusat pada diri sendiri, kita sulit
memerhatikan keadaan dan kebutuhan orang lain. Setiap pertimbangan
hanya diukur semata-mata dari keuntungan dan kesenangan pribadi.
Motivasi di balik setiap tindakan perlu diterawang lebih jauh agar
kita tidak keliru dan menyimpang dari setiap pemikiran dan perbuatan
yang dianggap sebagai sikap berkurban dan bajik. Pengurbanan yang
berpamrih sebenarnya adalah sikap manipulatif terhadap orang lain
bahkan terhadap diri sendiri, dan justru kenyataannya sering sangat
tersamar, lazim, dan tidak disadari dalam kehidupan sehari-hari.
Perhatian dan kurban yang sejati itu tidak bersyarat. Tidak menuntut
balasan. Tidak menghitung untung rugi. Dilakukan dengan tulus, tanpa
keluh kesah, spontan, yakin, dan tidak mengkhawatirkan penolakan
karena berfokus pada kepentingan dan kebaikan orang lain.

Pemahaman Mengenai Sikap dan Tindakan Manipulatif:

1. Penipuan yang disamarkan sebagai kebenaran.
2. Penyalahgunaan kesempatan, jabatan, hak, kewajiban, dan
otoritas.
3. Aktivitas yang tampaknya baik tetapi diselubungi motif egoisme.
4. Sikap mental yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur dan
tulus.
5. Pemanfaatan seseorang, sesuatu, keadaan, atau kondisi dengan
maksud untuk mencari keuntungan diri sendiri.
6. Membohongi dan tidak sesuai dengan hal-hal yang sifatnya sejati.
7. Sikap berpura-pura, tidak ikhlas, dan bertujuan untuk
memanfaatkan orang.
8. Pengendalian kehendak orang-orang melalui pengaruh, cara-cara,
tekanan, atau perlakuan tertentu.
9. Menutup-nutupi keadaan, ketidakjujuran, dan tidak memperlihatkan
jati diri yang sebenarnya untuk kepentingan pribadi.

Akibat Sikap Manipulatif

Mungkin tidak disadari, namun segala sesuatu yang tidak sejati pasti
tidak akan bertahan lama. Sikap yang tidak tulus, cepat atau lambat
akan tersingkap dan memengaruhi hubungan kita dengan keluarga,
rekan, kolega, atau mitra kerja. Konsekuensinya, kita akan
kehilangan kepercayaan orang lain dan kita akan sulit memiliki
rekan, mitra, atau kolega yang sejati; terperangkap dalam sikap
munafik, kehilangan kebenaran dan jati diri; dikejar perasaan
bersalah dan kehilangan damai sejahtera; terlibat dalam berbagai
bentuk persaingan tidak sehat dan memiliki tujuan yang menghalalkan
segala cara.

Kurban Sejati adalah Pernyataan Kasih yang Tertinggi

Ibu Teresa mengisi hidupnya dengan mengasihi dan melayani
orang-orang yang kekurangan di negara-negara miskin. Beliau
menyelamatkan hidup banyak balita dengan sentuhan dan belaian
tangannya ke tubuh-tubuh kurus kecil karena kekurangan gizi.
Sesungguhnya, sentuhan manusia memiliki kekuatan merespons
unsur-unsur kimiawi di dalam tubuh, yang sangat membantu pertumbuhan
dan daya hidup. "Saya telah menemukan paradoks bahwa jikalau saya
mengasihi sampai terasa sakit, rasa sakit itu akan hilang, dan yang
tertinggal hanyalah lebih banyak kasih". (Ibu Teresa)

Sikap berkurban timbul dari kesadaran akan adanya kebutuhan
orang-orang di sekitar kita. Jika kita mulai menjadi pemerhati, akan
tampak begitu banyak kesempatan untuk berbuat baik dan menjadi
jawaban bagi orang lain. Sikap berlapang hati untuk tidak sekadar
mengkritisi orang lain atau keadaan, menguasai diri berhadapan
dengan rasa memiliki, bebas dari rasa khawatir dengan membangun rasa
aman, semua ini akan mendorong kita untuk mengembangkan sikap
berkurban yang sejati.

Dalam penerapannya, pengurbanan senantiasa berbentuk pernyataan
kasih yang tertinggi, yaitu ditunjukkan dengan kepedulian sejati
kepada orang lain melalui tindakan nyata. Ia tidak mementingkan diri
sendiri dan rela mendahulukan kepentingan orang lain, memberi dan
berbagi tanpa mengharapkan imbalan atau pamrih, bahkan ikhlas
memberikan kesempatan atau peluang kepada orang lain yang
membutuhkannya. Pengurbanan adalah kesediaan untuk mendengar,
melayani, dan membantu orang lain. Suatu bentuk kebaikan hati yang
tidak menuntut pembayaran. Bahkan mungkin sebaliknya, berani
membayar harga dan menghadapi risiko.

Pengurbanan sebagai teladan terbesar telah ditunjukkan oleh Kristus,
ketika Ia menanggung apa yang seharusnya tidak diterima-Nya.
Kematian-Nya menggantikan kita, yang seharusnya menanggung upah dosa
itu, dan Ia memberikan kehidupan kekal yang sebenarnya tidak layak
kita terima. Itulah pengurbanan karena bersedia membayar harga demi
keselamatan orang banyak. Kurban yang sejati bukan sekadar menabur
benih kebajikan untuk menolong orang lain, tetapi kita juga akan
menuai hasilnya pada saat yang kita tidak ketahui. Pengurbanan pada
hari ini tidak akan pernah sia-sia pada hari esok.

Diambil dari:
Judul majalah: Bahana, Edisi Mei 2005, Volume 169
Judul artikel: Pengorbanan Sejati atau Manipulasi
Penulis: Jakoep Ezra
Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta
Halaman: 60 -- 61

Fwd: IPOMS-APICS Chrysler: Reengineering oleh Manajer Madya

---------- Forwarded message ----------
From: syarwani <syarwani@yahoo.com>
Date: Tue, 09 Mar 2010 03:11:23 -0000
Subject: IPOMS-APICS Chrysler: Reengineering oleh Manajer Madya
To: APICS-ID@yahoogroups.com

Chrysler memanfaatkan teknologi informasi dan organisasi horisontal yang
didasarkan pada tim untuk menjadi produsen otomotif pling kreatif, dan
paling menguntungkan di dunia.

CHRYSLER: REENGINEERING OLEH MANAJER MADYA

Orang mungkin lebih mengenal Lee Iacocca ketimbang Chrysler. Dan itu
wajar.
Tanpa Lee, Chrysler barangkali memang sudah tinggal nama. Dari sebuah
perusahaan yang tinggal menunggu mati, Chrysler disulapnya meniadi
produsen
mobil paling efisien di Amerika. Tetapi, yang dilakukan Iacocca ternyata
tidak sempurna. Sepuluh tahun setelah dia pegang, Chrysler kembali
sekarat.
Chrysler kembali didera kerugian (mencapai US$ 664 juta hanya pada
kuartal
terakhir 1989). Utangnya bukan main. Sementara itu, pangsa pasarya
merosot
begitu besar sehingga posisinya merosot ke urutan lima, disalip Toyota
dan
Honda.
Dalam keadaan seperti itu tak aneh kalau Iacocca akhirnya mundur.
Kedudukannya diambilalih orang luar: Robert G. Eaton, mantan manajer
General
Motors Eropa.
Di tangan Eaton, Chrysler ternyata bangkit kembali. Kebangkitan itu juga
dinilai banyak pengamat lebih hebat dan lebih mendasar ketimbang
kebangkitan
sewaktu dipegang Iacocca. Mereka menilai, manajemen Chrysler sekarang
sudah
jauh lebih maju ketimbang manajemen perusahaan otomotif lain termasuk
perusahaan-perusahaan Jepang.

Yang menarik untuk dipelajari, kebangkitan versi lacocca dan kebangkitan
versi Eaton sama-sama bersesuaian dengan kecenderungan manajemen yang
ada
pada masanya. Pada lacocca dengan restrukturisasi dan perampingan, pada
Eaton dengan reengineering, empowerment dan pemanfaatan tim.
Secara garis besar, strategi yang ditempuh Lee Iacocca bisa dikatakan
strategi pertama yang dikemukakan Michael Porter: menjadi produsen
dengan
keunggulan biaya mutlak (overall cost leadership). Caranya:
restrukturisasi
besar-besaran fasilitas produksi dan kantor pusat. Lee menutup
pabrik-pabrik Chrysler yang produktivitasnya rendah (seluruhnya 20
unit).
Kemudian, sebagian besar buruh dan karyawan kantorpusat dirumahkan
sehingga
seluruhnya tinggal 80.000 (dari 250.000).
Dengan cara itu, titik impas berhasil diturunkan dari 2,3 juta unit
(1979)
menjadi hanya 1,1 juta, terendah dibanding produsen otomotif Amerika
lain.
Karena Penjualannya jauh lebih besar - di atas 2 juta kendaraan - jelas
keuntungan pun mengalir masuk kembali.
Penyelesaian model itu ternyata tak membawa hasil yang bisa bertahan
lama.
Chrysler memang menjadi menguntungkan. Tetapi keuntungannya diperoleh
betul-betul karena berkurangnya biaya, bukan pertumbuhan usaha. Bahkan
bisa
dikatakan Chrysler sudah tersisih dari pasar: pembelinya terkonsentrasi
pada
orang-orang tua - dari 55 tahun sampai mati," kata Lee sendiri yang mau
membeli karena harga yang murah serta nama tenar Iacocca. Kecuali itu,
efek
penghematan restrukturisasi ternyata tak bertahan lama. Memang bisa
mengurangi biaya pada saat awalnya. Tetapi karena desain organisasi dan
cara
kerja tak diperbaiki, pada akhirnya biaya membengkak kembali. Maka
ketika
nilai penjualan melorot lagi kerugian pun tak terhindarkan. Pendekatan
yang
ditempuh Eaton sama sekali lain. Secara garis besar ada dua, Pertama,
menjual unit-unit usaha yang tak diperlukan seperti persewaan mobil dan
pabrik suku cadang pesawat - dan memakai hasil penjualan untuk
pengembangan
usaha inti (otomotif). Kedua, melakukan reengineering dengan betul-betul
mendengarkan suara dari bawah.

Organisasi dibuat sangat datar (flat) agar pengambilan keputusan dapat
lebih
cepat. Bentuk organisasi ini diyakini sebagi bentuk mutakhir yang mampu
membuat perusahaan bergerak dinamis, organik dan efisien. Bentuk
organisasi
yang datar menggantikan bentuk vertikal yang cenderung birokratis dan
menjadikan fungsi-fungsi berdiri kokoh masing-masing. Bentuk organisasi
ini
juga mendasari sistem pada pentingnya kerjasama tim. Perbedaan
reengineering
model Eaton dengan yang biasa ditempuh perusahaan lain adalah pada
proses
pengambilan keputusannya. Di perusahaan-perusahaan lain, reengineering
dilakukan dengan membabat habis para eksekutif madya. Tapi di Chrysler
manajer di lapisan tengah tidak dibuang begitu saja. Bahkan bisa
dikatakan,
reengineering itu bisa terjadi karena sumbangan manajer lapisan menengah
yang biasnya justru menjadi korban. Eaton mengambil manfaat dari proses
pembuatan bintang yang menyelamatkan nya: sedan model baru Chrysler
bernama
neon. Neon dikembangkan oleh para manajer menengah Chrysler sebelum
Eaton
datang. Mereka adalah Francois Castaing, Glenn Gardner dan Bob Marcell
ketika kondisi Chrysler sedang parah-parahnya.

Pada awalnya, Castaing yang diangkat menjadi vice president untuk
rekayasa.
Dengan posisi barunya itu ia segera mengumpulkan sekelompok manajer yang
memiliki filosofisama denganya; manajemen berdasarkan tim. Maka
bergabunglah
dua nama lain yang disebut didepan. Mereka bertiga mengumpulkan
sekelompok
desainer, insinyur dan eksekutif lain, dalam sebuah tim platform
didorong
untuk bekerja bersama dalam setiap tahap pengembangan, dari pembuatan
konsep, disain awal, prototipe, produksi, pemasaran, sampai pengiriman.
Cara
ini membuat setiap kesalahan bisa diketahui sejak dini. (Pada model
organisasi sebelumnya, dimana setiap bagian bekerja sendiri, kesalahan
sering baru diketahui setelah ditahap produksi - suatu pemborosan waktu
dan
biaya). Kecuali itu hirarki juga menjadi sangat tipis: dari puncak
sampai
buruh hanya 5 tingkat. Hasilnya betul-betul luar biasa. Model baru itu
benar-benar istimewa: ramping, responsif, dan lebih lapang ketimbang
mobil
lain yang satu kelas. Dan yang paling hebat waktu pengembangannya hanya
tiga
tahun sementara jumlah insinyur yang dilibatkan cuma sepertiga dari
biasanya. Bahkan perusahaan otomotif Jepang pun membutuhkan waktu lebih
lama
(4 tahun) dan jumlah orang lebih banyak untuk mengerjakan hal yang sama.
Eaton segera menyadari keberhasilan mereka karena kesunguhan dia dalam
mendengarkan usulan bawahan. Setiap enam minggu dia memanggil para
manajer
untuk retret sambil membicarakan persoalan perusahaan. Dalam pertemua
itulah
kisah sukses Neon didengarnya.

Dan ia langsung bertindak cepat. Model Castaing - pembentuk tim platform
-
segera dikembangkan untuk seleruh perusahaan. Hasilnya luar biasa:
Chrysler
dalam tempo 4 tahun ke belakang telah berhasil meluncurkan 20 model
lebih ke
pasar. Reorganisasi lain yang dilakukannya adalah dibentuknya jabatan
baru,
Vice president of Process Management and Continuous Improvement. Diduga,
kursi ini disediakan Eaton untuk memantau terus proses pengembangan
manajemen Chrysler yang diletupkan lewat reengineering. Memang kalau mau
berhasil reengineering tidak boleh berhenti. Seperti sepeda, begitu
berhenti
dikayuh, akan jatuh. Kalau reengineering tidak dirawat, Chrysler akan
menjadi birokratis lagi dan menghadapi persoalan-persoalan klasik
kembali.
Selanjutnya, Eaton juga menciptakan bagian baru lain yang disebut
Process
Council pada posisi yang paling tinggi untuk membimbing upaya-upaya dan
mempromosikan proses berpikir di dalam perusahaan. Barangkali tugas yang
paling beratdari proses berpikir ini adalah terus menjaga agar Chrysler
dapat bergerak lincah dalam struktur biaya yang rendah. Untuk mendukung
gagasan ini tahun lalu Chrysler berhasil merumuskan US Style Keiretzu.

Keiretzu gaya Amerika ini sebenamya tak beda jauh dengan jaringan
pemasok
keiretzu Jepang, hanya saja kebanyakan dijalankan oleh mantan teknisi
madya
Chrysler yang sekarang berusaha sendiri sebagai pemasok di perusahaan
ini.
Untuk mendesain sebuah mobil baru rnisalnya, setiap tahun Chrysler
melibatkan sekitar 1.200 insinyur. Tapi setiap tahun 600 di antaranya
berhenti. Kini mereka bekerja dalam jaringan keiretzu itu tanpa melalui
proses tender, tapi ditunjuk karena keahlian dan kedekatannya dengan
Chrysler. Mereka juga dapat diajak bicara untuk menekan biaya. Mereka
inilah produk sampingan dari upaya reengineering yang dikembangkan
Eaton.
Keberhasilan Eaton tentu mendapat banyak pujian. Analis industri Martin
Anderson, misalnya menyebut Chrysler sebagai perusahaan otomotif yang
paling
efisien dan lincah di AS. "Chrysler lebih mirip Hewlett-Packard daripada
perusahaan otomotif tradisional," ujarnya.

Salah satu bukti sukses Chrysler adalah pujian terhadap Neon. Di Jepang
ketika Neon mulai beredar, Toyota melakukan upacara khusus Tenji Kai
(artinya autopsi) ini jelas istimewa. Upacara yang dihadiri seluruh
insinyur Toyota serta para pemasok ini sudah 10 tahun tak dilakukan.
Mobil
terakhir yang mereka bedah adalah Mercedes -yaitu ketika Toyota mulai
masuk
segmen mobil mewah dengan mengeluarkan Lexus.
Para insinyur toyota geleng-geleng kepala melihat enjiniring Neon yang
begitu efisien dan praktis. "Disain Neon sangat hemat biaya, tak pernah
ada
yang seperti ini dalam sebuah mobil Amerika," begitu antara lain bunyi
laporan mereka. Pujian Presdir Mitsubishi lebih hebat lagi. "Yang di
mobil
keluaran kami memerlukan 5 komponen, Neon cuma memerlukan tiga. Yang di
mobil kami perlu 5 baut, Neon cuma perlu tiga," katanya.
Dampak pembaruan-pembaruan itu betul betul luara biasa. Untuk setiap
mobil,
Chrysler bisa mendapat keuntungan bersih sekitar US$ 1-7 ribu. Tidak
aneh
bukan kalau labanya tahun lalu mencapai US$ 3,8 miliar- terbesar
sepanjang
sejarahnya.

sumber : SWA

Tuesday, March 02, 2010

The Facebook imperative for enterprise software

Posted by Dion Hinchcliffe @ 6:57 pm

Marc Benioff, CEO of Salesforce.com, the well-known CRM and cloud computing company — and now soon-to-be social software vendor — wrote a guest post on TechCrunch late last week making the case for “why enterprise software should take its cues from Facebook and become more social.”

It’s a premise that’s been offered up countless times since Web 2.0 became a widespread trend and it will probably be invoked many more times. Yet the urgency is becoming more pronounced as the latest social tools appear seemingly everywhere in both our personal and work lives, often excepting of course our all-too-often staid corporate intranets. “Just ask any beleaguered CIO” about the growing internal demand for social software lamented CIO.com recently.

Readers of this blog won’t be too surprised to discover my general agreement with Benioff’s position. But there will undoubtedly be a large contingent of those involved in enterprise IT today that will ask, “So what?” Will making enterprise applications more social really make major difference to enterprises in a meaningful way? Does adding social features to business software truly make “people more productive and businesses more competitive“, to quote Benioff? If the answers are in the affirmative though, then these are indeed important questions.

Will Social Computing and Enterprise 2.0 Finally Bridge the IT/Business Divide?

In these times of economic uncertainty and global transformation, I would put forth that it’s worth determining ground truth about one of the most significant generational changes of our time, social computing. In fact, we are currently witnessing a major revolution in communications on many fronts today including 1) mass simultaneity, 2) potent next-generation mobile platforms, and 3) pervasive rich media. Added to this, and not the least of these developments, is that today’s social computing approaches are fundamentally changing the way we work, including even why we work at all.

Ultimately any determination if there is an enterprise “Facebook imperative” will matter because our businesses depend upon software in all its countless forms in a thousand different ways in order to function at all. Besides being critical to day-to-day operation of business, software itself is in the midst of major transition due to far more than just social media. Cloud computing, green technology, the continuing impact of open source, and the rapidly rising centrality of mobile computing platforms are just some of larger issues that are being felt acutely in the industry right now.
Should enterprises even be social?

The first subject that still comes up in any high level discussion of enterprise social software is whether the workplace should be social at all. Facebook may have over 400 million registered accounts at the moment and most of the people in the developed world might use it in their personal lives on a regular basis, but is this a type of software that should be strategically situated in most businesses today? Just because enterprise IT can be social, does that mean it should be?

This point is at the very crux of the question when I talk to business and IT leaders about enterprise social software, even as it continues to bear down on the business world in a seemingly inexorable fashion. Let’s also not forget that virtually everyone in business already has older social tools like e-mail (which is certainly social, just not to the same degree as consumer social media and Enterprise 2.0 applications.) In other words, today’s social software is really just a new level of capability that is part of a long process of innovation that first started with the advent of computer networks.

Related: Fixing IT in the cloud computing era

Unfortunately, the answer to whether social software belongs in the enterprise is a big, unsatisfactory, “It depends.” It’s clear enough that social interaction is at the heart of so much of what we do in the workplace, ranging from team meetings and conference calls to e-mail and any kind of directed communication in the workplace. But is this social interaction really much different than the social interaction in our personal lives? The answer is that very often it is, though of course that’s not always the case. Technology has assisted us for a hundreds of years when it comes to communication and collaboration, but this is the new discussion: There do appear to be deeper and unique business models around social computing and the enterprise.

The simple fact is that businesses are a social construct and not in any kind of theoretical or abstract way. They are command-and-control hierarchies with the goal to return value to their owners by providing valuable products and services to their customers. And when fundamentally new social models are introduced to this environment, we are beginning to learn that new and non-trivial opportunities can be reached by the organizations that employ them. And it’s the nature of what exactly can happen with social business that provides some insight into whether or not a Facebook imperative genuinely exists.

Finally, as I observed last week in my post Ten Enterprise 2.0 Technologies to Watch, the addition of a social layer to enterprise products is already starting to happening from companies like Microsoft, IBM, and Salesforce. The Facebook imperative is already being felt.
Five benefits of making enterprise IT social

Based on what we can see today, adding social to enterprise IT in a strategic way can have the following outcomes:

1. Social software can tap deeply into emergent human capacity at any scale, in any location. The largest IT systems in the world used to be enterprises, but this has been eclipsed by social software on the Web and the hundreds of millions of users using services such as Facebook, YouTube, and other major sites. Social software now has the ability to elicit participation, build network effects, and engage with virtually any quantity of people while simultaneously reducing complexity and extracting more value from the network than it provides.
2. Social business models introduce potent new motivations for contributions to an organization’s objectives. I’ve explored open business methods in depth in the past, but open source and Web 2.0 applications demonstrate that there are often much better reasons for creating value for other organizations that merely financial. This is actively remaking the business landscape, collapsing costs, and greatly expanding the creative and productive capacity for organizations willing to engage in social business models.
3. Social IT can collect and aggregate corporate knowledge for reuse and leverage like few other methods. Just as Web 2.0 at its core is about harnessing collective intelligence, Enterprise 2.0 is about the same thing (unleashing the human ingenuity and insight of workers), but aimed at business objectives and with numerous associated benefits.
4. Social systems engage with, react to, and respond on a shorter time scale than most other modes of business interaction. While all digital communications are in a sense immediate, social software is more effective in terms of its general ability to spread change rapidly and creating ripple effects across large numbers of workers. Mobile devices and pervasive connectivity helps with this but social networks along with smartphones are changing the rules of the game as Benioff pointed out.
5. Social software naturally breaks down barriers, silos, and tribal boundaries while maximizing inbound participation. The viral nature of social software encourages relationship capital to be built (via the social graph) and cultivated over time. Subsequent worker activity in an enterprise’s social IT systems spreads information and ideas much farther than the standard sphere of influence of normal IT systems, which are primarily limited to the users directly engaged in them.

These are pretty compelling propositions by any qualitative or quantitative measure, yet the evidence is still too slim for many traditional organizations despite widespread enterprise penetration by the tools themselves, albeit mostly tactically at the moment. Let’s also not forget that for most people, social software equates to their day-to-day consumer experience with Facebook or Twitter. I would argue that the case can be made that enterprise social software is even more powerful than its consumer cousin, and while very similar in some ways, can actually create more value in the hands of capable workers determined to employ them for business effect.

[manage] Managing the Outsourcing Relationship

If you are just entering a relationship or renewing it, governance
rules of the road should be followed

Outsourcing is only as successful as you plan, manage and direct the
relationship. The rules of the road that should be followed are:

* Make sure your enterprise management initiatives include all the
data and information related to outsourced processes and that they are
tracked throughout the lifecycle of the relationship.

* Duplicate functions typically exist in organizations likely
which create redundancies and increasing costs - root out these teams
and right-size your organization before you start the relationship.

* The managers who ran the function that has been outsourced
usually do not make the most individuals to manage the ongoing
relationship.

* Your outsourcing management team size should ebb and flow as
needs change throughout the transition and ongoing, or steady-state,
phase - make sure your team flexes and contracts accordingly.

* Ensure you and your outsource providers have aligned goals or
risk failure to deliver on the "intent" of the deal - metrics and
service level agreements are a must

* Even after the relationship has been in place for a while with
your outsource provider, it is never too late to establish best
practice.

* Focus on the "what" and not the "how" of the relationship - the
reason that the outsourcing relationship was implemented was to do
things differently.

* Track and measure internal client satisfaction - keeping an open
dialogue and obtaining regular feedback from internal clients is the
key to managing expectations.

* Manage your organization's level of trust toward its outsource
provider - do whatever necessary to maintain or regain trust to avoid
diminishing value.