Translate

Monday, October 06, 2008

Membelai Bumi Menyayangi Diri

PEMANASAN global menjadi momok yang menakutkan bagi semua orang. Di balik pemanasan global, sudah mengintip berbagai bencana baik besar maupun kecil yang akan menyerang dunia ini.

Seperti yang dikatakan Pangeran Charles dalam opini di koran SINDO (13/8/2008) bahwa masih banyak yang belum sadar akan dampak dan cara menanggulangi kondisi ini. Dampak dari perubahan iklim ini sudah jelas melanda dunia ini.

Kasus nyata di Indonesia yang dapat kita saksikan adalah menipisnya salju-salju di Puncak Jaya, Irian, satu-satunya tempat bersalju di Indonesia. Kalau kita menerawang ke luar negeri, kita akan mendapatkan bukti yang lebih banyak lagi. Pemanasan global telah mengakibatkan suhu di Afrika kian panas sehingga banyak tumbuhan tak dapat hidup dan akhirnya tercipta padang gersang (National Geographic).

Satu hal lagi yang paling membahayakan adalah es di Greenland mencair dengan kecepatan yang mencengangkan hingga 52 kubik mil per tahun. Jika seluruh es di Greenland mencair, air laut pun akan naik setinggi 7,2 meter (LA Times). Banyak wilayah di muka bumi ini akan terendam air laut. Isu pemanasan global ini sering dikaitkan dengan industrialisasi sehingga banyak masyarakat yang menganggap bahwa isu ini merupakan urusan negara maju.

Negara berkembang maupun negara tertinggal akhirnya tidak mau ambil pusing. Bahkan masyarakat menyerahkan tanggung jawab ini sepenuhnya kepada pemerintah sehingga masyarakat pun acuh tak acuh menghadapi "bayi" katastrofi ini. Padahal ini adalah cara pikir yang salah (fallacy of thinking).

Keramahan terhadap alam adalah jalan satu-satunya untuk menanggulangi berbagai bahaya yang mengancam kita tersebut.Kita dapat memulainya dari diri kita sendiri.Seperti yang dilakukan Al-Gore, mantan calon presiden Amerika Serikat, dengan film dokumenternya An Inconvenient Truth yang sukses diganjar Nobel Lingkungan. Dia memulainya dari dirinya sendiri.

Al Gore mengompensasi emisi karbondioksida dari aktivitas dalam bentuk program "netral karbon". Jika kita tak mempunyai biaya yang tinggi seperti Al-Gore, marilah kita mulai dengan bertindak lebih ramah terhadap lingkungan.

Gunakanlah kendaraan dengan bahan bakar rendah emisi, kalau bisa gunakanlah kendaraan umum. Hindari penggunaan barang-barang yang jelas dapat merusak lapisan ozon. Manfaatkan bahan yang mudah diurai tanah dan daur ulang barang yang masih bisa dimanfaatkan. Intinya, mulailah dari diri kita sendiri. Sayangilah dan lestarikan alam ini. (*)

Ratu Hasanah Semarini
Mahasiswa Akuntansi dan Penyiar Radio Era FM UNJ

Gaya Hidup Konsumtif dan Global Warming

ISU global warming (pemanasan global) menjadi salah satu isu yang banyak dibicarakan hingga ke tingkat internasional. Masalah ini menjadi tanda nyata kerusakan lingkungan.

Global warming dan segala dampak turunannya adalah akibat perilaku manusia yang tidak memedulikan kelestarian alam. Manusia telah bersikap terlalu konsumtif dan mengeksploitasi alam secara sporadis. Kepentingan ekonomi menjadi titik tolaknya. Optimalisasi ekonomi dengan dukungan teknologi modern saat ini pada gilirannya membentuk pola hidup manusia yang konsumtif.

Pola hidup yang seperti itu mengakibatkan kerusakan pada lingkungan. Johannes Berger dalam bukunya The Economy and The Environment menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh berbahaya bagi lingkungan. Manusia pun mulai sadar terhadap isu ini. Solusi pun mengemuka, selain berbagai penelitian yang berupaya mencari tahu akar masalah global warming.

Solusi yang dikampanyekan dan ditawarkan pun beragam, tergantung penyebabnya seperti mengonversi energi fosil menjadi energi biofuel dan program penanaman sejuta pohon. Penyumbang masalah global warmingpun mulai ditinggalkan. Di antaranya illegal logging, polusi udara, dan pola pertanian konvensional. Lalu bagaimana dengan sampah? Masalah yang satu ini sering terlewatkan. Padahal jika dirunut, sampah juga merupakan salah satu penyebab global warming.

Secara logis, tidak mungkin manusia tidak melakukan kegiatan konsumsi. Setiap kegiatan konsumsi pasti menghasilkan sampah. Namun, jika konsumsi berlebihan, akan dihasilkan sampah yang berlebihan pula yang bahkan siklus daur ulang oleh alam pun tidak dapat mengatasinya. Hal itu seperti yang tertulis dalam Alquran surat Asy-Syura ayat 27 bahwa ulah manusia yang berlebih-lebihan merupakan penyebab alam menjadi rusak. Di Kota Yogyakarta saja, menurut data rekapitulasi TPA Piyungan, pada bulan April lalu telah dihasilkan sebanyak 7.578 ton sampah.

Karena itu dapat diperkirakan Kota Yogyakarta per tahunnya menghasilkan 90.000 ton sampah. Sayangnya teknologi modern saat ini belum memberikan solusi komprehensif dalam pengelolaan sampah. Sampah sebanyak itu umumnya masih dikelola secara konvensional yang tidak mampu mengurangi jumlah sampah secara signifikan. Jika memang Indonesia belum mampu melakukan berbagai solusi yang canggih,misalnya pengelolaan sampah modern, kita bisa menunjukkan peran dengan mengubah sedikit demi sedikit pola hidup konsumtif.

Ini bisa dimulai dari hal-hal yang kecil seperti membatasi jumlah pakaian, sepatu, dan aksesori yang banyak, padahal pemakaiannya jarang. Ini merupakan tindakan preventif yang dapat mengurangi banyaknya sampah yang dapat mengakibatkan suhu bumi meningkat. Bukankah perubahan besar dimulai dari hal yang kecil. (*)

Ghaisani
Mahasiswi Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian UGM�
(//mbs)